Tiada Pesta Lagi di Laut Patimban

Penulis: Taufiqurrohman

Independen.id -- Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di Dusun Trungtum, Desa Patimban, Subang, tampak sepi sore pertengahan Desember tahun lalu. Tidak ada kapal menyandar. Hanya hitungan jari jumlah orang yang berdiri di area pelelangan seluas lebih 20 meter. Itu pun bukan sedang mengurusi ikan yang ditangkap, melainkan menyaksikan para tukang bangunan membalurkan semen menambal tepian tempat pelelangan. Di seberang tidak jauh dari area pelelangan, berjejer toko-toko di pasar sepi pembeli.

Sambil berdiri, Mastapa, 51 tahun, mengeluhkan sulitnya mendapatkan ikan setelah Pelabuhan Patimban dibangun. Biasanya dia melaut tidak jauh dari bibir pantai sesuai dengan alat tangkapnya, jaring untuk ikan kecil jenis bilis. Namun, wilayah tangkapnya itu kini sudah berdiri beton tiang pancang pelabuhan. “Saya memang kelompok nelayan bilis, wilayah tangkapnya di pesisir. Dulu wilayah tangkap saya di situ,” ujar dia menatap Pelabuhan Patimban yang tak jauh dari tempatnya berdiri.

Pembangunan Pelabuhan Patimban dimulai sejak 2018. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 47 Tahun 2016 menetapkan Pelabuhan Patimban sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Ada pula Peraturan Presiden RI Nomor 109 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.

Kini, pembangunan Pelabuhan Patimban memasuki tahap II. Pelabuhan resmi beroperasi pada Desember 2020 silam. Dikutip dari website Kementerian Perhubungan, peresmian dihadiri secara virtual oleh Presiden periode 2014-20124 Joko Widodo dan dihadiri langsung oleh Menteri Perhubungan kala itu, Budi Karya Sumadi. Pelabuhan langsung melayani kegiatan ekspor perdana produk otomotif 140 unit kendaraan.

Pembangunan pelabuhan rencananya akan rampung seluruhnya pada 2034. Dikutip dari website Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas, investasi Pelabuhan Patimban senilai Rp43,221 triliun dengan skema pendanaan Kerja Sama Pemerintah-Badan Usaha (KPBU). Pelabuhan Patimban dibangun untuk mengurangi kelebihan kapasitas di Pelabuhan Tanjung Priok dan sebagai simulator pengembangan wilayah Subang.

Pantauan Independen.id, aktivitas Pelabuhan Patimban belum terlalu ramai. Hanya sesekali kendaraan pengangkut melewati jalan layang yang menghubungkan pelabuhan dan jalan raya pantai utara. Dari bibir pantai, tampak di tengah laut aktivitas reklamasi pelabuhan. Namun di sekitar area reklamasi hingga ke bibir pantai merupakan wilayah yang dilarang melakukan aktivitas melaut. Padahal area itu dulu merupakan wilayah tangkap nelayan pesisir.

Tergesernya wilayah tangkap menjadikan nelayan tidak merasakan dampak pengembangan perekonomian yang menjadi tujuan pembangunan Pelabuhan Patimban. Seperti halnya yang dialami Mastapa, kondisi serupa dialami para nelayan lainnya di Dusun Trungtum yang kebanyakan merupakan nelayan pesisir.

Tempat pelelangan ikan di Patimban yang sepi

Keterangan foto: pelelangan ikan di Patimban yang sepi, karena nelayan sulit mendapatkan ikan (Taufiqurrohman)

 

Manajer TPI Dusun Trungtum, Anta Sena, mengungkapkan masyarakat tidak pernah menyelenggarakan pesta laut selama tiga tahun belakangan karena susah mendapat ikan. Pesta laut merupakan bentuk tradisi syukuran yang dijaga dari para sesepuh masyarakat setempat. Mereka percaya pesta laut bisa membuat hasil tangkapan ikan nelayan berlimpah. Dan bila tidak menggelar pesta laut bisa membuat hasil tangkapan ikan menurun. “Bagaimana menggelar pesta laut kalau anggarannya tidak ada. Paling tidak butuh Rp200 juta untuk gelar pesta laut,” kata dia.

