8 Tuntutan Masyarakat Sipil dalam Debat Capres Terakhir

INDEPENDEN -- Minggu, 4 Februari 2024 akan menjadi debat terakhir calon presiden dan calon wakil presiden.

Tema debat yang menjadi pamungkas empat debat sebelumnya adalah Kesejahteraan Sosial, Ketenagakerjaan, Pendidikan, Kesehatan, Teknologi dan Informasi, Kebudayaan, Sumber Daya Manusia dan Inklusi.

Pada konferensi pers Komisi Pemilihan Umum (KPU) terakhir pada Jumat lalu, komisioner KPU August Mellaz mengatakan format dan teknis, debat kelima ini tidak berubah dari debat sebelumnya. Namun akan ada penambahan durasi pada sesi pernyataan penutup dari dua menit menjadi empat menit.

August mengatakan, penambahan durasi diusulkan oleh tim kampanye, yang ingin menyampaikan visi, misi dan program kerja untuk menyakinkan pemilih di saat-saat terakhir sebelum pemungutan suara. Ketiga kandidat dan KPU kemudian menyepakati usul itu.

Tema debat ini dianggap masyarakat sipil cukup menarik karena selama dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo, tidak menunjukkan keseriusan dalam menyelesaikan masalah-masalah dalam delapan tema debat itu.

Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) menyimpulkan selama ini pemerintah justru menunjukkan keberpihakan pada kelompok oligarki dan kapitalisme.  Mereka juga masih meragukan komitmen para capres dan cawapres dalam menyelesaikan persoalan-persoalan rakyat tersebut.

GEBRAK menggarisbawahi masalah delapan isu dalam debat termasuk tuntutannya:

  1. Ketenagakerjaan

Dalam konteksnya di Indonesia strategi utama pemerintah dalam menanggulangi krisis ekonomi, sebagaimana juga telah diterapkan liberalisasi ala neoliberal. Seluruh sektor-sektor perekonomian dibuka seluas-luasnya demi menarik masuk modal. Setidaknya pada sektor perburuhan ada beberapa kebijakan neoliberal yang anti terhadap kesejahteraan kaum buruh seperti Undang-undang Cipta Kerja atau dikenal sebagai Omnibus Law dengan berbagai skandal legislasi dalam proses pengesahannya yang sejatinya adalah aturan sapu jagat untuk memberikan kebebasan seluas-luasnya bagi kekuatan modal untuk melakukan ekspolitasi terhadap kaum buruh.

Khususnya skema politik upah murah, fleksibilitas lapangan kerja hingga liberalisasi pasar tenaga kerja merupakan lagu lama yang semakin di upgrade dalam sisi pengemasanya.

Hari ini liberalisasi tenaga kerja menjelma menjadi sepaket kebijakan yaitu UU Ominibus Law Cipta Kerja, salah satunya ialah PP No. 51 Tahun 2023 yang merupakan peraturan turunan dari UU Cipta Kerja mengenai pengupahan, peraturan yang mengatur jenis pengupahan tersebut merupakan lanjutan dari proyek fleksibiltas lapangan kerja (LMF), sebagai syarat pencairan utang dana moneter pada IMF. Dengan diberlakukanya UU Cipta Kerja beserta PP turunannya Indonesia secara resmi negara memainkan peranannya dalam memiskinkan buruhnya dengan skema politik upah murah dan eksploitasi berkedok fleksibilitas tenaga kerja. 

Tuntutan ; Cabut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja, Cabut PP Nomor 51 Tahun 2023, Hapus system kontrak dan outsorching, bentuk system pengupahan yang adil dan layak, libatkan Serikat Buruh dalam Proses Transisi Energi, Daycare gratis ramah anak dan berkualitas untuk seluruh buruh Indonesia.

 

  1. Pendidikan

Situasi pendidikan di Indonesia dapat dilihat dari beberapa aspek, diantaranya adalah akses, kualitas, dan orientasi pendidikan. Berikut adalah data terkait situasi pendidikan di Indonesia: Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2023, Angka Partisipasi Sekolah (APS) menurut rentang umur 7-12 Tahun sebesar 99,1 persen dan rentang umur 19-24 Tahun sebesar 26,85 persen.

