Polisi, Narkoba, dan Pemerasan (Bagian II): Keluarga Pinjam Rentenir Hingga Jual Rumah

INDEPENDEN- Rudi (bukan nama sebenarnya) tidak menyangka saudaranya (Rozik) ditangkap polisi karena kasus obat ilegal pada Agustus 2024. Ia merasa tidak berdaya ketika adiknya menjadi korban pemerasan yang diduga dilakukan polisi. Apalagi saudaranya merupakan perantau yang masuk kategori kurang mampu secara ekonomi.

“Waktu itu tidak punya power. Saya bertanya mengapa langsung sepakat? Tapi karena sudah sepakat, saya tidak bisa berbuat apa-apa, ” ujar Rudi kepada Koreksi di Jakarta pada 14 September 2024. 

Sepakat yang dimaksud Rudi yaitu kawan saudaranya telah membayar uang yang diduga diminta polisi sebesar Rp80 juta, untuk dua orang dengan masing-masing Rp40 juta.

Rudi juga mengatakan pasrah dengan kondisi saudaranya yang sakit dan trauma akibat penyiksaan di kantor polisi. Saudaranya disetrum polisi agar memberikan informasi penjual obat ilegal. Akibat setruman listrik dengan tegangan tinggi tersebut, tubuh Rozik lemas tak berdaya dan mulutnya kering. Ia sempat memohon diberi air, tetapi tidak diberikan oleh polisi. 

Bahkan ia sempat ditelanjangi dan diancam akan disetrum polisi pada bagian vital di bawah tubuhnya. Setelah bebas beberapa bulan, Rozik masih sering merasa demam, lemas, dan kekurangan obat. Namun, keluarga tidak membawa saudaranya ke rumah sakit karena tidak ada biaya. 

“Mau menuntut seperti apa? Apa kita melakukan visum akan menyelesaikan masalah juga,” tambah Rudi. 

Tak hanya itu, Rudi mengatakan saudaranya harus menjual usaha untuk membayar utang kepada kawannya yang menalangi uang untuk pihak yang diduga polisi. Kini keluarganya masih berupaya dan mencari cara untuk melunasi sisa utang tersebut ke kawan saudaranya.

Tidak jauh berbeda dengan yang dialami Joko (bukan nama sebenarnya). Menurut Joko, keluarganya terpaksa mengeluarkan uang lebih dari Rp50 juta untuk membebaskan saudaranya yang ditangkap polisi pada awal 2024 lalu. Saudara Joko ditangkap polisi di rumahnya karena membeli tembakau sintesis di Jakarta, yang sebelumnya dipesan melalui media sosial. 

“Dia (baca: saudara Joko) membeli barang itu Rp200 ribu, terdapat dua plastik. Lalu setelah itu saudara dibawa untuk diperiksa Polda Metro Jaya,” tutur Joko kepada Koreksi di Bogor pada 31 Oktober 2024.

Ilustrasi tembakau sintesis. (Foto: Pixabay)

Pada hari yang sama, Joko mendatangi Polda Metro Jaya pada siang hari. Namun, ia tidak bertemu dengan penyidik, melainkan hanya dipertemukan dengan seorang pengacara. Kepada Joko, pengacara menjelaskan kasus saudaranya akan dinaikkan ke tingkat penyidikan. Sebab, barang bukti yang dikantongi polisi di atas 1 gram. 

Menurut Joko, keluarga sempat mengusulkan agar saudaranya direhabilitasi karena masih anak sekolah dan tidak pernah berhadapan dengan hukum. 

“Lalu mereka (baca: pengacara) bilang, kalau mau mengajukan rehabilitasi harus lewat sidang. Setelah itu, mereka ngomong kalau mau bebas ada nilai sekian begitu,” ujar Joko. 

Joko menjelaskan pengacara tidak menyebut nominal untuk pembebasan saudaranya. Namun, ketika keluarga menyebut nominal Rp30 juta, pengacara tersebut  mengatakan uang tersebut belum cukup. Kata dia, pengacara menjelaskan butuh uang ratusan juta rupiah untuk menghentikan kasus naik ke tingkat penyidikan. 

