Oleh Ayu Sulistyowati
INDEPENDEN--Lebih dari satu dekade, ribuan siswa sekolah menengah kejuruan (SMK) kelautan dari berbagai daerah di Indonesia, harus menjalani program sekolah untuk praktik kerja lapangan (PKL) di atas kapal berbulan-bulan. Terombang-ambing ombak berbulan-bulan demi selembar ijazah lulus.
Mereka jalani PKL tidak sesuai dengan jurusan mau nautika kapal penangkap ikan, mau teknika kapal penangkap ikan, hingga kapal niaga, semuanya sama rata praktik di kapal penangkap ikan, cumi atau kolekting. Serba jauh dari bayangan teori sekolah dengan kenyataan beban pekerjaan tak beda dengan anak buah kapal (ABK) dewasa.
Mereka hanya bisa diam, menurut, tanpa berani bertanya kepada guru pembimbing.
Pasrah dengan segala situasi dan kondisi di atas kapal tanpa bisa berkabar dengan orang tua atau keluarga. Seperti terisolasi. Bahkan terancam tak bisa pulang, tenggelam atau hilang.
Tetapi, mengapa masih saja ada anak lulusan sekolah menengah pertama (SMP) tertarik menjadi siswa SMK kelautan?
Ingin bantu orang tua
"Ya, gimana, ya. Denger cerita teman yang pernah PKL itu sepertinya enak di kapal, bisa pulang dengan banyak duit. Bisa bantu orang tua, Jadi, saya pengen juga dan ikut masuk SMK kelautan,” kata Ical (18), mantan siswa PKL SMK di Pelabuhan Benoa, Bali, asal dari Jawa Barat, Rabu (7/5/2025).
Akan tetapi, Ical benar-benar kapok tak mau lagi mengulang untuk bekerja di atas kapal penangkap ikan atau sejenisnya asal Indonesia maupun luar negeri, setelah lulus tahun ini. Cukup sekali saja, katanya.
Kalau pun terpaksa di atas kapal lagi, Ical memastikan bekerja di kapal niaga. Menurutnya, pekerjaannya tidak seberat di kapal ikan atau cumi. Kapal niaga tidak sampai sebulan menunggu bersandar. Pekerjaanya juga bersih, tidak kotor, bau, berat seperti di kapal ikan. Kapalnya juga lebih tenang di atas laut ketimbang terombang-ambing seperti kapal ikan.
Hanya saja, ia malas jika harus melalui satu tahapan kursus kompetensi khusus kapal niaga ini untuk mendapatkan sertifikat. Apalagi, tahapannya berjalan setelah lulus SMK. “Duh, bekerja di bidang lain saja yang lebih aman,” ujar Ical.
Apalagi, ia sempat mendapatkan kecelakaan di atas kapal saat bersandar untuk bongkar muatan di Benoa, sepulang berlayar. Di bagian tangannya terluka, lalu pihak perusahaan pemilik kapal membawanya ke rumah sakit. Dokter menjahit beberapa dan lebih dari seminggu harus istirahat dulu dan tidak ikut bekerja bersama teman PKL-nya yang lain.
“Ah, sudahlah, jangan diingat lagi itu. Jangan ditanya lagi. Lukanya seperti kembali perih kalau mengingatnya” ucapnya getir karena trauma.
Kembali kepada soal tergiurnya masuk SMK kelautan, ternyata alasan Ical juga dialami mantan siswa PKL dari daerah lain dan sama-sama kecewa. Tak hanya karena cerita teman, para mantan siswa itu juga mendapatkan kisah pengalaman dari saudara, atau tetangganya. Ya, karena mereka merasa miskin sehingga perlu membantu orang tua serta saudaranya untuk bertahan hidup.
Ical adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Ayah dan Ibunya bekerja sebagai buruh serabutan. Maka ia pun tergiur cerita temannya untuk melanjutkan ke jenjang SMK kelautan demi mendapatkan sejumlah uang jutaan rupiah sepulang dari PKL.
Saat ngobrol-ngobrol pengalaman dengan kakak kelas yang memiliki pengalaman PKL, Ical mengaku ada pula cerita sisi buruknya, seperti kotor, berat, tidak boleh lambat, sakit kalau masih bisa berjalan tetap bekerja, tidak bisa berkabar kepada siapa pun, makian kasar, jam kerja tidak jelas, tidak ada perbedaan PKL dan ABK. Hanya saja, meskipun tetap ada cerita sisi buruknya, seolah-olah tertutup dengan jutaan rupiahnya.
Alasan Ical memiliki kesamaan dengan cerita Arya (17) dan Davi (18). Keduanya bersama enam temannya adalah siswa PKL SMK kelautan dari Jawa Timur. Mereka mulai tinggal di atas kapal kolekting ikan, di Pelabuhan Benoa, sejak Minggu (20/4/2025).
Siswa-siswa itu diantar menyewa satu mobil dengan disetiri guru pembing. Di Benoa, mereka diserahterimakan kepada pihak kapal. Lalu guru itu pulang.
Senin (21/4/2025) sore, Arya, Davi dan temannya masih di dalam kapal. Saat itu, terdengar dari arah kapal tersebut teriakan perintah kepada para siswa PKL ini untuk mengerjakan beberapa hal di atas kapal. Mereka diminta menyiapkan peralatan, barang-barang logistik, merapikan dan membersihkan lantai kapal yang licin karena ceceran bahan bakar minyak.
“Suruh anak PKL-PKL itu bersihkan lantainya. Licin itu tadi ada minyak!” terikan perintah dari dalam kapal. Teriakan, bentakan, kata-kata kasar karena marah sering dilontarkan ABK dewasa. Ical juga mengiyakan perlakuan semacam yang dialami Arya dan teman-temannya. Caci maki bakal keluar kalau siswa PKL salah mengerjakan atau dianggap lambat bekerja.
