Rumah Tak Lagi Ramah Untuk Duyung Teluk Balikpapan

Oleh: Nofiyatul Chalimah

Independen-  Abdul Kadir, mencoba menggali ingatannya lagi. Namun, momen dia berperahu ke arah hulu pada 2019 itu, yang dia ingat jadi momen terakhir bertemu langsung duyung. Saat itu, Perahu Abdul Kadir mengarah ke hulu. Sebenarnya, akibat banyak kapal ponton di Teluk Balikpapan, beberapa tahun belakangan, dia lebih sering mencari ikan ke hilir menuju Selat Makassar. Tetapi saat itu, dia mencoba peruntungan ke arah hulu dan melihat sosok dugong alias duyung yang lagi berenang di dekat bekas perusahaan kayu Jenebora.

Abdul Kadir adalah seorang nelayan di Desa Jenebora, Penajam Paser Utara. Sejak duduk di bangku sekolah dasar, dia telah menjadi nelayan di Teluk Balikpapan. Kadir mengenang, dahulu mudah bersua duyung. Pria kelahiran Jenebora pada 1972 itu mengatakan, duyung selalu terlihat berkelompok.

“Kalau dahulu, banyak. Tetapi, kalau sekarang susah. Paling satu kelompok tiga ekor saja,” cerita Kadir.

Abdul Kadir, nelayan di Teluk Balikpapan (foto: Noffi)
Abdul Kadir, Nelayan di Teluk Balikpapan (Noffi/Mediaetam.com)

Dia mengatakan, keberadaan duyung tak mengganggu nelayan. Mereka memakan lamun. Namun, karena limbah-limbah perusahaan, padang lamun di teluk ini telah berangsur menghilang. Duyung pun, makin sulit ditemui. Tetapi, ada tingkah duyung yang dia ingat. Jika mereka sakit atau sekarat, terkadang mereka akan seperti terdampar di pantai. Ketika warga mengembalikannya ke laut dan dia kembali lagi, berarti si duyung bisa saja sakit atau sekarat.

Duyung telah akrab dengan masyarakat Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur sejak puluhan tahun lalu. Namun, tak sedikit orang di Kalimantan Timur keheranan, jika diberitahu bahwa di Teluk Balikpapan yang hulunya menjadi pusat pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), terdapat duyung.

Mengutip dari penelitian Yayasan Konservasi Rare Aquatic Species of Indonesia (YK-RASI), pada 2003. Di Teluk Balikpapan Kalimantan Timur, tidak banyak penelitian soal duyung. Hingga, peneliti melaporkannya pada awal abad milenium. Sebelumnya, duyung dianggap tidak pernah ada di seluruh Teluk Balikpapan.

Padahal, dulu warga Teluk Balikpapan mudah bersua dengan duyung. Bahkan dahulu, ada beberapa kelompok yang memburu duyung karena rasa dagingnya disebut seperti daging sapi. Namun, di awal abad milenium, praktik itu sudah tidak dilakukan karena pemerintah telah melarang perburuan duyung. Juga, duyung sudah tak banyak terlihat di Teluk Balikpapan.

Nelayan Teluk Balikpapan
Nelayan Teluk Balikpapan di dekat Jembatan Pulau Balang (Noffi/Mediaetam.com)

Ketua Kelompok Usaha Bersama (KUB) Nelayan Pantura Jenebora Muhammad Abduh pun turut menceritakan, bak hidup para nelayan Teluk Balikpapan, duyung di Teluk Balikpapan juga hidupnya makin terjepit. Ramainya aktivitas di Teluk Balikpapan membuat mereka harus cari cara. Pergi ke hulu atau ke laut lepas di Selat Makassar.

Ketua KUB Nelayan
Ketua Kelompok Usaha Bersama (KUB) Nelayan Pantura Jenebora Muhammad Abduh (Noffi/Mediaetam.com)

Berbeda dengan pesut Teluk Balikpapan yang kerap muncul untuk ambil napas, kemampuan duyung lebih lama untuk menyelam. Bisa sampai 10 menit. Apalagi, padang lamun berada di dasar teluk. Jadi, mereka lebih banyak menyelam dan makin tidak mudah ditemukan.

“Dulu duyung masih banyak. Sekarang ada perusahaan-perusahaan susah sekali ketemu duyung,” jelasnya.

