Oleh : Betty Herlina
Independen- "Pelanggaran HAM nyaris terjadi di seluruh Indonesia, namun lagi-lagi di kebebasan berekpresi, pembunuhan di luar hukum, serta penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi lainnya masih terjadi khususnya di wilayah Papua," kata Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena, saat menyampaikan gambaran kondisi HAM di Indonesia sepanjang tahun 2023-2024 pada Rabu (24/04/2024).
Kondisi tersebut ditandai dengan terjadinya penangkapan terhadap lebih dari 28 orang yang melakukan aksi protes disepanjang tahun 2023. Kemudian 26 kejadian pembunuhan di luar hukum yang melibatkan 58 korban dengan 5 orang asli Papua tewas dalam baku tembak. Serta penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi lainnya yang berujung pada korban tewas masih sering ditemukan di wilayah Papua dan Jakarta.
Wirya mengatakan keterlibatan pihak berwenang dan lambannya proses penegakkan hukum semakin memperburuk situasi HAM di Indonesia. Dalam hal kebebasan berekspresi dan berkumpul Indonesia mengalami kemunduran jauh seperti sebelum era reformasi.
"Reformasi memberikan harapan bagaimana negara memenuhi janji-janji tentang kebebasan berpendapat, kesetaraan, pemerataan pembangunan, tentang perlindungan masyarakat adat, namun disaat tengah kita (negara, red) tengah berupaya memenuhi janji-janji tersebut, seakan-akan malah ada roll back," imbuhnya.
Kemunduran tersebut bisa dilihat dari beberap kejadian yang menjadi sorotan Amnesty International Indonesia. Seperti penangkapan 18 orang yang sedang menginap di Masjid Agung, Sumatera Barat saat melakukan aksi protes rencanacpembangunan kilang minyak dan petrokimia di desa Nagari Air Bangis di kabupaten Pasaman Barat.
Kemudian, penangkapan tujuh orang dan menggunakan gas air mata untuk membubarkan pengunjuk rasa yang memblokir jalan di kota Bandung, Jawa Barat, terkait protes rencana penggusuran sekitar 300 warga yang bermukim di Dago Elos, perkampungan di Kota Bandung. Meskipun dilakukan pembebasan beberapa hari kemudian, namun tiga orang sempat didakwa melakukan tindakan kekerasan.
Serta vonis yang dijatuhkan pengadilan terhadap tiga aktivis Papua karena menyampaikan pendapatnya, yakni Yoseph Ernesto Matuan, Devio Tekege dan Ambrosius Fransiskus Elopere. Ketiganya dijatuhi hukuman 10 bulan penjara karena bersalah melakukan pidana makar berdasarkan Pasal 55 dan 106 KUHP.
Sementara itu pembunuhan di luar hukum yang menjadi catatan Amnesty diantaranya pembunuhan lima orang asli Papua di Dekai, ibu kota Kabupaten Yahukimo, provinsi Papua Pegunungan. Dimana aparat keamanan menyatakan kelima orang tersebut merupakan anggota TPNPB-OPM.
Namun sumber lain menyangkal, bahwa para pemuda tersebut kembali ke desanya setelah membeli makanan di Dekai. Siapa pun yang meninggalkan Dekai wajib melapor ke pos keamanan yang terletak di perbatasan kota dan jika tidak melakukannya, maka otomatis dianggap menjadi anggota TPNPB-OPM. Hingga akhir tahun pihak berwenang belum memulai penyelidikan atas dugaan pembunuhan tersebut.
Dua kasus penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi yang menjadi sorotan Amnesty terjadi di Papua dan Jakarta.
Salah satunya insiden penahanan dan penyiksaan sewenang-wenang dalam konteks operasi militer di sekitar Kabupaten Nduga terhadap enam orang asli Papua dari desa Kwiyawagi di Kabupaten Lanny Jaya, provinsi Papua Pegunungan.
Meski dibebaskan, namun satu diantaranya Wity Unue yang berusia 17 tahun dilaporkan meninggal akibat luka-luka yang dideritanya akibat penyiksaan. Hingga akhir tahun, belum ada seorang pun yang diadili akibat kejadian tersebut.
