Bagai Robot Berperasaan, Tenaga Kesehatan Kepulauan Aru Tetap Melayani

Penulis: Johan Djamanmona

Independen --- Ketika Tenaga Kesehatan (Nakes) yang lain harus aktif bertugas sambil menanti gaji ataupun rajin melayani untuk mendapat uang tambahan, kondisi yang berbeda dialami oleh Nova, salah satu tenaga kesehatan yang sudah melakukan pelayanan selama setahun tanpa upah sepeser.

Waktu menunjukan pukul 06.15, mentari pagi belum menampakkan wajahnya di ufuk timur desa Dosimar, kecamatan Aru Selatan, kabupaten kepulauan Aru, Maluku.

Nova Rahayaan (35) sudah mendatangi Puskesmas tempatnya bekerja untuk membersihkan sekaligus mengepel seluruh ruangan Pustu Dosimar, aktivitas rutin yang selalu dilakukan tiap pagi.

Sudah selesai pekerjaan di Puskesmas, Nova sebagai ibu rumah tangga harus kembali kerumah untuk menyediakan sarapan untuk suami dan kedua anaknya yang masih kecil, yang satu berumur tiga tahun dan satunya berumur 1 tahun.

Dengan seragam putih yang tertempel logo dinas kesehatan, menggendong tas samping berisi alat tensimeter dan stetoskop, Nova bersama kedua anaknya berjalan menuju Puskesmas Pembantu (Pustu) Dosimar yang berjarak sekitar 50 meter dari rumahnya.

Nova mengatakan, dia selalu dengan senang hati menjalankan tugas yang selalu dilakukan walau sedari awal hingga saat ini masih tanpa upah, sudah setahun dia bekerja sebagai Nakes di Pustu Dosimar.

Ada dua orang perawat yang bertugas di Pustu Dosimar. Tapi karena temannya sementara tidak berada di tempat tugas sehingga dia lebih sering menjalankan tugas  sendiri.

Nova bercerita, setelah lulus dari Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) Dobo, Kepulauan Aru. Dengan biaya orang tua, dia melanjutkan studinya ke perguruan tinggi dan menyelesaikan pendidikan sebagai Sarjana Keperawatan (S.Kep).

Dia sempat menganggur untuk beberapa waktu. Nantinya dengan bantuan seorang kerabat, akhirnya Surat Perintah Pelaksanaan Tugas sebagai “Tenaga Perawat Sukarela” dari Kepala Dinas Kesehatan diberikan pada (13/7/2023).

“Paling tidak ada kesempatan untuk bisa bekerja, daripada sudah selesai sarjana lalu menganggur”, ujarnya.

Beruntung karena bertugas di desa asal suaminya sehingga tidak terlalu terbeban untuk makan dan lainnya, bahkan dia jarang untuk ke Dobo, ibukota kabupaten kepulauan Aru.

“Jadi tujuan beta selain dapat pekerjaan supaya bisa bantu suami penuhi kebutuhan keluarga, karena suami kan hanya mancari (mata pencaharian) sebagai nelayan, jadi mungkin dari kerja ini bisa dapat uang sedikit,"katanya. "Beta juga prihatin dengan kondisi masyarakat desa Dosimar yang ketika sakit kurang mendapat perawatan yang baik."

Penting Kerja Saja

Pagi itu suaminya sementara pergi untuk mencari kepiting, Nova harus membawa kedua anaknya pergi ke Puskesmas sebab tidak ada yang akan mengasuh ketika ditinggal dirumah.

Setiap pukul 09.00 pagi sampai 12.00 siang, Nova membuka Puskesmas untuk melakukan pelayanan.

“Biasa pagi-pagi beta deng anak-anak dua ini yang biasa pergi buka PUSTU”, kata Nova. Masyarakat desa sering datang dengan keluhan ISPA (batuk-beringus) dan badan-badan sakit.

Kerabat yang mengurusnya untuk bekerja berpesan [yang penting kerja saja. Karena sudah pernah bekerja sebaga tenaga honorer, dia berpikir akan ada uang jasa atas pelayanan yang dilakukan. Tapi setelah setahun bekerja, tidak ada apa-apa yang diterima sebagai upah.

