Ancaman Bencana di Balik Pembangunan TPPAS Cirebon Raya

Oleh:Sudirman Wamad

Sekelompok pria menggunakan masker tampak mengatur lalu lintas truk besar pengangkut batu di pintu masuk akses menuju Desa Cupang, Kecamatan Gempol, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Saban hari jalan penghubung antara Desa Ciwaringin, Kecamatan Ciwaringin, dan Desa Cupang itu dipenuhi truk pengangkut batu. 

Tak  pelak, debu jalanan bertebaran. Tidak ada kendaraan lain selain truk besar dengan kecepatan bak siput. Kondisi jalan yang rusak dan tak beraspal mungkin jadi salah satu alasan warga sekitar enggan menggunakan akses tersebut. Motor yang melintas bisa dihitung dengan jari. 

Padahal, di depan gapura akses ini terdapat pelang penunjuk jalan menuju Desa Cupang dan dua destinasi wisata di Cirebon, yakni Batu Lawang dan Danau Ciranca yang berada di Desa Walahar. Warga sekitar tak menyarankan pengendara untuk melintasi akses tersebut. 

"Kalau ke Cupang atau Batu Lawang jangan lewat sini. Jalannya susah. Mending lewat perempatan lampu merah di depan, terus ambil kiri," kata salah seorang pria bermasker yang mengatur hilir mudik truk pengangkut hasil galian.

Akses penghubung Ciwaringin antara Cupang dan Walahar itu sepertinya dikhususkan untuk aktivitas galian. Selain itu, pemerintah juga merencanakan jalan tersebut digunakan untuk akses menuju Tempat Pengelolaan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS) Cirebon Raya. 

TPPA regional yang bakal menampung sampah dari Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, dan Indramayu. Rencananya pembangunan TPPAS Cirebon Raya itu berada di tiga desa, yakni Cupang, Walahar, dan Ciwaringin. 

Berdasarkan pencarian peta digital melalui peramban, rute menuju titik lokasi TPPAS Cirebon melewati akses penghubung Desa Cupang dan Ciwaringin. Sepanjang jalan ini merupakan kawasan hutan milik Perusahaan Umum Kawasan Hutan Negara (Perum Perhutani) Divis Regional Jawa Barat dan Banten. Pelang penanda kepemilikan jalan itu tersebar di beberapa titik di sepanjang akses tersebut. Kayu-kayu hasil aktivitas penebangan pun terlihat berjejer. 

Setelah sampai di titik penanda lokasi TPPAS Cirebon Raya yang disarankan peta digital, tak ada aktivitas apapun di lokasi. Hanya kawasan hutan. Alat berat pun tak ada. Kosong melompong. 

Lokasi yang disarankan peta digital itu sesuai dengan foto rencana pembangunan TPPAS Cirebon Raya yang diunggah Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jawa Barat. Lokasinya persis di dekat akses Tol Cikopo- Palimanan (Cipali). 

Rupanya tak banyak warga yang mengetahui informasi rencana pembangunan TPPAS Cirebon Raya. 

"Ya dengar katanya mau dibangun (TPPAS Cirebon Raya). Tapi tidak tahu di mana lokasinya," kata Ade (40), warga Ciwaringin saat ditemui detikJabar belum lama ini. 

Ade menggeleng kepala saat ditunjukkan foto rencana kawasan yang bakal dibangun TPPAS Cirebon Raya. Ia tak sependapat dengan rencana pemerintah. 

"Kalau lewat akses antara Cupang dan Ciwaringin, berati kendaraan sampah bakal lewat. Terus, di sini kan ada rumah sakit," kata Ade. 

Akses jalan penghubung antara Cupang dan Ciwaringin itu memang tak jauh dari lokasi salah satu rumah sakit di Ciwaringin. Ia khawatir hal tersebut bisa berdampak pada warga sekitar. 

Sementara itu, salah seorang warga Desa Walahar, Rahmat (37) mengaku sejatinya kebutuhan pengelolaan sampah sangat mendesak di desanya. Sampah kerap menumpuk di depan rumah. Jadwal pengangkutan yang tak konsisten dan tak adanya tempat pembanguangan sampah menjadi faktornya. 

"Sebenarnya bak penampung sampah sudah difasilitasi pemerintah. Tapi, kadang diangkut, kadang juga lama angkutnya. Jadi sering menumpuk. Sejujurnya warga butuh tempat pembuangan dan pengelolaan," kata Rahmat kepada detik Jabar pada awal April 2024. 

Rahmat mengaku mendengar infromasi mengenai rencana pembangunan TPPAS Cirebon. Ia meminta pemerintah untuk mempertimbangkan dan mematangkan rencana tersebut. 

