Oleh : Betty Herlina
Moralitas seseorang tidak dapat diukur dari seberapa panjang gelar akademik yang dimilikinya. Hal ini mengingatkan publik tidak ada jaminan bahwa kampus akan selalu bebas dari ancaman kekerasan seksual.
Masih ingat dengan kasus L, mahasiswi Universitas Riau (Unri) yang diduga menjadi korban kekerasan seksual seorang dekan berinisial SH di lingkungan kampus bumi Lancang Kuning tersebut.
Kasus tersebut viral sekitar April 2022, setelah L mengungkapkan kronologis pelecehan seksual yang ia alami di media sosial. Pihak kampus akhirnya menonaktifkan SH, hingga perkaranya bergulir ke peradilan. Namun belakang SH divonis bebas setelah Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasi jaksa terhadapnya.
Ini bukan kasus pertama di Indonesia. Selain L, diyakini masih ada deretan nama-nama mahasiswi lain yang menjadi korban kekerasan seksual di institusi pendidikan. Kasus kekerasan seksual ibarat gunung es, yang tidak tampak lebih banyak dari yang muncul di permukaan.
**
November 2023, media ramai-ramai mengulas Eric Hiariej. Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM), tersebut resmi diberhentikan. Eric tersandung kasus pelecehan seksual. Ia diduga melakukan pelecehan terhadap seorang mahasiswi di kampus biru tersebut medio 2016.
Sebelumnya sempat memberikan Eric kesempatan untuk memperbaiki diri terkait kasus yang muncul pada tahun 2016 tersebut. Namun lagi-lagi, kampus menemukan bukti lain yang akhirnya mengarah pada pemecatannya.
Bedanya, kali ini pemecatan Eric Hiariej didukung keputusan Mahkamah Agung (MA). Meskipun Eric sempat mengajukan banding hingga kasasi, permohonannya tetap ditolak.
**
Masih hangat, Mei 2024. Jagad media sosial platform X heboh usai pemilik akun @irwndfrry membuat cuitan dirinya menerima banyak pesan pribadi dari orang-orang yang diduga korban kekerasan seksual Syarif Maulana, dosen pengampu filsafat di Universitas Katolik Parahyangan.
Udah banyak yang DM sama WA, personnya juga gue udah dikasih tahu, setelah semua hal buruk kalian borong, seengaknya gentle
Gue jijik banget berurusan sama kalian
@kelasisolasi
@syarafmaulini
Team hore yang rame muncul waktu bully orang, jangan coba2 ngelindungi
Buntutnya dari cuitan tersebut, Universitas Katolik Parahyangan resmi memecat Syarif Maulana. Dosen Luar Biasa (DLB) dilaporkan melakukan dugaan kekerasan seksual terhadap sejumlah mahasiswinya. Pengampuh kelas filsafat secara daring ini rupanya kerap mengirim pesan singkat lewat platform WhatsApp, direct message di Instagram ataupun X (dulunya twitter,red) terhadap sejumlah mahasiswinya. Pesan-pesan genit dengan nada menggoda hingga flirting dan meminta pap foto.
Kurun empat tahun 145 aduan kekerasan seksual
Koordinator Lingkar Studi Feminis, Eva Nurcahyani mengatakan catatan dan data pelaporan kasus kekerasan seksual berdasarkan riset di 19 perguruan tinggi yang tersebar di wilayah Banten, Jakarta, Tanggerang, Makasar dan Jawa Timur, kurun periode Januari hingga Agustus 2023 tercatat aduan kasus yang terjadi di lingkup Perguruan Tinggi mencapai 57 aduan. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya, yang mencapai 27 aduan.
Dalam empat tahun terakhir Lingkar Studi Feminis menerima 145 aduan yang terjadi di lingkup Perguruan Tinggi. Di luar lingkup Perguruan Tinggi, Lingkar Studi Feminis mendapatkan aduan sebanyak 21 kasus dengan kategori Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Merujuk dari tahun laporan tersebut diketahui, 45,7 persen kasus meningkat dilaporkan setelah ada UU No 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Jumlah peningkatan laporan yang sama, 45,7 persen setelah hadir (Permendikbud Ristek) Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Sebelum ada regulasi keduanya, hanya 8,6 persen jumlah pengaduan yang masuk.