Teluk Balikpapan, memang sarat perusahaan. Di wilayah ini, berbagai industri besar berdiri. Misal di hilirnya, ada proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) Balikpapan yang disebut menjadi proyek terbesar sepanjang sejarah Pertamina. RDMP Balikpapan yang masuk dalam proyek strategis nasional (PSN) itu, akan meningkatkan kapasitas pengolahan kilang Pertamina sebanyak 100 ribu barrel per hari. Naik ke hulu, ada Terminal Batu Bara milik Bayan. Selain itu, ada pula smelter nikel, aneka perusahaan pengolahan minyak sawit, atau perusahaan lain di Kawasan Industri Kariangau. Semuanya bisa terlihat langsung ketika menyusuri Teluk Balikpapan, atau mengeceknya di Google Maps Teluk Balikpapan.

Hidup Berat Puluhan tahun

Duyung Teluk Balikpapan tidak setenar Pesut Teluk Balikpapan. Dua mamalia ini, memang berbeda. Duyung sendiri masuk dalam ordo Sirenia dan famili dugongidae. Sedangkan, pesut masuk dalam ordo cetacea dan famili delphinidae. Makanannya juga berbeda, sebab duyung makan lamun atau rumput laut, sedangkan pesut makan ikan kecil. Secara fisik, perbedaan juga terlihat karena duyung lebih besar hingga 4 meter dan tidak memiliki sirip punggung. Sedangkan, pesut memiliki sirip punggung dan panjang sekitar 2,75 meter. Kemampuan menahan napas juga lebih lama duyung dibandingkan pesut.

Co-founder YK-RASI Danielle Kreb memaparkan, duyung memang lebih jarang terlihat nelayan dan diperkirakan hanya belasan di Teluk Balikpapan

Co Founder YK RASI Danielle Kreb (dok Danielle Kreb)
Co Founder YK RASI Danielle Kreb (dok: Danielle Kreb)

Dalam laporannya pada 2020, bertahun-tahun meneliti Teluk Balikpapan, selain pesut, mereka juga menemukan tiga mamalia laut lainnya di area studi Teluk Balikpapan, yaitu lumba-lumba tanpa sirip Indo-Pasifik, lumba-lumba hidung botol Indo-Pasifik, serta duyung. Di antara jenis mamalia laut itu, duyung paling susah ditemui. Duyung secara konsisten ditemukan di bagian dalam Teluk bagian atas.

“Duyung paling jarang terdeteksi selama survei,” jelas Danielle.

Ancaman duyung di Teluk Balikpapan tidak muncul langsung di dekade ini. Praktik penangkapan duyung terakhir terjadi pada 2002. Sedangkan pada 2005, dua duyung mati karena tertabrak speedboat dan satu lagi terjebak di jaring nelayan.

Mamalia terdampak

Bahkan, penelitian YK-RASI yang dilakukan lebih 20 tahun lalu alias pada 2003, menyebut Duyung sudah terancam tiga hal. Pertama Pembukaan areal hutan mangrove dan formasi hutan pantai untuk pertambakan udang, dimana hal ini secara langsung mengakibatkan meningkatnya sedimentasi, erosi dan kerusakan ekosistem serta habitat ikan untuk bertelur dan secara langsung juga mengakibatkan pertumbuhan dan penyebaran rumput laut terhambat.

Kedua, Pencemaran dari perusahaan-perusahaan yang beroperasi di daerah teluk seperti perusahaan batubara, minyak dan perkayuan. Juga ketiga, Sedimentasi yang besar seperti yang dinyatakan oleh CRMP (Coastal Resources Management Project) yakni bahwa setiap tahun sebanyak 68,669 ton sedimen terseret ke teluk yang juga menyebabkan kekeruhan dan akibatnya menghalangi rumput laut untuk berfotosintesis. (Studi Keberadaan Duyung di Teluk Balikpapan, YK-RASI, 2003).

Lalu, Pada Survei Mei 2011, diketahui bahwa akibat semakin menurunnya kualitas habitat Teluk Balikpapan karena konversi lahan menjadi daerah industri, pertambakan, perkebunan kelapa sawit, pertambangan batubara serta polusi, mengakibatkan meningkatnya sedimentasi yang berakibat pada menurunnya penetrasi sinar matahari ke bawah permukaan laut mengakibatkan pertumbuhan rumput laut menjadi terganggu, menurun dan bahkan sebagian mati, terutama pada daerah yang selalu tergenang.

