Independen, Jakarta - Badan Pengawas Pemilu DKI Jakarta akhirnya memenangkan gugatan Partai Gerindra untuk meloloskan Mohamad Taufik menjadi bakal calon legislatif. Putusan ini dibacakan saat sidang ajudikasi di kantor Bawaslu DKI Jakarta, Jumat (31/08).
Sebelumnya nama M. Taufik dicoret KPUD Jakarta sebagai bakal calon legislatif (bacaleg) dari Partai Gerindra lantaran menyandang status mantan narapidana korupsi. Ia pernah menjalani hukuman 18 bulan penjara karena terbukti merugikan uang negara sebesar Rp 488 juta dalam proyek pengadaan barang dan alat peraga Pemilu 2004. “Itulah putusan kami," kata Ketua Bawaslu DKI Jakarta, Puadi kepada independen.id, Sabtu (01/09).
Dalam putusannya itu, tim Bawaslu DKI Jakarta berpegangan pada penilaian saksi ahli yang diajukan pihak Partai Gerindra, yaitu Chairul Huda. Menurut Chairul Huda tidak ada hubungannya antara perbuatan korupsi yang dilakukan M. Taufik dan proses politik yang sedang diikutinya menjadi calon anggota DPRD Provinsi Jakarta pada Pemilu 2019.
“Kemudian putusan kita keluarkan ini sesuai substansi yang dimohonkan, bukan bersifat deklaratif. Tapi konstitutif, memberi keadilan bagi setiap orang untuk menjadi anggota DPR,” ujar Puadi.
Sebelumnya dalam salah satu sesi persidangan, Ketua Lembaga Advokasi Hukum Indonesia Raya, Yupen Hadi mengatakan KPU tak punya kewenangan untuk mantan narapidana korupsi maju menjadi wakil rakyat. “Mereka (KPUD Jakarta-red) tak punya kewenangan untuk membuat norma baru. Bahwa eks napi korupsi itu tidak ada cantolannya di UU No. 7/2017, tidak ada aturan yang melarang,” katanya, Jumat (24/08).
Norma baru yang dimaksud adalah aturan Partai Politik dalam menyeleksi bacaleg tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak dan korupsi. Aturan ini termuat dalam Pasal 4 ayat (2) dan (3) Peraturan KPU (PKPU) No. 20 Tahun 2018 tentang pencalonan anggota legislatif dari tingkat provinsi hingga kabupaten/kota. Selain itu, KPU juga mengeluarkan aturan serupa untuk bakal calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam PKPU No. 14 Tahun 2018. Aturan ini merupakan turunan dari Undang Undang Pemilu No. 7 Tahun 2017.
Menurut Hadi aturan tersebut melanggar hak politik seseorang. “Nah, menghilangkan hak seseorang itu kita tahu kalau bukan di undang undang, ya dengan putusan pengadilan,” katanya.
Di sisi lain, saksi ahli dari pihak KPUD Jakarta, Titi Anggraeni sempat mengungkapkan semestinya Bawaslu mengikuti aturan KPU, bukan mempersoalkannya. Di hadapan majelis hakim persidangan, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) pernah mengungkapkan proses pembentukan aturan larangan eks narapidana korupsi menjadi bacaleg maupun calon anggota DPD sudah sesuai dengan prosedur.
Sebelum menjadi produk hukum, baik PKPU No. 20/2018 dan PKPU No. 14/2018 telah melalui konsultasi dengan DPR, telah diuji publik, dan mendapatkan klarifikasi, sinkronisasi dan harmonisasi dari Kementerian Hukum dan HAM.
“Kementerian Hukum dan HAM sudah memastikan tata caranya sesuai aturan. Tidak bertentangan dengan aturan di atasnya,” kata Titi, Jumat (24/08).
Lebih lanjut, Titi menjelaskan aturan ini tidak menyasar untuk membatasi hak politik seseorang. “Subjeknya itu jelas Partai Politik,” katanya.
Titi menambahkan sidang sengketa yang berlangsung di Bawaslu DKI Jakarta ini bukan tempatnya untuk mempersoalkan aturan PKPU No. 20/2018. Lebih tepatnya, kata dia, bila ada pihak yang keberatan dengan aturan tersebut bisa menggugat ke Mahkamah Agung. “Forum yang punya legitimasi adalah Mahkamah Agung. Kalau menilai peraturan KPU, di sini bukan forumnya,” katanya.
Sementara itu, saksi ahli lainnya dari pihak KPUD Jakarta, Donal Fariz menekankan agar partai politik untuk mengikuti aturan yang tersebut. Dalam hal ini, partai politik berkewajiban menyeleksi kadernya yang benar-benar berkualitas untuk duduk di kursi DPR DPD, atau DPRD. “Harusnya ini sudah kelar di level partai politik. Itu kalau mereka komitmen dengan pakta integritas dan PKPU,” kata Donal Fariz yang menjabat Kordinator Divisi Politik ICW, Jumat (24/08).
Tepat 3 Juli 2018 silam, PKPU No. 20/2018 disahkan. Pasal yang mengundang polemik adalah partai politik tidak boleh menyertakan mantan narapidana korupsi menjadi bakal calon anggota legislatif. Meski telah dilarang dalam aturan, sebagian partai politik tak gentar memasukkan kader-kadernya yang pernah terjerat kasus korupsi ke daftar bacaleg.
M. Taufik adalah satu dari 165 mantan narapidana korupsi yang diajukan parpol sebagai bacaleg dan bakal calon anggota DPD untuk Pemilu 2019. Partai pendukungnya kini berhasil meloloskan M. Taufik ke arena pemilu legislatif dengan cara menggugat PKPU No. 2018 melalui Bawaslu Jakarta, daerah pilihannya.