Koordinator Lingkar Studi Feminis, Eva menambahkan, dalam kasus-kasus kekerasan seksual, keengganan korban untuk melapor atau mengungkap peristiwa yang menimpa dirinya dapat disebabkan oleh berbagai faktor.
“Kami melihat kenaikan ini dari laporan yang meningkat, banyaknya kasus dan pola yang beragam, mulai dari belum ada aturan hingga ada aturan, alur penanganan kampus juga masih gagap, korban semakin berani untuk speak up dan memiliki kepercayaan diri karena ada pendamping,” kata Eva.
Bila dilihat dari bentuk kekerasan yang dilaporkan, 145 aduan tersebut dapat dibagi menjadi beberapa kategori, diantaranya Kekerasan Seksual Fisik dan Non Fisik sejumlah 57 kasus, percobaan perkosaan 3 kasus, pemaksaan aborsi 2 kasus, kekerasan berbasis gender online (KBGO) sejumlah 45 kasus dan kekerasan dalam pacaran sejumlah 38 kasus. Selain itu, Lingkar Studi Feminis menerima aduan di luar Perguruan Tinggi sejumlah 21 kasus dengan kategori, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), baik secara fisik, psikis, ekonomi maupun seksual.
Dari 145 aduan tersebut, menunjukan bahwa korban rata-rata berada dalam rentang usia 16-30 tahun dan pelaku dalam rentang 19-40 tahun, dengan status korban dan pelaku sangat beragam, namun lebih banyak didominasi oleh mahasiswa yang ada di perguruan tinggi.
Sejauh ini kata Eva, penyelesaian kasus di lingkup Perguruan Tinggi yang masuk ke Lingkar Studi Feminis dari tahun 2020 sampai Agustus 2023 dilakukan dengan dua pola, yaitu dengan memberikan layanan secara litigasi dan non litigasi. Dimana pemilihan proses penyelesaian kasus diberikan kepada korban sesuai dengan kondisi psikis dan fisik korban. Apabila dalam proses alur penyelesaian terjadi perubahan, maka akan dilakukan tindakan berdasarkan kebutuhan dan kondisi korban, dan setiap tindakan yang dilakukan oleh Lingkar Studi Feminis didasari consent korban.
“Untuk penyelesaian secara konseling, Lingkar Studi Feminis bekerja sama dengan psikolog dari Yayasan Pulih, Dinas terkait di wilayah. Sedangkan untuk penyelesaian kasus secara litigasi Lingkar Studi Feminis bekerja sama dengan LBH APIK Jakarta, SAFEnet, Dinas terkait, Satgas PPKS di kampus dan organisasi- organisasi yang mengikat pelaku dan korban,” paparnya.
Lebih banyak hambatan internal
Selama proses penanganan, Eva mengakui ada banyak hambatan penanganan kasus kekerasan di perguruan tinggi akibat faktor internal. Mulai dari perguruan tinggi belum memiliki satgas/SOP maupun organisasi yang konsen dalam isu kekerasan seksual sehingga belum ada organisasi yang dapat disinergikan dalam melakukan pendampingan.
Dibeberapa perguruan tinggi meskipun sudah ada Satgas/SOP namun ditemukan masih minimnya perspektif korban menjadikan pendampingan melakukan pekerjaan dua kali, yang membuat korban trauma, karena harus mengikuti prosedur yang mengulang.
Termasuk masih minimnya kampanye yang dilakukan mengenai kanal pengaduan di internal perguruan tinggi.
“Ada juga ditemui kultur atas nama baik organisasi sehingga beberapa kasus mengkrak atau tidak ditindaklanjuti. Serta masih adanya budaya seksisme dan menganggap guyonan seksis sebagai budaya tongkrongan mahasiswa,” katanya.
Di kampus itu relasi kuasanya kuat, adanya impunitas pelaku merasa punya power untuk menyalahkan balik korban, hal ini juga terjadi dengan pendamping korban, diancam Drop Out (DO) dari kampus akibatnya korbannya mundur. Ada juga penyelesaian kasus yang tidak terselesaikan bahkan ada satgas tapi tidak jelas keterbukaan penyelesaian,” lanjut Eva.
Sementara dari sisi eksternal, lanjut Eva, masih adanya ketidaktahuan aparat kepolisian mengenai regulasi yang mengatur tentang kekerasan seksual. “Akibatnya masih adanya seksisme dan victim blaming aparat kepolisian dalam melakukan penanganan,” terangnya.