Klaim tawaran bantuan dari pengacara tersebut kemudian beralih menjadi teror. Pengacara tersebut hampir setiap hari menghubungi keluarga Joko agar mengupayakan uang ratusan juta rupiah untuk pembebasan saudaranya. Bahkan dengan mengingatkan keluarga Joko agar menjual barang-barang di rumah untuk uang tebusan tersebut.

“Setiap hari bahkan telpon bisa sepuluh kali lebih. Whatsapp istilahnya terus,” kata Joko.

Keluarga Joko akhirnya menyerah dan memberikan uang tunai sebanyak Rp50 juta kepada pengacara untuk membebaskan saudaranya. Selain itu, ia juga diminta uang senilai Rp2 juta oleh seseorang yang melakukan assessment atau penilaian dalam kasus ini. Dengan demikian total uang yang dikeluarkan keluarga Joko sejumlah Rp52 juta. Saudara Joko pun dibebaskan setelah proses tersebut.

Joko mengaku uang tebusan tersebut merupakan patungan dari keluarga mulai dari ibu, kakek, hingga saudara lain. Termasuk juga meminjam ke banyak pihak karena sulit mengumpulkan uang lebih dari Rp50 juta dalam waktu yang singkat.

Kasus tersebut juga membuat saudara Joko dihantui rasa bersalah kepada keluarga. Menurut Joko, saudaranya membutuhkan waktu yang lama untuk mau bertemu dengan anggota keluarga lain. Belum lagi, trauma yang dialami anggota keluarga lain karena teror permintaan uang secara terus menerus yang menimbulkan tekanan psikologis yang dapat membahayakan keselamatan jiwa, terutama anggota keluarga yang sudah lanjut usia. 

Koreksi juga mendapat informasi dari korban pemerasan terkait kasus narkoba, yang keluarganya harus menjual rumah untuk membebaskannya. Hal tersebut seperti yang disampaikan Anna (bukan nama sebenarnya) yang beberapa kali menjadi korban pemerasan yang diduga dilakukan polisi. 

Pendamping korban pemerasan kasus narkoba di Jakarta Barat, Puspa Yunita juga memiliki cerita terkait dampak pemerasan dalam kasus narkoba. Ia mengatakan kerap dimintai bantuan oleh orang tua yang anaknya ditangkap polisi terkait kasus narkoba.

Puspa Yunita saat diwawancara Koreksi di Jakarta pada 7 Oktober 2024. (Foto: Koreksi)

“Anak mereka tidak pulang selama tiga hari, tiba-tiba polisi datang dan meminta para orang tua ke Polsek. Mereka (baca: polisi) meminta Rp10-20 juta,” ujar Puspa kepada Koreksi di Jakarta pada 7 Oktober 2024. 

Menurutnya, penangkapan-penangkapan terkait kasus narkoba pada umumnya terjadi pada momentum tertentu. Semisal menjelang perayaan hari besar keagamaan, tahun baru, dan ajaran baru sekolah. Ia mengamati hampir setiap pekan ada penangkapan pada momen-momen tersebut di sekitar tempat tinggalnya.

“Kalau kita terhubung dengan jaringan yang lain, mungkin setiap hari ada saja penangkapan kasus narkoba di Jakarta,” ujar Puspa.

Puspa biasanya menyarankan kepada orang tua yang anaknya ditangkap agar tidak memenuhi permintaan uang dari pihak yang diduga polisi. Ia menyarankan para orang tua agar membiarkan proses hukum berjalan hingga tiga hari. Sebab, berdasarkan pengalaman Puspa, aparat akan mengarahkan orang yang ditangkap ke panti rehabilitasi setelah tiga hari. 

Namun, sebagian besar orang tua takut anaknya akan dipukuli atau disiksa polisi, sehingga mereka menyerah dengan memberikan sejumlah uang.

