Anak di Tengah Samudra: Celah Kebijakan yang Dimanfaatkan (Bag 2)

Oleh Ayu Sulistyowati

INDEPENDEN -- “Semua bidang kebijakan pemerintah mulai dari pendidikan hingga kesehatan masyarakat, sampai tahap tertentu berpengaruh terhadap kehidupan anak. Kebijakan yang gagal mempertimbangkan kepentingan anak akan membuahkan dampak negatif terhadap masa depan seluruh anggota masyarakat”.

Demikian kutipan dari unggahan portal resmi United Nations Children’s Fund (Unicef). Kutipan yang menekankan negara harus hadir untuk kepengintan hak anak dan harus dituangkan dalam konvensi yang terpisah.

Ya, anak merupakan jiwa paling terdampak oleh kebijakan atau ketiadaan kebijakan dari pemerintah. Begitu pula ada alasan lainnya di antaranya perubahan di masyarakat memiliki dampak tidak seimbang dan sering kali negatif terhadap anak.

Unicef menyinggung tidak hanya soal perubahan dalam struktur keluarga, perubahan iklim, digitalisasi, migrasi massal. Akan tetapi juga mengenai ketenagakerjaan. Semua itu bukan hal sederhana demi pemenuhan hak anak. Bagaimana pun anak-anak-lah yang paling rentan terdampak. Khususnya dalam kebijakan pendidikan yang entah disadari negara atau tidak justru pada praktiknya mengeksploitasi anak-anak itu sendiri.

Salah satunya di dunia pendidikan vokasi sekolah menengah ketrampilan (SMK) kelautan/kemaritiman. Negara mengeluarkan kebijakan dan pedoman untuk praktik kerja lapangan (PKL) SMK demi melindungi siswa, alih-alih memanfaatkan ketidakberdayaan para siswa.

Tenaga, kesehatan, kapasitas dari diri siswa SMK yang masih sah menyandang status anak di usia sekolah  serta berada bawah umur itu justru terenggut haknya ketika menjalankan PKL di tengah samudra luas. Iming-iming jutaan rupiah menjadi dalih dapat membantu ekonomi orang tua sepulang praktik lapangan.

Wahyu (23), mantan siswa SMK jurusan nautika kapal penangkap ikan (NKPI) asal Nusa Tenggara Barat (NTB), merasakan hatinya campur aduk saat mengingat masa menjalani PKL saat usianya 16 tahun. Suka atau tidak suka, ya, dia jalani saja. “Ya, namanya, kan, latihan kerja, ya, memang kerja beneran. Lagian, praktiknya di tengah laut, bisa lari kemana lagi … Yang terpenting bagi saya waktu itu, menjalani saja, lalu bisa pulang, dan lulus,” katanya.

Sepanjang bercerita, dia berberapa kali mengucap syukur kepada-Nya, betapa Tuhan masih memberikan perlindungan kepada dirinya. Dapat bertahan selama PKL di atas kapal lebih dari 6 bulan. Waktu itu, dia mendapat PKL di kapal penangkap cumi, yang berangkat dari Pelabuhan Benoa, Bali. 

“Penjelasan sekolah, saat itu, kalau kapal (penangkap) ikan tuna bisa melaut sekitar setahun atau bisa lebih dari itu. Maka sekolah memilih PKL di kapal penangkap ikan cumi karena bisa enam bulanan,” ujarnya.

Pengalaman senada juga dialami Nurdin (23), mantan siswa SMK jurusan nautika kapal niaga. Meski berbeda jurusan dan kapal dengan Wahyu, sama-sama ia juga berusaha melakoni saja persyaratan dari sekolah. Lagi-lagi demi untuk satu kata : lulus!

Bayang-bayang khawatir tidak lulus itu bagaikan hantu yang terus mengejar. Bagai ancaman jika tak melakoninya, siswa tidak dapat menyandang kata lulus. Akhirnya membuat para siswa PKL SMK kelautan/kemaritiman ini tak berdaya.

Begitu pula juga ketidakberdayaan orang tua siswa. Sama juga dengan Wahyu, orang tua mereka pun hanya bisa melepas dengan ikhlas, suka tidak suka. Mereka membayar sejumlah uang untuk persyarakat keberangkatan ke kapal untuk PKL dan memberi bekal perjalanan.

Selanjutnya, semenjak mendapat kabar dari anak akan melaut. Semenjak itu pula susah menerima kabar, maupun mengirim kabar masing-masing.