Eva mengatakan implementasi dari Permendikbud Ristek No.30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi perlu dilakukan untuk kampus aman dari kekerasan seksual. Termasuk Peraturan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan Pada Kementerian Agama.
Pemerintah, kata Eva, juga diharapkan dapat melakukan pelatihan pendampingan bagi anggota Satgas di masing- masing Perguruan tinggi. Sehingga Satgas benar-benar mengerti bagaimana proses dan prosedur pendampingan yang harus dilakukan.
“Serta penegakan pelindungan bagi pendamping kasus juga dapat dijadikan perhatian dalam rekomendasi, mengingat teman-teman pernah mendapatkan kekerasan/pelecehan ketika proses pendampingan,” pungkasnya.
Relasi kuasa dan impunitas
Terpisah, merespon jumlah angka kekerasan seksual di kampus yang dirilis Lingkar Studi Feminis, aktivis perempuan Tunggal Pawestri angkat bicara.
Ia mengatakan, meningkatnya jumlah laporan setelah hadirnya Permendikbud Ristek No.30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi, sama seperti ketika UU KDRT baru ditetapkan. Dimana sebelumnya masih dianggap angka yang biasa dan tidak ada pencatatan khusus dimana data hanya by liputan media. Namun setelah ada undang-undang gelombang laporan meningkat sehingga pencatat menjadi lebih serius.
Selain itu, meningkatnya kesadaran tentang pentingnya melaporkan kekerasan seksual setelah adanya regulasi yang lebih tegas dan jelas terkait pencegahan dan penanganan kasus tersebut di lingkungan perguruan tinggi.
“Mahasiswa menjadi lebih tahu dan sadar akhirnya berani melapor dan speak up,karena adanya peningkatan kepercayaan mahasiswa terhadap lembaga atau mekanisme penanganan yang ada setelah regulasi tersebut diberlakukan sehingga berkontribusi dalam peningkatan jumlah laporan," papar Tunggal yang juga merupakan konsultan untuk Hivos Asia Tenggara yang berbasis di Jakarta.
Namun lanjut Tunggal, meskipun sudah ada Permendikbud Ristek No.30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi, tidak serta merta bisa menghapus kekerasan seksual di lingkungan. Relasi kuasa dan impunitas, masih menjadi salah satu faktor penyebab masih adanya kekerasan seksual di lingkungan.
Tunggal mengatakan tidak ada jaminan lingkungan yang dipenuhi orang-orang dengan gelar pendidikan berarti bisa tidak ada kekerasan seksual disana. Karena ketika berbicara soal relasi kuasa maka perempuan menjadi sangat rentan. Ada beberapa profesi atau pekerjaan yang membuat posisi perempuan lebih rentan terutama wilayah-wilayah yang memang ada model relasi kuasa, seperti di perusahaan termasul di lingkungan pendidikan.
“Antara dosen dan mahasiswa, pelaku tahu betul dia punya kuasa, apalagi semisal dosen ini mengajar hanya untuk satu semester saja (6 bulan, red), jadi korban memilih diam dan bungkam, istilahnya “ya udah gw tahan deh kan semester depan nggak ketemu lagi dengan dosen ini”, ini yang dimanfaatkan pelaku. Belum lagi tuntutan untuk lulus cepat dan stigma yang masih melekat pada perempuan korban,” jelasnya.
Selain itu di beberapa kampus, kata Tunggal, implementasi Permendikbud Ristek No.30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi dengan menghadirkan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) masih hanya dianggap check list saja, atau sebatas memenuhi tanggungjawab kampus.
Ia mencontohkan Satgas PPKS Universitas Indonesia (UI) yang ramai-ramai mengundurkan diri, sebagai akibat tidak adanya dukungan yang utuh dari kampus untuk mengimplementasikan Permendikbud Ristek No.30.
“Satgas dibentuk tapi sumber dayanya terbatas, fasilitas tidak disediakan, kampus seharusnya menyediakan budget, sarana dan prasarana, ini tampaknya sepele namun berdampak. Belum lagi stagnannya penindakan kasus biasanya terjadi di level pimpinan dan ini masih banyak ditemukan di lapangan. Ini menjadi catatan ya, regulasinya di atas kertas kelihatan bagus sementara realisasinya susah mati untuk memperbaikinya,” pungkas Tunggal.