Tak Ada Lahan Pemakaman Khusus untuk Penghayat Kepercayaan 

Independen.id ---  Salah satu kebutuhan dasar setiap warga negara adalah tentang hak pemakaman, tidak terkecuali bagi warga Sapta Darma di kota Surabaya. Untuk mewujudkan pemenuhan hak tersebut, tentu bukan perjuangan yang singkat dan mudah. Terlebih warga aliran kepercayaan, termasuk Sapta Darma pernah mendapatkan perlakukan tidak mengenakkan di era tahun 1965. 

Ketua Persatuan Warga Sapta Darma (Persada) Pusat, Naen Soeryono mengatakan, pasca Keputusan Nomor 97 PUU/XIV/ tahun 2016 dari Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi tentang Hak-Hak Sipil Penghayat Kepercayaan, segala aktivitas warga tidak lagi menjadi masalah, mulai hak administrasi kependudukan, beribadah hingga pemakaman.   

“Salah satu putusan tersebut menyebut bahwa dalam aturan dan urusan apapun dalam kenegaraan harus ada kata agama dan kepercayaan. Dan ini adalah perjuangan panjang mulai dari tahun 1945 hingga saat ini,” ujarnya.

Di kota Pahlawan, sejak kepemimpinan Wali Kota Bambang DH hingga sekarang (Eri Cahyadi) terus mengalami kemajuan dalam hal layanan dasar kepada warga Sapta Darma. Para penganut kepercayaan yang tergabung dalam Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) selalu dilibatkan oleh Pemerintah Kota.

“Artinya semakin tahun, negara dalam hal ini Pemkot Surabaya, selalu bisa bekerjasama dengan penghayat, termasuk dalam pelayanan kremasi. Selalu ada petugas khusus yang melayani dan ada ruang khusus bagi penghayat,” terangnya. 

Ditegaskan, semenjak adanya UU No 23 tahun 2006 juncto PP 37 tahun 2007 tentang Administrasi Kependudukan, sebenarnya sudah tidak ada permasalahan dengan pemakaman warga Sapta Darma di Surabaya. 

Secara khusus, prosesi Pangukti Laya bagi warga Sapto Darmo sudah bisa dilaksanakan, baik yang dimakamkan maupun kremasi. “Pemerintah sudah memberikan keleluasaan. Kalau dulu biayanya sekitar 800 ribu, sekarang sudah naik dan ini bukan persoalan bagi kami,” tegas pria yang juga menjabat sebagai Ketua Presidium Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) Pusat ini.  

Meski secara umum, tidak ada masalah berarti dalam hak pemakaman, bukan berarti tidak ada hal yang mengganjal bagi para warga Sapta Darma. Dikatakan, hingga kini warga Sapta Darma yang meninggal dunia, dimakamkan di lahan milik umat agama lain diluar Islam, di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Keputih maupun Babat Jerawat Surabaya.

Naen berharap Pemkot menyediakan lahan khusus bagi penghayat kepercayaan. Terlebih ada 16 aliran kepercayaan di Surabaya. “Pemerintah harus memberikan hak itu, supaya setara dengan agama lain. Idealnya harus ada,” pintanya.

Sekadar informasi, di makam Keputih, didominasi oleh Blok Islam dan Kristen. Dan hanya satu blok di bagian selatan yang diperuntukkan bagi umat Hindu dan Budha.

Naen juga berharap ada layanan khusus untuk pembuangan abu jenazah, karena biasanya pihak keluarga langsung melarung abu milik warga Sapta Darma yang sudah dikremasi. Terlebih di belakang tempat kremasi tidak jauh dari laut. 


  
Di sisi lain, meski pembelian lahan pemakaman oleh aliran kepercayaan sudah diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayan dan Pariwisata Nomor 43 tahun 2009 tentang Pedoman Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa,  Naen memastikan pihaknya belum berpikir tentang hal itu. Penyebabnya adalah tingkat kemampuan warga Sapta Darma yang masih di bawah rata-rata. 

“Untuk rencana pembelian lahan makam belum ada, saat ini fokus pada pengembangan sanggar. Jika ada dana berlebih bisa beli dan meminta pemkot untuk memberikan ijin tentang lahan pemakaman,” katanya.

