Oleh: Betty Herlina
Independen- Medio, 12 November 2022, Daniel Frits Maurits Tangkilisan mantan dosen sekaligus aktivis lingkungan, mengunggah foto-foto kondisi tambak di perairan Karimun Jawa di akun media sosial Facebook miliknya.
Postingan tersebut dilengkapi caption: Pantai Cemara, 10 November 2022 jam 14.24 10 hari setelah pantai ini dibersihkan oleh DLH Jepara (konon katanya dengan dana 1M dari petambak yang diwajibkan membersihkan selama 20 hari) dan dikunjungi instansi-instansi setelah acara sosialisasi pembinaan petambak. Bagaimana menurutmu.
Hitungan menit, postingan master lulusan Magister Budaya Universitas Gronningen, Belanda tersebut langsung disambar netizen. Satu persatu komentar muncul dan mendapatkan respon Daniel.
Namun ada salah satu jawaban Daniel dalam kolom komentar yang menarik perhatian. Isinya sebagai berikut “Masyarakat otak udang menikmati makan udang gratis sambil dimakan petambak. Intine sih masyarakat otak udang itu kaya ternak udang itu sendiri. Dipakani enak, banyak & teratur untuk dipangan”
Kalimat tersebut dilihat dan terbaca oleh Ridwan. Sebagai warga Karimun Jawa ia menilai kalimat tersebut tidak dapat diterima. Dia akhirnya melaporkan hal tersebut ke Polres Jepara untuk diproses lebih lanjut.
Berselang, Daniel pun dikenai Pasal 28 Ayat 2 juncto pasal 45a ayat 2 UU nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Setelah melalui serangkaian pemeriksaan, akhirnya pada 6 Juli 2023, Daniel menerima surat penetapan tersangka.
Hingga Selasa, 19 Maret 2024, kasus kriminalisasi terhadap Daniel Frits Maurits Tangkilisan akhirnya sampai pada tahap pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Dalam prosesnya, tindakan Daniel dinyatakan telah memenuhi unsur pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 45A ayat (2) jo pasal 28 ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dalam dakwaan ke satu dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan dan denda sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) subsider 1 bulan kurungan.
Korban kriminalisasi
Dakwaan yang menimpa Daniel membuat Koalisi Nasional Save Karimun Jawa melayangkan tuntutan. Koalisi yang terjadi dari 10 aliansi ini menyayangkan proses penyelidikan, penyidikan, hingga persidangan karena tidak mencerminkan penegakkan standar-standar HAM, baik secara nasional maupun internasional.
Padahal, berbagai peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia sebenarnya sudah memberikan panduan bagi sistem peradilan untuk tidak mengkriminalisasi pejuang lingkungan, tapi nyatanya pejuang lingkungan terus menjadi korban UU ITE seperti Daniel.
Koalisi menilai bahwa tuntutan jaksa merupakan bagian dari malicious prosecution, sebab tuntutan ini tidak berdasarkan pada hasil pembuktian hingga pengabaian terhadap fakta-fakta yang muncul di dalam persidangan. Bahkan, koalisi menilai tuntutan jaksa hanya akan melanggengkan praktik bisnis yang merusak lingkungan dan tidak berperspektif hak asasi manusia.
Seperti yang disampaikan Direktur SafeNET, Nenden Sekar Arum, Kamis (21/03/2024).
Menurutnya, apa yang dilakukan Daniel itu tidak bisa dikategorikan sebagai upaya untuk menghasut atau untuk mengujarkan kebencian, termasuk untuk membuat seseorang ataupun sebagian kelompok menjadi celaka. Sebaliknya hal tersebut adalah bagian dari ekspresi yang sah atau yang harus dilindungi.
“Tapi nyatanya ternyata karena pasalnya multi interpretasi ini akhirnya itu dianggap seolah-olah sebagai bentuk dari ujaran kebencian yang sebenarnya bukan semangat utama dari pasal 28 ayat 2 itu,” kata Nenden.
Ia menilai apa yang terjadi pada Daniel merupakan bentuk kriminalisasi terhadap aktivis ataupun pembela HAM. Kasus yang dialami Daniel hanya satu dari sebagian banyak kelompok kelompok vokal dan kritis terhadap berbagai macam isu, yang kemudian dilaporkan dengan menggunakan pasal bermasalah di UU ITE.
Padahal, lanjut Nenden, UU ITE sudah diakui memiliki banyak pasal bermasalah sehingga kemudian dilakukan proses revisi.