"Kalau soal rencana itu ya silakan pemerintah kaji dengan matang. Itu tugas pemerintah, agar pembangunan itu tak menimbulkan masalah lain. Soal sampah ini kan kerap menimbulkan masalah lain juga, dampak kesehatan salah satunya," ucap Rahmat. 

Penetapan Batas 

TPPAS Cirebon Raya akan dibangun di lahan seluas 35.175 hektare di Kabupaten Cirebon. Rencana ini telah disepakati pada 13 Desember 2017 oleh empat kepala daerah saat itu, yakni Gubernur Jabar Ahmad Heryawan, Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra, Bupati Indramayu Anna Sopanah dan Wali Kota Cirebon Nasrudin Azis.

Kemudian, pada 2022, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jabar mengumumkan tentang progres rencana pembangunan TPPAS Cirebon Raya usai menggelar rapat koordinasi dan konsultasi dengan berbagai pihak. Hasilnya, TPPAS Cirebon Raya bakal dibangun di lahan seluas 35.175 hektare yang berada di tiga desa di Kabupaten Cirebon, yakni Desa Ciwaringin di Kecamatan Ciwaringin, Desa Cupang dan Walahar di Kecamatan Gempol. TPPAS ini bakal menerima sampah dari Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, dan Kabupaten Indramayu.

Pembangunan TPPAS Cirebon Raya membutuhkan dana Rp900 miliar. Pemda berencana menggandeng investor untuk merealisasikan mega proyek tersebut. Sayangnya, hingga saat ini belum ada kejelasan pihak mana yang akan terlibat. 

Kepala DLH Jabar Prima Mayaningtyas mengatakan Pemprov Jabar masih membahas tentang kebutuhan pembiayaan pembangunan yang disesuaikan dengan teknologi pengolahan sampah di TPPAS Cirebon Raya.

"Kurang lebih sama dengan Nambo (TPPAS Lulut Nambo) biayanya, sekitar Rp 900 miliar. Tapi, ini bukan angka pasti ya. Itu pakai investor," kata Prima. 

"Kemudian, kita belum membahas kesepakatan kembali mengenai teknologi. Teknologi ini harus ditentukan dulu, jadi kebutuhan pembiayaannya terlihat. Ini belum kita bicarakan kembali dengan kabupaten dan kota," lanjutnya. 

Nantinya proyek ini akan menggunakan pola kerja sama antara pemerintah dan badan usaha (KPBU). Pemprov Jabar telah menunjuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) PT. Migas Utama Jabar (MUJ) untuk menangani proyek ini. Melalui laman resminya, PT MUJ menyebut konsep pengelolaan sampah TPPAS Cirebon Raya menggunakan teknologi mechanical and Biological Treatment (MBT). Hasil dari pengelolaan sampah yang ditampung dari wilayah Cirebon Raya dan Indramayu nantinya diolah menjadi refuse derived fuel (RDF) yang menjadi bahan bakar alternatif pengganti batu bara.

Sementara itu, melansir dari laman KPBU Jabar, TPPAS ini mampu menampung sampah dengan kapasitas 1.000 ton per hari. Selain itu, di sekitar TPPAS Cirebon Raya juga akan dikembangkan sekitar 10 kota baru yang dikenal dengan Segitiga Emas Rebana. 

Menurut Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 tahun 2021 tentang Percepatan Pembangunan Kawasan Rebana dan Kawasan Jabar Selatan, pembangunan TPPAS Cirebon Raya merupakan proyek strategis nasional (PSN).

Di lokasi tak ada alat berat atau apapun yang menunjukkan aktivitas pembangunan. Sebab, proyek masih dalam tahap inventarisasi. 

Prima menambahkan proyek ini telah mendapatkan persetujuan penggunaan kawasan hutan (PPKH).

"Sudah dilakukan penetapan batas. Yang sedang dilakukan, sedang proses mendapatkan penetapan area kerja, dan dalam proses penyusunan perjanjian kerja sama jalan angkutan. Sedang melakukan proses inventarisasi tegakan untuk membayar ganti rugi tegakan bersama Perhutani," kata Prima kepada detikJabar, Kamis (04/04/2024).

Prima menyebut penyusunan review detail engineering design (DED) atau detail gambar kerja sarana dan prasarana bakal dilakukan, termasuk DED akses jalan dan penyediaan air bersih. Rencananya, penyusunan review DED ini menggunakan anggaran tahun 2025. Selain itu, rencana ke depan lainnya adalah pembayaran ganti rugi tegakan.

