Oleh : Betty Herlina
Independen- Sampah telah menjadi masalah global yang semakin memprihatinkan. Peningkatan populasi, urbanisasi, dan pola konsumsi yang terus berubah menyebabkan masalah penumpukan sampah menjadi semakin kompleks dan meresahkan.
Permasalahan sampah tidak hanya bersifat lokal, dampaknya meluas ke berbagai aspek kehidupan. Mulai dari persoalan lingkungan, ekonomi, dan kesehatan manusia. Dampaknya meluas ke berbagai aspek kehidupan.
Di Indonesia, jumlah timbunan sampah terus meningkat dalam 4 tahun terakhir. Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukan sepanjang tahun 2022 jumlah timbulan sampah dari 310 Kabupaten/Kota di Indonesia mencapai 36.190.195,05 ton per tahun.
Dari jumlah tersebut yang terkelola baru 64,01 persen, atau sekitar 23.164.382,24 ton per tahun. Masih ada 35,99 persen atau 13.025.812,81 ton per tahun sampah yang tidak terkelola.
Sampah makanan mendominasi komposisi sampah di Indonesia dalam 4 tahun terakhir. Kontribusinya mencapai 40,23 persen atau sekitar 14.476.078 ton per tahun.
Sementara mengacu dari sumber sampah, aktivitas rumah tangga menjadi penyumbang terbesar komposisi sampah berdasarkan sumbernya, yakni mencapai 38,34 persen. Aktivitas di pasar menempati urutan kedua, sebesar 27.7 persen.
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah Limbah dan B3 (PSLB3) Rosa Vivien Ratnawati, dalam rilisnya mengatakan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017, Indonesia mempunyai target pengurangan sampah 30 persen dan penanganan sampah 70 persen di Tahun 2025.
Upaya yang dilakukan saat ini adalah dengan melakukan technical assistant menyasar wilayah pulau-pulau kecil dan daerah pesisir karena masih banyak wilayah-wilayah tersebut yang belum mempunyai pengelolaan sampah yang bagus.
“Aspek pengurangan sampahnya yang dikuatkan, melalui kerja sama dengan melibatkan banyak pihak, mengingat keterbatasan lahan untuk TPA," katanya singkat.
Kontribusi sampah dalam produksi gas metana
Salah satu dampak paling serius yang sering diabaikan dari penumpukan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) adalah produksi gas metana. Proses pembusukan sampah yang terjadi bertahun-tahun di TPA menyebabkan penumpukan gas metana dan menjadi pemicu kebakaran.
Kurun empat bulan terakhir (Juni hingga Oktober 2023) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat ada 14 kali kejadian kebakaran sampah yang terjadi di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Kebakaran tersebut dipicu oleh gunungan penumpukan sampah yang terus memproduksi gas metana. Terbaru terjadi akhir Oktober lalu di TPA Rawa Kucing, Tanggerang.
Pemerintah harus mengerahkan 450 petugas gabungan termasuk menggunakan bom air atau water bombing yang menjatuhkan 40 ribu liter air ke permukaan TPA Rawa Kucing. Serta sebanyak 154 warga terpaksa mengungsi.
"Penyebab kebakaran masih ditelusuri, tetapi cuaca ekstrem dan panas yang sangat terik membuat tumpukan sampah plastik menjadi sangat mudah terbakar. Diperkirakan sekitar 10 hektare lahan TPA terbakar, " ungkap Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (Kapusdatin BNPB), Abdul Muhari.
Climate Policy Officer, GAIA Global, Yobel Novian Putra mengatakan saat ini landfill atau TPA menjadi sumber ketiga terbesar penghasil emisi metana antropogenik. Metana adalah gas rumah kaca yang lebih kuat daripada karbon dioksida, dan sebagian besar berasal dari sampah organik di tempat pembuangan sampah. Estimasinya setiap 1 ton sampah padat dapat menghasilkan 50 kg gas metana.
Mengurangi emisi metana saat ini merupakan cara paling efektif untuk mengurangi pemanasan global dalam beberapa dekade mendatang sehingga pemanasan di bumi tetap terkendali.
“Metana dari TPA berasal dari dekomposisi anaerobik sampah organik di dalamnya. Sampah makanan saat ini menjadi biang kerok kebakaran dan penyumbang emisi metan,” katanya.
Ancaman mikroplastik
Sampah plastik menempati urutan kedua sebagai penyumbang sebagai penyumbang sampah berdasarkan jenisnya. Data SIPSN KLHK menunjukan selama 4 tahun terakhir jumlah sampah plastik di Indonesia mencapai 18,72 persen, setara dengan 6.774.804,5 ton per tahun.
Divisi Edukasi, Ecological Observation and Wetlands Conservation (ECOTON), Alex Rahmatullah mengatakan Indonesia saat ini tengah mengalami darurat sampah. Hal ini berdasarkan temuan Ecoton dalam Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN) 2022 lalu. Dimana 68 sungai strategis dari 24 Provinsi di Indonesia sudah tercemar mikroplastik.