Biaya menyelenggarakan pesta laut biasanya bersumber salah satunya dari Koperasi Unit Desa Mina Nisaya Guna Patimban. Hasil tangkapan ikan dari para anggota koperasi dipotong sebesar 1 persen. Sisa biaya untuk menggelar pesta laut diperoleh dari sponsor. Namun saat ini, kebanyakan para anggota koperasi tidak berpenghasilan.

Anta Sena dulu merupakan nelayan yang beroperasi di sekitar bibir pantai. Rata-rata nelayan di Dusun Trungtum menggunakan kapal berukuran 7-8 gross ton (GT). Nelayan pesisir biasa menggunakan jaring untuk menangkap jenis ikan kecil, seperti ikan bilis, ikan teri, dan udang rebon. Namun, sejak susah mendapatkan hasil tangkapan, dia memilih untuk menjual perahunya. “Untung saya segera jual, malah ada yang kapalnya tenggelam karena tidak pernah dipakai,” kata dia.

Nasib naas nelayan yang kapalnya tenggelam itu dialami M. Rusdi Al Raswadi. Rusdi, yang juga menjabat sebagai Ketua KUD Mina Nisaya Guna Patimban, punya 2 kapal berukuran 11 GT yang rusak akibat lama tidak dipakai. “Mesinnya rusak. Untuk memperbaiki mahal. Satu perahu tenggelam saat ditambatkan,” kata dia.

Berbeda dengan kebanyakan nelayan Dusun Trungtum yang beroperasi di bibir pantai, Rusdi dengan ukuran kapal lebih besar bisa melaut lebih dari 4 mil di luar area pelabuhan. Bisa beroperasi di luar area pelabuhan tidak membuat Rusdi mendapatkan hasil tangkap yang banyak. Dia mengaku hasil tangkapan berkurang sejak pembangunan pelabuhan. Sementara dia harus membayar anak buah kapal sejumlah Rp100 ribu sampai Rp150 ribu per orang per hari. “Tekor karena hasil tangkap sedikit. Ga cukup buat nutup biaya operasi,” ujar dia.

Menurut Anta Sena, jumlah ikan di wilayah pesisir atau sekitar 2-3 mil dari bibir pantai berkurang banyak karena area tersebut berubah menjadi lokasi pelabuhan. Padahal hasil tangkapan biasanya mencapai 1 hingga 2 ton per kapal setiap harinya. Nelayan pesisir biasanya cukup menebar jaring tidak jauh dari bibir pantai untuk mendapatkan hasil tangkapan yang berlimpah. “Lokasi yang sekarang dibikin pelabuhan itu adalah tempat penebaran jaring para anggota nelayan kami. Dampaknya kami sampai tidak mendapatkan ikan,” ujar dia.

Selain itu, kontraktor kerapkali membuang limbah pembangunan tidak sesuai dengan titik koordinat yang disepakati sehingga mengakibatkan alat tangkap nelayan nyangkut dan rusak. Apalagi limbah pembangunan itu diduga berupa lumpur yang beracun. Anta Sena mengungkapkan indikasi limbah itu beracun terlihat dari ikan-ikan yang menghilang dari tempat pembuangan limbah yang biasanya menjadi wilayah tangkap nelayan. “Lumpur kadang bercampur coran, bekas semen, untuk pemasangan pancang. Jelas bubarlah ikan-ikan itu,” tegas dia.

Masalah pembuangan limbah juga jadi masalah bagi Ajid, 48 tahun, nelayan Desa Ujung Gebang, Indramayu, Jawa Barat. Desa Ujung Gebang merupakan salah satu desa nelayan terdampak yang berada di sekitar Pelabuhan Patimban. TPI Desa Ujung Gebang hanya dipisahkan muara sungai berjarak tidak sampai 500 meter. Ajid yang punya 3 kapal berukuran di bawah 5 GT itu kerap menemui lumpur-lumpur buangan limbah pembangunan yang tidak sesuai dengan koordinat yang disepakati. Jaring yang digunakan pun tersangkut lumpur yang membuat perairan jadi dangkal. “Limbah itu dibuang ke tengah laut. Dibuangnya tidak sesuai dengan koordinat yang sudah disediakan. Itu ga dibicarakan,” kata dia.