Di luar tak jauh dari kapal bersandar, Senin sore itu, belasan lelaki dewasa anak buah kapal (ABK) dari kapal kolekting yang sama dengan siswa PKL tengah berkumpul di antara kardus-kardus makanan serta alat-alat untuk di bawa. Sementara beberapa lelaki dewasa lainnya juga terlihat berkegiatan di atas kapal.
Karena tinggal bersama ABK dewasa, otomatis semua aktivitas mulai mandi, ibadah, hingga tidur, ya, semua di atas kapal. Berada dalam satu ruangan yang sama baik ketika bekerja serta ruang untuk tidur. Aktivitas itu pun bisa terlihat dari kejauhan seperti beribadah, beberes peralatan, serta mandi. Hampir semuanya lelaki. Kapten kapal melarang dengan nada keras ketika ada perempuan akan naik kapal meski hanya sebentar saja.
Lepas pukul 18.00 WITA, akativitas di atas kapal terhenti, waktunya istirahat. “Mencari jajan dan bekal dulu, Kak, buat di atas kapal. Kata tekong (sebutan kapten kapal), kapal berangkat besok,” kata Arya bersama Davi.
Soal teriakan, kata Arya, itu suruhan bagi siswa PKL untuk membantu membersihkan kapal. “Oh, iya. Tadi itu diminta ngepel-in lantai dan bersihin kapal. Emang berminyak, sih,” lanjutnya.

Sekolah menitipkan mereka untuk PKL selama enam bulan. Jika memang enam bulan, kemungkinan, mereka akan melaut dua kali perjalanan. Karena sekali jalan, kapal kolekting biasanya membutuhkan minimal dua bulan pergi-pulang. Tugasnya, menghampiri beberapa kapal besar penangkap ikan di tengah laut untuk menyediakan jasa pengangkutan ikan hingga membawakan pesanan logistik (bahan makanan dan minuman).
Namun, Arya dan Davi menjawab tak tahu berapa lama kapal yang ditumpanginya itu akan berlayar. Soal bekal baju, mereka membawa sesuai pesan dari guru pembimbing dalam satu tas ransel. “Kami bawa beberapa baju kaos lengan panjang, celana pendek, seragam dari sekolah. Makan dan vitamin juga secukupnya. Kan, makanan sudah ditanggung kapal. Kami juga boleh kas bon di atas kapal. Bayar kas bonnya setelah mendapatkan bayaran pas balik ke Benoa lagi,” kata Davi.
Tentunya tak lupa berbekal telepon genggam. Meski mereka tahu, bakalan susah berkabar setiap saat ke orang tua atau keluarga. Namun, kata Arya, kakak kelasnya berpesan agar hati-hati dengan barang bawaannya terutama telepon genggam. Karena bisa saja hilang entah di curi, atau entah bagaimana barang itu bisa raib begitu saja tanpa ada yang mengaku, melihat atau mengambilnya.
Pesan lainnya dari kakak kelasnya, di antaranya agar siap-siap mabuk laut. Siap-siap sakit berhari-hari dengan obat seadanya. Siap-siap pasrah dengan keadaan kemana kapal melaut. Tak usah menolak perintah senior alias ABK dewasa. Makan saja yang sudah diberikan.
Pesan-pesan ini juga diterima oleh Ical. “Yang penting nurut aja kalau disuruh-suruh. Kerja, ya, kerja, gak boleh males, gak boleh cengeng. Makan, ya, makan saja apa yang disediakan. Ya, begitu pesan kakak kelasnya. Karena emang ada, sih, temen yang dianggap cengeng karena baru seminggu melaut udah pengen pulang aja. Ya, gimana caranya pulang. Kalau pun bisa pulang, ya, tunggu kapal lain yang menuju pulang ke Benoa. Nanti tekong nitipin gitu,” ujar Ical.
Siap-siap pula menerima berapa pun rupiah yang mereka berikan. “Ya, kata kakak kelas kami intinya mengikuti dan menurut saja apa kata mereka di atas kapal nanti,” kata Davi, serupa dengan Ical.

Sebelum berangkat untuk program PKL di atas kapal, para siswa harus mengikuti pelatihan Basic Safty Training (BST). Pelatihan BST ini merupakan latihan dasar untuk keselamatan dan cara untuk mencegah suatu musibah. Arya, Davi dan teman-temannya mengikuti pelatihan BST ini di Surabaya, Jawa Timur. Mereka diminta membayar biaya Rp 750 ribu per siswa kepada sekolah sebagai pengganti biaya perjalanan dari sekolah ke Surabaya. Kata Arya, pelatihannya gratis. Sedangkan Ical diminta membayar Rp 1 juta ke sekolah.
Lalu, Arya dan Davi menambahkan jika mereka pun tak ada lagi biaya untuk mengikuti program PKL ini di Benoa, selama 6 bulan. Hanya saja mereka tidak tahu apakah akan pulang sendiri atau akan dijemput guru pembimbing mereka 6 bulan mendatang.
Ketika mengingat kembali mengapa memilih SMK kelautan dengan jurusan nautika kapal penangkap ikan, alasan mereka sama-sama karena mendengarkan pengalaman tetangga yang alumni SMK kelautan. Mirip dengan Ical.
“Mereka (kakak kelas) bilang kalau bakal bawa duit banyak jutaan rupiah gitu pas pulang dari PKL. Wah, ya, saya pikir enak juga dan bisa bantu orang tua,” kata Arya dan diiyakan Davi.
Bagaimana dengan pesan guru pembimbing? Kata mereka, guru pembimbing memberi pesan normatif saja, seperti hati-hati, menurut saja dengan kapten kapal, baik-baik di atas kapal, jaga nama sekolah, jaga sikap, jangan cengeng.
