Ki Ngawur Permana yang Didakwa Nodai Agama
Alnoldy Bahari alias Ki Ngawur Permana (menghadap hakim) saat mengikuti persidangan di Pengadilan Negeri Pandeglang, Banten, Selasa (27/3) lalu.
Bantu kami terus meneliti dan menginformasikan. Kami sangat berterima kasih kepada semua yang telah mendukung kami
bayar sekarangIndependen, Jakarta -- Seorang perempuan paruh baya duduk di teras belakang Pengadilan Negeri Pandeglang Provinsi Banten. Pandangannya terarah pada pintu sel transit tahanan. Ia tak menghiraukan lalu lalang sekitar 15 polisi Sabhara Polres Pandeglang pagi itu.
Lima belas menit kemudian mobil hitam bertuliskan "Mobil Tahanan" memasuki bagian parkir sisi kiri gedung pengadilan. Satu persatu penumpang dalam mobil itu beringsut keluar, menuruni mobil dengan borgol di pergelangan tangan.
Mereka melangkah beriringan menuju sel transit tahanan. Semua memakai kopiah hitam, baju putih, dan celana hitam. “Yang pakai ransel hitam suami saya,” ujar Millah Bahari kepada Independen.id, Selasa (27/3) lalu.
Tak berapa lama kemudian perempuan itu menyusul masuk ke dalam sel transit. Dia menyerahkan baju koko putih baru untuk dipakai sang suami. Millah menganggap baju putih sebelumnya tak layak lagi dipakai di depan majelis hakim.
Millah adalah istri dari Alnoldy Bahari alias Ki Ngawur Permana terdakwa kasus penodaan agama dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) di Pandeglang Banten. Ki Ngawur Permana merupakan nama pena Alnoldy, yang juga penulis buku "Kitab Sihir: Rahasia Kuno" Buku tersebut dia tulis bersama Millah yang punya nama pena Nyi Damar Sagiri.
Sidang ke sembilan yang digelar pagi itu menjadwalkan pemeriksaan terdakwa. Karena pentingya agenda tersebut, Millah merasa perlu untuk membeli pakaian baru terbaik agar suaminya lebih percaya diri menghadapi pertanyaan-pertanyaan dari majelis hakim maupun jaksa penuntut umum.
Sebenarnya, kata Millah, setiap melihat sang suami dengan tangan terborgol hatinya sangat terpukul. Tapi, dia mengaku harus tetap terlihat tegar, tersenyum, dan semangat di depan sang suami.
Bermula dari Pemilihan Kepala Desa
Keluarga Alnoldy memutuskan meninggalkan Jakarta pada Juli tiga tahun lalu. Keduanya memilih tinggal di RT 11 RW 05 Kampung Gadog, Desa Cikadu, Kecamatan Cibitung, Pandeglang, Banten. Setahun berikutnya, tepatnya 30 Maret 2016 keduanya resmi menjadi warga baru desa tersebut.
Masyarakat sekitar resah dengan kehadiran Alnoldy dan Millah. Mereka dicurigai sebagai penganut Islam menyimpang karena memelihara banyak anjing. Keduanya juga mendapatkan perlakuan buruk dari beberapa orang. Mobil mereka dicorat-coret, rumah dilempari batu, dan tukang kebun yang mengurus peternakan kambing milik keluarga ini diintimidasi agar tidak betah bekerja.
Hingga pada akhir September hingga awal November 2017 Millah memilih mengikuti Pemilihan Kepala Desa di Desa Cikadu. Millah berharap melalui Pilkades dia bisa meluruskan isu buruk tentang keluarga dan memperkenalkan diri ke masyarakat. Saat pemilihan itu Millah hanya dapat 30 suara.
Meski kalah keduanya tetap ingin mengabdi kepada masyarakat melalui Yayasan Pendidikan Vendra yang sebelumnya mereka didirikan pada Agustus 2017. Waktu itu mereka sudah mulai membuat kartu anggota yayasan dan kartu anak asuh. Termasuk membantu program penuntasan sengketa tanah di desa tersebut. Tapi usaha-usaha ini berbuah teror yang makin massif dan anarkis. Pada suatu malam kaca jendela rumahnya dilempari batu oleh orang tidak dikenal.