 Ajid sempat protes ke pihak pelabuhan karena jaringnya rusak akibat tersangkut limbah yang dibuang tidak sesuai dengan koordinat yang disepakati. Pihak pelabuhan menjanjikan untuk mengganti jaring tersebut. “Ngomongnya sih mau diganti. Tapi sampai saat ini belum diganti,” kata dia.

Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Pelabuhan Patimban tidak merespons konfirmasi terkait pembangunan Pelabuhan Patimban, termasuk pembuangan limbah lumpur yang diduga beracun. Kepala Seksi Lalu Lintas Angkutan Laut dan Usaha Kepelabuhan Cahyo Eko Putranto tidak merespons panggilan telepon maupun pesan WhatsApp dari Independen.id.

Tidak ada tindak lanjut, para nelayan mengadukan masalah pembuangan limbah pembangunan dan perubahan wilayah tangkap tersebut ke lembaga swadaya masyarakat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia-Jawa Barat (Walhi Jabar). Pengaduan tersebut dilakukan oleh nelayan di tiga dusun: Dusun Trungtum dan Dusun Genteng, Desa Patimban, Kabupaten Subang; serta Dusun Ujunggebang, Desa Ujunggebang, Kabupaten Indramayu. “Kalau sebelumnya pengaduan masih seputar kompensasi. Tiga bulan lalu mereka mengadu soal dampak pembangunan pelabuhan dan perubahan wilayah tangkap,” ungkap Direktur Eksekutif Walhi Jabar Wahyudin.

Wahyudin menyoroti pembangunan Pelabuhan Patimban telah menyebabkan kerusakan ekosistem laut di wilayah tersebut. Aktivitas konstruksi, termasuk pengurukan menggunakan lumpur yang diduga mengandung limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), telah mematikan ikan dan merusak habitat laut. Hal ini berdampak langsung pada mata pencaharian nelayan yang bergantung pada hasil laut. “Perlu dicek kandungan limbah B3 itu,” ujar dia.

Selain itu, wilayah tangkap nelayan menjadi semakin terbatas, sehingga akses mereka untuk mencari nafkah terganggu. Dampak ini tidak hanya dirasakan oleh nelayan, tetapi juga oleh masyarakat umum yang mengalami gangguan akibat kebisingan dan perubahan lingkungan.

Wahyudin menyayangkan minimnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan pelabuhan. Sosialisasi yang dilakukan dinilai tidak inklusif. Akibatnya, banyak nelayan yang tidak mendapatkan informasi memadai mengenai proyek ini, termasuk dampaknya terhadap wilayah tangkap mereka.

Manajer Kampanye Tata Ruang dan Infrastruktur Walhi Dwi Sawung menyoroti perencanaan pembangunan Pelabuhan Patimban yang terkesan terburu-buru. Pelabuhan Patimban merupakan alternatif lokasi dari rencana pembangunan Pelabuhan Cilamaya yang gagal karena wilayahnya berisiko terkait instalasi minyak dan gas Pertamina. “Pemindahan ini bukanlah hasil perencanaan matang, melainkan keputusan mendadak karena desakan faktor risiko. Jadi dipindah di sini aja, nanti menyesuaikan dampak lingkungannya,” ujar dia.

Dengan berstatus PSN, Pelabuhan Patimban memiliki keistimewaan apabila ada perubahan di tengah jalan, termasuk syarat analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) bisa berjalan secara paralel dengan pembangunan. Sawung menyebut pemerintah daerah akan menyesuaikan rencana tata ruang wilayah (RTRW) pada PSN. “Kalau bukan PSN masih bisa didebatin di DPRD maupun kepala dinas, tapi kalau PSN susah, ga bisa diganggu gugat,” kata dia.

Bagi Anta Sena, protes pembangunan Pelabuhan Patimban yang berstatus PSN seperti hampir mustahil mengembalikan ikan-ikan yang dulu berlimpah di wilayah itu. Sama mustahilnya dengan menggelar pesta laut di masa paceklik seperti pesan para sesepuh. “Bagi orang tua kita dulu, karena ga ada pesta laut dampaknya jadi susah,” kata dia.

kali dilihat