Oleh : Betty Herlina
Independen- Sebagai salah satu negara berkembang dengan jumlah populasi penduduk mencapai 278,69 juta jiwa (data BPS 2023, red), Indonesia menghadapi tantangan dalam memenuhi kebutuhan energi yang semakin meningkat.
Sumber energi fosil, seperti minyak bumi, gas alam, dan batu bara, masih mendominasi bauran energi nasional. Pemerintah sudah menargetkan bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) pada 2029 mendatang 30 persen. Namun hingga saat ini bauran EBT nasional baru mencapai 12,3 persen.
Salah satu sumber EBT yang gencar didorong penggunaannya adalah biofuel. Jenis biofuel meliputi bioetanol, biodiesel, dan biogas. Biofuel dikategorikan sebagai energi terbarukan yang dapat mengurangi peran bahan bakar fosil dan mendapat perhatian dalam transisi ke ekonomi rendah karbon.
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) secara khusus melaksanakan program mandatori untuk mempercepat penggunaan biofuel. Namun program tersebut masih difokuskan pada penggunaan minyak sawit dalam bentuk B20 pada tahun 2016 dan B30 pada tahun 2020. Serta B35 yang mulai diberlakukan pada 1 Agustus lalu.
B35 merupakan campuran bahan bakar nabati (BBN) berbasis minyak kelapa sawit, yaitu Fatty Acid Methyl Esters (FAME). Dimana kadar minyak sawit 35 persen, sementara 65 persen lainnya merupakan BBM jenis solar.
Selain minyak sawit, Indonesia memiliki potensi Used Cooking Oil (UCO) atau minyak jelantah yang cukup besar sebagai komplementer biofuel berkelanjutan sebagai upaya mendukung transisi energi ramah lingkungan.
Pada 2020, konsumsi minyak goreng per kapita Indonesia 11,58 liter. Dimana besaran konsumsi minyak goreng di Indonesia per tahun sekitar 3.152.863 kiloliter (kl). Dari jumlah tersebut diasumsikan jumlah minyak jelantah yang dihasilkan sebesar 40%, sehingga tersedia sebanyak 1.261.145 kl UCO.
Researcher Bioenergy and Surfactant Research Center (SBRC), Prof. Dr. Erliza Hambali mengatakan ketersediaan minyak jelantah yang berlimpah perlu diikuti dengan upaya untuk memanfaatkannya dan meningkatkan nilai tambahnya. Salah satunya dengan mengolahnya menjadi biodiesel.
“Pemanfaatan minyak jelantah sebagai bahan baku biodiesel perlu ditindaklanjuti. Mengingat kebiasaan orang Indonesia membuang minyak jelantah tersebut ke saluran pembuangan air dan tanah. Dampaknya adalah pencemaran di tanah dan air oleh minyak jelantah. Hal ini akan menyebabkan turunnya kualitas lingkungan,” terangnya.
Erliza menambahkan pemanfaatan minyak jelantah sebagai bahan baku biodiesel dapat mengatasi permasalahan lingkungan, kesehatan, sekaligus meningkatkan nilai tambah minyak jelantah.
“Biodiesel dari minyak jelantah memiliki berbagai keunggulan dibandingkan dengan biodiesel dari minyak segar. Emisi gas rumah kaca (GRK) biodiesel dari minyak jelantah lebih rendah dibandingkan dari minyak segar,” imbuhnya.
Indonesia salah satu negara pengekspor minyak jelantah terbesar
Dilansir dari International Council on Clean Transportation 2022, “An estimate of current collection and potential collection of used cooking oil from major Asian exporting countries”, diketahui Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor minyak jelantah di dunia. Bersama dengan Tiongkok, India, Jepang, Malaysia, dan Republik Korea. Enam negara ini paling banyak mengekspor minyak jelantah ke Eropa dan Amerika.
UCO Indonesia laris di pasar internasional.Data UN Comtrade menunjukan Amerika menjadi negara tujuan utama ekspor minyak jelantah Indonesia, menyusul Belanda dan Singapura.
Researcher Traction Energy Asia, Refina Muthia Sundari mengatakan berdasarkan hasil ekstrapolasi yang dilakukan Traction di sejumlah kota besar di pulau Jawa dan Bali (Jabodetabek, Bandung, Surakarta, Semarang, Surabaya, dan Denpasar), potensi ketersediaan minyak jelantah di Indonesia dari sektor rumah tangga dan unit usaha mikro mencapai 1,2 juta kilo liter per tahun.