“Ya, mana ada sinyal buat telponan, kirim pesan Whatsapp atau hanya sekadar pesan singkat saja tidak bisa. Mengirim kabar ke rumah itu, ya, menunggu kapal ini ada jadwal bersandar di pelabuhan mana gitu,” cerita Wahyu.

Ilustrasi
Ilustrasi (Republika-Antara)

Jika bosan, Wahyu, Nurdin, dan teman-temannya sesama PKL, hanya bisa mengisi waktu dengan bercanda dan berusaha menikmati apa yang ada di atas kapal. Salah satunya, menurut Wahyu, kerinduannya dengan orang tua dan yang mampu membunuh rasa bosan itu ketika mendapatkan tangkapan cumi berkilogram-kilogram saat memancing di malam hari.

Ia ketika itu bersama lima orang teman sekelasnya praktik lapangan di atas kapal cumi. Kapal penangkap cumi ini beroperasi di malam hari. Mereka bersama anak buah kapal (ABK), yaitu para lelaki dewasa beristirahat di pagi hingga siang hari. Kegiatan diisi tidur, maupun memeriksa lampu-lampu, hingga peralatan untuk memancing di malam hari.

Soal makan, menurut Wahyu, ada petugas yang biasa menyiapkan masakan untuk di makan bersama-sama. “Ya, lauknya ganti-ganti, sih. Lumayan, lah. Tergantung apa yang tersedia saja di atas kapal.Ya, makan-makan saja…hehehe…,” ceritanya.

Memasuki malam hari, mereka mulai bekerja. Tentunya, duduk dipinggir kapal dengan disinari lampu-lampu terang di tengah lautan, berbulan-bulan bersama dengan ABK dewasa yang diketuai oleh nahkoda.

Begitulah cerita Wahyu, Nurdin serta kawannya mengenai “kepasrahannya” demi bisa dinyatakan lulus dari sekolah itu miris. Pedoman yang ada seakan-akan hanyut tertelan ombak lautan. Siswa yang masih rata-rata berusia 16 tahun itu hampir tak memiliki batasan tugas pekerjaan dengan ABK. Kontrol mereka tetap ada di tangan sang komandan kapal alias nahkoda.

Ada juga cerita Arya (17) dan Davi (18), anak-anak PKL SMK dari Banyuwangi, Jawa Timur. Di minggu ketiga April 2025, mereka datang bersama 6 kawan sekelasnya yang berusia 16 tahun, di antar satu guru pendampingnya ke sebuah kapal kolekting ikan. Kapal ini merupakan istilah untuk kapal yang menjadi penghubung dan pendukung kapal-kapal penangkap ikan di laut lepas. Tugas kapal ini antara lain memberikan dukungan logistik, pengisian bahan bakar, pengangkutan hasil tangkapan ikan untuk dibawa ke pelabuhan.

Para siswa PKL ini melaut bisa dua atau tiga bulan. Berangkat dari Benoa menuju kapal-kapal yang akan dibantu pengiriman dan dukungan, lalu kembali lagi. Nah, Arya dan Davi hanya tahu mereka praktik lapangan ini selama enam bulan. “Kami hanya tahu tugas PKL enam bulan di kapal kolekting ini. Ya, katanya hanya dua sampai tiga bulan. Setelah itu kami apakah berangkat lagi, ya, kami tidak tahu juga,” ucap Arya dengan nada pasrah.

.
Suasana sekitar kapal kolekting di Pelabuhan Benoa, Bali, Senin (21/4/2025)  (Foto : Ayu Sulistyowati)

 

Bawa uang pulang

Seperti kata Wahyu, “kegembiraannya” ada ketika tangkapan cumi-cumi berlimpah. Semalaman berpanasan di bawah puluhan lampu-lampu itu perlu menyiapkan mental sekuat baja. Karena bisa tidak setiap malam selama 10 bulan itu cumi-cumi tertangkap kail pancing. Ada kalanya berat mencapai tiga digit kilogram, tapi adakalanya cuma cumi tertangkap dua digit kilogram.

“Bosan, ya, bosan banget. Tetapi katanya, kan PKL itu latihan bekerja. Jadi, jalani saja. Di atas kapal, ditengah lautan juga mau pergi kamana. Pokoknya, senengnya itu kalau dapat banyaaaaaaak cumi tertangkap. Seneng banget, lah…,” cerita Wahyu.

