Rekam Jejak Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia

Oleh: Betty Herlina 

Independen- Akhir September lalu, Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) harus menambah armada helikopter water bombing serta melakukan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC), untuk mengantisipasi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terus terjadi di wilayah Kalimantan Selatan. Proses pemadaman dilakukan berhari-hari, melalui jalur darat dan udara. 

Tanah Borneo ini menjadi jawara karhutla sepanjang 2023.  Mengutip BNPB panas terik dan kemarau yang berkepanjangan sepanjang tahun 2023 menjadi salah satu pemicu mudah terbakarnya lahan. 

Pantauan satelit TERRA/AQUA sejak 1 September 2023 hingga 31 Desember 2023, ada 181 titik api  dengan kategori high yang tersebar di 10 kabupaten/kota. Sementara menurut SNPP diwaktu yang sama ada 352 titik api dengan kategori high yang tersebar di 11 kabupaten/kota. 

Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto dalam rilisnya baru-baru ini mengatakan pengendalian Karhutla di Kalimantan Selatan dilakukan dengan menjangkau langsung titik api untuk pemadaman dan pendinginan. Karakter karhutla di Kalimantan Selatan ini berbeda dengan wilayah lain. Jika di Sumatera karhutlanya besar dan luas, namun tidak di Kalimantan Selatan. 

“Karhutla di Kalimantan Selatan ini mayoritas kecil-kecil namun tersebar di beberapa titik,” kata Suharyanto. 

Lima tahun terakhir,  Kalimantan menjadi fokus perhatian akibat meningkatnya kasus kebakaran hutan yang mengancam keberlanjutan lingkungan. Kejadian ini diakibatkan berbagai faktor, termasuk perubahan iklim, aktivitas manusia, dan praktik-praktik pertanian yang tidak berkelanjutan.

Kondisi ini menciptakan dampak serius tidak hanya bagi ekosistem lokal, tetapi juga bagi kesehatan manusia dan iklim global.

Berdasarkan data rekapitulasi luas kebakaran hutan dan lahan per provinsi di Indonesia yang dirilis platform SiPongi (Karhutla Monitoring Sistem) sepanjang 2023, Kalimantan mendominasi lima provinsi dengan lahan terbakar terluas, dengan Kalimantan Selatan berada diurutan pertama yakni seluas  187.574,6 Ha. 

Menyusul Kalimantan Tengah seluas 114.576,22 Ha, lalu ada Sumatera Selatan seluas 109.460,67 Ha. Sisanya Papua Selatan seluas 102.014,7 ha dan Kalimantan Barat seluas  101.241,19 Ha. 

Berbeda dengan tiga tahun sebelumnya Kathutla didominasi wilayah Nusa Tenggara. 

Seperti pada 2022, terjadi karhutla di Nusa Tenggara Timur seluas  70.637 Ha, kemudian Nusa Tenggara Barat seluas 30.567 Ha, dan Kalimantan Barat seluas 21.836 Ha. Menyusul Maluku seluas  14.954 Ha dan Sumatera Barat seluas 9832 Ha. 

Kemudian pada 2021, karhutla terluas masih terjadi di wilayah Nusa Tenggara Timur dengan luas 137.343 Ha, kemudian Nusa Tenggara Barat seluas 101.173 Ha, Kalimantan Barat seluas 20.590 Ha. Lalu, Maluku seluas 20.270 Ha,  serta Jawa Timur seluas 19.148 Ha.

Tak jauh berbeda dengan 2020, di Nusa Tenggara Timur karhutla menghabiskan lahan seluas 114.719 Ha,  kemudian Nusa Tenggara Barat seluas 29.157 Ha, Papua seluas 28.277 Ha, Maluku seluas 20.270 Ha dan Jawa Timur seluas 19.148 Ha.

Sebelumnya di 2019,  Sumatera Selatan menempati urutan  pertama karhutla terluas sebanyak 336.798 Ha.

Sedangkan sisanya didominasi empat provinsi di Kalimantan, yakni Kalimantan Tengah seluas 317.749 Ha, Kalimantan Barat seluas 151.919 Ha, Kalimantan Selatan seluas 137.848 Ha dan Kalimantan Timur seluas 136.920 Ha.

Bila dilihat dari jumlah luas lahan yang terbakar, 2019 masih menjadi tahun yang paling banyak seluas 1.649.258,00 Ha. Namun dibandingkan dengan tahun 2020, 2021 dan 2022, terjadi peningkatan yang signifikan dari jumlah luas karhutla.

Mengutip Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati, mengatakan situasi karhutla menjadi meningkat sepanjang 2023 dipengaruhi fenomena El Nino yang memicu kondisi cuaca ekstrem.

“Akibatnya terjadi perubahan pola curah hujan, suhu udara yang meningkat, dan kecenderungan peningkatan titik panas di wilayah-wilayah yang rawan karhutla,” terangnya.