“Kami beli rokok dulu, ya, Kak…,” kata Davi. Ya, rokok menjadi gaya hidup yang melekat dengan kebiasaan pelaut. Alasannya, karena udara dingin dan rokok dianggap sebagai penyelamat untuk menghangtkan badan. Kebiasan merokok pun meluas ke siswa-sisawa PKL hampir tak terkecuali. Bahkan, Arya dan Davi sudah merokok sejak masuk SMK. “Ya,nanti kalau di kapal bisa kas bon untuk membeli rokok,” lanjut Davi sambil berpamitan.
Apa yang dialami Ical, Arya dan Davi mengenai cerita-cerita pengalaman kakak kelas atau tetangga atau saudara, lebih duluan dialami Nurdin, Wahyu, dan Syukur. Nurdin (23) dan Wahyu (24) berasal dari Nusa Tenggara Barat, Suyukur berasal dari Jawa Barat. Mereka bertiga alumni SMK yang menjalani PKL di atas kapal tahun 2018.
Lagi-lagi mengatakan alasan yang sama : tergiur dengan kata-kata membawa pulang banyak uang selesai PKL. Entah mengapa, jutaan rupiah ini begitu dominan sehingga menutup segala cerita pengalaman tak menyenangkan di atas kapal, di tengah lautan selama berbulan-bulan menjalani program PKL. Setelah tiba waktunya PKL, menjalani hingga pulang kembali ke rumah, Wahyu, Nurdin, Syukur merasa jutaan rupiah yang mereka bawa pulang tak sebanding dengan beratnya kerja-kerja di atas kapal.
Biaya yang berbeda
Berat pekerjaan di kapal, tak Nurdin, Wahyu, dan Syukur pikirkan lagi. Mereka hanya ingin membantu mengembalikan segala biaya berangkat PKL ini dengan susah payah dari orang tua.
Dan biaya itu benar-benar tidak sama masing-masing SMK. Ada yang jelas dan kabur sama sekali rinciannya.
Syukur menceritakan sekolahnya meminta biaya kepada orang tua siswa untuk PKL ini Rp 7,5 juta per siswa. Alasannya, kata Syukur, biaya senilai itu dipergunakan untuk segala proses pengurusan program PKL, termasuk pelatihan BST. Seingat Syukur, sekolah sama sekali tidak merinci biaya itu untuk apa saja detilnya.
Bahkan, besaran biaya ini naik dari tahun-tahun. Sebelum-sebelumnya, kakak kelas Syukur membayar senilai Rp 5 juta. Tahun 2025 ini, adik kelasnya diminta membayar Rp 10 juta. Jadi bisa naik beberapa tahun sekali.
Jika Ical, orang tuanya harus membayar biaya ke sekolah sekitar Rp 4 juta untuk bisa ikut program PKL ini ke Benoa bersama 40 siswa. Biaya itu digunakan untuk mengurus Basic Safty Training (BST), buku pelaut (BP), transportasi ke Benoa.
Sesampainya di Benoa, Syukur pun bertemu dan mengobrol dengan beberapa teman PKL dari SMK daerah lain. Mereka saling bertukar cerita. “Saya atuh (itu) heran. Kenapa bisa berbeda-beda biaya yang harus diberikan ke sekolah untuk PKL ini. Ketemu teman sekolah lain, mereka hanya bayar Rp 2 jutaan. Bahkan ada yang bayar kurang dari sejuta rupiah,” tuturnya.
Menurut temen lain, lanjut cerita Syukur, biaya dari sekolahnya itu mahal banget. “Padahal kalo ke Benoa sendirian, perjalanannya itu gak sampai sejuta rupiah. Biaya pelatihan BST pun katanya bisa gratis atau kurang dari sejuta rupiah juga. Mana yang bener ini, sampai sekarang udah lulus hampir tujuh tahun lalu tetep aja gak paham saya,” ujar Syukur panjang lebar.
Ia pun menlanjutkan mengenai pekerjaan dan upah yang didapatkannya selama setahun “bekerja”. Ia tak menyangka pekerjaannya berat-berat banget, dan tak ada beda dengan ABK dewasa. Semua sama di atas kapal. Dan saya juga tidak tahu bagaiman hitungan soal upah. Intinya saya dapat uang dan pengalaman. Itu saja seperti niat saya, ya, mencari pengalaman kerja,” tutur Syukur.
Syukur mendapatkan sekitar Rp 24 juta selama hampir setahun menjalani program PKL di dua kapal kolekting yang berbeda. Namun dengan beban pekerjaan yang tidak beda di dua kapal itu, ia sama sekali tidak tahu bagaimana hitungan kapten kapal dalam pembagian upah itu. Dan tentu saja ia tidak berani bertanya. Sudah bisa pulang dengan selamat dan mendapatkan bagian upah saja, Syukur mengucap syukur. Uang itu cukup untuk mengganti biaya program PKL ke sekolah yang dikeluarkan orang tuanya.
“Orang tua seketika saya sampai di rumah, sudah langsung melarang bekerja di atas kapal apa pun alasannya. Saya ngerasa seperti udah gak berbentuk muka sama badan. Sedih kalau mengingat pengalaman itu dan cukup sekali saja saya merasakannya,” cerita Syukur dengan nada getir.
Selepas lulus SMK kelautan, ia benar-benar pindah haluan pekerjaan. Ia bekerja di sebuah restoran. Dan menurutnya yang terpenting adalah bekerja di daratan, tidak di lautan lepas.
Meski berat, Syukur bersama seorang temannya memilih menjalaninya setahun. Sedangkan dua temannya yang lain memilih pulang setelah enam bulan mejalani PKL. Ya, temannya tidak kuat lagi “bekerja” di atas kapal.
