Refleksi 2023: Maraknya Serangan Fisik Pada Pembela HAM

Oleh: Betty Herlina

Independen-  Tahun 2023 merupakan puncak serangan terhadap pembela Hak Asasi Manusia (HAM), perempuan, lingkungan, dan masyarakat adat yang dianggap menghambat pembangunan. Hal ini terungkap dalam laporan Amnesty Internasional Indonesia yang dipublikasikan baru-baru ini.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan kebebasan sipil Indonesia menjadi catatan krisis HAM.

“Satu dasawarsa terakhir ini bisa dikatakan sebagai dasawarsa yang gelap bagi penegakan hak asasi manusia,  tahun 2023 yang lalu adalah tahun yang suram bagi perlindungan kebebasan sipil dan juga perlindungan pembela hak asasi manusia,” kata Usman Hamid.

Kenyataan itu terkesan miris secara Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan pentingnya HAM di Indonesia.

Pada Pasal 28A-28J di UUD 1945 bahkan merinci hak-hak fundamental manusia. Mencakup hak atas hidup, hak bebas dari siksaan, hak untuk tidak diperbudak, hak atas pengakuan sebagai individu, dan hak untuk memperoleh keadilan. Pasal-pasal tersebut menjadi pijakan hukum yang kokoh untuk melindungi HAM di Indonesia.

Meskipun UUD 1945 menjadi tonggak utama, regulasi lain juga turut merinci aspek HAM dengan lebih rinci. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menjadi contoh konkret bagaimana negara berkomitmen untuk menggarisbawahi perlindungan HAM.

Realitasnya, implementasi di lapangan tidak selalu sejalan dengan ketentuan hukum yang telah diatur. Temuan Amnesty International Indonesia menyoroti adanya tantangan serius terkait HAM di Indonesia, menegaskan bahwa perbaikan yang signifikan masih diperlukan untuk memastikan kepatuhan yang efektif terhadap norma-norma HAM yang telah ditetapkan dalam undang-undang.

Usman berani menyebut tahun 2023 adalah tahun yang suram karena tergambar dari tingginya angka serangan terhadap para pembela HAM yang bergerak di sektor lingkungan, korupsi pembelaan perempuan dan masyarakat adat.  Tahun 2023 juga menandai akhir dari 10 tahun pemerintahan yang sekarang yang mencerminkan ketidakmampuan pemerintah di dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu.

“Bahkan bukan hanya pelanggaran HAM berat masa lalu saja yang tidak bisa diselesaikan tapi juga negara dan pemerintahan yang berkuasa ikut bertanggung jawab atas naiknya seorang terduga pelanggar hak asasi manusia di dalam pilpres mendatang atau menjadi Presiden mendatang,” tegasnya.

Amnesty International Indonesia mencatat 95 serangan terhadap pembela HAM terjadi sepanjang 2023 dengan 268 korban. Jumlah tersebut mengalami kenaikan 63 persen dibandingkan tahun sebelumnya, tertinggi sejak 2019.

Jika dilihat tren 5 tahun, jurnalis menempati urutan pertama dari segi jumlah yang terus menerus mendapatkan serangan fisik terkait aktivitas pemberitaan yang dilakukan. Tahun 2023 menjadi tahun tertinggi jumlah jurnalis yang mengalami kriminalisasi sebanyak 89 jurnalis.  Serupa dengan aktivis Papua yang juga mengalami kenaikan sejak tiga tahun terakhir, 2021, 2022 dan 2023 tertinggi sebanyak 108 orang. 

Sekjen AJI Indonesia, Ika Ningtyas menyoroti jumlah angka yang menimpa jurnalis di Indonesia. Menurutnya, angka 89 termasuk adalah kekerasan yang paling tinggi selama periode kedua pemerintahan Jokowi. Hal ini memberikan tantangan yang cukup besar bagi jurnalis dan media di Indonesia dan menjadi tidak mudah karena kebebasan Pers sangat bergantung pada lingkungan-lingkungan demokrasinya.