Mengacu pada sumber resmi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), El Nino dapat diartikan sebagai fenomena pemanasan Suhu Muka Laut (SML) di atas kondisi normal yang terjadi di Samudera Pasifik bagian tengah hingga timur. Pemanasan SML ini meningkatkan potensi pertumbuhan awan di Samudera Pasifik tengah dan mengurangi curah hujan di wilayah sekitarnya, termasuk di Indonesia.

Menurut klasifikasi BMKG, intensitas El Nino dibagi menjadi tiga kategori, yaitu El Nino lemah, moderat, dan kuat. El Nino lemah memiliki rentang nilai antara 0.5 hingga 1.0, El Nino moderat berkisar antara 1.0 hingga 2.0, sementara El Nino kuat memiliki nilai lebih dari 2.0. Salah satu syarat untuk mengidentifikasi sebuah kejadian sebagai El Nino adalah nilai indeks Nino 3.4 harus masuk dalam kategori minimal El Nino dan konsisten selama 5 bulan berturut-turut.

Emisi karbon yang dilepaskan 

Kejadian Karhutla erat kaitannya dengan keluaran emisi karbon yang dihasilkan, karena unsur karbon merupakan senyawa yang dominan dalam kebakaran hutan. Karbon dioksida (CO2) merupakan gas yang paling banyak dihasilkan dari karhutla sehingga meningkatkan akumulasi gas rumah kaca di atmosfer.

Kurun enam tahun terakhir, karhutla di tahun 2019 menjadi penyumbang emisi terbesar sebanyak 624.163.985,00 ton (CO2/ha).

Upaya merespons krisis

Peningkatan jumlah kebakaran hutan di Kalimantan mengundang keprihatinan banyak pihak, karena dampaknya tidak hanya lokal, tetapi juga bersifat regional dan global. Asap tebal yang dihasilkan dari kebakaran tersebut tidak hanya merugikan kesehatan manusia, tetapi juga menyumbang pada tingkat emisi gas rumah kaca, memperburuk masalah perubahan iklim secara keseluruhan.

Pemerintah, bersama dengan lembaga-lembaga terkait dan masyarakat, terus berupaya untuk mengatasi dan mencegah kebakaran hutan di Kalimantan. Tindakan-tindakan mitigasi dan rehabilitasi menjadi fokus utama dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan dan meminimalkan risiko kebakaran hutan di masa depan.

Asisten Deputi Kedaruratan dan Manajemen Pascabencana Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Nelwan Harahap, baru-baru ini menyoroti bahwa upaya penanggulangan karhutla tidak seharusnya berhenti pada langkah pemadaman api dan penanganan asap saja. Dalam konteks ini, fokus juga harus diberikan pada langkah pemulihan yang berkelanjutan.

Nelwan menjelaskan bahwa terdapat lima sektor rehabilitasi yang harus menjadi bagian dari fase penanggulangan bencana. Hal ini menjadi penting agar proses pemulihan dapat merata dan mencakup sektor-sektor yang terdampak, termasuk sektor ekonomi, sosial, dan lingkungan. Contohnya, pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan yang terdampak karhutla dapat menjadi salah satu langkah yang efektif.

"Dengan memberdayakan masyarakat di sekitar hutan, mereka akan merasa memiliki kepentingan dan menjadi lebih bersedia untuk turut serta dalam menjaga dan melestarikan hutan, termasuk menjaga keberlanjutan lingkungan," terangnya.

Tidak hanya fokus pada pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan, tetapi bencana asap dan karhutla dianggap sebagai ancaman permanen. Pola kejadian yang hampir selalu berulang, terutama saat memasuki periode El Nino, menjadikan pentingnya solusi yang bersifat jangka panjang dan permanen.

Karhutla sendiri merupakan peristiwa yang terjadi secara berkala setiap tahun, dan dampaknya merata luas terhadap kehidupan dan penghidupan masyarakat. Oleh karena itu, fase pemulihan pascabencana, terutama di enam provinsi prioritas, menjadi perhatian BNPB. Keenam provinsi tersebut mencakup Provinsi Jambi, Riau, Sumatra Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.

Dari hasil kajian, faktor manusia menjadi penyebab terbesar dari karhutla. Nelwan menekankan pentingnya pendekatan manusia atau masyarakat dalam mencari solusi. Masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan diharapkan turut serta dalam menjaganya, sambil meningkatkan kapasitas mereka untuk memastikan proses pemulihan berjalan efektif. Peningkatan kapasitas ini diimplementasikan melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat.

Di sisi lain, Nelwan menekankan bahwa masyarakat yang berpotensi terdampak langsung oleh bencana asap dan karhutla perlu dilibatkan sejak awal, bahkan sebelum bencana terjadi, melalui pendekatan prabencana.

"Dengan melibatkan mereka sejak dini, diharapkan upaya penanggulangan dan pemulihan dapat menjadi lebih efisien dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat setempat," pungkasnya.

kali dilihat