Selain itu, pada kasus tumpahan minyak di Teluk Balikpapan pada 2018, Salah satu areal padang lamun yang dikunjungi Duyung di Kariangau, tercemar minyak. Karena Kariangau areal yang penting bagi Duyung, diduga pencemaran padang lamun akan berdampak ke duyung yang harus mencari areal padang lamun lain. Sehingga, dapat memicu kompetisi dengan individu lain atas sumber daya padang lamun yang kini semakin terbatas di Teluk Balikpapan. Karena sedimentasi yang bertahun-tahun semakin meningkat.

Padahal, Danielle menyebut, duyung di Teluk Balikpapan sudah ada sejak lama dan tentu saja, beradaptasi dengan Teluk Balikpapan. Hal ini ditunjukkan dengan haplotipe yang khas pada duyung di Teluk Balikpapan. Untuk diketahui, haplotipe adalah pengelompokan fisik varian genom yang cenderung diwariskan bersama. Maka, dengan kekhasannya itu, akan berat jika duyung bertahan hidup di kondisi lingkungan yang berbeda. Misal di laut lepas.

Dia memaparkan, duyung di Teluk Balikpapan juga banyak dijumpai di area pulau-pulau yang ada di Teluk Balikpapan. Seperti Pulau Balang, di tepi Pantai Lango dan pulau-pulau lain yang berada di kawasan tengah hingga ke hulu. Namun, kini tak lagi mudah bersua duyung.

Jembatan Pulau Balang (NoffiMediaetam.com)
Jembatan Pulau Balang (Noffi/Mediaetam.com)

Informasi terakhir soal duyung dia dapatkan sekitar tiga tahun lalu. Saat itu, pada 2021, seekor anak duyung juga ditemukan terjerat dalam jaring insang apung sepanjang 200 meter di dekat Pantai Lango oleh seorang nelayan. Sementara duyung dewasa menunggu di luar jaring. Nelayan tersebut berhasil melepaskan duyung tersebut dalam keadaan hidup.

“Dia menyebutkan bahwa sejak saat itu ia selalu mendapatkan hasil tangkapan ikan yang baik sehingga ia menyimpan jaring yang rusak tersebut sebagai jimat keberuntungan,” cerita Danielle.

Pembangunan masif di Teluk Balikpapan telah memengaruhi hidup duyung di teluk ini. Pemancangan tiang jembatan Pulau Balang pun telah mengganggu. Sebab, menghasilkan suara keras dan keriuhan aktivitas di sekitarnya.

Selain itu, aktivitas industri dan pembabatan vegetasi di sekitar teluk Balikpapan membuat terjadinya pencemaran juga sedimentasi yang berpengaruh terhadap keberadaan padang lamun. Apalagi, di kawasan Teluk Balikpapan ada risiko cemaran batu bara, minyak sawit, hingga minyak bumi. Belum termasuk dengan masifnya pembangunan pelabuhan-pelabuhan baru yang berkaitan tambang batu bara juga lalu lintas logistik demi pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).

“Teluk Balikpapan itu, industrialisasinya meningkat tapi isu lingkungannya kurang diperhatikan,” tambahnya.

Upaya mempertahankan duyung ini harus ada. Kalau tidak, duyung akan punah. Memang Duyung dapat hidup sampai usia tua, yang tertua di teliti pada saat kematiannya adalah 73 tahun. Duyung tergolong tua pada waktu melahirkan anak pertamanya yaitu 6-17 tahun, mempunyai tingkat reproduksi rendah, waktu generasi yang lama, dan memerlukan tenaga yang besar untuk tiap anakan. Masa kehamilan berkisar antara 13-15 bulan dengan anak hanya satu. Anakan menyusui antara 14-18 bulan, masa antara anak pertama dan selanjutnya berkisar antara 2,4–7 tahun. Kemudian walaupun dengan kondisi habitat yang ideal untuk proses reproduksi, peningkatan populasi duyung tidak akan lebih dari 5 persen per tahun. Apalagi jika habitatnya rusak dan susah cari makan.

Dia juga menegaskan, bagian dalam Teluk Balikpapan bagi duyung. Namun, ada potensi perkiraan perluasan kegiatan transportasi dan industri di bagian dalam Teluk Balikpapan akibat rencana pembangunan IKN di daerah Utara Teluk, tindakan tepat waktu diperlukan untuk tindakan konservasi, pemantauan, dan pengelolaan yang lebih baik.