Ika mengatakan, ada dua hal yang menjadi catatan ketika terjadi penurunan kebebasan Pers di Indonesia yakni situasi negara di mana otoritanismenya bangkit atau indikator demokrasinya turun maka peran media dan jurnalis independen itu jauh lebih dibutuhkan. Karena setiap kali terjadi penurunan demokrasi akan diikuti juga dengan penurunan atau pelemahan dari institusi-institusi demokrasi di Indonesia. Seperti yang terjadi di KPK dan Mahkamah Konstitusi.

“Ini menjadi peran media dan jurnalis independen untuk lebih banyak bisa bersama publik atau mengawal dari berbagai kebijakan atau tindakan di negara otoriter yang seringkali  diikuti dengan peningkatan korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia,” katanya.

Disisi lain lanjut Ika, di negara-negara yang demokrasinya turun seperti Indonesia media dan jurnalis kerap kali menjadi sasaran pertama dari beragam bentuk kekerasan, dimana pola-pola serangan yang menjadi semakin kompleks termasuk juga kriminalisasi berdampak dengan krisis kebebasan Pers yang ada sekarang di Indonesia

Jika dilihat dari bentuk serangan fisik sepanjang 2023,  Amnesty International Indonesia mendokumentasikan paling banyak terjadi penangkapan sebanyak 128 orang. Kemudian diikuti oleh intimidasi dan serangan fisik, kriminalisasi, percobaan pembunuhan dan serangan terhadap lembaga.

“Ada banyak sekali kasus-kasus serangan terhadap pembela HAM, itu terkait dengan kritik masyarakat terhadap pembangunan, penolakan masyarakat adat terhadap proyek dan tambang ataupun proyek strategis nasional di Maluku di Kalimantan di Papua,” papar Usman.

Usman mengatakan jika lihat dari rata-rata sejak tahun pertama Jokowi terpilih di 2019 hingga menjelang akhir pemerintahannya, jumlah pembela HAM yang menjadi korban tidak pernah turun dari angka 100 orang.

“Artinya cukup tinggi,  ini evidence (bukti, red) yang cukup ketat. Bisa saja jumlahnya menjadi lebih besar jika dilihat dari data-data CSO lain. Ini merupakan puncak dari gunung es serangan fisik terhadap pembela lingkungan dan masyarakat adat di tanah air,” katanya.

Sementara jika dilihat dari bentuk-bentuknya penangkapan paling banyak dan ini menempatkan kepolisian seperti jadi alat pengaman untuk proyek pembangunan yang dilakukan tanpa konsultasi tanpa partisipasi yang bermakna termasuk membiarkan intimidasi atau bahkan terlibat intimidasi atau ikut di dalam memenjarakan orang-orang itu dengan tuduhan pencemar nama baik atau dengan tuduhan-tuduhan lain bahkan ada yang mengalami ancaman percobaan pembunuhan. 

"Di samping tantangan serangan fisik yang terjadi dalam kehidupan nyata, catatan Amnesty International juga mengungkap ancaman serius dari serangan digital di ranah maya, yang melibatkan peretasan dan doxing terhadap para pembela hak asasi manusia,” kata Usman Hamid.

Selama tahun 2023, setidaknya terdapat 16 insiden serangan digital yang melibatkan peretasan terhadap media massa, menandakan peningkatan signifikan dengan delapan kasus lebih banyak dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Serangan digital semacam ini bukan sekadar representasi dari tantangan teknologi yang berkembang, tetapi juga menyoroti upaya sistematis untuk membatasi kebebasan berpendapat dan mengintimidasi para pembela HAM.

Amnesty International menilai bahwa peretasan media massa menjadi alat yang semakin populer untuk menekan suara-suara kritis dan menghambat akses informasi yang kritis. Untuk menghadapi perubahan bentuk ancaman tersebut, penting bagi pemerintah dan lembaga terkait untuk meningkatkan perlindungan terhadap para pembela HAM, baik dalam ruang fisik maupun siber, guna memastikan kelangsungan demokrasi dan hak asasi manusia di era digital ini.