Lima provinsi yang paling tinggi terhadap kontaminasi partikel mikroplastik yaitu Jawa Timur ditemukan 636 partikel/100 liter, Sumatera Utara ditemukan 520 partikel/ 100 liter, dan Sumatera Barat ditemukan 508 partikel/100 liter. Menyusul Bangka Belitung 497 partikel/100 liter dan Sulawesi Tengah 417 partikel/100 liter.
“Keadaan sungai di Indonesia sampai ini dinilai masih buruk karena banyak ditemukan sampah plastik di bantaran dan badan air. Ini yang menjadi sumber dari adanya kontaminasi mikroplastik, yaitu partikel plastik yang berukuran kurang dari 5 mm,” katanya.
Persoalan mikroplastik lanjut Alex, lebih besar dari yang diperkirakan. Pasalnya mikroplastik tersusun oleh senyawa utama meliputi styrene, vinil klorida dan bisphenol A. Apabila tubuh terpapar oleh senyawa tersebut maka akan menyebabkan iritasi atau gangguan pernafasan, hormone endokrin hingga berpotensi kanker.
Selain itu, senyawa tambahan yang dicampurkan ke dalam plastik meliputi phthalate, penghalang api, dan alkalyphenol juga dapat menyebabkan gangguan aktivitas endokrin hingga berdampak pada kesuburan. Senyawa dari plastik ini dapat mengganggu hormone estrogen sehingga jika masuk kedalam tubuh dapat meniru hormon estrogen
“Sudah saatnya melakukan pemulihan lingkungan dan pembersihan sampah plastik yang tercecer ke lingkungan, yang menjadi biang mikroplastik,” lanjutnya.
Saatnya menerapkan pola Zero Waste
Untuk mengatasi bahaya penumpukan sampah dan produksi gas metana, diperlukan langkah-langkah konkret. Mulai dari sistem pengelolaan sampah yang lebih baik dan peningkatan daur ulang.
Salah satu pola yang dapat diterapkan pemerintah, menurut Alex Rahmatullah adalah konsep Zero Waste City dalam tata kelola sampah di setiap daerah dengan mendukung pemilahan sampah dari sumber agar beban sampah di TPA berkurang dan sampah plastik tidak bocor ke lingkungan.
Selain itu, pemerintah juga dapat meminta pertanggungjawaban pihak produsen sesuai dengan PermenLHK 75 tahun 2019, dimana produsen wajib hadir untuk mengurangi sampah dalam bentuk take back sampah.
“Mulai dari mengubah kemasan produk rumah tangga dan makanan, meniadakan bentuk plastik sachet untuk kemasan, lebih banyak menyediakan refill untuk memaksimalkan reuse,” paparnya.
Senada disampaikan Yobel, ia mengatakan zero waste (tanpa pembakaran/insinerasi/PLTSa/Waste-to-Energy) menjadi solusi yang telah terbukti secara cepat mengurangi emisi metana dari sektor sampah melalui pengelolaan sampah organik yang berpusat pada keadilan.
Konsep ini, lanjutnya sudah diterapkan lebih dari 550 kota di seluruh dunia. Zero Waste juga dikenal sebagai sistem hemat biaya namun memberikan hasil yang cepat.
“Sistem zero waste adalah strategi serbaguna yang bertujuan untuk terus mengurangi limbah melalui sumbernya reduksi, pengumpulan terpisah, pengomposan, dan mendaur ulang. Hal ini dapat dilakukan dengan melibatkan peningkatan strategi pengelolaan sampah organik yang dapat memberikan manfaat tambahan bagi mata pencaharian, kualitas hidup, tata kelola, dan kesehatan masyarakat,” paparnya.
Ia tidak menapik, saat ini masih ada hambatan besar dalam menerapkan dan memperluas solusi Zero Waste dengan cepat, terutama arah kebijakan pemerintah terkait penanganan sampah organik dan pengumpulan sampah terpilah dari sumber.
Saat ini kebijakan yang diutamakan adalah pembakaran sampah di insinerator maupun pabrik semen dan pembangkit listrik batu bara yang mengandalkan subsidi pemerintah pusat secara masif, bahkan skema hutang.
“Padahal ada hal lain yang juga penting namun sering diabaikan, adalah nilai-nilai dan prinsip-prinsip keadilan lingkungan (Environmental Justice). Ini seringkali diabaikan dalam pendekatan pengelolaan sampah, sehingga memperburuk perpecahan sosial dan mengecualikan pihak-pihak yang penting dan terdampak langsung, seperti pemulung, pelapak, pengumpul sampah, warga lokal terdampak. Seperti di dekat fasilitas TPST/TPA/PLTSa dan petugas sampah lainnya.” pungkasnya.