Ciwaringin Menolak

Rencana pembangunan TPPAS Cirebon Raya mendapatkan penolakan. Pembangunan TPPAS Cirebon Raya dianggap akan merugikan masyarakat Ciwaringin. 

Kepala Desa Ciwaringin Wawan Gunawan mengaku belum dilibatkan Pemprov Jabar terkait rencana pembangunan TPPAS Cirebon Raya. Ia mengaku tak setuju pembangunan TPPAS Cirebon Raya berada di desanya.

"Belum ada yang sosialisasi ke saya. Andaikan datang, saya tidak akan memutuskan. Saya akan bermusyawarah dulu dengan masyarakat saya," kata Wawan saat ditemui detikJabar di kantornya belum lama ini.

"Tapi yang jelas dan tidak menutup kemungkinan, masyarakat tidak setuju. Kalau masyarakat tidak setuju. Apa boleh buat saya seorang pimpinan, maka akan mengikuti dia (masyarakat). Karena saya hidup untuk masyarakat," ucap Wawan menambahkan.

Wawan menjelaskan alasan tak setuju tentang pembangunan TPPAS Cirebon Raya. Ia menyebut sampah berdampak pada kesehatan masyarakat. "Okelah sebulan, dua bulan, tiga bulan. Tapi, ke sananya (berdampak). Kita hidup itu harus sehat. Makanya udara sedemikian rupa disaring bisa sehat," katanya.

"Kalau saya ditanya pihak lain, ditanya setuju tidak? saya jelas kurang setuju. Itu kurang setuju. Dampak kesehatan ke masyarakat," kata Wawan.

Wawan juga mengaku tak pernah mendengar secara resmi mengenai lokasi yang bakal dibangun TPPAS Cirebon Raya. Ia baru mendengar kabar burung terkait lokasinya. "Saya tidak mengambil respons (soal kabar lokasi). itu hanya wacana soalnya, tidak tahu kepastiannya," ucap Wawan.

Potensi Bahaya Tanah Longsor di Kabupaten Cirebon

 

Potensi bahaya tanah longsor

Dibangun di Daerah Rawan Longsor

Wawan heran dengan alasan ditunjuknya Ciwaringin sebagai lokasi TPPAS Cirebon Raya. Sebab, Ciwaringin masuk daerah rawan longsor. Ia khawatir dengan bencana lainnya yang bakal ditimbulkan ketika TPPAS Cirebon Raya dibangun. Wawan tak ingin keselamatan masyarakatnya terancam.

"Intinya seperti ini, dampak dari sampah saja sudah tidak beres. Dengan adanya itu, ya bencana lain pasti ngikut. karena di antaranya, pasti pohon ada yang ditebang. Secara logika, pohon ditebang penyerapan air tidak ada, otomatis dampak lainnya terjadi, kita harus cegah dulu ini," ucap Wawan.

Sementara itu, Kepala Desa Cupang Karji juga mengaku tak tahu persis soal rencana pembangunan TPPAS Cirebon. Ia baru menjabat sebagai kepala desa dalam tiga bulan terakhir. Namun, Karji mengaku sependapat dengan Kepala Desa Ciwaringin.

"Ini lebih baik kita rundingkan dulu dengan masyarakat," katanya.

Mengutip Rencana Strategis (Renstra) Badan Penanggulan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Cirebon 2019-2024, sebanyak 16 kecamatan di Kabupaten Cirebon masuk daerah rawan longsor. 

Total luas wilayah rawan longsor di Kabupaten Cirebon dari 16 kecamatan itu mencapai 5.670 hektare. Dari 16 kecamatan yang dinyatakan rawan longsor itu, dua di antaranya adalah Kecamatan Gempol dan Ciwaringin.

Sementara itu, menurut Katalog Desa/Kelurahan Tanah Longsor (kelas bahaya tinggi dan sedang) tahun 2023, Desa Ciwaringin, Kecamatan Ciwaringin merupakan daerah rawan longsor dengan tingkat bahaya sedang. Kemudian, Desa Cupang dan Walahar Kecamatan Gempol masuk kategori daerah rawan longsor tingkat sedang.

Sementara itu, hasil identifikasi menggunakan aplikasi InaRISK BNPB menunjukkan adanya potensi bahaya tanah longsor tingkat rendah dan sedang di Ciwaringin. Sementara, di Walahar dan Cupang adanya potensi tingkat rendah, sedang, dan tinggi. Hal ini berdasarkan indikator warna yang muncul di aplikasi InaRISK, yakni merah menandakan tinggi, kuning menandakan sedang, dan hijau menandakan rendah.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Cirebon Iwan Ridwan Hardiawan menanggapi soal rencana pembangunan TPPAS Cirebon Raya di daerah rawan longsor. Pemprov Jabar selaku penggagas proyek wajib melakukan feasibility study (FS). Iwan mengaku mendukung proyek pembangunan TPPAS Cirebon Raya. Namun, Iwan pun tak ingin bencana datang setelah adanya pembangunan TPPAS.