 Data tersebut bisa  disimpulkan bahwa semakin sedikit jumlah masyarakat yang bisa mengenyam pendidikan mulai dari pendidikan dasar hingga tinggi. Kemudian, kesenjangan pendidikan antara perkotaan dan perdesaan juga masih cukup signifikan.

Menurut Deputi Bidang Statistik Sosial (BPS) Ateng Hartono, sebagian besar usia 15 tahun ke atas di kota atau sebanyak 38,87 persen berpendidikan sekolah menengah atau sederajat, sedangkan di desa masih berpendidikan sekolah dasar atau sederajat. Hanya 22,45 persen penduduk di pedesaan yang menamatkan pendidikan hingga sekolah menengah atau sederajat, sedangkan sebanyak 36,22 persen yang menamatkan pendidikan SD atau sederajat. 

Di perguruan tinggi, apalagi pasca disahkannya UU Cipta Kerja, kampus berlomba bertransformasi menjadi kampus PTNBH atau modeling corporate university, Negara melepaskan tanggung jawab pembiayaan dan memberikan wewenang kepada kampus untuk mencari pendanaannya sendiri.

Di sanalah transaksional profesor kehormatan, honoris causa, kemitraan, dosen NIDK menjadi lahan pencarian profit dan bargaining politik. Seperti yang terjadi terhadap kampus-kampus yang telah menerapkan PTNBH.

Komersialisasi dan inflasi biaya pendidikan tinggi yang konsisten setiap tahun; komodifikasi penelitian dan kerja-kerja akademik, karena semakin masif melakukan hilirisasi riset dan link and match dengan korporasi; outsourcing pekerja akademik, pengaturan mengenai kepegawaian dosen maupun non-dosen dalam PTNBH diatur secara seragam menuju “tenaga kontrak” universitas/institut yang mengeksploitasi; dan, manufakturisasi metode pembelajaran dan kurikulum pendidikan yang membungkam kekritisan/kebebasan akademik serta menumbuhkan neo fasis dalam pendidikan.

 PTN-BH dalam jeratan turbulensi pasar yang dimana hal tersebut mendongkrak biaya pendidikan semakin tinggi melebihi tingkat inflasi kebutuhan pokok. Akan mengintegrasikan denga regulasi student loans (pinjaman biaya pendidikan) sebagai fase laju perkembangan ‘kapitalisme finansial’ dalam lingkup pendidikan tinggi. Skema student loans akan mengantarkan kita kepada krisis-multidimensi yang lebih luas.

Tuntutan :  Menolak komersialisasi pendidikan, Restrukturisasi Anggaran Pendidikan Nasional, Pajak progresif di sektor tambang-perkebunan-dan padat modal untuk pengalokasian anggaran, Pendidikan tinggi gratis, Tolak skema kampus merdeka, ciptakan kurikulum dengan orientasi kepentingan rakyat.

 

  1. Kesehatan

Sektor kesehatan turut menjadi target dalam agenda neoliberal dengan melakukan pelemahan peran negara dalam penyelenggaraan bidang kesehatan. Pelemahan tersebut tidak terlepas atas stimulus 'dikte' imbas kerjasama World Bank - IMF dengan Indonesia yang akhirnya mengkristalkan agenda privatisasi pada sektor kesehatan.

Melalui berbagai kebijakan neoliberal, regulasi mengenai kesehatan dikemas dan disahkan sebatas untuk memberikan karpet merah bagi investor dalam sector bidang layanan kesehatan, pendidikan dokter, dan farmasi. Hal tersebut berpotensi mengabaikan pemusatan perlindungan kepentingan kesehatan publik.

Dalam beberapa tahun terakhir, implementasi privatisasi kesehatan berjalan agresif seiring menjalarnya rumah sakit swasta dibandingkan rumah sakit umum.

Rumah Sakit yang telah teregistrasi di Indonesia tahun 2023 sebanyak 3.099 rumah sakit yang terdiri dari 2.582 rumah sakit umum dan 517 rumah sakit khusus. Sebanyak 1.119 rumah sakit adalah milik pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan TNI/POLRI; BUMN sebanyak 37 rumah sakit serta sebanyak 1.943 rumah sakit milik swasta. Rata-rata pertumbuhan rumah sakit umum sebesar 0.4%, sedangkan rumah sakit swasta sebesar 15.3% (Persi, 2018).

