Oleh : Betty Herlina
Tak kurang 10 baliho kampanye calon legisilatif (caleg) berjejer di salah satu sudut kawasan Pantai Panjang Kota Bengkulu. Ukurannya beragam mulai dari satu meter hingga dua meter. Baliho berbahan dasar polyester tersebut berisikan foto caleg, lambang partai termasuk slogan janji yang jika terpilih nanti.
Mulai dari anggota DPRD Kota, Provinsi hingga DPR RI dan DPD RI berlomba-lomba menarik perhatian pemilih melalui pemasangan baliho.
Ini menjadi pemandangan yang lazim jelang pesta demokrasi yang akan dihelat 14 Februari mendatang. Keberadaan APK menjadi tak terhindarkan. Lokasi pemasangannya pun menyasar badan jalan hingga pohon.
Tidak hanya terjadi di Kota Bengkulu, namun merata di seluruh Indonesia. Untuk pemilihan Caleg DPR RI saja merujuk pada data resmi KPU ada 18 partai politik peserta Pemilu 2024 yang tersebar di 84 daerah pemilihan. Sebanyak 9.917 Caleg akan bersaing untuk memperebutkan 580 kursi DPR pada Pemilu mendatang.
Jumlah tersebut semakin membengkak jika ditambah dengan DCT DPD sebanyak 668 orang, caleg DPRD Provinsi serta Kabupaten/Kota, plus baliho capres dan cawapres.
Bisa dibayangkan berapa banyak jumlah APK yang diproduksi selama masa kampanye.
Caleg DPRI RI Dapil Provinsi Bengkulu dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dr. Anarulita Muchtar mengatakan tahun ini dia bersama tim memasang sekitar 2.000 baliho se-Provinsi Bengkulu, dengan ukuran bervariasi. Mulai dari ukuran 4x7 meter hingga ukuran 1x1,5 meter. Jumlah tersebut diakuinya menurun bila dibandingkan dengan periode sebelumnya saat ia juga mencalonkan diri.
Mantan anggota Komisi XI DPR RI periode 2014-2019, tersebut mengakui pemasangan baliho untuk caleg DPR RI sebenarnya tidak terlalu efektif, karena di kertas suara DPR RI tidak menampilkan foto calon, berbeda dengan kertas suara DPD RI yang menampilkan foto.
“Tapi karena masyarakat yang minta pasang baliho, makanya kita pasang baliho. Sering kalau turun ke daerah, mereka minta,” jelasnya.
Di Indonesia pemasangan APK selama masa kampanye mengacu pada Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilihan Umum.
Pada pasal 1 ayat 29 dinyatakan Alat Peraga Kampanye adalah semua benda atau bentuk lain yang memuat visi, misi, program, dan/atau informasi lainnya dari Peserta Pemilu, simbol atau tanda gambar Peserta Pemilu, yang dipasang untuk keperluan Kampanye yang bertujuan untuk mengajak orang memilih Peserta Pemilu tertentu.
Kemudian ayat 30 menjelaskan, bahan Kampanye adalah semua benda atau bentuk lain yang memuat visi, misi, program, dan/atau informasi lainnya dari Peserta Pemilu, simbol atau tanda gambar yang disebar untuk keperluan Kampanye yang bertujuan untuk mengajak orang memilih Peserta Pemilu tertentu.
Sebelumnya, mengutip Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Herwyn JH Malonda sempat mengimbau kepada para caleg untuk memperhatikan lingkungan saat memasang APK. Menurutnya, masih terdapat beberapa caleg yang memasang APK secara sembrono. Ia juga mengajak semua pihak untuk bersama-sama menjadikan Pemilu 2024 lebih ramah lingkungan.
"Saya berharap agar Pemilu tidak hanya memperhatikan aspek demokrasi, tetapi juga menjaga keberlanjutan lingkungan. Kita harus mengutamakan prinsip ekokrasi atau kedaulatan lingkungan," katanya.
Plastik penyumbang sampah terbesar kedua
APK menjadi sarana penting bagi calon politik untuk menyuarakan pesan mereka kepada pemilih. Namun, di balik kekuatan persuasif dan efektivitasnya dalam mencapai tujuan politik, muncul tantangan serius yang perlu diatasi yaitu persoalan lingkungan.
Pasalnya bahan yang digunakan untuk membuat APK tidak jauh-jauh dari plastik.
Mengutip The Conversation, permintaan plastik saat ini terus mengalami peningkatan yang signifikan. Dalam empat dekade terakhir, produksi plastik global bahkan mengalami peningkatan empat kali lipat dengan volume produksi mencapai 380 juta ton setiap tahunnya. Dibandingkan dengan tahun 1950 saat ini produksi plastik meningkat sebanyak 190 kali lipat.
Jika pertumbuhan permintaan plastik terus berlanjut dengan laju konsisten sekitar 4% per tahun, proyeksi emisi dari produksi plastik diperkirakan akan mencapai 15% dari total emisi global pada tahun 2050 mendatang.