Selain serangan digital, terdapat 49 insiden penyalahgunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang melanggar hak berekspresi selama tahun 2023, dengan jumlah korban mencapai 55 orang. Korban-korban ini termasuk individu yang memiliki latar belakang sebagai pembela hak asasi manusia, jurnalis, dan akademisi, yang dijadikan tersangka pencemaran nama baik.

Mayoritas dari serangan ini berasal dari patroli siber Polri. Angka ini sebenarnya hanya mencakup sebagian kecil dari total 536 korban UU ITE dalam lima tahun terakhir. Salah satu kasus terkini melibatkan kriminalisasi Daniel Frits Maurits, seorang pembela lingkungan dari Karimunjawa, yang baru-baru ini ditahan oleh kejaksaan.

Ironisnya, meski UU ITE telah mengalami dua kali revisi, kasus-kasus penyalahgunaan masih terus terjadi. Revisi terakhir, pada 5 Desember, dilaksanakan dengan cepat, tertutup, minim partisipasi publik, dan memiliki potensi untuk membatasi ruang kebebasan sipil. Beberapa pasal yang dianggap bermasalah, seperti Pasal 27 dan 28, masih dipertahankan, meskipun seringkali digunakan untuk membungkam protes damai dan ekspresi perbedaan pendapat.

Koalisi Masyarakat Sipil, yang telah mendorong revisi UU ITE, mencatat bahwa dari 14 kali rapat panitia kerja (Panja) Komisi I DPR RI, hanya beberapa yang diumumkan secara terbuka kepada publik melalui risalah rapat. Informasi terkait siapa yang hadir dalam rapat dan isi RUU seringkali tidak diumumkan secara transparan.

Sayangnya, meskipun telah mengalami dua kali revisi, UU ITE tetap memiliki potensi untuk meredam suara-suara kritis terhadap pejabat dan kebijakan. Hal ini terlihat dari masih maraknya kasus-kasus kriminalisasi yang terus terjadi.

Selama rentang waktu dari tahun 2019 hingga 2023, laporan dari Amnesty International Indonesia mengekspos keberlanjutan ancaman terhadap kebebasan berekspresi di Indonesia. Terdapat setidaknya 505 kasus pelanggaran yang diidentifikasi, semuanya terkait dengan penyalahgunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), melibatkan tak kurang dari 536 individu sebagai korban.

Dalam periode ini, UU ITE menjadi senjata yang sering digunakan untuk menekan suara-suara kritis dan membatasi ekspresi masyarakat sipil. Laporan tersebut menggambarkan gambaran yang mengkhawatirkan tentang bagaimana warga negara, aktivis hak asasi manusia, jurnalis, dan individu lainnya menjadi target tindakan represif yang sering kali melibatkan tuduhan pencemaran nama baik.

Amnesty International Indonesia mencatat bahwa jumlah kasus ini merefleksikan tantangan yang masih dihadapi oleh kebebasan berekspresi di Indonesia, meskipun sudah berlalu beberapa tahun sejak UU ITE terakhir kali direvisi pada tahun 2019. Meski demikian, isu-isu terkini menyoroti kebutuhan mendesak akan reformasi lebih lanjut untuk menjaga keseimbangan antara keamanan siber dan hak-hak dasar individu.

“Angka-angkanya masih menunjukkan bahwa internet kita belum menjadi ruang yang aman untuk kebebasan berpendapat,” kata Usman.

Melalui pemantauannya Amnesty International Indonesia merinci bahwa sepanjang tahun 2023, terdapat 55 individu yang dilaporkan karena diduga melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pemantauan ini memberikan gambaran mengenai beragam latar belakang dan entitas yang terlibat dalam tindakan hukum tersebut.