Pihaknya pun sudah merekomendasikan agar ada sebuah Peraturan di tingkat provinsi atau nasional, untuk memastikan pengamatan mamalia laut menjadi persyaratan dan prosedur operasi standar bagi industri. Misalnya harus ada survei seismik pada pemancangan bergetar yang menyebabkan kebisingan bawah air, karena dapat membahayakan mamalia laut di daerah tersebut.

“Untuk seluruh Teluk, kami merekomendasikan agar pemerintah menghentikan konversi mangrove lebih lanjut. Sementara tanah gundul di sepanjang pantai di beberapa bagian harus ditanami kembali dengan vegetasi untuk menghindari sedimentasi, yang berdampak negatif pada sumber daya ikan dan padang lamun, sehingga berdampak lagi pada mamalia laut dan mata pencaharian nelayan,” tegasnya.

Harapan Tipis Benteng Terakhir

Keberadaan mangrove di Teluk Balikpapan berkaitan erat dengan eksistensi duyung. Hal ini ditegaskan Ketua Pokja Pesisir Mapaselle. Mangrove ini akan menahan sedimentasi dari daratan yang menyebabkan air makin keruh dan padang lamun susah tumbuh.

“Dulu duyung banyak karena ada padang lamun. sekarang susah ditemukan,” jelasnya.

Dia menambahkan, saat ini duyung berada di sekitar perairan Pulau Balang. Dahulu banyak di perairan dekat Desa Pantai Lango dan Desa Jenebora.

“Duyung dulu sempat dikonsumsi karena rasanya kayak daging. Sekarang enggak. Sudah dijaga warga. Makanya mereka merahasiakan bagaimana dan waktu bisa bertemu duyung. Tapi, jumlahnya tidak banyak,” tegasnya.

Menjaga tatanan ekosistem di Teluk Balikpapan jadi kunci. Harus menjaga mangrove sebagai benteng terakhir Teluk Balikpapan dari kerusakan ekosistem di darat. Harus ada langkah teknis untuk mengurangi dampak ke laut.

“Yang terdampak ke nelayan jangka pendek. Jangka panjangnya padang lamun,” jelasnya.

Sementara itu, Asisten l Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Penajam Paser Utara Sodikin mengklaim pihaknya sebisa mungkin mempertahankan ekosistem di Teluk Balikpapan. Dengan begitu, mereka yang hidup dari kelestarian Teluk Balikpapan bisa terus bertahan.

“Pembukaan lahan juga perlu kajian. kaitannya tidak hanya pemerintah. tapi semua masyarakat bisa saling mengawasi,” jelasnya pada Maret lalu.

Dia juga mengingatkan, bahwa perkembangan penduduk tak bisa dihindari. Apalagi, saat ini juga ada ibu kota nusantara (IKN). Hal ini tentunya ada pro kontra. Hal yang bisa dilakukan saat ini mengawasi pembangunan dengan baik. Misal, jika ada pembukaan lahan mangrove yang memang sudah sesuai aturan, maka harus benar-benar diawasi penanamannya harus di satu wilayah itu juga. Bukan membuka lahan di PPU, menanamnya di wilayah lain.

Badan Riset dan Inovasi Nasional telah memberi peringatan soal keberadaan Teluk Balikpapan dan kaitannya dengan Ibu Kota Nusantara (IKN), sejak akhir 2022 lalu. Saat itu, dalam pemaparan secara daring, Imam Syafi’i, Peneliti PRP BRIN yang merupakan anggota pengkaji IKN mengatakan konsep kota hutan yang menjadi dasar IKN Nusantara telah diatur dalam Undang-Undang IKN Nomor 3 tahun 2022 dan Peraturan Presiden Nomor 64 tahun 2022.

Namun, regulasi tentang konsep green-blue city menjadi bias daratan karena Teluk Balikpapan tidak masuk dalam wilayah perairan IKN jika dilihat dari peta pembagian wilayahnya.

“Padahal ini merupakan pintu gerbang utama IKN melalui Pelabuhan Semayang dan Terminal Kariangau. Teluk Balikpapan juga menjadi pusat pengembangan kelautan dan perikanan di Kecamatan Muara Jawa (RT/RW IKN),” tuturnya.