“Dari jumlah 1,2 juta liter tersebut bisa mengganti 8 persen sampai 10 persen komplementer untuk B30 di 2022,” katanya.
Tidak jauh berbeda dengan perhitungan timbulan minyak jelantah yang diperoleh BPS yang diolah Kementerian Perdagangan (Kemendag), menunjukan potensi timbulan minyak jelantah yang dapat dimanfaatkan menjadi biodiesel adalah 3,24 juta kiloliter dari seluruh sektor, yaitu sektor rumah tangga, UMKM, dan usaha besar. Dari 3 juta kiloliter minyak jelantah yang dikumpulkan pada 2019, sejumlah 1,6 juta kiloliter minyak jelantah berasal dari sektor rumah tangga.
Refina menambahkan, menurut pengalaman produksi biodiesel dari minyak jelantah yang dilakukan CV GEN Oil, dari 1 kilogram minyak jelantah (setara dengan 1,1 liter minyak jelantah) dapat dikonversi menjadi 1 liter biodiesel dan 250 ml gliserol sebagai produk samping (CV Gen Oil, 2022).
Sehingga angka 90 persen menjadi rujukan persentase jumlah biodiesel B100 yang dihasilkan dari jumlah minyak jelantah yang digunakan sebagai feedstock. Maka, dari total potensi minyak jelantah secara nasional sebesar 1,2 juta kiloliter dari sektor rumah tangga dan usaha mikro akan menghasilkan 1,1 juta kiloliter biodiesel B100.
Secara ekonomi, kata Refina, minyak jelantah memiliki potensi lebih murah karena tidak ada patokan harga. Biaya jual beli minyak jelantah saat ini yang terjadi di masyarakat masih merupakan kompensasi pengumpulannya saja.
“Harganya bervariasi, mulai dari Rp0 sampai Rp20.000 per liter di tingkat bank sampah,” katanya.
Secara lingkungan, lanjut Refina, penggunaan minyak jelantah tentunya lebih ramah lingkungan karena tidak ada unsur alih fungsi lahan. Selain itu, minyak jelantah yang dikumpulkan dapat mengurangi pencemaran tanah dan air dan tidak dibuang begitu saja ke saluran air.
Perlu intervensi pemerintah
Refina menambahkan untuk mendorong penggunaan minyak jelantah diperlukan intervensi pemerintah berupa regulasi yang mengatur tata kelola dan tata niaga minyak jelantah sehingga dapat digunakan menjadi bahan baku komplementer biofuel.
Berkaca dari tingginya penggunaan minyak jelantah oleh negara-negara Eropa, Uni Eropa memberlakukan kebijakan Renewable Energy Directive (RED) II sebagai langkah mengurangi emisi karbon secara global sebagai bentuk komitmen Uni Eropa terhadap Protokol Kyoto.
RED II memberi insentif pada penggunaan limbah minyak seperti minyak jelantah untuk membantu memenuhi target energi terbarukan transportasi pada tahun 2030. Selain itu RED II memberi insentif dan mewajibkan penggunaan bahan bakar terbarukan di sektor kelautan dan penerbangan sektor-sektor di Uni Eropa.
Seperti Belanda yang memanfaatkan minyak jelantah menjadi bahan bakar kendaraan dan mampu mengurangi 91,7 persen emisi karbon.
Refina mengatakan, pemerintah perlu sesegera mungkin menetapkan minyak jelantah sebagai salah satu feedstock biodiesel. Intervensi dari pemerintah dinilai cukup krusial karena masih ditemukan dampak negatif yang ditemui akibat dari pola perilaku konsumen dalam menggunakan minyak goreng dan mengelola minyak jelantah yang dihasilkan.
Selain itu, lanjut Refina, pemerintah juga perlu membuat regulasi penetapan Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) sebagai indikator yang wajib dipenuhi oleh pemerintah daerah sehingga terdapat implementasi pengumpulan minyak jelantah di daerah.
“Termasuk regulasi yang mengimbau pembatasan penggunaan minyak goreng dalam memasak agar tidak terjadi pemakaian berulang kali dan tidak membuang minyak jelantah langsung ke lingkungan untuk menambah jumlah minyak jelantah yang dapat dikumpulkan sebagai feedstock biodiesel. Termasuk adanya model pengumpulan minyak jelantah yang efektif sesuai dengan keinginan masyarakat agar mobilisasi pengumpulan minyak jelantah sebagai feedstock biodiesel dapat berjalan optimal,” pungkasnya.