Namun, ketika persoalan bagaimana mereka mendapatkan uang jika memang iming-iming jutaan rupiah dapat di bawa pulang usai PKL, mereka tak tahu menahu. Mereka tak tahu bagaimana sebenarnya aturan mainnya di atas kapal itu. Yang Wahyu dan kawan-kawannya tahu setelah sampai kembali berlabuh pulang di Pelabuhan Benoa, mereka mendapatkan sejumlah uang. Lumayan, katanya, jutaan rupiah. Tentunya setelah dipotong uang kas bon ketika di atas kapal, untuk membeli sabun, pasta gigi, atau kebutuhan lainnya.

Bertahun-tahun berlalu, Wahyu mengaku tak tahu bagaimana hitungan uang yang ia terima itu dari pihak kapal. Apakah itu hitungan dari kilogram-kilogram yang ia tangkap. Entah saja jawabannya.

Bahkan Arya dan Davi pun juga mengaku tak paham bagaimana cara mereka nanti mendapatkan uang bayarannya. Mereka hanya mendapatkan cerita dari kakak kelas sebelum berangkat, jika nanti mendapatkan uang setelah kembali berlabuh ke Pelabuhan Benoa.

“Kata kakak kelas, ya, kamu nanti bisa bawa pulang uang sekitar Rp 12 juta dalam enam bulan kerja di kapal, ya, potong kas bon,” tutur Arya bergantian menjelaskan dengan Davi.

Padahal era antara Wahyu maupun Ary dan Divi itu beda tujuh tahun, tetapi siswa-siswa PKL SMK ini tetap saja tak pernah tahu menahu bagaimana hitungan uang-uang yang mereka bawa sepulang dari PKL. Guru mereka pun tak pernah memberikan pemahaman itu.

Rentan “hilang” atau pulang

.
Ilustrasi SMK Pelayaran Samudera Nusantara Utama Palopo ( Foto: Meduonline.com)

 

Ternyata, permasalahan terkait siswa PKL SMK kelautan ini seakan-akan seperti samudra itu sendiri, luas dan semakin meluas hingga melebar kemana-mana. Meski kapal itu bisa bersandar di pelabuhan, permasalahan siswa justru sulit mendapatkan pelabuhan untuk bersandar.

Seakan semua tertutup atas nama “jutaan rupiah”. Mungkin mau hilang atau pulang, ya, semua dianggap demi uang.

Wahyudi, Nurdin dan kawan-kawannya dapat pulang. Sekarang mereka sudah dewasa dan bekerja di dunia kerja sesungguhnya dengan usia kerja.

Akan tetapi di 2019, ada siswa tidak pulang-pulang hampir 9 tahun. Mereka adalah tiga siswa SMK Negeri 1 Sanden, Bantul, Yogyakarta, yang berangkat sebagai siswa PKL dari Pelabuhan Benoa, Bali, tahun 2010. Orang tua ketiga siswa ini pun akhirnya mencari keadilan karena tak pernah ada kejelasan apa pun dari sekolah mapun perusahaan kapal yang anak mereka tumpangi. Hilang begitu saja tanpa kabar.

Dalam beberapa pemberitaan di media, di tahun itu, orang tua menceritakan mendapat sosilasisasi dari sekolah. Termasuk adanya perubahan lokasi PKL yang awalnya di Pekalongan, Jawa Tengah, menjadi ke Pelabuhan Benoa, Bali. Sekolah meminta uang Rp 2,25 juta, untuk keperluan biaya keberangkatan para siswa ke Bali, Desember 2009 lalu. Waktunya pun katanya hanya tiga bulan dan siswa akan mendapatkan uang Rp 4 sampai Rp 8 juta.

Dalam sosialisasi itu, sekolah memperkenalkan seseorang yang bernama Mugiri, yang diperkenalkan sebagai guru pembimbing. Singkat cerita, ternyata Mugiri adalah calo tenaga kerja. Siswa-siswa yang berusia masih 16 tahun dibuatkan KTP palsu. Mereka disalurkan sekolah menjadi tenaga kerja ABK kepada calo.

Orang tua mendapatkan informasi kapal yang ditumpangi anaknya itu hilang kontak justru dari perusahaan, bukan dari sekolah. Para orang tua pun meminta keadilan melaporkan ke polisi dan setelah masuk persidangan, Mugiri pun mendapatkan hukuman beberapa tahun penjara. Sedangkan sekolah bebas dari jeratan hukum.

