Oleh: Efrial Ruliandi Silalahi*)
Memuja Pendapat Amatir
Era post truth, seolah-olah membuat semua orang merasa menjadi pakar atau ahli. Dengan bekal menonton video di media sosial, membaca artikel dan lain sebagainya berlagak sok tahu soal topik yang begitu kompleks yang sebenarnya membutuhkan penelitian bertahun-tahun. Istilah “Kepakaran” menjadi dianggap sepele, bahkan suara para pakar tenggelam diantara komentar murahan yang lebih disukai karena dianggap lucu atau dramatis.
Apa dampaknya bagi masyarakat? Tentunya masyarakat menjadi gampang tersesat dalam kebisingan informasi yang bertebaran saat ini, isi kepala kita penuh dengan hal-hal yang sebenarnya tidaklah penting. Lebih mempercayai opini yang viral di media sosial daripada fakta ilmiah, hal ini tentunya sangat membahayakan bagi publik.
Dalam masyarakat yang sehat, pengetahuan dan keahlian memainkan peran penting dalam membentuk keputusan publik. Para pakar, baik di bidang sains atau ilmu sosial lainnya, mengabdikan waktu dan pikirannya untuk memahami persoalan secara mendalam. Mereka menjadi rujukan karena tidak hanya memiliki informasi, namun juga kemampuan untuk menimbang dan menafsirkan data dengan cara yang bertanggung jawab. Ketika keahlian dihormati, masyarakat memiliki kompas yang dapat diandalkan untuk menavigasi berbagai persoalan yang begitu kompleks.
Akan tetapi, ketika keahlian direndahkan atau dicurigai secara sistematis, celah akan terbuka dengan lebar bagi informasi palsu dan opini yang ugal-ugalan untuk mendominasi ruang publik. Pelan-pelan masyarakat mulai percaya pada suara-suara populer, emosional, atau sesuai dengan prasangka mereka, meskipun tidak memiliki dasar yang kuat. Dalam situasi seperti itu, kebenaran menjadi relatif, dan batas antara fakta dan opini menjadi memudar. Akibatnya, keputusan penting dalam masyarakat dapat diambil berdasarkan kebohongan yang seolah-olah tampak meyakinkan, bukan berdasarkan pada kenyataan yang bisa diuji dan dipertanggungjawabkan.
Fenomena ini tidak hanya berbahaya bagi kualitas diskursus publik, namun juga melemahkan fondasi demokrasi itu sendiri. Ketika masyarakat tidak lagi mampu membedakan antara kebenaran dan manipulasi, maka yang berkuasa adalah mereka yang paling pandai menyembunyikan kebohongan di balik retorika yang menarik. Maka dari itu, menghormati kepakaran bukan hanya sekadar soal elitis, melainkan syarat dasar agar masyarakat tetap berpijak pada realitas dan mampu membuat keputusan yang rasional dan adil.
Hidup dalam Paradoks Informasi
Akses terhadap ilmu pengetahuan seakan mudah dijangkau, namun kepercayaan terhadap kepakaran justru melemah. Di tengah maraknya opini yang membanjiri media sosial, podcast, hingga kanal pribadi, otoritas ilmiah dan profesional kerap diperlakukan seperti pendapat biasa bahkan dikalahkan oleh suara lantang tanpa dasar. Kritik terhadap kepakaran bukan lagi berbasis argumentasi, tetapi perasaan frustasi, curiga, atau semata-mata hanya keinginan untuk merasa setara dalam semua hal.
Fenomena ini bukan sekadar pergeseran prefensi, melainkan gejala yang dalam, yakni ketidakmampuan membedakan antara opini dan pengetahuan. Ketika seseorang yang telah menghabiskan puluhan tahun untuk meneliti dianggap setara dengan komentar viral tanpa referensi, maka masyarakat perlahan akan kehilangan kompas intelektualnya. Ini bukan soal demokratisasi gagasan, namun ilusi kesetaraan yang menyesatkan.
Ketika para pakar disingkirkan dan diganti oleh “Influencer” tanpa kompetensi, maka ruang publik akan dipenuhi oleh simplifikasi, bias, dan kebohongan. Penyakit ini tidak hanya membuat diskursus menjadi sebuah kebisingan, namun juga membahayakan kebijakan, pendidikan, dan bahkan keselamatan. Menghargai kepakaran bukan berarti menelan mentah-mentah, tetapi belajar untuk membedakan antara tahu dan merasa sok tahu.
Kritik Fenomena Utopis Masyarakat Digital
Runtuhnya otoritas pengetahuan dan tumbuhnya kepercayaan buta terhadap suara yang paling keras bukan yang paling tahu. Ketika informasi tersedia dimana-mana, batas antara opini dan fakta menjadi kabur. Akibatnya, siapa pun bisa merasa “sok tahu” hanya dengan menonton satu video atau membaca satu artikel, lalu mengabaikan puluhan tahun penelitian, pendidikan, dan pengalaman para pakar.
Fenomena ini bukan hanya sekadar kesombongan intelektual, namun juga menunjukkan krisis kepercayaan terhadap sebuah institusi. Banyak yang merasa bahwa para pakar merupakan bagian dari sistem yang jauh dari kehidupan masyarakat, sehingga terkesan elitis, bias dan tidak memahami realitas sehari-hari. Dampaknya, masyarakat mencari narasi alternatif meskipun narasi itu datang dari orang-orang yang tidak kompeten alias basis pengetahuan yang memadai.
Dalam jangka panjang sikap ini sangatlah berbahaya. Masyarakat akan membenci ilmu pengetahuan, sebaliknya justru semakin percaya dengan opini yang sembarangan. Hal itu dapat dibuktikan dengan mudahnya tersesat dalam kebingungan, propaganda, algoritma dan kebijakan yang merugikan diri sendiri. Menghargai kepakaran bukan berarti menelan mentah-mentah, namun memberikan tempat yang semestinya bagi mereka yang mendedikasikan hidupnya untuk memahami sesuatu secara mendalam. Bila kebenaran menjadi persoalan siapa yang paling keras bicara, maka akal sehat sedang berada dalam ketidakwarasan.
Renungan yang bisa kita ambil
Pertama, melacak kembali runtuhnya otoritas keilmuan di era digital. Bagaimana media sosial dan budaya instan ini membuat suara kepakaran dilumpuhkan oleh opini asal-asalan yang bertebaran dimana-mana.
Kedua, mengkritik budaya bahwa semua opini sama pentingnya. hal yang sangat membahayakan ketika semua pandangan dianggap setara, padahal sangat jelas perbedaannya antara argumentasi dan asal bunyi.
Ketiga, mengajak kita untuk berpikir kritis tanpa anti informasi. Ini bukan sekadar soal membela elitisme, namun soal bagaimana kita mampu menimbang dengan bijaksana. Siapa yang layak untuk didengar dan kapan saatnya belajar.
Kondisi Hiperrealitas saat ini, yang menjawab pertanyaan ilmiah bukan hanya para pakar, melainkan para penganut teori konspirasi, orang awam yang sok tahu, hingga kalangan amatir yang punya banyak pengikut media sosial yang menyesatkan. Dalam derasnya informasi saat ini, penjelasan pakar tidak didengar, sementara jawaban dari tokoh yang mempunyai banyak pengikut justru lebih dipercaya dan membahayakan banyak orang. Pertanyaan penutupnya, masihkah pakar diperlukan?
*) penulis adalah Program Officer Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.