“Jadi sodara yang bantu beta waktu itu hanya berpesan, yang penting beta kerja saja. Tapi beta juga tidak kaget untuk jadi tenaga honorer, karena sudah pernah honor sebelumnya. Setahu beta pasti ada tunjangan yang setiap tahunnya. Tapi sampe (sampai) sudah satu tahun tidak ada apa-apa yang beta terima”, ucapnya.

Dia berkata, memang dia punya gelar Sarjana Keperawatan tapi karena belum memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) ataupun profesi sebagai perawat. Sehingga hanya bisa menjalankan tugas sebagai tenaga honorer sukarela.

“Setidaknya dong (Dinas Kesehatan) juga berpikir kalau katong ini sudah berumah-tangga jadi dari hasil kerja mungkin katong bisa beli anak-anak punya jajan walaupun seng (tidak) banyak, tapi ini seng lai (tapi tidak sama sekali)”, kata Nova.

Karena hanya sendiri jadi dia harus selalu siap 1 kali 24 jam. Resiko Pustu yang berada di desa jadi walaupun tengah malam, kalau masyarakat sudah memanggil untuk meminta pelayanan, tetap dilakukan.

“Mau bikin bagaimana kalau ini tugas, jadi walaupun sering melayani sendiri, kalau tengah malam kalau orang kampong minta pelayanan, pasti harus dilayani”, ujar Nova.

Selain melakukan infus dan menyuntik obat, dia biasanya mengambil obat dan juga melayani orang yang melahirkan.

Nova mengatakan, kalau tim dari Puskesmas datang untuk Puskesmas keliling (Pusling) dia juga akan ikut sama-sama melakukan pelayanan untuk masyarakat dan Posyandu untuk anak-anak.

Pada saat kepala Puskesmas (Kapus) yang lama, Nova sudah pernah disuruh untuk membuka buku tabungan supaya kalau ada pemberian gaji dapat dikirim lewat rekening. Tapi Kepala Puskesmas yang lama setelah diganti, sampai saat ini tidak ada informasi apa-apa lagi berkaitan kepastian jaminan bagi dirinya.

Mengutip pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan nomor 21 Tahun 2016, alokasi Dana Kapitasi dimanfaatkan untuk pembayaran jasa pelayanan kesehatan bagi tenaga kesehatan dan tenaga non kesehatan yang melakukan pelayanan pada FKTP atau Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama.

“Sekarang sudah ada anak dua, ditambah dengan kebutuhan. Memang sangat sulit kalau dengan kondisi saat ini. Seng mengeluh tiap hari tapi seng bisa tipu diri kalau sering mengeluh juga,”katanya.

Dia menjelaskan kalau SK yang didapatkan berasal dari Dinas Kesehatan tapi dia juga tidak tahu terkait dengan pengurusan di dinas, entah nama terdaftar atau tidak sampai sekarang ini. “Beta juga jarang ke Dobo jadi belum pernah cek di Dinas, apakah nama ada dalam daftar atau tidak, tapi bagi beta tidak mungkin tidak terdaftar” ujarnya.

Ketika ditemui di ruang kerjanya, kepala Dinas Kesehatan Kepulauan Aru, dokter Wati Gunawan mengatakan kalau tenaga kesehatan yang bertugas tapi tidak mendapat jasa atas pelayanan yang dilakukan maka perlu dilakukan pengecekan kepada kepala Puskesmas.

“Jadi saya sampaikan kalau ada tenaga honor sukarela yang ditempatkan di wilayah kerjanya, mereka tolong dilibatkan. Dengan sendirinya dia bisa dapat uang”, ujar Wati. "Kalau soal pemberian Jaspel Itu kembali kepada kepala Puskesmas, kalau saya hanya dalam tahapan menyarankan kepada mereka (kepala Puskesmas)”. 

Wati menyarankan perlu dicek apakah nakes yang bersangkutan sudah punya STR atau belum, karena itu merupakan dasar bayar bagi Kepala Puskesmas.  

Sementara itu Kepala Puskesmas sudah beberapa kali dihubungi Independen.id lewat pesan Whatsapp, namun belum merespon. 

Gaji Sering Terlambat

Di tempat tugas yang berbeda Anike (28) [bukan nama sebenarnya], seorang tenaga kesehatan lulusan Sarjana Keperawatan yang sudah mengambil profesi sebaga perawat.