Pembiaran eksploitasi

Seorang mantan kepala SMK kelautan/kemaritiman, yang dihubungi, ngobrol tanpa beban dan mengakui adanya ekspliotasi siswa-siswa PKL SMK ini di atas kapal, di tengah lautan. Bahkan, ia memang dengan sadar membiarkan siswanya PKL lebih dari 10 bulan atau setahun lebih.

“Saya tahu itu eksploitasi, tetapi, siswa itu sedang latihan bekerja di atas kapal, toh, pulang membawa uang. Kan, senang juga jutaan rupiah,” katanya dengan nada biasa dan datar saja.

Dalam aturan Buku Panduan Praktik Kerja Lapangan sebagai Mata Pelajaran dari Direktorat SMK Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Tahun 2023, mapun buku pedoman tahun-tahun sebelumnya, tercantum siswa PKL dari SMK (3 tahun) itu sekurang-kurangnya 10 bulan. Demikian kutipannya :

Sumber : Panduan Praktik Kerja Lapangan sebagai Mata Pelajaran dari Direktorat SMK Kementerian Pendidikan, Kebudayaab, Riset, dan Teknologi Tahun 2023.

Meskipun aturannya demikian, mantan kepala SMK ini  bersikukuh karena kapal penangkap ikan tuna itu tidak bisa setiap saat berlabuh. Apalagi, hanya untuk menurunkan para siswa SMK itu agar bisa pulang setelah menjalani 6 bulan praktik di atas kapal. Itu hal yang tidak mungkin. Dan menurutnya tidak mungkin lagi pihak sekolah diminta menjemput siswa-siswa itu. Siswa-siswa PKL SMK itu ada yang mengikuti kapal melaut ke Papua, Merauke, hingga Samudera Hindia.

“Kalau pun mereka diturunkan di pelabuhan mana begitu, bukan di Benoa (Bali) di pelabuhan awal naik, kami tidak memiliki kemampuan menjemputnya. Makanya, kami menyerahkan kepada pihak kapal untuk mengajak siswa-siswa ini mengikuti kemana kapal menangkap ikan sampai kembali lagi ke Benoa,” katanya.

Belum lagi persoalan eksploitasi tenaga siswa PKL di atas kapal. Mantan kepala sekolah ini pun tak membantah. “Ya, mereka (siswa), kan, memang sedang latihan kerja. Tapi, toh, mereka tetap mendapatkan bayaran dari kerja di atas kapal. Ada yang bisa membawa puluhan juta rupiah, loh, untuk keluarganya pulang dari PKL ini,” ceritanya dengan nada datar saja.

Selanjutnya ia mengakui banyak siswa-siswanya ketika itu memang ada saja yang mengeluh tidak betah di atas kapal. Hampir setiap hari pula, ia harus mendapati orang tua siswa yang tengah PKL datang menanyakan kabar anak mereka.

Di tengah lautan luas, tak berlaku aturan seperti yang tercantum di Buku Panduan Praktik Kerja Lapangan sebagai Mata Pelajaran dari Direktorat SMK Kementerian Pendidikan, Kebudayaab, Riset, dan Teknologi Tahun 2023.

Ada perbedaan antara siapa serta bagaiman ranah PKL dengan magang. Dan sepertinya pengertian yang salah kaprah di masyarakat luas.

Panduan Praktik Kerja Lapangan sebagai Mata Pelajaran dari Direktorat SMK Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Tahun 2023, menjelaskan maksud adanya PKL ini guna memberikan kesempatan anak didik cakap mengimplementasikan dan menerapkan ketrampilan krakter budaya kerja hingga penguasaan kompetensi teknis sesuai konstrasi keahliannya. Dan istilah PKL ini berbeda dengan magang.

Sumber : Panduan Praktik Kerja Lapangan sebagai Mata Pelajaran Dalam Implementasi Kurikulum Merdeka, Edisi Revisi Tahun 2024, Direktorat SMK Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Tahun 2024

Berdasarkan temuan lembaga nasional yang berbentuk konsursium terbuka yang peduli dengan praktik kegiatan penangkapan ikan : Destructive Fishing Watch (DFW) di Bali, mendapati siswa-siswa PKL SMK dari luar Bali, berada di Pelabuhan Benoa. Mereka ada yang masih dijanjikan berangkat melaut, ada yang dipekerjakan di atas kapal-kapal tuna seperti  ABK selama setahun, kapal kolekting, kapal cumi.