“Kita tahu sebetulnya sudah ada dokumen terbaru dengan UU ITE dengan revisi keduanya diawal Januari ini, sehingga apa yang kemudian dituduhkan kepada Daniel melanggar pasal 28 ayat 2 di UU ITE tahun 2016 seharusnya itu bisa direview kembali apakah memang hal tersebut masih sesuai dengan undang undang terbaru,” beber Nenden.
Nenden menambahkan penyusunan yang sangat karet dengan implementasi yang tidak bisa dipantau, menyebabkan UU tersebut banyak melanggar. Ia meminta kasus seperti Daniel dan kasus- kasus serupa lainnya yang berujung dipidana dengan UU ITE harus dihentikan.
“Daniel merupakan korban dari upaya kriminalisasi yang tentu saja ini dampaknya tidak hanya pada personal Daniel tapi bisa berdampak lebih luas terhadap situasi dan kondisi Karimun Jawa, yang sudah menjadi rahasia umum situasinya juga semakin memburuk,” tegas Nenden.
Wakil Koordinator Bidang Eksternal KontraS, Andi Rezaldy menambahkan kriminalisasi dan penuntutan yang terjadi pada Daniel semakin menunjukkan bahwa perlindungan terhadap pembela HAM, dalam kasus ini pejuang lingkungan, masih sangat minim.
Padahal, pembela HAM selalu berada pada garis depan atas represi dan penganiayaan terhadap aktivitasnya dalam memperjuangkan hak.
KontraS, lanjut Andi mencatat terdapat 25 kasus kriminalisasi yang dialami pembela HAM. Artinya, ada peran dari aparat penegak hukum yang membatasi ruang gerak pembela HAM untuk melakukan advokasi lingkungan dan advokasi HAM.
“Kami menilai ini adalah persoalan yang serius, salah satunya dialami Daniel yang memberikan kritik terkait keadaan atau kondisi di Taman Nasional Karimun Jawa,” tandasnya.
Sidang yang tak lazim
Hal yang sama juga disampaikan Gita Paulina dari koalisi Advokat Pejuang Aktivis Lingkungan. Selain pasal-pasal yang bermasalah, Gita menyoroti proses peradilan yang dialami Daniel Frits Maurits cenderung tidak lazim. Dimana prosedur Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jepara membuat acara persidangan dengan model cepat alias marathon. Agenda persidangan dibuat tiga hari dalam satu minggu dan berturut-turut bersidang hingga pukul 12 malam.
Menurut Gita, kasus yang diproses merupakan kasus yang krusial, karena tidak hanya menyangkut masalah unggahan Daniel saja namun juga persoalan Karimun Jawa. Akibatnya, sebagai tim kuasa hukum Daniel Tangkilisang, Gita mengaku ia bersama timnya tidak memiliki waktu yang cukup untuk membuat pembelaan.
“Dan beberarapa keberatan yang kami sampaikan sepertinya juga tidak dipertimbangkan oleh majelis hakim sehingga kami harus menerima agenda persidangan yang menurut kami kurang memadai dan kurang layak,” papar Gita.
Tak hanya itu, Gita mengatakan selama proses persidangan ahli yang dihadirkan dari JPU maupun dari Penasihat Hukum menguatkan bahwa tidak ada pelanggaran UU ITE dalam perkara ini.
Menggiring muatan SARA
Ada konstruksi analisis yang dibangun menggiring pada isu SARA sehingga mengesampingkan masalah utama yang terjadi di masyarakat Karimun Jawa, yakni kerusakan lingkungan hidup akibat tambak udang.
Hal ini ditemukan Yarhan Ambon, warga Karimun Jawa yang juga bagian dari Lingkar Juang Karimun Jawa.
“Kami melihat JPU seolah membelokkan ini ke arah SARA, meninggalkan substansinya terkait masalah tambak udang ilegal. Padahal warga yang terdampak nyata adanya, nelayan harus semakin dalam bila ingin mencari ikan karena pencemaran akibat tambak udang,” katanya.
Untuk diketahui, selain tim Penasehat Hukum Daniel, ada 10 aliansi yang terlibat dalam Koalisi Nasional Save Karimunjawa yakni, Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Iluni UI), Public Interest Lawyer Network (PIL-Net), Koalisi Kawal Lingkungan Hidup Indonesia Lestari (Kawali) dan Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers).
Kemudian Lingkar Juang Karimunjawa, Jepara Poster Syndicate, Balong Wani dan Walhi Jateng. Ada juga SAFEnet , Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Amnesty International Indonesia, dan Greenpeace Indonesia, serta Aksi Kamisan Semarang.