Sekadar informasi, di Surabaya setidaknya ada 27 sanggar Sapta Darma dan ini menyebar di Surabaya Timur (12 sanggar), Surabaya Selatan (5 sanggar), Surabaya Utara (2 sanggar) dan sisanya di Surabaya Barat. 

Sanggar tersebut untuk melayani, setidaknya 15 ribu warga Sapta Darma, yang tersebar di Surabaya Selatan (1500 warga), Surabaya Barat (7000 warga), Surabaya Timur (4000)  dan Surabaya Utara (2500 warga).  

Di Jawa Timur sendiri diperkirakan ada 75 ribuan warga, termasuk di wilayah Madura, dan di daerah 
tapal kuda yang banyak terdapat etnis Madura. “Khusus wilayah Madura, tidak ada sanggar yang didirikan dengan berbagai pertimbangan,”tegas Naen.  

Sedangkan, data Direktorat Kepercayaan dan Masyarakat Adat, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan menyebut ada 12,5 juta penganut aliran kepercayaan di Indonesia. Dari jumlah itu, Sapta Darma tercatat sebagai penyumbang terbesar, hal ini bisa dilihat dari keberadaan 1.750 sanggar di seluruh Indonesia. 

Meski begitu, warga yang sudah ber KTP penghayat belum seluruhnya. Di seluruh Indonesia baru 450 ribu yang ber KTP penghayat. “Di Sanggar Jemursari misalnya, dari 150 warga hanya 20 yang sudah mengubah identitas menjadi penghayat. Penyebabnya ya macam-macam, mulai dari kesiapan keluarga hingga karir di tempatnya bekerja,” ujarnya.

Alami Penolakan

Peristiwa tidak mengenakkan pernah terjadi saat Naen Soeryono menjabat sebagai Ketua Persada kota Surabaya di era tahun 2000 an. Saat itu, warga Sapta Darma yang meninggal dunia saat hendak dimakamkan mendapat penolakan dari salah satu kepala pemakaman di Surabaya, karena menggunakan peti saat proses pemakaman, padahal ketika itu, peti sudah dimasukkan ke dalam liang lahat. 

Naen pun berbicara empat mata dengan kepala pemakaman tersebut, dan memberikan surat pernyataan siap menjadi jaminan jika terjadi apa-apa pasca prosesi pemakaman tersebut.”Ketika itu saya memberikan jaminan melalui surat pernyataan. Hasilnya, hingga kini tidak ada lagi masalah di tempat yang sama,”terangnya. 

Pernyataan senada juga disampaikan oleh Yudi Aryanto Pramono, petugas pelayanan warga Sapta Darma yang meninggal dunia. Ia mengatakan, polemik tentang pemakaman pernah terjadi di era 90 an. Waktu itu, proses pemakaman warga Sapta Darma mendapat penolakan dari pihak pengelola makam. 

“Meski sudah tidak lagi terjadi, namun tetap ada kekhawatiran jika warga ada yang minta dimakamkan. Doa kami yang semoga berjalan lancar dan tidak ada penolakan lagi,”ujarnya.

Dikatakan juga, untuk warga Sapta Darma yang meninggal dunia, biasanya akan dibicarakan lebih dulu dengan pihak keluarga. Utamanya bagi keluarga yang memiliki kepercayaan atau agama yang berbeda. 

“Misalnya keluarganya ada yang Islam atau Kristen, maka kami tanyakan lebih dulu. Jika mereka menyerahkan kepada kami, maka prosesi akan dilakukan secara Sapta Darma, baik dimakamkan atau dikremasi,” terangnya.  

Tata cara prosesi pemakaman atau kremasi warga Sapta Darma, biasanya diawali dengan doa dan sujudan bersama saat di rumah. Begitu di pemakaman atau ruang kremasi, diadakan upacara dan sambutan dari tuntunan kota untuk menghantar jenasah ke peristirahatan terakhir. 

“Setelahnya juga ada prosesi 3 hari, hingga 1000 hari,” jelas Yudi. 