Beberapa di antara siswa yang ditemui Independen.id, tidak mengetahui fisik kontrak mereka bekerja, termasuk honor yang rendah meski dipekerjakan dengan posisi sama dengan ABK dewasa. Mereka juga tidak ada akses komunikasi dengan orang tua mereka, tidak ada perlindungan dari pihak sekolah, menjalankan PKL lebih dari 6 bulan.

Dalam Panduan Praktik Kerja Lapangan sebagai Mata Pelajaran dari Direktorat SMK Kementerian Pendidikan, Kebudayaab, Riset, dan Teknologi Tahun 2023, terdapat hal-hal yang harus diperhatikan pada perencanaan PKL di dunia kerja. Terdapat 14 poin dan di antaranya adalah :

  • Memerhatikan beban kerja dan jam kerja agar tidak terjadi eksploitasi terhadap peserta didik.
  • Tanggung jawab peserta didik tidak menjadi pemimpin projek (project leader), peserta didik dalam PKL hanya bertugas sebagai tenaga pendukung, bukan tenaga utama).
  • Kesesuaian perjanjian atau kontrak kerja sama. Peserta didik yang telah menyelesaikan PKL tidak diperkenankan bekerja di tempat PKL tanpa adanya perjanjian atau kontrak kerja sama.
  • Peserta didik hanya diperbolehkan untuk mendapatkan giliran kerja (shift) pagi dan siang (tidak diperkenankan mendapatkan giliran kerja (shift) malam). Apabila karakteristik pekerjaan mengharuskan peserta didik bekerja pada waktu-waktu tertentu, perlu dicantumkan pada perjanjian kerja sama antar satuan pendidikan dengan dunia kerja yang menjamin keamanan, kesehatan, dan keselamatan kerja peserta PKL.
  • Jika terjadi kekerasan, perundungan, dan intoleransi maka pihak Manajemen SMK/MAK dan Dinas Pendidikan sesuai dengan kewenangannya dapat melakukan tindakan perlindungan terhadap peserta didik bahkan mengambil proses hukum.
  • Jaminan keselamatan dan kesehatan kerja.

Bagaimana pun siswa PKL SMK itu merupakan anak didik yang perlu mendapat perhatian dan perlindungan. Jelas dalam Pasal 54 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, menyebutkan dua ayat.

Yaitu, ayat (1), anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tidakan kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidikan, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain. Dan, ayat (2), perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau Masyarakat.

Realitanya, siswa PKL itu memiliki beban kerja yang sama dengan ABK. Jam kerja mereka juga sama, tidak ada pemberlakuan penggiliran kerja seperti tertera di poin Panduan Praktik Kerja Lapangan dari Direktorat SMK Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Risat, dan Teknologi Tahun 2023. Dan apa yang dikerjakan di kapal itu benar-benar jauh dari teori-teori sekolah.

“Ya, pokoknya nurut saja apa perintah ABK. Kadang mereka juga membentak-bentak, suaranya keras dan …duh, bahasa kasarnya keluar semua. Memang, sih, kami memiliki perbedaan bahasa, kita dari Jawa Barat, para ABK ini ada yang dari Jawa Tengah atau daerah lain. Tapi, kan, lama kelamaan kami paham arti-arti bahasa yang mereka lontarkan terutama saat marah. Awalnya kaget, tapi kemudian, ya, sudah biasa…,” kata Syukur menceritakan bagaimana ABK meminta melakukan pekerjaan.

Siswa PKL bukan tenaga kerja utama

Lagi-lagi, hal ini persoalah hak asasi manusia dan hak anak sebagai manusia. Pedoman pun hanya di atas kertas, seperti aturan rotasi kerja.

Produksi perikanan Indonesia memberikan kontribusi 16 persen kepada produksi di dunia. Utamanya adalah produksi ikan tuna, tongkol. Bali melalui Pelabuhan Benoa, berlokasi di Kota Denpasar, merupakan salah satu pusat perikanan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023, nilai ekspor produk perikanan di Bali tahun 2022 sebesar Rp 1,9 triliun, meningkat dibanding tahun 2021 sebesar Rp1,8 triliun. Ekspor tersebut berasal dari sembilan komoditas perikanan, yakni tuna, cumi-cumi dan kakap, kerapu, sarden, marlin, pedang dan udang serta lobster. Dan tuna dan cumi-cumi memang andalan.

