Melawan Intoleransi; Inspirasi dari Warga Tionghoa Semarang

 

INDEPENDEN.ID --Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) intoleransi artinya tidak ada sikap tenggang rasa. Intoleransi di masyarakat bisa terjadi karena ada orang atau kelompok yang menganggap mereka lebih baik, sehingga merendahkan yang lain.

Intoleransi juga bisa karena perbedaan pemahaman.  Sikap intoleran bisa menyebabkan konflik dan memecah belah negara. Beberapa contoh sikap intoleran adalah tidak menghormati hak orang lain, diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, gender, mengganggu kebebasan orang lain, memaksa kehendak, tidak mau bergaul dengan yang berbeda keyakinan;,membenci orang yang berbeda pandangan dan mementingkan kelompok sendiri.

Indonesia adalah negara yang memiliki ragam suku, agama, budaya, dan kebiasaan. Keragaman ini menjadi tantangan karena intoleransi sering muncul. Padahal dalam kondisi seperti Indonesia, semua orang harus bisa hidup berdampingan, terlepas dari perbedaan yang ada.

Pada Januari 2024 lalu, Setara Institute mengeluarkan Laporan Indeks Kota Toleran (IKT) 2023. Kota toleran adalah kota yang memiliki visi dan rencana pembangunan inklusif, regulasi yang kondusif bagi praktik dan promosi toleransi, kepemimpinan yang progresif bagi praktik dan promosi toleransi, tingkat intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan rendah, dan upaya berkelanjutan dalam mengelola keberagaman dan inklusi sosial.

Objek kajian IKT adalah 94 kota dari total 98 kota di seluruh Indonesia. Dari semua kota itu terpilihlah lima besar kota yang dianggap paling tidak toleran di Indonesia yaitu Banda Aceh, Padang, Depok, Cilegon dan Lhokseumawe.

Sementara kota yang disebut Setara paling toleran adalah Singkawang, Bekasi, Salatiga, Manado dan Semarang.

Bicara soal Kota Semarang, masyarakat Tionghoa di kota ini memiliki pengaruh kuat di ranah sosial, politik dan budaya. Mereka sudah membaur dan menyatu dengan masyarakat non-Tionghoa yang menciptakan masyarakat tangguh yang mampu menangkal gejolak rasial dan intoleransi.

Sejumlah aktivis, pengusaha dan pelaku budaya di Kota Semarang mempunyai peran penting dalam melawan rasisme yang kerap menyasar etnis Tionghoa. Mereka aktif memperjuangkan kesetaraan dan hak asasi manusia demi mewujudkan toleransi dan menghapuskan diskriminasi.

Tentu saja bukan berarti tidak ada gesekan sama sekali. Menurut data dari Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang sepanjang 2023, eLSA Semarang masih menemukan sejumlah kasus intoleransi, seperti soal pembangunan rumah ibadah. Ada sekira 6 hingga 7 kasus.

Kendati demikian kawasan ini termasuk sukses membuka perspektif masyarakat untuk saling menghargai.

Tulisan- tulisan tentang bagaimana perjuangan warga etnis Tionghoa Semarang dalam meredam intoleransi bisa dibaca di media Serat.id

 

https://serat.id/2024/03/04/pejuang-toleransi-tak-harus-di-dunia-politik/

https://serat.id/2024/03/04/melly-berjuang-menghapus-diskriminasi-tionghoa/

https://serat.id/2024/03/04/caleg-perempuan-tionghoa-adalah-sebuah-keunggulan/

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

kali dilihat