Setop Gunakan KUHP untuk Kasus Kekerasan Pada Perempuan

INDEPENDEN – Hingga saat ini Aparat Penegak Hukum (APH) masih berpatokan pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam menyelesaikan kasus kekerasan pada perempuan. Padahal Indonesia sudah memiliki banyak peraturan yang lebih spesifik untuk melindungi perempuan secara berkeadilan.

Fakta ini ditemukan Komnas Perempuan dari informasi pendamping korban di banyak provinsi di Indonesia. 

“Apalagi praktik restorative justice kerap dilakukan,” kata Veryanto Sitohang, Ketua Subkomisi Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan.

Ketidakpahaman tentang hukum untuk kasus kekerasan pada perempuan ini jadi tema utama kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) atau #16HAKTP yang dimulai sejak Rabu (24/11) hingga 10 Desember mendatang.

Tema yang diangkat oleh Komnas Perempuan dan kelompok masyarakat sipil lainnya adalah #GerakBersama untuk “Kenali Hukumnya, Lindungi Korban”.

“Kami mendorong pemerintah, APH dan masyarakat lebih banyak mengetahui ada perlindungan hukum untuk perempuan korban kekerasan supaya mereka berani melaporkan kasusnya,” kata Wakil Ketua Komisioner Komnas Perempuan Mariana Amiruddin  di Jakarta pada Jumat.

Menurut Mariana Indonesia telah memiliki peraturan yang melindungi perempuan, diantaranya Undang – Undang (UU) No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, UU No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), UU No. 21 tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), UU No.12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) serta aturan hukum lainnya.

Sayangnya  korban khususnya perempuan masih belum mendapatkan hak-haknya karena pelaksanaan undang-undang oleh APH tersebut belum maksimal.

Mariana menambahkan, Jika dalam pelaksanaan UU PKDRT saja masih banyak ditemui hambatan dan tantangan, maka pelaksanaan UU TPKS yang baru disahkan pada tahun lalu juga mesti dikawal bersama.

Data Komnas Perempuan dari 2001 hingga 2021 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan pelaporan KDRT saat UU PKDRT disahkan pada 2004.

Saat ini Rancangan Peraturan Pelaksana (RPP) UU TPKS telah disusun dan tengah diharmonisasi di Kemenkumham. Namun sosialisasi tentang UU TPKS gencar dilakukan oleh Komnas Perempuan dan lembaga layanan agar segera diimplementasikan oleh APH, pemerintah, lembaga layanan serta lembaga yang terkait.

Sementara Komnas Perempuan juga menyoroti Rancangan Undang-Undang Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang sudah mangkrak lebih dari 19 tahun. Penundaan pembahasan RUU ini membuat perempuan pekerja rumah tangga menjadi rentan kekerasan.

Selama 21 tahun Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan, tercatat lebih dari 2,5 juta Kekerasan Berbasis Gender di ranah personal dilaporkan, di mana Kekerasan terhadap Istri (KTI) paling banyak dilaporkan sebanyak 484,993 kasus.

Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 Days of Activism Against Gender Violence) merupakan kampanye internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Komnas Perempuan menjadi inisiator kegiatan ini di Indonesia.

 

 

 

kali dilihat