Dia menjadi tenaga kesehatan di daerah kategori terpencil yang berhadapan dengan gelombang ketika ke tempat tugas ataupun ketika melakukan kegiatan pelayanan adalah perihal wajib yang selalu dijalani sejak 2020, hingga saat ini.

“Sudah empat tahun menjalankan tugas dengan status sebagai honorer daerah, kalau mandi gelombang laut sambil bergoyang di atas perahu itu biasa, namanya juga orang Aru di atas laut Aru”, ujarnya sambil tertawa.

Anike mengatakan, gaji pokok yang diterima sebesar Rp. 1.500.000, ada juga penerimaan tambahan dari Biaya Operasional Kesehatan (BOK) ketika melakukan program dan juga dari klaim BPJS yang dihitung berdasarkan pelayanan di Puskesmas.

Dari beberapa pihak, Anike pernah mendengar kalau gaji pokok yang diterima dikiranya sebesar dua juta rupiah. Tapi karena tidak pasti sehingga dirinya tidak pernah berpikir untuk mencari tahu. Pemerintah Provinsi Maluku menetapkan standar Upah Minimum Kabupaten (UMK) untuk Kabupaten Kepulauan Aru tahun 2024 sebesar Rp.2,949,953.

Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh.

“Kalau gaji kan su pasti, tapi kadang pembayaran untuk 3 bulan hanya dibayar 2 bulan, bahkan 1 bulan. Akhirnya kebutuhan di tempat tugas tidak bisa terpenuhi”, kata Anike. 

Menurutnya, hal ini berpengaruh pada kebutuhan para tenaga kesehatan di tempat tugas dan juga hambatan untuk para perawat menetap di Puskesmas untuk menjalankan tugas.

“Katong kan butuh makan. Tidak mungkin harus meminta dari orang kampong (masyarakat desa) sedangkan katong dilabeli (dipandang sebagai) pegawai," katanya. "Kalau gaji dibayar tiga bulan sekali, sifatnya di cicil-cicil,  untuk katong (kita) yang masih bujang (belum berkeluarga) mungkin tidak masalah, [walaupun memang masalah juga]. Kalau untuk yang sudah berkeluarga pasti susah”.

Anike bersyukur kalau dapat gaji tidak ada hutang, tapi kalau ada hutang maka terima gaji hanya untuk bayar hutang. “Paling kecil, sabun cuci saja pasti dibeli, tidak mungkin untuk diminta”, katanya yang agak kecewa dengan perhatian terhadap para nakes.

Dikatakan, terkadang ada kebijakan dari kepala-kepala Puskesmas yang mengerti kondisi para nakes untuk tidak menyerahkan insentif dari BPJS setiap bulan sekali. Tetapi ditahan untuk tiga bulan sekali supaya insentif yang diterima bisa dirasakan nilainya.

“Kalau penerimaan BPJS kan tergantung pengguna fasilitas kesehatan, tapi kalau sedikit pengguna, ya tidak seberapa juga”, ujarnya. Dari biaya yang 10 juta harus dibagi, 60:40. 60 persen untuk dibagi ke pegawai dan 40 persennya untuk pembiayaan di puskesmas.

Bagi Anike, karena ini daerah tempat asalnya sehingga biasanya dia tidak  terlalu peduli dengan pendapatan dari BPJS dan BOK.

Buatnya yang selalu menjadi kekesalan adalah penerimaan gaji. Baginya tidak adil karena mereka disuruh menetap di tempat tugas untuk menjalankan tugas tetapi pembayaran gaji selalu terhambat.

Katong disuruh menetap di tempat tugas untuk jalankan tugas, dan segala macam, tapi gaji selalu terlambat dibayar. Kan tidak mungkin katong setiap hari harus makan bubur di tempat tugas," katanya. "Pernah suatu kali, beta ikut orang kampong pergi ke hutan untuk bantu peras sagu supaya bisa bawa pulang untuk bahan makanan”.

Apa yang dialami oleh Anike, terjadi pada mereka yang statusnya pegawai negeri sipil (ASN) juga, kadang insentif yang diterima juga tidak menentu.

