INDEPENDEN-- Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mendokumentasikan 89 kasus serangan terhadap jurnalis dan media sepanjang 2023.
Jumlah ini paling tinggi dalam 10 tahun terakhir atau sejak 2014 dan menunjukkan tanda bahaya bagi masa depan kebebasan pers di Indonesia.
Peliknya lagi serangan pada media dan pers ini juga masif terjadi bersamaan dengan waktu Pemilu nasional pada 14 Februari 2024 mendatang. Belum apa-apa, proses menuju pemilu sudah diwarnai nepotisme, politik dinasti, penyalahgunaan sumber daya negara untuk memenangkan calon tertentu, dan menguatnya intimidasi terhadap kebebasan berekspresi.
Berdasarkan data yang dikumpulkan AJI Indonesia serangan yang terjadi berbentuk teror, digital, kriminalisasi dan kekerasan seksual tersebut telah menargetkan 83 individu jurnalis, lima kelompok jurnalis, dan 15 media.
Kekerasan tertinggi terjadi pada jurnalis dan media yang melaporkan tiga kelompok isu yakni akuntabilitas dan korupsi yakni sebanyak 33 kasus; isu-isu sosial dan kriminalitas sebanyak 25 kasus serta isu lingkungan dan konflik agraria mencapai 14 kasus.
Laporan AJI juga menunjukkan, aktor negara mendominasi kasus kekerasan (36 kasus), pelaku dari aktor non-negara di posisi kedua ( 29 kasus) dan ada juga pelaku yang tidak teridentifikasi (24 kasus).
Sementara itu ada narasumber yang menggunakan UU ITE, KUHP dan gugatan perdata untuk mengkriminalisasi jurnalis (5 kasus).
Media dan sustanabilitas
AJI mendapatkan banyak fenomena terkait media arus utama di Indonesia yang masih dalam cengkeraman kelompok elit di partai politik dan kekuasaan.
“Situasi ini menjadi hambatan serius bagi media untuk mampu beroperasi secara independen karena dapat diintervensi oleh pemiliknya untuk kepentingan politik di masa Pemilu 2024,” kata Ketua AJI Indonesia Sasmito Madrim baru-baru ini.
Menurut AJI, publik rentan menerima informasi yang bias dan tidak akurat sehingga dapat mempengaruhi keputusan mereka sebagai pemilih yang rasional atau terlibat untuk mengawasi Pemilu.
Disrupsi digital juga masih mengguncang bisnis media yang diikuti dengan gugurnya dua media cetak serta Pemusan Hubungan Kerja (PHK) di sembilan media televisi dan media online sepanjang 2023.
“Gelombang PHK pekerja media yang masih banyak terjadi selama 2023 ini menjadi sinyal bagaimana masa depan profesi jurnalis Indonesia dalam situasi yang tidak pasti. Bahkan, cenderung suram,” kata Sasmito lagi.
Pengesahan kembali UU Cipta Kerja pada awal 2023 oleh Presiden Joko Widodo dan DPR RI telah memperlemah perlindungan terhadap hak-hak buruh, termasuk pekerja media dan jurnalis.
Outlook 2024
Pemilu nasional pada 14 Februari 2024 akan diikuti dengan Pemilu lokal yang berlangsung di lebih dari 500 daerah pada November 2024. Di setiap Pemilu, peran media independen dan kritis jauh lebih dibutuhkan dibanding sebelumnya. Beroperasinya media dan jurnalis independen tersebut hanya dapat terjadi pada lingkungan demokrasi yang sehat.
Melihat fenomena itu AJI memperkirakan situasi kebebasan pers dapat memburuk jika tidak ada upaya serius dari negara untuk melindungi media dan jurnalis independen pada Pemilu 2024.
“Represi dapat terus terjadi karena impunitas masih kuat, tren intimidasi pada masyarakat sipil karena mengkritik kualitas Pemilu dan dugaan tidak netralnya aparat keamanan,” kata Sasmito.
Pernyataan ini juga didasari penandatangan pemberlakuan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) revisi kedua pada awal Januari 2024 oleh Presiden Jokowi.
Beleid tersebut berisi sejumlah pasal bermasalah mengenai pidana defamasi, ujaran kebencian, pemberitahuan bohong dan masih memberikan kewenangan yang cukup besar pada pemerintah untuk mengontrol ruang digital tanpa mekanisme independen.
Selain itu, UU Pelindungan Data Pribadi yang akan berlaku pada Oktober 2024 juga menjadi tantangan tersendiri untuk pers. Pasalnya UU tersebut belum memuat pengecualian pemrosesan data pribadi untuk tujuan jurnalistik.
“Pengecualian untuk tujuan jurnalistik sangat penting demi menghindari praktik pembatasan atau sensor terhadap pemberitaan untuk menutup kejahatan dengan dalih melanggar hak privasi orang-orang tertentu,” kata Sasmito.
Dia menambahkan jika pemerintah tidak mengakomodasi kepentingan jurnalistik dalam implementasi UU PDP, maka beleid tersebut dapat berpotensi mengukung kebebasan pers.
Oleh karena itu, AJI Indonesia memberikan sejumlah rekomendasi kunci yaitu mendesak Pemerintah dan DPR wajib patuh kepada Undang-Undang Pers yang telah memberikan jaminan perlindungan hukum bagi jurnalis dalam melaksanakan profesinya. Untuk itu berbagai regulasi yang mengancam kerja-kerja jurnalis dan perusahaan media harus dihapus.
Pemerintah bersama Dewan Pers, dan komunitas juga pers harus membuat Mekanisme Nasional Perlindungan Jurnalis. Mekanisme perlindungan tersebut setidaknya terdiri dari empat pilar keamanan jurnalis antara lain pencegahan, perlindungan, penuntutan, dan promosi.
Perusahaan kemudian wajib memastikan keamanan jurnalis dan pekerja media mulai dari kekerasan yang berkaitan dengan pemberitaan hingga keamanan ekonomi.
AJI juga mendesak Dewan Pers memastikan independensi jurnalis dan perusahaan media di tengah kepemilikan media oleh politikus atau pemimpin partai politik.
AJI meminta aparat hukum wajib menginvestigasi seluruh kasus serangan terhadap jurnalis dan media secara independen dan imparsial.
Dan akhirnya AJI merekomendasikan jurnalis dan pekerja media bergabung bergabung dalam serikat pekerja baik di dalam perusahaan maupun lintas perusahaan untuk memastikan hak normatif sebagai pekerja terpenuhi serta meningkatkan profesionalisme. (NAF)