Hal tersebut akan memberikan persoalan domino; akses kesehatan yang tidak merata, biaya kesehatan yang konsisten meningkat, dan lumbung bisnis segelintir pihak. Persoalan lainnya mengenai perbaikan dan penetapan standard hidup layak tenaga medis dan kesehatan Melakukan perbaikan dan pembuatan kebijakan terkait standard jam kerja, upah layak, jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, dan hak – hak lain dari Tenaga Medis dan Kesehatan sesuai dengan prinsip kemanusiaan yang adil, layak, dan setara.

Tuntutan ; Menolak privatisasi dan komersialisasi sektor kesehatan pada level system ataupun industry, Bangun industri dan system kesehatan Nasional yang berbasis pada kepentingan rakyat, kesehatan harus mudah dijangkau dan gratis untuk seluruh rakyat Indonesia, kerja layak dan upah layak bagi tenaga kesehatan di seluruh Indonesia.

 

  1. Teknologi Informasi

Setiap perkembangan tekonologi dalam kapitalisme akan menghantarkan kita pada ketimpangan yang lebih lebar. Dengan dalih mempersingkat waktu kerja, mesin yang berinovasi teknologi tersebut malah memperpanjangnya. Para pemilik modal tidak mengembangkan teknologi secara umum; mereka sebatas mengembangkannya guna mendorong kepentingan kelas penguasa yang menguntungkan segelintir pihak. Bahkan menghambat perkembangan teknologi secara umum yang berorientasi terhadap kepentingan masyarakat.

Kemudian, monopoli kepemilikan dan akses tersebutlah akan menimbulkan persoalan lain, seperti halnya kesenjangan digital, menjadi gap antara teknologi (si kaya) dan (si miskin). Kesenjangan digital pada akhirnya membedakan pemakaian dan penerapan secara social, ekonomi, politik, bukan sekedar teknologi sahaja. Seperti halnya, tingkat penggunaan dan kepemilikan resource-akses dalam teknologi akan berbeda, demikian bahwa tingkat pemanfaatan dan distribusi manfaat tersebut juga berbeda.

Kedua, gagasan kesenjangan digital itu punya konsekuensi ekonomi-politik, alasannya sederhana. Negara-negara maju produsen teknologi komunikasi dan informasi butuh pasar karena daya serap pasar mereka sendiri terbatas. Karena itu, selain menghembuskan gaya-hidup modern yang karakteristiknya harus dibalut teknologi komunikasi keluaran terbaru (bagi kelas menengah ke atas), jargon digital divide itu menjadi sarana ampuh untuk membuang teknologi komunikasi yang sudah usang ke negara miskin.

Ketiga, masyarakat menjadi komodifikasi dalam sirkuit teknologi yang dikuasai para pemilik modal, serta juga menjadi alat hegemoni kekuasaan yang turut mengontrol alur informasi bagi public sesuai kepentingan segelintir pihak.

 

Tuntutan; Negara harus berdaulat atas kemajuan Teknologi, Bangun industri nasional dalam bidang teknologi untuk kepentingan rakyat bukan oligarki, akses informasi seluas-luasnya kepada rakyat tanpa diskriminasi.

 

  1. Kebudayaan

Kebudayaan tidak terlepas atas corak produksi-sosio bagi kelas berkuasa dengan kontruksi social (oleh lembaga, praktek, keyakinan, dan sebagainya). Budaya turut menjadi alat hegemoni yang bertujuan diantaranya; menciptakan universalitas, memperkuat status-quo kekuasaan, dan menjadi instrumen kontrol sosial yang melekat.

Perumusan dan pembuatan kebijakan yang menopang agenda rezim oligarki dalam mengontrol kekuasaan terjadi seperti halnya, Perencanaa dan Pengelolaan Kebudayaan dalam UU Kebudayaan yang dimana membatasi kebebasan berekspresi dengan sejauh mana tidak bertentangan dan melawan kepentingan rezim-kekuasaan, kebudayaan daerah dapat dilestarikan dan diperbolehkan.

Persoalan lainnya yaitu standarisasi pranata kebudayaan dan sertifikasi SDM kebudayaan. Hal tersebut terang sebagai bentuk pemaksaan kekuasaan/rezim oligarki terhadap Lembaga kebudayaan, komunitas kebudayaan, komunitas adat agar selalu berada dalam rute kekuasaan kekuatan modal oleh rasionalitas negara.