Ketika ditanyakan kepada Waty Gunawan berkata kalau dirinya merasa heran ketika ada Tenaga Kesehatan yang mengeluh kalau di kepulauan Aru tidak sejahtera. “Kalau honor daerah maka pembiayaan dengan APBD, untuk satu bulan pembiayaan bagi tenaga honorer sekitar 491 juta. Itu dana honorer yang harus kita bayarkan,"  katanya.

Anike bercerita, “Jadi waktu itu katong diharuskan selalu di tempat tugas. Tapi pemimpin Puskesmas (Kapus) dengan ada beberapa oknum (nakes) yang datang ke tempat tugas hanya beberapa hari setelah itu kembali lagi ke kota (Dobo)."

"Di sana itu katong (kami) hanya berharap dari penerimaan gaji saja, karena wilayah kerja cuman 2 desa jadi soal keuangan BOK atau BPJS katong juga seng terlalu tahu, karena tidak ingin bertanya juga," ucap Anike melanjutkan. 

Anike menambahkan, salah satu persoalan bagi mereka saat ini adalah pemotongan biaya BBM dan ATK dalam Biaya Operasional Kesehatan (BOK). Dampaknya, ketika akan melakukan kegiatan Puskesmas Keliling, para Tenaga Kesehatan bersama Kepala Puskesmas akan melakukan pemotongan dari jasa pelayanan kesehatan.

"Jadi kadang ada masyarakat yang mengeluh dengan membuat postingan di media sosial, terkait pelayanan Pusling. Sampai mengadu kepada kepala Dinas Kesehatan sehingga Kepala Puskesmas yang ditegur,"kata Anike.

Masyarakat Akan Jadi Korban

“Jadi kalau katong seng (tidak) buka segala persoalan berkaitan dengan masalah kesehatan maka orang akan berpikir kalau semuanya sedang baik-baik saja, padahal ada kebusukan di dalamnya. Ini realita yang terjadi," ujar Aleka (46) seorang perawat lain. [bukan nama sebenarnya].

Aleka, seorang perawat senior yang juga seorang mantan kepala puskesmas, sering berbicara tentang jaminan dan perlindungan terhadap para tenaga kesehatan. Menurutnya jaminan terhadap para Tenaga Kesehatan adalah upaya pemerintah memperhatikan pelayanan kesehatan yang efektif.

Sebaliknya kalau hak-hak nakes tidak diperhatikan, maka para nakes juga tidak akan bertahan di tempat tugas. Apalagi untuk melakukan pelayanan.

Berkaitan dengan masalah kesejahteraan pegawai, selain gaji ada tambahan dari daerah dalam bentuk insentif tapi khusus untuk ASN. “Sampai saat ini baru 5 bulan dibayar, sementara tinggal beberapa bulan lagi sudah akhir tahun. Seharusnya kita terima secara triwulan”, ujarnya saat ditemui pada (18/8/2024).

Dengan adanya keterlambatan dalam penerimaan insentif ini juga berpengaruh terhadap pelayanan kesehatan di kepulauan Aru, dalam hal ini di desa-desa.

Aleka mengatakan, persoalan lainnya adalah BBM, jatah Puskesmas. Kalau dulu dari dana Kementerian dalam bentuk BOK. Ada anggaran untuk BBM dan ada anggaran untuk ATK. Kalau sekarang kementerian sudah melakukan pergantian jadi tidak anggaran untuk BBM.

Dinas Kesehatan mengatakan bahwa, pembiayaan untuk BBM telah diganti dengan pemberian biaya transportasi untuk para nakes. Sehingga uang yang diterima harusnya dikumpulkan untuk membeli BBM.

Hal ini menjadi keluhan dari beberapa kepala Puskesmas karena kebutuhan akan melakukan pelayanan cukup terhambat dengan ketiadaan penyedian BBM dalam operasional kesehatan.

“Masalahnya bagaimana cara petugas puskesmas pergi ke tempat tugas, sekaligus melakukan aktivitas untuk menjangkau desa-desa untuk melakukan pelayanan”, ucap Aleka. Akhirnya fasilitas Puskesmas Keliling (Pusling) yang ada sudah tidak terpakai karena tidak ada BBM.

Aleka menjelaskan, terkadang dia bikin laporan yang di atas kertas itu bagus, padahal di lapangan lain cerita. Sebab tidak mungkin tanpa BBM, semua wilayah kerja bisa dijangkau apalagi yang punya wilayah kerjanya besar.

 

kali dilihat