Dari total korban, terlihat bahwa institusi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mendominasi sebagai pelapor, dengan 25 kasus yang melibatkan personel kepolisian. Diikuti oleh masyarakat umum yang melaporkan 11 kasus, pemerintah daerah sebanyak 7 kasus, organisasi masyarakat (ormas) 4 kasus, perusahaan atau pengusaha 3 kasus, advokat 3 kasus, DPR-RI/DPRD 1 kasus, dan pemerintah pusat 1 kasus.

Hal ini menggambarkan kompleksitas dan keragaman sumber pelaporan, menyoroti sejauh mana UU ITE digunakan sebagai alat untuk menanggapi berbagai situasi dan aktor di masyarakat.

Kriminalisasi di Timur Indonesia

Di wilayah timur Indonesia, praktik penggunaan pasal-pasal makar oleh pihak berwenang sebagai respons terhadap perbedaan pandangan politik yang disuarakan secara damai masih berlangsung. Data Amnesty International mencatat bahwa sebanyak 86 individu di Papua dan Maluku menghadapi kriminalisasi dengan dakwaan makar selama periode tahun 2020 hingga 2023.

Dalam setahun terakhir, minimal tiga aktivis Papua dan satu aktivis Maluku telah dipenjara dengan tuduhan makar. Ketiga aktivis asal Papua saat ini tengah menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Sorong setelah ditangkap pada 9 Juni 2023. Sementara itu, seorang aktivis Maluku telah divonis dua tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Masohi pada 11 Desember 2023.

“Ini sebenarnya pasal yang merupakan warisan dari era kolonial Belanda dan digunakan untuk membungkam perbedaan pandangan politik di Timur terutama mereka yang berekspresi dengan bendera atau dengan tuntutan kemerdekaan di wilayahnya entah itu Papua Merdeka Republik Maluku Selatan,” papar Usman.

Kejadian-kejadian tersebut menurut Usman, mencerminkan tantangan serius terhadap kebebasan berpendapat dan ekspresi di wilayah tersebut, yang membutuhkan perhatian serius dari pihak berwenang dan masyarakat sipil untuk menjaga keadilan dan hak asasi manusia.

“Kebebasan sipil ini satu hal yang sangat penting sebagai pondasi dari masyarakat Indonesia yang demokratis kalau kebebasan sipil tidak ada saya kira sulit untuk mengatakan Indonesia adalah masyarakat yang demokratis,” ungkapnya.

Sementara itu, Anggota Komnas HAM, Anis Hidayah mengatakan terkait kebebasan sipil termasuk permasalahan HAM secara umum di Papua memang belum kunjung membaik. Mulai dari aspek bagaimana kebebasan sipil,  lalu ancaman kekerasan akibat konflik bersenjata antara aparat keamanan dan kelompok sipil bersenjata.

“Di luar itu juga ruang demokrasi kebebasan berpendapat dan berkumpul di Papua masih sangat terbatas, terutama ruang-ruang ekspresi bagi masyarakat asli Papua, aktivis mahasiswa yang memperjuangkan hak masyarakat adat,” kata Anis menambahkan.

Indeks HAM 2023 Turun Menjadi 3,2

Buruknya perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia sepanjang tahun 2023 tercermin dalam laporan tajam dari Setara Institute. Dikutip dari laporan berjudul "Indeks Hak Asasi Manusia 2023: Stagnasi HAM Menjelang Satu Dekade Jokowi" yang diterbitkan pada Desember 2023, Indonesia mencatat skor Indeks HAM sebesar 3,2, mengalami penurunan tajam dari skor tahun sebelumnya yang mencapai 3,3.

Setara Institute secara rinci mengurai kemerosotan kinerja pemerintah, mengacu pada Indeks HAM yang diukur berdasarkan UU No. 12 Tahun 2005 (Pengesahan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik) serta UU No. 11 Tahun 2005 (Pengesahan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, Budaya).

Penurunan tersebut, seperti yang dinyatakan oleh Setara Institute, dipicu oleh lonjakan kasus pelanggaran kebebasan beragama. Antara Januari hingga Juni 2023, tercatat 155 kasus pelanggaran, meningkat tajam dari 90 kasus pada periode yang sama di tahun 2022. Keberlanjutan penurunan ini tercermin dalam kasus-kasus penolakan pendirian rumah ibadah dan pemaksaan atribut keagamaan di lingkungan pendidikan.