Di Indonesia jumlah sampah plastik sejak tahun 2019 hingga 2023 menurut data Direktorat Penanganan Sampah, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang dirilis Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) sampah plastik menempati urutan kedua setelah sisa makanan.
Kontribusi sampah plastik di Indonesia kurun lima tahun terakhir terus mengalami peningkatan.
Jejak Karbon dari Plastik APK
Dilansir dari Timeforchange.org, nilai jejak karbon dari plastik (LDPE atau PET, poyethylene) adalah sekitar 6 kg CO2 per kg plastik yang dihasilkan selama proses produksi dan pembakaran. Artinya jika satu caleg membuat lima kilogram APK maka akan menyumbang 30 kg CO2.
Melihat dari DCT DPR RI dan DPD RI, jika dikalkukasikan menjadi berjumlah 10.497 orang, maka simulasinya jika masing-masing menyiapkan lima kilogram APK maka jumlah kontribusi emisi yang dihasilkan mencapai 52.485 kg CO2.
Dalam sebuah laporan berjudul "Plastic & Climate: The Hidden Costs of a Plastic Planet," yang diterbitkan oleh The Center International Environmental Law, sebuah organisasi irlaba mengungkapkan bahwa jumlah emisi karbon yang dihasilkan selama siklus hidup plastik, mulai dari produksi hingga pembuangan, terus meningkat.
Total emisi mencapai angka mencengangkan, yaitu sekitar 2,8 Juta Metric Ton CO2. Ini setara dengan jumlah emisi karbon yang dihasilkan oleh 500 Pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara pada tahun 2050.
Saat ini menurut Global Carbon Atlas yang diakses Sabtu (27/01/2024) Indonesia berada pada urutan ke enam sebagai negara penyumbang karbon terbesar di dunia setelah Jepang dengan jumlah sumbangan carbon 720 MtCO2.
Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Uli Arta Siagian menyoroti pola-pola kampanye menggunakan APK yang tidak ramah lingkungan. Menurutnya penggunaan APK yang saat ini marak dilakukan para caleg akan lebih efektif jika dilakukan di daerah-daerah yang tidak terpapar digital.
Sebaliknya di kota-kota besar caleg yang memiliki koneksi internet baik dapat menggunakan kampanye digital sehingga dapat menghemat penggunaan dana kampanye serta tidak merusak lingkungan.
“Harus lebih kreatif, dana yang digunakan untuk mencetak APK bisa digunakan untuk hal lain, semisal bansos jadi tidak menambah dampak kerusakan lingkungan,” katanya.
Tidak jauh berbeda disampaikan Juru Kampanye Urban Greenpeace Indonesia, Muharram Atha Rasyadi mengatakan praktik pemasangan APK pada masa pemilu ini perlu menjadi perhatian serius bagi KPU. Jika merujuk pada peraturan yang dikeluarkan KPU, pemasangan APK ini tidak boleh mengganggu etika serta estetika apalagi melanggar kepentingan umum seperti menghalangi trotoar tempat orang berlalu lalang.
“Selain itu, diharapkan bahwa APK-APK ini terbuat dari bahan yang dapat didaur ulang namun sayangnya hal tersebut belum terjadi,” katanya.
Ia menyayangkan digitalisasi yang seringkali menjadi gagasan sayangnya belum ditunjukkan dengan baik sebagai strategi utama berkampanye sehingga seringkali masih bergantung pada cara-cara yang lebih konvensional seperti maraknya pemasangan APK.
“Fenomena ini tentu menambah permasalahan sampah plastik kita di dalam negeri.Belum lagi pada debat cawapres terakhir kemarin, masalah sampah plastik tidak menjadi pembahasan sehingga publik sulit menilai sejauh apa komitmen setiap pasangan calon dalam menyelesaikan krisis yang sudah di depan mata,” paparnya.
Baliho tidak efektif untuk kampanye
Terpisah, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan jika merujuk pada definisi kampanye yang ada di UU Pemilu maka kampanye adalah pendidikan pemilih yang dilakukan secara bertanggung jawab, dengan bertujuan untuk meningkatkan partisipasi pemilih.
Oleh sebab, lanjutnya, idealnya bentuk kampanye itu adalah yang sifatnya dialogis, bertukar gagasan dan ide, serta adanya peran partisipatif.
“Sehingga kampanye-kampanye dengan memasang APK tentu bukan termasuk kampanye yang sifatnya dialogis tadi, dan juga tidak termasuk dalam bentuk pendidikan pemilih,” tegasnya.
Penyebaran APK, kata Khoirunnisa bisa saja digunakan sebagai upaya untuk sosialisasi kepada publik. Namun ia menilai hal tersebut tidak terlalu efektif.
“Pemasangan APK kan juga ada aturannya, tidak boleh merusak lingkungan seperti ditempel di pohon, dan jangan sampai membahayakan publik. Seharusnya pengawas pemilu tegas terkait hal ini dan bisa memberikan sanksi untuk pencopotan APK yang penempatannya tidak sesuai aturan,” pungkasnya.