Ia menjabarkan kondisi eksisting di Teluk Balikpapan saat ini memiliki habitat satwa yang dilindungi seperti bekantan, pesut pesisir, dan dugong atau duyung serta spesies satwa penting lainnya seperti penyu dan buaya. Kemudian di wilayah tepi Teluk Balikpapan kini telah menjadi Kawasan Industri Kariangau dan Kawasan Industri Buluminung.

“Konsep Kota Hutan IKN ini mengasingkan Teluk Balikpapan sebagai bagian dari perencanaan pembangunan wilayah hijau,” jabarnya saat itu.

Namun, Direktur Pengembangan Pemanfaatan Kehutanan dan Sumber Daya Air Badan Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN) Pungky Widiaaryanto pun memastikan bahwa pihaknya berusaha memperbaiki kondisi Teluk Balikpapan yang masuk delineasi IKN. Beberapa masukan dari berbagai lembaga soal kondisi Teluk Balikpapan pun mereka tindaklanjuti.

“Jadi, di Teluk Balikpapan itu ada pesut, crocodile (buaya), mangrove, duyung, dan sebagainya. Prinsipnya kalau melestarikan habitatnya, keanekaragaman hayati akan lestari,” kata Pungky pada 29 Mei 2024.

Dia menegaskan, Teluk Balikpapan adalah satu kesatuan ekosistem. Mulai mangrove dan perairannya. Ketika mangrove lestari, maka ekosistem di Teluk Balikpapan akan lebih baik. Saat ini, diakuinya ada beberapa wilayah mangrove di Teluk Balikpapan. Sebagian masuk di wilayah IKN, sebagian tidak.

“Kalau di wilayah IKN itu kita batasi, memang ada pengajuan pemanfaatan garis pantai. Itu kita batasi. Bagi yang sudah terbuka ya sudah kita batasi ini hanya sementara. Akan direklamasi atau direstorasi kembali,” sambungnya.

Dia melanjutkan, soal eksistensi duyung di Teluk Balikpapan pihaknya belum menaruh isu spesies secara khusus. Sebab, jika bicara keanekaragaman hayati, ada tiga tingkatan. Pertama ekosistem, kedua spesies, ketiga genetik.

“Nah kita masih di level ekosistem. Untuk spesies belum. Intinya kita ada dua. Masih utuh kita lindungi, yang sudah digunakan, akan direklamasi atau direstorasi,” tegasnya.

Langkah besar pun diklaim sudah dilakukan. Sebab, sebelumnya di Teluk Balikpapan kawasannya adalah area penggunaan lain. Namun, kini sejak ada IKN berubah menjadi dilindungi.

Namun, jika memang restorasi benar-benar diupayakan demi IKN yang Green City, sepertinya kerja super berat menanti untuk merestorasi Teluk Balikpapan. Sebab, Mapaselle menyampaikan kondisi mangrove di Teluk Balikpapan mengkhawatirkan. Kondisi saat ini, Teluk Balikpapan sudah sesak dengan industri, lalu bertambah sejak ada IKN. Karena pembukaan hutan untuk jalan tol, pelabuhan utama dan beberapa dibuka untuk industri.

“Data 2018 mangrove 16.800 hektare. Sekarang 15 ribuan saja,” tegasnya.

Dia juga menegaskan, rehabilitasi di Teluk Balikpapan itu susah. Harusnya ada upaya pencegahan yang tegas. Jangan sampai rusak dahulu. Karena perairan Teluk Balikpapan semi tertutup. Sehingga, kalau ada cemaran, maka cemaran akan terperangkap. Sebab, tidak ada sungai besar untuk mendorong air dari Teluk Balikpapan ke Selat Makassar.

Sementara, baik nelayan ataupun duyung juga satwa lain yang ada di Teluk Balikpapan sudah beradaptasi dengan Teluk dan memang ekosistem Teluk Balikpapan itu lebih ramah daripada laut lepas. Karena perairan relatif teduh terhindar angin utara dan selatan. Maka, jika kondisinya dibiarkan terus rusak, kehidupan satwa dan juga masyarakat yang hidup dari kekayaan Teluk Balikpapan, akan berat. Sebab, dipaksa keluar dari “rumahnya” atau punah di “rumah” sendiri. 

*) Tulisan ini merupakan republikasi berita yang naik di portal Mediaetam.com pada 20 Juni 2024.  Liputan ini merupakan bagian dari program Fellowship “Mengawasi Proyek Strategis Nasional” yang didukung Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.

kali dilihat