Pada 25 November 2017 tersiar kabar ada massa yang akan bergerak ke rumah Alnoldy. Isu yang beredar warga akan melakukan pengusiran terhadap warga baru dari Jakarta itu. Alnoldy mengaku sempat mendapat kabar ada sekelompok warga yang tidak terima dengan isi status Facebook miliknya.
Suami istri itu sempat diajak ke Koramil Cibaliung. Di situ, Alnoldy mendapatkan kabar ada telepon dari Kodim Pandeglang tentang informasi massa yang akan bergerak ke rumah untuk mempersoalkan isi status Facebook. Lalu datanglah perwakilan Koramil setempat yang sebelumnya berjaga-jaga di rumah Alnoldy. “Pihak Koramil memberikan berita bahwa massa menuntut kami harus pindah paling telat Senin 27 November 2017. Sebelum pindah kami minta mediasi dengan warga di Kantor Kecamatan Cibitung,” ujar Millah.
Tapi, pada 26 November 2017 Koramil dan Kepolisian Sektor Cibaliung Cibitung menangkap Alnoldy dan istri. Keduanya dibawa ke Polsek Cibaliung. Di sana, mereka dibawa ke ruang interogasi, direkam, dan diinterogasi selama 1 jam. Kemudian keduanya dibawa ke Polres Pandeglang.
Millah mengatakan di Kantor Polres Pandeglang keduanya bertemu dengan perwakilan warga. Dalam pertemuan itu suami istri itu menandatangani kesepakatan bersedia keluar dari desa demi menciptakan situasi kondusif. Karena ada kesepakatan itu, keduanya menganggap kasus tersebut selesai.
Dugaan keduanya meleset. Polisi tetap melakukan pemeriksaan. Bahkan setelah pemeriksaan polisi meminta Alnoldy menandatangani dan memberi cap jempol beberapa capture status Facebook yang dianggap sebagai barang bukti. Tak berapa lama kemudian Alnoldy mengetahui sudah ada Laporan Polisi No.: LP/222/XI/2017/Banten/Polres Pandeglang terkait kasus ini.
Pada 29 November 2017 Alnoldy polisi meminta tanda tangan surat kuasa penanganan barang-barang Alnoldy dan istri yang masih ada di rumah untuk diamankan. Setelah itu polisi mengeluarkan Sprindik No.: SP. Sidik/158/XI/2017/Reskrim.
Baca: Massa di Sidang Ki Ngawur Permana
Sehari berikutnya Alnoldy mendapat kabar status hukumnya berubah menjadi tersangka dan ditahan di Polres Pandeglang. Millah pun pergi ke Jakarta, untuk minta bantuan kepada LBH Jakarta.
Polisi menyita akun Facebook milik Alnoldy. Dia persidangan dia didakwa melakukan tindakan pidana dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antara golongan (SARA) dan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 45A ayat (2) Jo Pasal 28 ayat (2) UU RI No. 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU RI Nomo 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan atau Pasal Penodaan Agama sebagaimana diatur dalam pasal 156A KUHP.
Pratiwi Febri, Pengacara Publik LBH Jakarta menyatakan kasus Alnoldy adalah kasus dugaan penodaan agama dan UU ITE pertama di Provinsi Banten. Sedangkan secara nasional kasus seperti ini menjadi yang ketiga kalinya.
Menurut Tiwi ada banyak pihak merasa berkepentingan dalam kasus tersebut. Ia mengatakan pada persidangan sebelumnya Kapolda Banten, Kepala Kejaksaan Tinggi Banten dan Bupati Pandeglang sempat hadir. “Ini bisa dibuktikan dengan munculnya pejabat-pejabat elit Banten yang langsung memantau jalannya persidangan,” ujarnya. (bersambung)
Tim Independen