“Kalau bukan karena pengen dapat uang lebih dan pengalaman, saya sudah juga memilih pulang lebih cepat seperti dua teman itu. Saya memilih bertahan saja dulu biar bisa kembali modal yang sudah dikeluarkan orang tua Rp 7,5 juta itu. Kalau 6 bulan, saya hanya mendapatkan sekitar Rp 10 juta dan untungnya kan sedikit. Makanya, saya ikut lagi di kapal,” katanya.
Syukur memilih masih tinggal di Benoa, ketimbang ikut pulang dengan beberapa teman lainnya. Ia merasa kurang membawa pulang uang.
“Nah, status PKL itu, kan, pas bulan pertama aja. Abis itu, ya, siswa PKL itu seperti dianggap sama aja dengan ABK biasa, lah…. Setelah selesai bongkar muatan di Benoa, dari trip pertama itu, saya mencari kapal kolekting lainnya. Karena saya sudah memiliki KTP, jadi memudahkan untuk memilih kapal. Kan, saya sudah pernah ikut kapal sebelumnya, jadi dianggap sudah punya pengalaman. Modalnya KTP dan Buku Pelaut, aja, udah bisa pilih kapal. Hanya saja, saya gak tahu juga soal upahnya apakah diitungnya beda sama ABK biasa. Mana berani saya tanya….he..he…he…,” tuturnya.
Soal uang yang dibawa pulang para mantan siswa PKL ini dari cerita-cerita mereka, ternyata beragam jumlah rupiahnya. Upah di kapal penangkap cumi atau ikan itu bisa lebih tinggi ketimbang ikut PKL di kapal kolekting. Misalnya, kapal kolekting itu mendapatkan Rp 4 juta per 6 bulan, kapal penangkap cumi bisa mendapatkan lebih dari Rp 6 juta dengan hitungan bulan yang sama.
Ada yang membawa pulang upah PKL mulai dari Rp 4 juta, Rp 8 juta, Rp 12 juta hingga Rp 24 juta selama rentang 6 bulan sampai 12 bulan (setahun) tergantung jenis kapalnya juga. Tetapi, ada juga yang sama sekali tak mendapatkan upah sepeser pun dan kabarnya uang itu pun ada yang dikirimkan ke pihak sekolah. Dan mereka tak berani menanyakan ke sekolah. Yang penting bisa pulang itu sudah bersyukur tiada tara.
Berbeda sekolah, berbeda pula aturannya, khususnya untuk soal pengupahan ini. Begitu pula perbedaan aturan sekolah mengenai biaya program PKL yang dibebankan kepada orang tua siswa.
Tidur di ruang pengap

Jika kapal belum bersandar ke kapal lebih besar, Syukur dan teman serta ABK tidak memiliki pekerjaan bongkar muatan. Tapi mereka tetap harus bergantian menjaga layar kapal dan bukan pekerjaan mudah. Karena mereka belajar otodidak di atas kapal langsung bersama ABK dewasa.
Saat ada waktu rehat, mereka menghabiskan waktu bermain kartu, rebahan, memperbaiki alat atau jaring hingga merokok-rokok saja tanpa bisa berkabar melalui telepon genggamnya. Tak ada sinyal. Radio kapal hanya diperuntukkan untuk kebutuhan komunikasi dengan perusahaan.
Nah, kalau Ical, kapal kolekting tempatnya PKL dilengkapi permainan Playstation (PS) 3. “Lumayan buat hiburan di kapal. Kami bermain tanding sepak bola. Seru, sih, ada hiburannya,” cerita ical sambil tertawa.
Di awal-awal keberangkatan perdananya, Ical, Syukur, Nurdin maupun Wahyu dan temannya mabuk laut. Gelombang dan ombak tinggi menggerakkan kapal naik turun tak beraturan.
Meski SMK kelautan, Ical maupun Syukur bersama siswa lainnya tak pernah diajak melaut bersama guru pembimbingnya. Ia belum pernah merasakan kapal latih karena sekolahnya belum memiliki fasilitas ini. Beberapa SMK kelautan lainnya memiliki fasilitas kapal latih berasal dari hibah kementerian dan minimal memiliki alat simulator. Jadi, ya, pas lah pengalaman mereka saat perdana di atas kapal kolekting dan berangkat melaut.
Baik Ical maupun Syukur masih merasa beruntung hanya beberapa hari ketimbang temannya yang butuh hampir seminggu sakit. Obat, ya, seadanya saja untuk mengatasi sakit.
Kembali ke aktivitas di atas kapal. Karena tak ada pekerjaan saat belum bersandar dengan kapal besar, rokok menjadi konsumsi terbanyak. Siswa-sisWA PKL yang sudah mengenal rokok seperti Arya dan Davi sebelum ikut program PKL itu juga turut kas bon di atas kapal. Totalan kas bon rokok ini bisa ratusan ribu rupiah per bulannya. Kapten kapal memotong upah mereka sesuai dengan rupiah kas bon masing-masing siswa maupun ABK. Jerat utang ini melengkapi jerat eksploitasi sebagai tenaga kerja.
Ngobrol soal rebahan, itu pun jauh dari bayangannya. Siswa-siswa ini tidur bersama ABK lainnya beralaskan tikar atau matras tipis, tidak ada kasur empuk.”Tapi, saya masih beruntung dibandingkan teman lainnya, meski ruangannya sempit dan berlangit-langit rendah, kapal kami ada kasurnya,” tutur Syukur.
Rata-rata dari cerita mereka, ruangannya memang tidak luas tetapi masih mampu menampung 20-an orang untuk tidur bersama. Ruangannya berada di atas penyimpanan ikan dan di bawah ruang kendali kapal. Luasnya, seingat Syukur itu kisaran 4 meter x 5 meter. Langit-langitnya rendah. Setiap orang harus membungkukkan badan untuk masuk maupun keluar karena tinggi pintu itu tidak lebih dari 1,5 meter.