Skor Indeks HAM Indonesia tahun 2023 juga terkait erat dengan sejumlah faktor, termasuk konflik di Papua, kontroversi terkait Perppu Cipta Kerja yang dianggap merugikan partisipasi masyarakat, tindakan kekerasan terhadap jurnalis, dan kriminalisasi berdasarkan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Lebih dari itu, Setara Institute menyoroti praktik pembungkaman aspirasi masyarakat sepanjang tahun 2023 dalam konteks eksekusi Proyek Strategis Nasional (PSN), pembubaran diskusi publik, serta pembatasan kebebasan akademis.

Terbanyak Dilaporkan Aparat Kepolisian

Sementara itu, menurut catatan Komnas HAM sepanjang tahun 2023 Komnas HAM menerima 5.301 berkas pengaduan dari seluruh Indonesia dan luar negeri. Anggota Komnas HAM, Anis Hidayah mengatakan dari jumlah tersebut tercatat 2.753 dugaan pelanggaran yang diadukan dengan rincian ketidakprofesionalan aparat kepolisian karena kasus delay injustice sebanyak 613 kasus, konflik agraria sekitar 652 kasus,  pengabaian hak kelompok rentan ada 227 kasus, ketenagakerjaan 171 kasus dan yang lainnya 298 kasus.

Sementara pihak yang paling banyak dilaporkan adalah Polri sebanyak 771 laporan, Koorporasi 412 laporan dan Pemerintah Daerah 301 laporan.

Anis memaparkan terkait dengan pelanggaran HAM berat memang masih menemui jalan yang sangat terjal. Ia mencontohkan tahun lalu ada satu kasus yang naik ke pengadilan HAM tetapi juga belum bisa dituntaskan. Meskipun itu satu-satunya kasus Paniai yang kemudian diadili pada September 2022 tetapi ketika kemudian kasasi ini mekanismenya belum tersedia karena proses seleksi hakimnya masih juga tidak profesional. Sampai hari ini prosesnya juga masih berjalan

"Saat ini situasi pembela HAM tidak semakin membaik, kriminalisasi masih menjadi ancaman dan terus meningkat pasal-pasal karet menjadi faktor paling dominan. Bagaimana menyebabkan pembela HAM mengalami beragam kriminalisasi sehingga memang Komnas HAM terus mendorong bagaimana penguatan pengakuan dan perlindungan terhadap kebebasan pembela HAM oleh negara melalui perundang-undangan untuk menciptakan keadilan restoratif bagi pembela HAM dan pembela HAM perempuan, harus terus diupayakan,” paparnya.

Anis menambahkan, tahun 2024 Komnas HAM mengambil inisiatif untuk mendorong revisi UU 39 selain untuk penguatan lembaga HAM, salah satunya juga ingin mengeksplisitkan bagaimana pengakuan terhadap pembela HAM itu juga diatur lebih lebih luas dan lebih jelas di dalam UU HAM.

Komnas HAM, lanjut Anis juga melihat pasal-pasal karet UU ITE membuat  masyarakat di Indonesia merasa tidak bebas dan tidak aman dalam menyampaikan ekspresinya baik di media sosial ataupun ruang- ruang publik yang lain.

“Mengutip data Kompas ada 36,2 persen masyarakat Indonesia yang merasa tidak bebas untuk menyampaikan ekspresinya, dan memasuki tahun-tahun Pemilu tentu itu mengalami kenaikan. Surveinya belum kami lakukan akan kami lakukan tahun ini tapi indikasi dugaan masih tinggi, bagaimana hak untuk berpendapat dan berekspresi di Indonesia tidak sepenuhnya terjadi dan banyak lembaga sudah melaporkan itu salah satunya adalah Freedom house,” pungkas Anis.

kali dilihat