Tak ada Lahan Khusus

Sementara itu, Kepala UPTD Pemakaman Pemkot Surabaya, Khoirun Nisa mengatakan, dalam kurun waktu Januari – Agustus 2023 setidaknya ada 5 penganut kepercayaan yang menjalani prosesi kremasi di Krematorium Keputih Surabaya. 

“Total semuanya ada 18 umat penganut kepercayaan yang menjalani prosesi kremasi, mulai dari tahun 2019 hingga Agustus 2023. Sementara ini, terbanyak di tahun lalu, yakni 6 umat,” ujar Nisa. 

Ditambahkan, krematorium Keputih ini mulai beroperasi sejak Juni 2019. Total ada 30 hingga 35 petugas yang melayani kremasi umat penganut kepercayaan. Jika dihitung secara keseluruhan, krematorium ini sudah melayani sekira 1.800 jenazah yang dikremasi. 

Pemkot Surabaya sendiri memiliki 2 lokasi tempat pemakaman umum (TPU), yakni Keputih dan Babat Jerawat. Kedua makam ini, diperuntukkan bagi seluruh agama, termasuk Hindu dan Budha. 

“Kami mengelola 13 tempat pemakaman. 2 merupakan TPU, 5 makam Islam, 3 makam untuk umat Islam, Kristen dan Katolik, 1 makam Tionghoa untuk umat Budha, Kristen dan Katolik, 1 makam untuk umat Islam dan Budha serta 1 makam Peneleh atau pemakaman Belanda yang saat ini tidak aktif,” terang Nisa. 

Ditegaskan Nisa, hingga saat ini pihaknya tidak menyediakan lahan khusus untuk pemakaman penganut kepercayaan.  “Kami memang belum menyediakan lahan khusus, namun kami tetap melayani bagi penganut kepercayaan yang prosesi kremasi,” ungkapnya. 

TPU Harus Non Diskriminasi

Sementara itu, Peneliti Human Rights Law Studies (HRLS) Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, Haidar Adam mengatakan, sejauh ini regulasi tentang Penyediaan Penggunaan Tanah untuk Keperluan Tempat Pemakaman tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1987. Di aturan tersebut, ada beberapa klasifikasi, yakni pemakaman umum, tempat pemakaman bukan umum dan tempat pemakaman khusus. 

Dalam konteks tempat pemakaman umum, seharusnya peruntukkannya non-diskriminatif. Artinya, semua pihak manapun latar belakangnya, apapun agama dan keyakinannya, itu memiliki hak atau akses yang sama untuk tempat pemakaman umum tersebut

“Kalau untuk Surabaya, jika memang tempat itu teridentifikasi atau statusnya adalah tempat pemakaman umum, maka semua semua orang atau semua penduduk Surabaya bisa dimakamkan di tempat tersebut,”ujarnya. 

Ditambahkan, posisi Pemkot Surabaya sebagai bagian dari negara harusnya bersifat netral. Netral dalam konteks ini kemudian bukan tidak bersikap apa-apa, tapi harus seturut dengan state responsibility atau tanggung jawab dari negara dalam penegakan hak asasi manusia, yang dalam konteks ini adalah to fulfill atau memenuhi. 

Dalam konteks ini, tegas Adam, posisi penghayat kepercayaan masuk ke kelompok rentan sehingga mungkin ada proteksi khusus atau ada semacam privillage, kalau bahasa lainnya adalah affirmative action, diskriminasi dalam arti positif kemudian diperkenankan. Terlebih  memang situasi yang menghendaki adanya perlakuan khusus itu. Dalam konteks untuk menempatkan dan mensejajarkan hak asasi manusia antara orang kebanyakan dengan kelompok-kelompok rentan. 

“Jika terdapat hambatan, misalnya ingin dimakamkan di TPU tertentu dan ditolak, maka pemerintah harus hadir dan memastikan prosesi tersebut berjalan dengan baik. Hal ini sebagai bentuk proteksi. Kalaupun ada kelompok lain yang tidak terima, maka kelompok rentan ini wajib dilindungi,” ujar Adam. 

Penulis: Yovinus Guntur

kali dilihat