Dindingnya dikelilingi kayu dengan ukuran jendela yang kecil. Ada kipas angin tetapi tetap saja pengap. Ketika itu ruangan itu digunakan istirahat lebih dari 12 orang.
Tidurnya, cerita Syukur, ya, berjejeran, berdempetan seperti ikan di pendingin atau kalengan. “Ada jendelanya tapi di atas, berukuran sekitar 30 sentimeter x 20 sentimeter. Dibuka pagi sampai sore saja, kalau malam di tutup karena dingin banget. Jadi udaranya melalui sela-sela dinding kayu saja,” cerita Syukur.
Soal makan di atas kapal dari pengalaman Syukur, ada tukang masaknya. Setiap hari mendapatkan jatah makan dua kali. Lauknya juga beragam untuk teman nasi, ada lauk ikan, kadang telur, sayuran, ayam, menyesuaikan dari stok perbekalan makanan.
Selain mendapatkan jatah makan tersebut, lanjutnya, siswa PKL dan ABK mendapatkan jatah mi instan satu dus per orang. Mi instan ini, ya, seperti dianggap penyelamat jika bekal makanan ternyata menipis atau habis di tengah lautan. Pengisian stok makanan tentunya menunggu kapal bersandar entah di pelabuhan mana selama melaut.
“Kalau kami, mi instan itu dimasak bersamaan di panci besar untuk dimakan bersama-sama di siang hari. Makan nasi baru di pagi hari dan malam hari,” tutur Ical.
Saat di kapal kolekting ini, tugasnya ketika kapal merapat ke kapal penangkap ikan. “Nah, kami semua yang berada di atas kapal mulai bekerja. Mengangkut dan memindahkan barang-barang dari kapal kami ke kapal mereka begitu sebaliknya. Kalau ikannya, menggunakan alat untuk memindahkannya. Wah, gila aja di angkat pake tenaga sendiri. Satu ikan itu bisa ratusan kilogram beratnya. Dan itu capek banget selesainya,” cerita Syukur mengenang yang ia kerjakan di atas kapal. Berat, bau anyir, kotor, licin dan riskan tergelincir hingga tenggelam.
Satu angkatan dari ingatan Syukur terdapat 50 orang. Dan kurang dari lima orang saja yang melanjutkan bekerja sesuai dengan jurusan vokasinya. Mereka tengah bekerja di kapal penangkap ikan dari Jepang. Selebihnya, kata Syukur, memilih bekerja bukan di atas kapal maupun pelabuhan.
Jauh dari teori

Sebelum berangkat, meski sudah mendapatkan cerita-cerita dari kakak kelas maupun teman atau saudara bagaimana pekerjaan di kapal nanti, siswa PKL berharap teori tak jauh beda dengan praktik. Kenyataannya, mereka menghadapi keduanya berbeda. Banyak hal di atas kapal saat di tengah lautan lepas, belum pernah diinformasikan guru.
Buat Syukur,Ical maupun Wahyu dan Nurdin terkaget-kaget dengan segala kondisi kapal. Ia hampir tidak pernah melihat alat dan ragam pekerjaan yang ada di atas kapal. Sekolahnya tidak pernah mengajak praktik naik kapal sebelum benar-benar melakoni PKL.
“Ya, kami hanya belajar mengenal laut melalui simulator. Gerakan kapal terombang-ambing itu tak terasa dengan simulator sekolah. Beda banget, lah…,” kata Nurdin.
Dan hal ini juga dirasakan Arya dan Davi. Keduanya pertama kali naik kapal dan merasakan melaut itu ketika menuju Benoa, Bali, dari Jawa Timur, melalui penyeberangan Ketapang-Jembrana. “Ya, khawatir juga nanti pas udah melaut. Sepertinya bakalan mabuk laut nih,” kata Arya, diikuti tawa oleh Davi.
“Ya, awal-awal itu mabuk laut, sakit dan bener-bener kaget. Lama-lama, ya, dibiasakan saja. Mau bagaimana lagi… jalani saja,” kata Nurdin sambil tertawa.
Di kapal penangkap cumi, pekerjaan memancing cumi itu di malam hari hingga dini hari. Ada juga pagi hari. Kala siang menjelang sore hari, mereka istirahat.
Nurdin pun belajar dari ABK dewasa bagaimana cara memancing cumi. “Ikuti saja aturan dan cara mancing dari ABK dewasa itu. Terkadang meraka marah-marah. Bagaimana, ya, saya belajarnya jurusan nautika kapal ikan. Kami hanya mendapatkan pelajaran teori cara memancing cumi di sekolah, sebagai pengetahuan saja. Dan itu beneran berbeda dengan kenyataannya saat melakoni sendiri di kapal. Lama-lamajadi biasa,” keluh Nurdin.
Keluhan juga datang dari Ical. “Saya ini jurusan teknikal kapal penangkap ikan. Pelajarannya bagaimana mengenai seluk beluk mesin kapal. Sedikit soal navigasi. Pas PKL, saya tidak memegang mesin kapal tetapi membantu bongkar muat saja urusannya. Awal bingung juga dan sempat juga kena marah-marah ABK, kena makian kasar juga. Kalau tekong gak marah, hanya meminta ABK ajarin siswa PKL. Gitu aja. Kita mah nurut dan diem aja dah…liatin cara kerjanya ABK dewasa gitu,” keluh Ical.
Ical juga menceritakan temannya yang bernasib sama saat PKL di atas kapal. Mereka datang bersamaan 40 orang dan tersebar di beberapa kapal di Benoa. Tidak bisa memilih. Guru yang mendampingi meminta mereka mengikuti saja kapal mana yang mau menerima siswa PKL. Tak ada penyesuaian dengan jurusan yang dipelajari siswa.