Selain M. Taufik, terdapat 5 mantan narapidana korupsi yang diloloskan Panwaslu atau Bawaslu menjadi bakal caleg DPRD dan bakal calon anggota DPD. Mereka adalah bakal calon anggota DPD dari Sulawesi Utara Syahrial Damapolii, bakal calon anggota DPD dari Aceh Abdullah Puteh, bacaleg DPRD Toraja Utara Joni Kornelius Tondok, bacaleg DPRD dari Kota Pare-Pare Ramadan Umasangaji dan M. Nur Hasan bacaleg dari Rembang.
Awalnya mereka dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) oleh KPU setempat. Kemudian, mereka mengajukan sengketa pendaftaran ke Bawaslu dan Panwaslu setempat. Putusan dari Bawaslu dan Panwaslu setempat mengabaikan PKPU No. 20/2018 dan PKPU No. 14/2018, lalu menyatakan kelimanya memenuhi syarat (MS). Dengan demikian, putusan tersebut menganulir keputusan KPU yang sebelumnya menyatakan semuanya TMS.
Persoalannya makin rumit karena putusan Bawaslu dan Panwaslu harus dilaksanakan. Jika tidak, maka KPU yang mengabaikan putusan tersebut akan kena sanksi.
Di tempat terpisah, Anggota Bawaslu RI, Rahmat Bagja mengatakan apa pun keputusan dari Panwaslu dan Bawaslu Daerah wajib dilaksanakan. Hal ini seperti tertuang dalam amanat UU tentang Pemilu No. 7/2018. “Karena undang undang menyatakan putusan Bawaslu wajib dilaksanakan oleh KPU. Itu (KPU-red) bisa dipidanakan oleh pemohon,” katanya kepada Independen.id, Sabtu (25/08).
Rahmat meminta KPU menghormati keputusan Bawaslu daerah dan Panwaslu, selama tidak bertentangan dengan Undang Undang Pemilu No. 7 Tahun 2017. “Sepanjang argumentasinya benar berdasarkan UU, ya tak ada kemudian harus kita koreksi. Kecuali, teman-teman (Bawaslu daerah-red) itu secara khilaf dan nyata melakukan putusan yang bertentangan dengan UU,” katanya.
Di sisi lain, KPU RI akan tetap berpedoman pada PKPU No. 20/2018 dan PKPU No. 14/2018. Dengan kata lain, KPU RI mengabaikan keputusan Bawaslu/panwaslu di Sulawesi Utara, Aceh dan Toraja Utara.
“Semestinya semua pihak, KPU, Bawaslu, DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu-red) menghormati peraturan KPU yang sudah diundangkan. Jangan sampai kewenangan Mahkamah Agung diambil Bawaslu yang menyatakan PKPU itu tidak berlaku,” kata komisioner KPU RI, Wahyu Setiawan di sela diskusi bertajuk ‘Menuju Pemilu 5 Kotak’ di Gedung DPR-RI, Senin (27/08).
Lebih lanjut Wahyu menilai putusan-putusan Bawaslu dan panwaslu daerah yang mengabaikan PKPU akan membahayakan proses pemilu. “Karena tidak ada kepastian hukum,” katanya.
KPU RI pun mengajak pihak-pihak terkait yang memiliki kepentingan terhadap pemilu untuk membahas persoalan ini. “Kami minta ada forum dengan DPR, Pemerintah, Bawaslu dan DKPP,” tambah Wahyu Setiawan.
Hal senada diungkapkan Ketua DPP Golkar sekaligus Ketua Komisi II DPR Zainudin Amali. Menurutnya, partai politik yang keberatan dengan aturan tersebut harus menempuh jalur judicial review ke Mahkamah Agung. “Jadi kalau tidak setuju dengan itu, ya judicial review,” katanya, Senin (27/08).
Selain itu, Zainudin Amali mengklaim, Golkar sudah mencoret semua nama bacaleg yang pernah terlibat kasus korupsi. “Jadi Golkar nggak ada. Patuh lah kita,” katanya. Ia melanjutkan dalam waktu dekat DPR dengan KPU, Bawaslu dan DKPP akan membicarakan persoalan-persoalan Pemilu 2019, termasuk PKPU No. 20/2018 dan PKPU No 14/2018.
Pertaruhan Persepsi Anggota Dewan
Membendung bacaleg dan bakal calon anggota DPD dari mantan narapidana korupsi tak lain karena cita-cita agar pemilu kualitas dan berintegritas. Sebabnya sepanjang 5 tahun terakhir, data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan tren korupsi yang dilakukan anggota legislatif makin meningkat. Tahun ini saja sedikitnya 61 anggota DPR/DPRD terjerat korupsi.
Menurut Peneliti dari Transparency International Indonesia (TII) Reza Syawawi, korupsi politik banyak menyumbang persepsi negatif terhadap Indonesia. Hal ini bisa ditunjukkan melalui Corruption Perseption Index (CPI) Indonesia. Korupsi banyak dilakukan oleh penegak hukum juga para politisi mulai dari anggota DPR/DPRD sampai kepala daerah.
“Jadi kalau kita kemudian mempersilakan lagi mantan terpidana korupsi ini masuk ke dalam sistem politiknya, maka harapan kita untuk membangun sistem politik yang nirkorupsi itu jadi terancam,” katanya kepada Independen.id, Senin (27/08).
Aturan KPU tentang larangan mantan narapidana korupsi menjadi bacaleg dan bakal calon anggota DPD perlu dipertahankan untuk menjaga integritas lembaga legislatif ke depannya. Ia mengatakan parlemen perlu diisi orang-orang yang memiliki integritas, termasuk lembaga DPD. Kemenangan bekas napi korupsi ini menurut Reza, “Menjadi ancaman.”
Irham Duillah I YHM