Kebudayaan yang diintegrasikan dengan regulasi berwatak neoliberal tak terhindarkan dengan program deregulasi ekonomi, mega proyek infrastruktur dan kawasan ekonomi khusus, berbagai konflik agraria, dan UU Kebudayaan itu sendiri yang akan membentuk sebuah gambar akan sistematisnya konsolidasi modal. Hingga pada akhirnya polemik mengemuka di tengah gencarnya deregulasi ekonomi untuk menarik investasi di Indonesia, munculnya UU

Kebudayaan ini dapat juga dijelaskan sebagai sebuah upaya untuk menstabilkan gejolak konflik akibat investasi, seperti konflik agraria dan konflik buruh-pengusaha.

UU Kebudayaan ini dapat ditengarai bertujuan untuk menciptakan subjek-subjek yang produktif, dapat diatur, diadaptasi, dan akhirnya diperintah.

Tuntutan ; Menuntut kepada negara untuk berkomitmen merawat kebudayaan dalam hal demokrasi, kesenian, tradisi dan lainnya sebagai bagian penting dalam menentukan arah kebijakan.

 

  1. Kesejahteraan Sosial

Pemasalahan kesejahteraan sosial di Indonesia, meliputi; ketimpangan pendapatan-kekayaan, monopoli & perampasan lahan, akses & biaya pendidikan, jaminan sosial masyarakat, dan privatisasi-komersialisasi kesehatan.

Gap antara upah buruh dengan PDB per kapita memperlihatkan jelas ketimpangan kekayaan yang terjadi. Kekayaan 40 Orang terkaya di Indonesia sebanding dengan harta 60 juta masyarakat dengan ekonomi lemah. Menurut CNBC, sepanjang 2021, ada 10 persen penduduk Indonesia kelompok ekonomi teratas yang memiliki kontribusi terhadap GDP yakni 46,86 persen angka ini tak pernah berubah sejak tahun 2018.

Sementara, ada 50 persen penduduk Indonesia kelompok ekonomi terbawah memberikan kontribusi terhadap PDB yakni sebesar 12,45 persen sejak 2018-2021. Pendapatan kelompok 50 persen terbawah hanya Rp 22,6 juta per tahun. Nilai itu jauh lebih rendah dibandingkan di kelompok 10 persen teratas yang memiliki pendapatan hingga Rp 285,07 juta per tahun.

Menurut data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), pada Agustus 2023, jumlah pendapatan buruh sebesar Rp3,178,227/bulan. Jika dibagi dengan rata-rata jumlah anggota rumah tangga, yakni 4,3 juta jiwa, maka nilai per kapita/hari hanya mencapai Rp22,410,3 atau sekitar USD 1,6. Bahkan angka tersebut jauh di bawah standar garis kemiskinan yang diterbitkan World Bank, yaitu USD 3,2.

Berdasarkan data rilisan KPA, sebesar 68 persen tanah dikuasai oleh perusahaan dan koorporasi skala besar. Setidaknya, ada 241 letusan konflik agrarian di Indonesia sepanjangan tahun 2023 dengan melibatkan area seluas 638 ribu hektare dan 135,6 ribu Kepala Keluarga (KK).       

Selain itu, mengenai pendidikan, BPS mencatat dari mahasiswa yang sempat berkuliah sebanyak 601.333 harus berhenti pada 2020. Dari keseluruhan penduduk masyarakat Indonesia sekitar 278,8 juta hanya 6 persen yang bisa menikmati bangku pendidikan di Indonesia. Berbagai kelindan persoalan diatas menjadi salah satu indicator bagaimana kebobrokan kesejahteraan masyarakat Indonesia yang meruncing.

Tuntutan; Redistribusi tanah untuk rakyat , Redistribusi pendapatan dalam bentuk tunjangan sosial (subsidi upah, subsidi sembako, subsidi bbm, transportasi publik gratis, dan perumahan murah untuk rakyat), penguasaan SDA oleh rakyat bukan dikuasi oleh segelintir kelompok.

 

  1. Sumber Daya Manusia (SDM)

Kampanye Indonesia emas tahun 2045 yang disampaikan oleh Negara dan para capres-cawapres dalam setiap perdebatan sepertinya patut diragukan. Jika merujuk kepada empat pilar utama pada narasi Indonesia emas 2045 yaitu SDM yang unggul, Demokrasi yang matang, Pemerintahan yang baik dan Keadilan sosial, faktanya hari ini justru berbanding terbalik.