Selama belajar di segala jurusan SMK kelautan, semua teori hanya dilihat di lembar buku dan cerita dari para guru sekolahnya atau kadang melihat video. Ketrampilan seperti apa yang diharapkan dari program PKL atau vokasi kelautan karena PKL yang dijalankannya tidak sesuai dengan jurusannya.
“Wah, awal-awal itu ngerasa panas banget pas memancing di malam hari. Panas karena banyak banget lampunya yang dinyalakan. Pakai bajunya dobel-dobel biar gak terlalu panas banget terkena sinar lampu-lampu di atas kapal. Wih, seperti kota mengapung atau sedang ada pesta. Kapal-kapal penangkap cumi berjajar belasan di atas laut dengan ratusan lampu menyala bersama di malam hari,” cerita Nurdin.
Ya, kapal penangkap cumi itu dilengkapi dengan lampu-lampu. Satu kapal itu bisa lebih dari 20 lampu. Satu lampunya menggunakan 500 watt atau bisa lebih wattnya. Ketika itu dinyalakan bersamaan di malam hari, rasanya akan seperti kita berada di siang bolong terpapar sinar matahari.
Maka pemancing cumi yang duduk berjajar di pinggir bibir kapal itu selalu mengenakan baju lengan panjang dan tebal atau lebih dari 1 lembar baju di pakai bersamaan. Lalu mengenakan penutup muka juga dan topi.
Pastinya paparan lampu yang mungkin setara dengan sinar matahari di siang hari itu tidak manusiawi untuk siswa PKL yang masih di bawah umur. Mereka masih tergolong anak-anak. Dan yang terjadi kesemua itu adanya pembiaran dari orang dewasa. Lagi-lagi eksploitasi tenaga dan rentan kesehatan fisik hingga psikis.
Seperti Ical, Syukur tegas berkata tak ingin mengulang lagi. Ia tak akan mau mengambil tawaran atau melamar bekerja di atas kapal penangkap ikan apa pun, termasuk kapal kolekting.
“Saya cukup sekali saja memiliki pengalaman kerja di atas kapal. Orang tua juga tak memberikan ijin bekerja kembali ke kapal ikan atau semacamnya, lah. Gak mau mengulang lagi,” katanya
Sementara Nurdin dan Wahyu tetap masih terarik bekerja di atas kapal. Hanya saja berbeda tugas dan pekerjaanya. Yang pasti bukan lagi kapal penangkap cumi atau ikan atau sejenisnya seperti yang pernah dilaluinya semasa program PKL. Kapok, katanya…
Modus tenaga murah sampai gratisan
Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, lembaga nasional sebagai aliansi yang di antaranya peduli terhadap praktik penangkapan ikan tidak ramah lingkungan, kemiskinan, hingga praktik penangkapan ikan yang berprespektif hak asasi manusia, ini mengecam segala program siswa PKL SMK kelautan terutama di atas kapal yang melaut berbulan-bulan tanpa kepastian bersama ABK dewasa.
“Namun, realitasnya berbeda. Sistem pendidikan yang terintegrasi dengan kebutuhan industri berujung pada eksploitasi. Alih-alih fokus pada pengembangan keterampilan peserta didik, perusahaan justru melihat PKL dan magang sebagai kesempatan untuk memperoleh tenaga kerja gratis tanpa kewajiban memberikan gaji atau jaminan sosial,” kata Laode Hardiani, Tim DFW Indonesia yang berada di Bali.
Karenanya, lanjut Laode, program PKL ini sudah jauh dari tujuannya menciptakan sumber daya manusia (SDM) berkualitas dan berkompetensi untuk persiapan menghadapi dunia industri.
Laode beberapa kali mendapati siswa PKL SMK kelautan ini ketika tengah mendampingi atau melakukan survei mengenai kerja-kerja serta hak asasi manusia (HAM) dari ABK kapal-kapal di Benoa. Ternyata, banyak dari mereka benar-benar tidak paham bagaimana dunia kerja di atas kapal penangkap ikan, cumi maupun kolekting. Biasanya siswa-siswa ini berdatangan untuk PKL di bulan Maret-April-Mei.
Berdasarkan pengakuan beberapa siswa tersebut, realitanya program siswa PKL SMK menjadi modus eksploitasi tenaga kerja anak. Para siswa dipaksa bekerja dalam kondisi yang tidak sesuai dengan aturan perburuhan, tanpa jaminan keselamatan, kesehatan, dan upah yang layak. Ini bukan sekadar isu ketenagakerjaan, melainkan juga pelanggaran terhadap hak-hak dasar peserta didik.
Kemudian dari sisi hubungan antara lembaga pendidikan (sekolah) dan perusahaan pun seringkali lebih mengutamakan keuntungan daripada melindungi peserta didik. Perusahaan melihat program magang sebagai cara untuk mendapatkan tenaga kerja murah. Sedangkan bagi sekolah juga diuntungkan karena meningkatkan reputasi terutama bagi calon siswa.
Sayangnya, siswa tetap pihak yang paling dirugikan. Mereka dieksploitasi sebagai tenaga kerja yang tidak dibayar dengan layak, tanpa mendapatkan pengalaman kerja yang bermakna atau bimbingan yang cukup untuk meningkatkan keterampilan (kompetensi).
Siswa PKL SMK itu berbeda dengan pemagangan (pelatihan kerja). Perbedaan itu dijelaskan dalam tabel. Meski berbeda, keduanya tetap memiliki sistem yang harus mengendepankan hak asasi manusia. Tetap mengacu pada program yang meliputi teori dan praktik simulasi, sesuai kurikulum, kelengkapan keselamatan dan kesehatan kerja, serta kesemuanya di bawah pengawasan guru atau pembimbing pemagangan.
