Oleh : Hengky Ola Sura
Independen- Penjahit Sederhana. Demikian nama yang terpampang di atas lapak jahitnya, Pasar Bertingkat, Jalan Moa Toda, Kelurahan Kota Baru, Kecamatan Alok, Maumere, Kabupaten Sikka. Di lapak itu duduk seorang pria menatap jahitan yang sedang dikerjakannya.
Yoseph Loku (51), seorang tuna daksa. Setiap harinya mengais rejeki untuk menghidupi ekonomi keluarga dan pendidikan enam anaknya, dari menjahit.
Ia segera membetulkan kacamatanya dan berhenti menjahit saat Independen.id menyambangi, Kamis (25/01/2024). Laki-laki murah senyum tersebut tampak bersemangat ketika bercerita tentang kelompok difabel yang dipimpinnya. Nama kelompok tersebut Forum Belarasa Disabilitas Nian Sikka (Forsadika).
Forum tersebut berdiri pada 19 September 2018. Ia terpilih menjadi ketua pada 25 Juni 2022 lalu. Salah satu tujuan berdirinya forum tersebut adalah untuk memperjuangkan hak-hak difabel yang harus menjadi perhatian negara. Salah satunya aksesibilitas dalam pemilu.
“Kalau pemilu tahun 2019 itu partisipasi dan kesadaran kami sebagai difabel belum tampak. Bisa jadi karena organisasi kami masih baru, tapi kalau untuk tahun 2024 ini partisipasi aktif dari kami para difabel untuk bersuara itu lumayan aktif,” ujar Yoseph.
Pemahamannya tentang fokus yang wajib mendapat perhatian dari penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu sangat luar biasa. Ia sangat menguasai hak politik para penyandang disabilitas yang dijamin oleh negara melalui UU Nomr 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas.
Bertolak dari undang-undang tersebut, hak penyandang disabilitas dalam Pemilu meliputi memilih dan dipilih dalam jabatan publik, menyalurkan aspirasi politik baik tertulis maupun lisan, memilih partai politik dan/atau individu yang menjadi peserta dalam Pemilu, membentuk, menjadi anggota, dan/atau pengurus organisasi masyarakat dan/atau partai politik, berperan serta secara aktif dalam sistem Pemilu pada semua tahap dan/atau bagian penyelenggaraannya, memperoleh aksesibilitas pada sarana dan prasarana penyelenggaraan Pemilu, gubernur, bupati/walikota, dan pemilihan kepala desa atau nama lain dan memperoleh pendidikan politik.
Selain itu, terkait hak politik, penyandang disabilitas berhak pula untuk membentuk dan bergabung dalam organisasi penyandang disabilitas dan untuk mewakili penyandang disabilitas pada tingkat lokal, nasional dan internasional.
“Amanat dari undang-undang ini jelas mengatur tentang hak-hak kami. Implementasinya harus kami suarakan terus-menerus. Kami tidak hanya bisa berharap pada orang-orang non disabilitas saja yang bicara nasib kami, tetapi kami sendiri harus bersuara,” jelas Yoseph.
Ia sendiri mengakui masih banyak kendala soal aksesibilitas namun ketika pihaknya terus dilibatkan untuk membicarakan langkah dan strategi yang diperjuangkan bagi ia dan teman-teman difabel maka itu jadi bentuk perhatian yang perlu juga diapresiasi.
“Dari forum-forum itu kami bicarakan hak politik kami. Ketika diundang dan kami bicara itu sungguh sebuah kebanggaan bahwa kami diberi ruang,” kata Yoseph.
Pemilih Disabilitas di Kabupaten Sikka
Ketua KPUD Kabupaten Sikka, Yohanes Krisostomus Fery Soge, menyebutkan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Kabupaten Sikka pada Pemilu kali ini ada 244.22 orang. Dari jumlah tersebut pemilih disabilitas mencapai 4.508 orang. Rinciannya 1.847 orang difabel fisik, 202 difabel intelektual, 835 difabel mental, 319 orang wicara dan 573 orang rungu.
Bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, jumlah DPT tahun ini meningkat signifikan Pada 2019 DPT untuk Kabupaten Sikka sebanyak 197.854. Dari total jumlah ini ada 1.066 penyandang disabilitas. Rinciannya tuna netra ada 271 orang, tuna rungu atau tuna wicara 186 orang, tuna grahita 183 dan ada 426 pemilih lainnya.
Ia mengakui pihaknya telah dengan intens membuka ruang diskusi dan pertemuan bersama membicarakan hak yang wajib didapatkan oleh para difabel berkaitan dengan keikutsertaan dalam pemilu.
Fery menjelaskan selama kurang lebih empat kali bertemu bersama dalam forum, baik yang digagas KPU Sikka maupun Forsadika, pihaknya telah mendengar dan mencatat sejumlah masukan baik itu kritik dan saran dari para difabel berkaitan dengan ruang untuk aksesibilitas.
“Banyak sekali masukan untuk kita. Kalau untuk pemilu nanti khusus untuk kawan-kawan kita yang buta (baca, tuna netra) ada sih akses untuk huruf braile tapi itu hanya untuk pemilihan presiden dan DPD ada templatenya. Mereka bisa raba-raba untuk coblos tapi untuk tiga yang lainnya mulai caleg pusat, provinsi dan kabupaten itu tidak ada,” urainya, Kamis (25/01/2024).
Ia mengatakan ini kendala yang ditemui dan bahwa pihaknya juga tidak ada pembekalan bimtek khusus untuk hal ini.
“Kelemahan kita di situ dan perlu anggaran juga,” jelas Fery. Ketika disentil berkaitan dengan anggaran pemilu untuk kabupatan Sikka, ia enggan menyebutkan.
