Oleh : Betty Herlina
Independen- Kelapa sawit (Elaeis guineensis) merupakan salah satu komoditas utama tanaman perkebunan Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), subsektor perkebunan, termasuk kelapa sawit, memberikan kontribusi sebesar 3,94 persen terhadap total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada tahun 2021.
Sepanjang tahun 2022 BPS juga mencatat nilai ekspor minyak sawit Indonesia mencapai USD 29,62 miliar atau naik 3,56 persen bila dibanding tahun sebelumnya. Kendati volume ekspornya turun tipis, nilai ekspor minyak sawit Indonesia sepanjang 2022 mencapai USD 27,76 miliar, naik 3,7% dibanding 2021 yang nilainya USD 26,75 miliar.
Perkebunan sawit terbesar di dunia
Data yang dihimpun Sawit Watch hingga tahun 2022, diketahui luasan perkebunan sawit berdasarkan basis perizinan yang telah dikeluarkan mencapai 25.07 juta hektare.
Sementara merujuk data resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah dan tertuang dalam Keputusan Menteri Pertanian No.833/KPTS/SR.020/M/12/2019 tutupan sawit Indonesia telah mencapai 16,38 juta hektare, meningkat dari 14 juta hektare pada tahun 2017.
Selama periode tahun 2014-2018, data BPS juga menunjukan perluasan lahan Indonesia cenderung mengalami peningkatan berkisar 2,77 persen sampai dengan 10,55 persen pertahun. Pada tahun 2014, lahan perkebunan kelapa sawit tercatat mencapai 10,75 juta hektare dan diperkirakan mengalami peningkatan menjadi 12,76 juta hektare pada tahun 2018.
“Ada perbedaan yang cukup signifikan jika dilihat dari jumlah yang dipublikasi pemerintah, karena pemerintah menggunakan data berdasarkan luasan tutupan sawit. Sementara pihak kami (Sawit Watch,red) menghimpun langsung data dari lapangan, berdasarkan pernyataan pejabat di tingkat provinsi hingga dokumen perizinan yang diterbitkan,” paparnya.
Menurut pengamatan Sawit Watch, Ahmad Surambo mengatakan ekspansi perkebunan sawit skala besar diperkirakan masih akan terus terjadi di beberapa wilayah di Indonesia. Dimana pola tren ekspansi sawit dalam beberapa tahun terakhir bergerak ke wilayah timur Indonesia seperti Sulawesi, Maluku dan Papua. Eskpansi juga dapat ditemukan di pesisir dan pulau-pulau kecil serta bagian pesisir selatan Pulau Jawa.
Selain itu, perkebunan sawit di Pulau Jawa ditemui di Provinsi Banten, Jawa Barat dan Jawa Timur. Tren pengembangan sawit di Pulau Jawa (Jabar) menggunakan mekanisme berupa peralinan komoditas perkebunan besar milik negara dari non sawit menjadi sawit.
“Selain permintaan global, salah satu faktor yang mempengaruhi ekspansi sawit terjadi adalah dukungan kebijakan pemerintah itu sendiri salah satunya terkait pelaksanaan mandatory Program Biodiesel Indonesia yaitu pengembangan energi terbarukan dan berkelanjutan dari minyak sawit, yang pada tahun 2023 kini telah memasuki fase B35,” paparnya.
Konflik di masyarakat
Kontribusi devisa yang menggiurkan dari sektor sawit membuat pemerintah terus melakukan ekspansi perluasan lahan perkebunan sawit di Indonesia. Ekspansi ini berpotensi memberikan manfaat ekonomi, namun dapat mengakibatkan gangguan lingkungan hingga konflik di akar rumput.
Seperti yang terjadi di Desa Bangkal di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, Oktober lalu. Konflik berlarut-larut antara masyarakat desa dengan salah satu korporasi perusahaan kelapa sawit berujung dengan penembakan yang mengakibatkan kematian seorang warga.
Menurut Sawit Watch kurun tahun 2022, data berbasis komunitas menunjukan ada 1073 konflik sosial yang terjadi di perkebunan sawit. Dari jumlah tersebut ada 714 konflik jika dilihat dari kategori sosial.
Direktur Sawit Watch, Ahmad Surambo mengatakan jika dilihat dari tipologi konflik di perkebunan umumnya terbagi menjadi tiga kelompok. Konflik tenurial 57 persen, konflik isu 34,3 persen dan konflik kemitraan 8,7 persen.
“Konflik tenurial mendominasi. Paling banyak terjadi di Sumatera dan Kalimantan," kata Direktur Sawit Watch, Ahmad Surambo.