Nah, Laode membandingkan program PKL dengan pemagangan ini. Jika mengacu Peraturan Menteri Ketenagakerjaan RI Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri, beban kerja tenaga magang eharusnya lebih ringan dan tidak dapat disamakan dengan pekerja biasa. Apalagi, siswa PKL SMK sudah pasti beban kerjanya juga tidak sama dengan pemagang.
Jika perusahaan melanggar aturan dan tidak memberikan hak yang seharusnya diterima peserta magang, tindakan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan dapat diterapkan oleh lembaga pemerintahan terkait. Bagaimana dengan pelanggaran-pelanggaran selama kepada siswa PKL SMK kelautan ini? Sudahkah negara hadir melindungi mereka?
Menurut Kementerian Ketenagakerjaan, siswa SMK yang menjalani Praktik Kerja Lapangan (PKL) atau magang bukanlah pekerja, sehingga tidak wajib diberikan gaji. PKL atau magang merupakan bagian dari program pendidikan dan pelatihan, dan peserta PKL menjalani pelatihan, bukan pekerjaan.
Namun, peserta PKL tetap berhak menerima uang saku yang besarnya diatur dalam perjanjian pemagangan. Perjanjian pemagangan mengatur hak dan kewajiban peserta dan penyelenggara magang, program pemagangan, jangka waktu, serta besaran uang saku yang meliputi biaya transportasi, uang makan, dan insentif peserta pemagangan. Jadi, pemberian uang saku kepada peserta PKL adalah praktik yang diatur dalam peraturan resmi. Intensitas pekerjaan dan durasi kerja berbeda.
Selama Praktik Kerja Lapangan (PKL) di perusahaan, siswa SMK bisa mendapatkan gaji atau tidak tergantung pada perusahaan dan peraturan yang berlaku. Beberapa perusahaan mungkin memberikan gaji kepada siswa atau mahasiswa selama PKL sebagai bentuk kompensasi atas pekerjaan yang mereka lakukan, sementara yang lain mungkin tidak memberikan gaji. Gaji yang diterima dapat bervariasi tergantung pada perusahaan, bagian atau provinsi tempat PKL dilakukan.
Namun, jika dilihat dari beban dan risiko kerja yang harus ditanggung Siswa PKL sama dengan ABK Lain, Siswa PKL harus diberikan pemahaman terkait tugas dan tanggung jawab yang akan mereka emban selama PKL diatas kapal. Ini termasuk pemahaman tentang pekerjaan yang akan mereka lakukan dan upah kerja yang akan merka dapatkan. Sehingga para Siswa PKL yang masih menjalankan fase pendidikan formal di penangkapan ikan dapat terhindar pada praktik kerja paksa dan indikasi pelanggaran HAM yang potensial dialami para siswa PKL diatas kapal penangka ikan.
“Perturan untuk siswa PKL SMK kelautan itu belum diatur jelas, sehingga menimbulkan ketidakpastian dan potensi pelanggaran hak-hak siswa. Untuk itu harus dilakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap pelaksanaannya. Memastikan kondisi kerja yang layak, kepatuhan terhadap peraturan, dan perlindungan terhadap eksploitasi anak. Pemerintah harus hadir untuk memastikan pendidikan berjalan sesuai dengan fungsi idealnya,” tegas Laode.
Menurutnya, sekolah memastikan siswa menjalankan tugas sesuai kurikulum, sementara pihak perusahaan berkewajiban menciptakan lingkungan belajar yang aman dan sesuai, bukan lebih memanfaatkan tenaga siswa PKL untuk kepentingan perusahaan daripada mendidik siswa sesuai program PKL.
Selain itu, lanjut Laode, siswa PKL harus diberikan pemahaman terkait tugas dan tanggung jawab yang akan mereka emban selama PKL diatas kapal. “Ini termasuk pemahaman tentang pekerjaan yang akan mereka lakukan dan upah kerja yang akan mereka dapatkan,” katanya.

Masih wacana PKL di kapal latih
Salah satu provinsi yang memiliki SMK jurusan kelautan adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan jumlah 15 sekolah. Yayan Heryana, Staf Bidang SMK Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTB, mengatakan sekolah vokasi kelautan di provinsinya itu aktif mengirimkan siswa PKL ke Bali, Jawa Tengah maupun ke provinsi lain yang memiliki pelabuhan perikanan.
“Siswa PKL dari provinsi ini banyak setiap tahun. Hanya saja, kami memiliki kelemahan dalam mengawasi pelaksanaan PKL di atas kapal ketika berada di tengah laut. Kalau sudah ditengah lautan, kan, sulit mendapatkan sinyal untuk alat komunikasi telepon genggam, tidak ada kamera pengawas yang tersambung ke sekolah maupun dinas pendidikan, pembagian kerja dengan ABK sepertinya juga tidak jelas,” kata Yayan.
Soal eksploitasi, Yayan tidak membantah. “Serba rentan soal pekerjaan, jam kerja yang tidak berbeda dengan ABK dewasa. Belum lagi persoalan keselamatan kerja dan kesehatan. Memang seperti menjadi buruh murah di atas kapal. Kan, banyak dari mereka mendapatkan uang sepulang dari program PKL ini,” lanjutnya.
Yayan mengatakan dinas tengah mengevaluasi dan merencanakan usulan ke pusat agar program PKL SMK kelautan ini tidak perlu mengirimkan siswa-siswa ke kapal-kapal perusahaan untuk berlayar ke tengah lautan berbulan-bulan. Mereka cukup menjalani program PKL di atas kapal latih. Sekolah yang mendatangkan profesional atau mengundang perusahaan untuk melatih siswa.