Pada level SDM yang unggul jika diukur dari pendidikan, hari ini justru terjadi komersialisasi dan liberalisasi di sektor pendidikan yang menyebabkan masyarakat tidak dapat mengakses pendidikan yang gratis dan berkualitas baik dari SD sampai dengan Perguruan Tinggi.

Pada level demokrasi yang matang, kita bisa lihat bahwa indeks demokrasi empat tahun terakhir berangsur turun dan menjadi perhatian internasional karena tindakan negara yang cenderung otoriter dan militeristik terhadap kebebasan berpendapat dan ekspresi.

Pada level pemerintahan yang baik, justru hari ini wilayah paling banyak terjadi persoalan dalam hal kepentingan oligarki dan juga korupsi adalah di Pemerintah karena sentralisme kekuasaan terpusat pada Presiden dan Kementerian.

Contoh kongkrit adalah Omnibus Law Cipta Kerja yang mengamputasi kewenangan Pemerintah Daerah dalam hal kebijakan strategis. Yang terakhir adalah pada level Keadilan sosial, faktanya dalam masa kepemimpinan rezim populis Jokowi banyak menciptakan ketimpangan sosial di masyarakat seperti menciptakan Omnibus Law Cipta Kerja, PSN, Kawasan Ekonomi Khusus yang pada muaranya justru menguntungkan perut para Oligarki.

Tuntutan; Menuntut kepada negara untuk memberikan Pendidikan gratis dan berkualitas dari SD hingga Perguruan tinggi, Tolak privatisasi ilmun pengetahun lakukan Transfer ilmu pengetahuan dalam bidang industri dan sektor lainnya untuk kemandirian dan kemajuan bangsa, Revisi UU KPK dan Sahkan RUU Perampasan Aset, Demokrasi dalam hal kebebasan berpendapat dan berekspresi harus menjadi bagian dasar dalam pembangunan Sumber Daya Manusia di Indonesia.

 

  1. Inklusi

Dua periode Jokowi meninggalkan catatan buruk dan membuat demokrasi menjadi hancur. Seperti kita ketahui secara bersama, rezim populis Jokowi berhasil menguatkan para kelompok Oligarki beserta antek-anteknya dan membungkam gerakan rakyat dengan cara ala otoritarianisme orde baru.

Tebang pilih dalam proses pembuatan kebijakan seringkali teranalisir oleh kelompok tertentu dan diskriminatif. Misalnya saja dalam perumusan UU Cipta Kerja Omnibus Law, hampir tidak pernah diketahui proses perumusan dan penyusunan bahkan Naskah Akademik yang diserahkan dari Presiden Jokowi kepada DPR RI tidak ada pelibatan dan partisipasi masyarakat. Tentu hal ini bersebrangan dengan nilai dan prinsip dari inklusif yang mengedepankan partisipasi tanpa memandang identitas kelompok.

Sepertinya memang negara pada Pemerintahan Jokowi memang seringkali melakukan diskriminasi terhadap kelompok rentan dan minoritas, misalnya saja rakyat papua yang dibungkam karena menuntut hak untuk menentukan nasib terhadap kedaulatan atas tanahnya sendiri yang dikuasi oleh oligarki.

Lalu ada konflik masyarakat Wadas di Jawa Tengah yang mempertahankan hak atas tanahnya karena negara menetapkan status Proyek Strategis Nasional (PSN) di teritori tersebut. Bukannya membuka ruang dialog, justru pendekatan yang dilakukan terhadap konflik masyarakat dengan negara dibenturkan dengan TNI/POLRI.

Dan yang terakhir misalnya saja konflik di Pulau Rempang antara rakyat dengan negara yang pada pokoknya adalah kebuntuan negara dalam menyelesaikan konflik selalu diselesaikan oleh tindakan represif dan kriminalisasi.

Tuntutan ; Menuntut agar tidak adanya diskriminasi dan tebang pilih oleh Negara kepada kelompok rentan dan minoritas, melibatkan partisipasi seluruh kelompok rentan dan minoritas dalam penyusunan kebijakan publik dan hukum, tidak ada lagi rasisme-represifisme dan militerisme oleh negara kepada rakyat.

 

kali dilihat