“Kalau untuk pemilu, bukan kewenangan saya untuk bicara, apalagi diakhir masa jabatan saya sebagai komisioner,” katanya.
Fery menambahkan, salah satu langkah yang diambil khusus untuk para pemilih difabel adalah pembekalan bagi para petugas di tiap TPS untuk memberi perhatian khusus ketika menerima para difabel yang datang.
“Dalam bimtek itu sudah kami arahkan agar kepentingan teman-teman difabel itu wajib diperhatikan. Mulai dari lokasi pemilihan TPS juga harus bisa diakses oleh teman-teman difabel juga,” jelas Fery.
Fery berharap para difabel bisa menggunakan hak pilih secara baik dan benar. Jika kesulitan maka keluarga dari para difabel atau petugas yang ditunjuk dan dipercayakan oleh para difabel itulah yang mendampingi.
Melihat segala kekurangan dan keterbatasan sampai dengan dana untuk mewujudkan pemilu inklusi ia mahfum namun yang terpenting adalah bahwa dengan bertemu secara langsung dan mendengarkan masukan dari para difabel jadi perjuangannya untuk diteruskan ke tingkat pusat.
Sementara itu, Muhajir Latif, anggota Bawaslu Kabupaten Sikka menambahkan sejauh ini pantauan pihaknya jelang pemilu di Kabupaten Sikka terutama mendorong partisipasi bagi para pemilih difabel telah berjalan. Ada temuan akses ke TPS yang tidak ramah disabilitas di kecamatan Bola. Dari temuan itu pihaknya langsung memerintah agar lokasi TPS itu dipindahkan.
“Lokasi sebelumnya yang direncanakan itu salah satunya di kantor camat Bola. Di situ para pemilih harus naik tangga. Nah itu kan susah dan tidak ramah bagi para difabel. Kita sudah minta untuk diganti,” ucap Muhajir.
Dilibatkan bersama KPUD dan Bawaslu Sikka
Yoseph mengapresiasi langkah dari KPUD dan Bawaslu Kabupaten Sikka yang sejak tahun 2022 mulai mengundang dan melibatkan Forsadika untuk mendengarkan sosialisasi dan mendengarkan masukan dari para difabel. Menurutnya, ia sendiri pernah beberapa kali menjadi narasumber untuk bicara mengenai perhatian yang wajib dipenuhi oleh KPUD dan Bawaslu Sikka.
“Bawaslu itu sudah undang kami empat kali mulai dari deklarasi pemilu damai, diskusi dan kegiatan launching satu tahun jelang pemilu. Kalau dari KPUD Kabupaten Sikka sekitar tiga kali dan KPUD Provinsi NTT satu kali,” sebut Yoseph.
Lebih jauh ia menjelaskan kehadirannya dan teman-teman difabel adalah mendorong dibukanya ruang akses terpenuhinya pemilu inklusi dari penyelenggara pemilu.
Para difabel menurut Yoseph juga tidak berhenti sebagai pihak yang hanya sekedar memberi suara tapi hak atas TPS yang aksesibel. Dan lebih tinggi lagi capaian perjuangannya adalah para difabel bisa jadi bagian dari petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
Menurut catatan Yosef ada 25 kelompok sebaran anggota Forsadika yang ada di beberapa titik di kecamatan dan di kota Maumere. Ia menyebut total anggotanya mencapai 540 orang namun hingga saat ini yang sangat aktif ada 50 orang.
“Tidak mudah juga mempersatukan kami semua hanya bahwa ada kesamaan nasib dari kami yang aktif sekali untuk ikut memperjuangkan hak-hak kami secara khusus pada saat pelaksanaan pemilu,” ujar Yoseph.
Tidak Sekedar Term Pemilu Inklusi
Akademisi Universitas Nusa Nipa Maumere, Rini Kartini mengemukakan gerakan ramah disabilitas yang diinisiasi oleh KPU Provinsi NTT adalah yang pertama di Indonesia. Gerakan ini kemudiaan jadi perhatian seluruh KPUD kabupaten di NTT dan mendapat apresiasi pada level nasional. Terobosan ini menurut Rini jelas sebuah keberpihakan yang musti terus jadi perhatian utama.
“Catatan saya sih harap ini tidak berhenti pada inisiasi dan sekedar jadi term pemilu inklusi ya,” sebut Rini.
Ia menjelaskan pemilu inklusi jadi kesempatan secara sadar dan bertanggung jawab melihat para difabel sebagai bagian dari warga negara Indonesia yang mempunyai hak yang sama seperti yang lain. Ia memberi catatan agar edukasi kepada para difabel tidak menunggu momen pemilu datang namun harus menjadi perhatian dan dibicarakan terus-menerus sehingga akhirnya jadi pembiasaan.
Rini lebih lanjut mengemukakan alasan keterbatasan dana untuk perhatian pada pemilu inklusi tidak dapat dibenarkan. Ada banyak terobosan untuk kerja sama dalam lembaga baik kementerian, pemerintah daerah, lembaga pendidikan dan NGO.
Maria Yustanti Dua Miro (33), anggota Forsadika menyatakan pemilu yang tinggal menghitung hari harus jadi perhatian semua pihak terlebih pihak penyelenggara untuk memperhatikan hal-hal teknis seperti lokasi pemungutan suara.
“Harapan saya ke depannya semoga KPUD dan Bawaslu terus mengedukasi kelompok difabel dalam hal pendidikan politik, informasi terkait pemilu juga kebutuhan-kebutuhan kami. Dan intinya tidak ada hambatan saat pemilu yang tinggal menghitung hari ini,” pungkasnya.
*)Hasil liputan ini merupakan kolaborasi dari Independen.id, AJI dengan media penerima beasiswa liputan Pemilu 2024 didukung USAID MEDIA - Internews