Di NTB, berdasarkan catatan Yayan, terdapat 11 unit kapal latih bantuan dari pemerintah pusat tahun 2018. Namun tahun 2025, kapal latih yang masih layak beroperasi hanya 4 unit. Kapal ini berukuran 30 GT (gross tonnage) dan merupakan kapal standar yang digunakan untuk menangkap ikan di laut. Peralatannya cukup lengkap dengan jaring, alat tangkap, navigasi. Sayangnya, pemerintah pusat tidak memberikan bantuan untuk operasional atau perawatan kapal latih. Dinas pun tak berdaya membantu dari anggaran daerah.
Keberadaan kapal latih ini ternyata tak sepenuhnya membantu. Meski ketersediaan kapal latih ini, ujar Yayan, untuk membantu siswa sebelum benar-benar PKL di laut lepas. Masih ada hal-hal yang memberatkan di antaranya operasional kapal latih ini memberatkan sekolah dan tidak sepenuhnya peralatannya itu sama dengan kapal penangkap ikan atau cumi atau kolekting. Ya, pastilah jauh teori dari praktiknya di dunia industri.
Lagi-lagi persoalan klasik mengenai anggaran. Bagaimana pun butuh jutaan rupiah untuk menjaga kapal tetap bisa bersih, tetap bisa dijalankan, tetap terjaga bahan bakarnya, hingga perawatan peralatan lainnya di atas kapal. Begitu pula butuh biaya mendatangkan profesional sebagai tenaga latih siswa.
“Yang saya heran, mengapa pihak otoritas pelabuhan itu mengejar dan menangkap kapal latih ini ketika sedang beroperasi di laut. Padahal, kapal latih itu sedang digunakan untuk pembelajaran siswa-siswa PKL SMK kelautan terkait teori-teori penangkapan ikan, navigasi serta teori lainnya. Kami juga belum bisa memahami hal itu padahal sudah jelas itu kapal latih,” kata Yayan.
Mengenai keselamatan dan kesehatan siswa, apakah perlu melepaskan siswa PKL di tengah laut, dilema pengawasan di atas kapal hingga pengupahan atau honor siswa PKL ini masih sulit dijelaskan oleh Yayan. Hanya saja, Dinas mengajukan adanya wacana agar siswa PKL ini tidak perlu melaut ikut kapal-kapal penangkap ikan atau kapal kolekting atau kapal penangkap cumi di tengah samudra luas.
Yayan menambahkan rencana untuk mengusulkan agar siswa bisa praktik di kapal-kapal latih saja dengan mendatangkan profesional dan pihak industri perikanan atau niaga. Tapi, ya, itu masih wacana dari tahun ke tahun.
Kepala SMK Negeri 1 Tarano, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, Andi Fausih AR, setuju jika memang wacana siswa SMK kelautan itu PKL saja di kapal latih. Banyak hal positifnya dibandingkan melepas siswa PKL di tengah lautan.
“Wacana bagus jika memang itu bisa terealisasi. Yang terpenting, alat-alat penangkap ikan di kapal latih juga harus tersedia maksimal. Kapal latih itu bisa beroperasi di Teluk Saleh. Kan, teluk ini memiliki kekayaann ikan. Tentunya, tinggal bagaimana semua yang berkepentingan di dunia pendidikan, khususnya SMK kelautan/kemaritiman ini dapat duduk bersama demi masa depan anak-anak,” katanya.
Belum lagi, Yayan mengaku khawatir dengan adanya siswa perempuan ikut melaut dengan kapal niaga. Alasannya, kapten kapal tersebut alumni dari SMK yang sama dengan siswa perempuan PKL ini. Maka, pihak sekolah merasa siswa perempuan itu aman karena adanya jaminan kapten kapal dari alumni. Dinas merasa masih ragu dengan jaminan tersebut karena kembali ke persoalan pengawasan.
Sedangakan Andi memastikan siswa perempuan yang ikut kapal niaga tetap dalam pengawasannya, meskipun khawatir itu juga suatu kewajaran. “Kami terus berkomunikasi. Kami terus memantau. Siswa ini juga terus mengabarkan keberadaannya baik-baik saja,” ujarnya.
Begitu pula bagi Andi, siswa-siswa PKL-nya baik-baik saja selama di kapal. Katanya, siswanya tidak ada yang mengeluh. “Mereka justru mengabarkan senang dan saat di atas kapal, mereka berbagi kesenangan mendapat tangkapan banyak,” lanjutnya.
Menurutnya, ada beberapa siswa justru ingin ikut PKL di kapal penangkap cumi. “Ya, kapal cumi, kan, memang paling basah,” ucap Andi. Basah ini artinya memiliki peluang mendapatkan uang/upah/pemberian hasil tangkapan untuk dibawa pulang selepas PKL lebih banyak dibandingkan kapal niaga atau kapal penangkap ikan atau kapal lainnya. Maka, ia tidak heran dan melarang mereka yang mendapatkan PKL di kapal penangkap cumi.
Lagi-lagi, realitaanya, pengalaman dari beberapa mantan siswa PKL SMK kelautan itu tetap saja merana di atas kapal cumi sekalipun. Meski pulang membawa puluhan juta rupiah dari pembagian hasil kerja dari kapten kapal.
Andi hanya menarik serta melepaskan nafas panjang dan memilih diam mengenai apakah tega dengan tidak ada perbedaan pekerjaan siswa PKL dengan ABK. Apalagi melihat kondisi kerasnya kehidupan di industri perikanan kelautan ini. “Ya, memang sulit. Kami pernah melihat siswa sekolah yang PKL di Benoa, sedang bongkar muatan ikan. Dan,…ya, begitulah…,” katanya.
Jika memang SMK adalah lembaga pendidikan menengah yang memfokuskan pada pendidikan vokasi, di mana letak ketrampilan mereka? Para siswa SMK kelautan mendapatkan bekal teori dan dilatih secara langsung untuk memiliki keterampilan praktis.
(BERSAMBUNG )
Tulisan ini didukung liputan beasiswa oleh Environmental Justice Foundation (EJF) dan Project Multatuli