Konflik-konflik tersebut, kata Ahmad Surambo, umumnya masih terus berlangsung, berlarut-larut hingga bertahun-tahun tanpa ada penyelesaian yang pasti. Jika pun ada konflik yang berhasil diselesaikan, jumlahnya tidak banyak atau relatif kecil.
Perlunya perbaikan tata kelola
Ahmad Surambo mengatakan, pihaknya berharap pemerintah dapat mempertimbangkan kembali opsi ekspansi lahan sawit dengan membuka lahan baru untuk meningkatkan ceruk pendapatan negara. Sebaliknya pemerintah dapat memperpanjang masa berlaku dan meningkatkan Inpres Moratorium Sawit ke dalam bentuk regulasi yang lebih kuat dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat semua pihak.
"Sebenarnya kita masih berharap moratorium sawit dijalankan. Kita lakukan perbaikan tata kelola untuk peningkatan produktivitas. Sejauh ini inpres moratorium sawit masih relevan, walaupun perlu perbaikan sana sini,” lanjutnya.
Menurutnya, memperkuat Inpres Moratorium Sawit dengan disertai target yang spesifik akan lebih efektif. Seperti target peningkatan produktivitas dengan ukuran yang jelas (ton/ha), target optimalisasi pendampingan petani (jumlah penyuluh petani per kabupaten/ kota), dan target luasan perizinan perkebunan sawit yang dievaluasi (ha/tahun).
Serta target luasan penyelesaian lahan sawit dalam kawasan hutan (ha/tahun), dan target pengembalian tutupan hutan alam yang tersisa dalam izin untuk dikembalikan sebagai kawasan hutan atau ditetapkan sebagai HCV (ha/tahun).
“Meningkatkan dan memastikan keterbukaan informasi hasil pelaksanaan Inpres Moratorium Sawit kepada publik, terutama terkait proses dan hasil penundaan dan evaluasi perizinan perkebunan sawit serta target-target lain seperti target peningkatan produktivitas hingga target optimalisasi pendampingan petani,” katanya.
Pemerintah, lanjut Ahmad Surambo dapat memberikan dukungan langsung kepada Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di level provinsi dan kabupaten/kota oleh Pemerintah Pusat seperti penyediaan alokasi anggaran untuk Organisasi Perangkat Daerah untuk mengimplementasikan Inpres Moratorium Sawit secara efektif hingga penyediaan petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis bagi OPD dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut.
“Termasuk mendukung para Kepala Daerah dan OPD yang telah melakukan review izin dan berani melakukan tindakan korektif serta memastikan langkah korektif yang diambil kepala daerah dapat berdampak nyata bagi masyarakat adat atau masyarakat sekitar wilayah tersebut,” paparnya.
Kontradiksi dengan semangat transisi energi
Ekspansi lahan sawit yang dilakukan pemerintah juga menarik perhatian lembaga think thank yang bergerak dibidang riset dan makro ekonomi, keuangan, ekonomi hijau dan kebijakan publik, Center of Economic and Law Studies (CELIOS). Direktur CELIOS, Bhima Yudhistira menilai biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk menangani konflik di masyarakat akibat ekspansi lahan sawit tidak sebanding dengan keuntungan yang diterima pemerintah Indonesia.
“Ambisi pemerintah Indonesia untuk mengejar negara lain (Malayasia,red), dalam hal peningkatan produktivitas sawit membuat pemerintah memilih membuka lahan baru karena dinilai lebih murah,”
“Sebenarnya ini tidak seimbang secara ekonomi, lebih banyak ruginya mulai dari masyarakat sekitar yang kehilangan ruang hidupnya kerena dipaksa sehingga masyarakat melawan untuk mempertahankan ruang hidupnya. Temasuk menurunkan kepercayaan Indonesia di mata dunia,” kata Bhima.
Ia menambahkan, ekspansi lahan sawit kontradiksi dengan semangat transisi energi yang saat ini digaungkan pemerintah Indonesia.
“Hutan tidak bisa digantikan dengan sawit, keuntungan model perkebunan yang ekspansi sawit akan dibawa keluar, masyarakat di sekitar perkebunan sama sekali tidak diuntungkan,” lanjutnya.
Menurut Bhima, intesifikasi lahan menjadi pilihan yang tepat saat ini. Dimana lahan yang eksisting dapat dijalankan proses replanting dengan menegaskan kembali standarisasi RSPO.
“Harus ada sanksi yang lebih kuat juga bagi para pelanggar yang memasuki hutan, kalau ada pelanggar hukuman pidananya harus berat, masyarakat harus diutamakan ketika ada laporan dan APH harus mengusutnya lebih cepat dan tuntas,” pungkas Bhima.