“Menceritakan ini, saya merasa gagal sekali. Itu bukan solusi, meminjam uang pada rentenir dengan bunga yang tidak masuk akal,” ujar Puspa kepada Koreksi.

Menurut Puspa, opsi meminjam uang tersebut dipilih warga sekitar karena sebagian besar dari mereka berasal dari orang miskin atau kurang mampu. 

Forum Akar Rumput Indonesia (FARI) yang merupakan organisasi advokasi dan pendampingan hukum untuk pengguna narkoba, juga memiliki catatan terkait hal ini. Koordinator FARI, Dicky Sulaeman, menyebut lembaganya menerima laporan sebanyak 57 kasus narkoba pada 2024. Laporan tersebut tersebar di wilayah Jabodetabek, Sidoarjo, Semarang, Medan, dan Palembang. Dua puluh empat di antaranya merupakan kasus pemerasan yang diduga dilakukan pihak polisi dengan nilai kisaran Rp3 juta hingga Rp300 juta. Enam belas kasus lanjut ke ranah hukum dan 20 kasus di antaranya mendapat rujukan ke fasilitas rehabilitasi swasta. 

Riset Aksi Keadilan Indonesia

Catatan ini juga senada dengan riset Yayasan Aksi Keadilan Indonesia (AKSI) bertajuk “Perspektif Klien terhadap Rehabilitasi Napza Rujukan Hukum di Jabodetabek” yang diterbitkan pada 2022. Penelitian tersebut  melibatkan 41 responden yang pernah terjerat kasus narkoba yang didampingi AKSI, namun kasusnya telah selesai pada 2020-2021. Adapun jumlah orang yang didampingi AKSI pada periode tersebut sejumlah 141 orang, tapi yang bersedia dan bisa menjadi responden sebanyak 41 orang.

Sebagian besar responden memiliki perkerjaan, mulai dari wiraswasta (29,3 persen), pekerjaan tidak tetap atau serabutan (22 persen), pekerja swasta (17,1 persen), driver/ojek online (9,8 persen), dan staf LSM (2,4 persen). Lainnya 14,6 persen responden tidak memiliki perkerjaan dan 4,9 persen masih berstatus sebagai pelajar/mahasiswa.

Dalam riset tersebut terungkap pada proses hukum, sebanyak 30 responden mendapatkan kekerasan verbal, 24 responden mendapatkan kekerasan fisik/psikis, dan 28 orang mendapat kekerasan ekonomi/upaya pemerasan. 

Infografis AKSI yang diambil dari riset Yayasan Aksi Keadilan Indonesia (AKSI) bertajuk “Perspektif Klien terhadap Rehabilitasi Napza Rujukan Hukum di Jabodetabek” yang diterbitkan pada 2022.

Kekerasan verbal yang diterima responden, pasangan atau keluarga diduga dilakukan polisi saat penangkapan, interogasi, dan pembuatan berita acara penangkapan (BAP). Sedangkan kekerasan fisik dan psikis yang diterima oleh responden diduga dilakukan polisi saat penangkapan, interogasi atau pembuatan BAP, dan ketika di dalam sel oleh tahanan lain atas suruhan petugas.

Adapun untuk kekerasan ekonomi atau upaya pemerasan dilakukan kepada responden, pasangan dan keluarga yang diduga dilakukan polisi dan staf rehabilitasi ketika meminta menyediakan sejumlah uang untuk tebusan atau biaya rehabilitasi tanpa peruntukan dan perhitungan yang jelas.

Riset AKSI juga mengungkap nilai pemerasan minimal sebesar Rp7.500.000 dan maksimal Rp90.000.000, dengan rerata Rp28.700.000. Sedangkan kekerasan ekonomi/upaya pemerasan dalam rehabilitasi dengan rerata Rp14.130.000 dan maksimal Rp60 juta.

Tulisan ini merupakan republikasi berita yang naik di portal Koreksi.org pada 7 Januari 2025.  

kali dilihat