"Itu tentu akan menjadi FS yang dilakukan, apakah wilayah tersebut memenuhi syarat untuk keamanan atau keberlangsungan TPPAS. Kajian lingkungan itu bagian dalam proses AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), apakah daerah tersebut support nggak bangunan TPPAS. Karena jangan sampai ada pengelolaan sampah justru menimbulkan efek kebencanaan dan lain-lain untuk lingkungan," kata Iwan.

Iwan mengatakan rencana pembangunan TPPAS Cirebon Raya sudah lama bergulir. Iwan mengaku Pemkab Cirebon sempat dilibatkan dalam penyusunan dokumen kajian lingkungan perencanaan pembangunan TPPAS Cirebon. Namun, lanjut dia, Pemprov Jabar kemudian mengubah kebijakannya mengenai rencana tersebut.

"Artinya dari awal Pemkab Cirebon mendukung bahwa provinsi memilih kebijakan untuk membangun TPPAS regional. Tapi seiring waktu, provinsi mengubah kebijakan, entah itu karena pihak ketiga, konsultannya atau investornya. Sekarang memulai dari awal lagi," ucapnya.

Iwan juga tak menampik adanya pihak yang tak mendukung terkait TPPAS Cirebon Raya. Namun, Iwan menyebut Cirebon sejatinya membutuhkan pengelolaan sampah. Sehingga, ia kini masih menunggu kejelasan mengenai proyek tersebut.

"Karena provinsi ini tidak memberikan kejelasan waktu kapan operasionalnya, maka kita juga wait and see. Beberapa daerah tidak mendukung," ucap Iwan.

Kaji Ulang Rencana Pembangunan TPPAS Cirebon Raya

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jabar menilai rencana pembangunan TPPAS Cirebon Raya mengundang bencana karena dibangun di daerah rawan longsor. Kondisi demikian mengancam keselamatan warga di sekitar lokasi yang diproyeksikan untuk TPPAS.

"Kalau memang lokasi berada di daerah rawan longsor itu sangat keliru. Karena itu akan memicu (bencana), ketika timbunan sampah yang masuk daerah tersebut itu berada di daerah rawan longsor sedang, akan memicu longsor," ucap Direktur Eksekutif Walhi Jabar Wahyudin.

Wahyudin mendesak agar Pemprov Jabar membuka secara transparan terkait rencana pembangunan TPPAS Cirebon, termasuk soal pengelolaan dan pengolahan sampahnya. Selain menuntut transparansi, Walhi juga mendesak agar Pemprov Jabar mempertimbangkan kembali rencana pembangunan TPPAS Cirebon Raya.

"Saya ingin sampaikan secara tegas. Rencana ini perlu dikaji ulang, perlu dipertimbangkan kembali. Di mana rencana tersebut belum transparan dibuka ke publik. Dan, Kami belum mengetahui dokumennya," kata aktivis yang akrab disapa Iwank itu.

"Karena lokasi yang diproyeksikan berada di daerah rawan. Artinya, harus ada kajian yang dikeluarkan Badan Geologi, layak dan tidak. Harus ada rekomendasi itu dalam perizinannya," ucap Iwank menambahkan.

Walhi Jabar juga menyoroti soal rencana penerapan teknologi RDF dalam pengolahan sampah di TPPAS Cirebon Raya. Hasilnya digunakan untuk bahan bakar alternatif pengganti batu bara. Walhi tak sepakat dengan penggunaan sistem RDF.

"Skema ini memunculkan persoalan baru. Di situ (RDF) ada proses pemadatan, di situ digunakan bahan bakar dari sampah yang melepas emisi sehingga menimbulkan gas metan, ada potensi pelepasan emisi di situ," kata Iwank.

"Jadi, kami tidak setuju. Kami menolak. Ini tidak jauh berbeda dengan (TPPAS) Legoknangka, ya untuk proyeksi energi. Kami tidak sepakat sebagai produksi energi dari sampah. Kenapa menolak? Kami tidak mengharapkan proses pengolahan sampah dengan bakar-bakaran. Karena ini berpengaruh terhadap kualitas udara," pungkas Iwank. 

*) Tulisan ini merupakan republikasi berita yang naik di portal Detikjabar pada 3 Mei 2024.  Liputan ini merupakan bagian dari program Fellowship “Mengawasi Proyek Strategis Nasional” yang didukung Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.

kali dilihat