,
Ilustrasi (Foto : Maluku Terkini)

Dari Laporan Penelitian Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia di Bali mengenai Kondisi Pekerja Perikanan dan Rantai Pasok Industri Perikanan di Pelabuhan, Provinsi Bali (2023), ekspor tuna, tongkol cakalang dari Bali sebagian besar dikontribuskan oleh aktivitas di pelabuhan Benoa. Pelabuhan Benoa ini termasuk produsen tuna skala besar. Aktivitas perikanan di Benoa juga telah menjadi sumber pemasukan bagi negara dan mendorong pertumbuhan ekonomi Bali melalui pajak, retribusi, Penerimaan Negara Bukan Pajak, dan penciptaan lapangan kerja.

Penelitian ini menunjukkan dibalik tingginya produksi perikanan tangkap, terdapat peran ABK atau pekerja/buruh perikanan yang memiliki peranan penting. Hanya saja, haknya mereka terabaikan. Profesi ini memiliki risiko tinggi terhadap keselamatan kerja karena menghadapi cuaca ekstrem di laut, tanpa jam kerja normal, dan risiko lainnya tanpa didukung oleh jaminan ketenagakerjaan dan upah yang pantas.

“Bayangkan, ABK saja menghadapi rententan risiko tinggi dan mereka memang tenaga kerja/buruh. Lah, bagaimana dengan siswa PKL itu yang memang secara belum masuk sebagai angkatan kerja. Mereka masih terdaftar sebagai siswa sekolahan tetapi PKL-nya terpaksa atau memang dipaksa sama dengan ABK. Dalihnya, ya, demi pengalaman di dunia industri,” tegas Laode Hardiani, Tim DFW Indonesia untuk Bali.

Kepala SMK Negeri 1 Tarano, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, Andi Fausih AR mengatakan siswa SMK membutuhkan pengalaman dunia industri. “Justru baik mereka mendapatkan apa yang tidak didapatkan di sekolah dan belajar banyak hal ketika di kapal. Toh, mereka mendapatkan pelajarannya langsung dari profesionalnya. Jadi maksimal kemampuan atau kompetensinya,” katanya.

Andi memang tidak bisa maksimal mengawasi siswa PKL-nya terutama yang ikut dengan kapal penangkap ikan atau cumi. Berbeda dengan siswa PKL yang praktik di pelabuhan hingga kapal niaga. Mereka masih bisa sering komunikasi.

Selanjutnya, Andi mengakui jika peraturan PKL SMK, khususnya kelautan ini sangat rentan risiko dan sulit membedakan sebagai PKL atau justru malah menjadi pekerja. Ia ingin adanya pengecualian dengan pedoman kurikulum bagi siswa PKL kelautan ini. Akan tetapi, usulan Andi itu masih sebatas disepensasi waktu siswa PKL untuk ujian kompetensi, waktu untuk pelaksanaan PKL di atas kapal saat melaut yang sult menyesuaikan dengan aturan 6 bulan praktik.

.
Ilustrasi (Foto DFW)

Perbaikan terhadap kondisi tenaga kerja sektor perikanan juga merupakan salah satu upaya dalam merealisasikan perlindungan atas hak-hak tenaga kerja sebagaimana tertuang dalam Artikel 23 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR), Artikel 8 Konvenan Internasional untuk Hak-Hak Sipil dan Politik, serta Artikel 6-8 dalam Kovensi Internasional untuk Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Ketiga kerangka HAM tersebut melarang praktik-praktik kerja paksa, atau praktik kerja yang tidak berbasiskan pilihan dan kesepakatan tenaga kerja.

“Tantangan SMK kelautan/kemaritiman ini memang berat. Laut berbeda dengan di darat. Potensi dan peluang dunia kerja perikanan di Nusa Tenggara Barat, sebenarnya ada serta banyak. Tetapi, memang sedikit pelaut-pelaut itu yang benar-benar lulusan SMK kaluatan dan memang memiliki kompetensi. Alumni SMK kelautan pun juga sedikit yang mau melanjutkan bekerja di industri perikanan atau melanjutkan ke jenjang lebih tinggi,” ujar Andi. (**)

==

Tulisan ini didukung liputan beasiswa oleh Environmental Justice Foundation (EJF) dan Project Multatuli.

kali dilihat