Wirya mengatakan tahun 2023 bukanlah tahun yang mudah bagi HAM secara umum, banyak pelanggaran yang dilakukan pihak berkuasa, namun pada saat yang bersamaan masih banyak orang-orang yang lantang mengkritik kemunduran ini
“Iya Indonesia mengalami kemunduran HAM. Ada banyak kritik dari berbagai pihak yang selama ini tidak pernah bersuara, seperti akademisi, tokoh masyarakat, masyarakat sipil, jadi tidak mudah bagi kita untuk membayangkan masa depan yang lebih baik bagi pemenuhan HAM secara global maupun nasional. Tapi, ini bukan jadi pilihan bagi kita, kita tetap harus membayangkan masa depan pemenuhan HAM di Indonesia yang kuat secara global dan nasional,” kata Wirya.
“Termasuk membangun kepemimpinan yang visioner terkait HAM, bergerak bersama untuk mendorong sistem agar melindungi HAM di nasional dan global,” tambahnya.
Merespon hal yang menjadi temuan Amnesty International Indonesia, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Muhammad Isnur mengatakan buruknya pelanggaran HAM di dunia karena dominasi internasional dari satu negara mengakibatkan pemerintah Indonesia ikut melakukan hal yang serupa dengan ketidakpeduliaannya terhadap HAM.
“Realitanya, pemerintah Indonesia tidak peduli terhadap hak asasi manusia. Pemerintahan Jokowi dalam setiap pidato, agenda, atau pelatihan menterinya itu tidak terlihat ruh kemanusiaan dan semangat hak asasi manusia dalam konteks bernegara,” kata Isnur.
“Jadi apa yang kita lihat disini, yang ditampilkan oleh Jokowi itu adalah kepentingan ekonomi. Kita tidak melihat HAM sebagai agenda penting kenegaraan. Itu mengkhianati dan mengingkari mandat dari kemerdekaan Indonesia,” tambahnya.
Terkait banyaknya kasus dan minimnya prioritas terhadap HAM, Isnur mengatakan terdapat paradigma yang tidak sekadar kemampuan melainkan kemauan pemerintah untuk melindungi, menghormati, dan mengedepankan hak asasi manusia di Indonesia. Ketidakpeduliannya pemerintah untuk menghapus atau merevisi pasal-pasal yang mengancam hak asasi manusia menunjukkan bahwa pemerintah sepenuhnya telah mengabaikannya.
Kondisi HAM di Papua
Tingginya kasus pelanggaran HAM di Papua menunjukkan ketidakpedulian pemerintah Indonesia. Sebuah video viral tentang warga sipil yang mendapatkan penyiksaan dari prajurit TNI hanyalah segelintir dari banyaknya kasus pelanggaran HAM di tanah Papua. Menanggapi kasus ini, Ambrosius Mulait, peneliti PUSAKA dari Papua menjelaskan bahwa kekerasan dilakukan ketika rakyat mulai menyadari kondisi HAM di Papua.
“Ketika rakyat papua mulai menyadari tindakan kekerasan tidak manusiawi yang dilakukan oleh aparat, mereka justru dituduh sebagai bagian dari kelompok kekerasan bersenjata di Papua,” kata Mulait.
Tak hanya itu, Mulait menilai jika kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah tidak pernah melibatkan perspektif dari rakyat Papua. Mereka dipaksa untuk mengikuti kebijakan yang tidak sesuai dengan kehidupan sehari-harinya.
“Selama 63 tahun, kebijakan yang diciptakan tidak ada evaluasi dan melibatkan orang Papua sebagai subyek. Orang Papua tidak pernah dilibatkan dalam keputusan yang ditetapkan oleh pemerintah sampai hari ini,” ungkap Mulait.
Anisa Hidayah selaku Komisioner Komnas HAM menambahkan jika pelanggaran HAM di Papua dilakukan secara terbuka oleh aparat penegak hukum. Untuk menekan perkembangan kasus ini, Komnas HAM secara tegas mengecam segala bentuk kekerasan di Papua yang terjadi secara berulang. Dalam penangangannya, pihak Komnas HAM melakukan dialog dengan panglima TNI untuk mendesak evaluasi terhadap keterlibatannya di wilayah papua.
“Komnas HAM telah melakukan dialog dengan panglima TNI bahwa perlu adanya satu evaluasi yang lebih komprehensif terkait tatanan operasi komando dan pengendalian keamanan dalam penanganan kekerasan di Papua yang berspektif HAM. Dan mengembangkan mekanisme pengembangan dialog dengan masyarakat,” kata Anisa.
“Selain itu, kami selalu mendorong kepada TNI selama ini agar kasus-kasus kekerasan dan konflik yang terjadi disana itu aparat mengedepankan dan menjamin keselamatan perlindungan warga sipil,” tambahnya.