Balada Supir Ambulans, Ikhlas Bergaji Minim

Oleh Ester Situmorang

INDEPENDEN --Puluhan mobil ambulans setiap hari berlalu-lalang menurunkan pasien di Rumah Sakit Sardjito, Yogyakarta. Saat pasien turun, mobil-mobil ini dengan teratur melipir ke pinggir jalan. Suhu Kabupaten Sleman di siang hari tak gagal membuat para sopir ambulans keluar dari mobil dan mengadem sembari menunggu pasien. Edi yang pagi itu belum sempat sarapan, mendatangi angkringan tempat sopir ambulans lainnya menunggu.

Sampai matahari di atas kepala, pasien yang Edi antar pagi tadi belum kunjung menyelesaikan pemeriksaannya di rumah sakit. Segelas kopi dan sebungkus rokok menemaninya seharian penuh.

Sejauh ingatan Edi, sudah 28 tahun ia menjadi relawan. Setelah menikah ia memutuskan untuk meluangkan waktunya sebagai relawan, mulai dari relawan bencana sampai akhirnya menjadi sopir relawan ambulans seperti saat ini.

Jawil Jerantal

Mobil-mobil ambulans ini berasal dari organisasi yang berbeda-beda. Salah satunya adalah pengadaan dari dana pemerintahan daerah. Kabupaten Magelang sekarang menjadi salah satu kabupaten dengan pengadaan mobil ambulans terbanyak. Dari 21 kecamatan di Kabupaten Magelang, ada 821 ambulans dan 367 diantaranya adalah ambulans desa (ambudes). 

Walau terhitung banyak, jumlah ambudes di satu desa tetaplah tidak merata. Di satu desa bisa memiliki dua ambudes atau bahkan tidak ada ambudes sama sekali. 

Desa Progowati, Kecamatan Mungkid adalah desa yang bisa memiliki dua mobil ambulans. Pada tahun 2022, dana desa mereka anggarkan untuk membeli satu mobil ambulans. Setahun kemudian, barulah pihak Pemerintahan Daerah Jawa Tengah ikut menggelontorkan dana untuk pengadaan fasilitas ambudes.

Di lain sisi, 454 mobil ambulans lainnya adalah fasilitas nonpemerintah. Fasilitas ini didanai dan diadakan oleh berbagai organisasi ataupun yayasan, mulai dari organisasi keagamaan sampai partai politik.

Berdasarkan asal-usul ambulans, sistem perekrutan sopir relawan juga berbeda-beda.

Bintoro, salah satu relawan sopir ambulans organisasi keagamaan, menyebutkan bahwa sistem perekrutan dalam organisasinya berbeda dengan perekrutan ambudes. “Kalau di tempat lain ada sistem kayak pendaftaran. Kalau di tempat saya penunjukan, dipilih dari pengurus,” terangnya.

Sistem pemilihan dalam organisasi Bintoro didasarkan pada penilaian oleh pengurus organisasinya. Anggota-anggota yang dinilai memiliki kemampuan menyetir dengan baik akan ditawari kesempatan menjadi relawan. Jika setuju, mereka akan dibuatkan Surat Keterangan (SK) dan diberikan pelatihan.

Namun, relawan sopir ambudes memiliki sistem perekrutan yang berbeda. Supardi, salah satu relawan sopir ambulans dari desa Progowati, menjelaskan bahwa ia hanya ditawari oleh lurahnya sebagai relawan. Setelah menyetujuinya, ia hanya diberikan pelatihan, tanpa adanya SK kerja.

Sebagai bukti menjadi pekerja yang “sah” dari pemerintah desa, Supardi dan relawan-relawan sopir ambudes lainnya hanya dibekali sebuah Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD). 

Surat ini akan para relawan ambil dari kantor desa sebelum mengantarkan pasien. “Jadi, kalau hari ini ada tiga yang dianter, SPPD-nya ada tiga,” jelasnya.

Selama tiga tahun menjadi relawan sopir ambulans, Supardi menceritakan bahwa menjadi relawan adalah panggilan dari dalam dirinya. Ia menyadari bahwa tidak ada upah tetap yang akan ia dapatkan. Pun, jam kerja yang sangat tidak menentu sudah menjadi faktor-faktor yang ia sadari. “Kalau niatnya mbantu orang, pasti dibalas sama Yang Di Atas, Mbak,” tuturnya.

Serupa dengan Supardi, Banyr yang juga seorang relawan sopir ambudes yakin bahwa memberikan kebaikan menjadi salah satu tujuan hidupnya. Sebagai seorang relawan yang tidak memiliki jam kerja yang pasti, ia dan relawan-relawan lainnya memiliki satu slogan yang sama; “Jawil Jerantal”.

“Kapan pun dipanggil, kami (relawan-red) siap berangkat,” ucap Banyr. 

Oleh karena itu, setiap harinya ponsel para relawan ini selalu aktif. Kalau-kalau ada yang membutuhkan jasa mereka untuk menggunakan mobil ambulans. Tak jarang para relawan ini harus dihubungi pukul 01.00 dini hari. 

Wah, kadang masih baru mau tidur, itu udah biasa. Kalau udah dipanggil, nggak mikir lagi, langsung berangkat aja, kadang juga masih koloran, Mbak,” tambah Supardi. 

Dengan jam kerja yang tak menentu dan tidak adanya SK yang sah, relawan sopir ambudes akhirnya tidak memiliki sistem pengupahan yang jelas. Akhirnya, penganggaran biaya operasional ambudes hanya berdasarkan kemurahan hati pemerintah desa. 

 

Sepah-sepah Kerja Kemanusiaan

Dalam pengadaan ambudes, biaya operasional setiap tahunnya berbeda-beda.

Pratikno, Lurah Desa Progowati, saat diwawancarai di kediamannya menyebutkan bahwa desanya pada tahun 2024 mengalokasikan Rp30.000.000,00 untuk operasional ambudes. Angka ini sudah cukup baik dibandingkan desa-desa lain di Kabupaten Magelang. “Tapi, nuwun sewu, ini beda-beda setiap desa. Kalau di Progowati ya segini,” jelas Pratikno.

Seluruh biaya operasional sudah termasuk biaya perawatan kendaraan, bahan bakar, dan pengganti uang transport para relawan. Supardi menjadi salah satu relawan yang beruntung karena biaya pengganti lelahnya masih diperhitungkan. Dalam satu SPPD dengan pengantaran di wilayah Magelang, ia diupahi Rp50.000,00.

Pahitnya, hal ini tidak dirasakan oleh semua relawan sopir ambulans. Herlan adalah satu dari banyaknya relawan sopir ambudes yang tidak merasakan upah sedikit pun. Ia hanya mendapatkan biaya ganti bahan bakar yang itu pun harus ia talangi lebih dahulu.

Sistem talang ini memang diterapkan dalam seluruh penggunaan ambulans. Para relawan akan mengisi bahan bakar mobil ambulance dengan biaya dari kantong mereka sendiri. Setelah itu, mereka akan memberikan bukti bayar untuk digantikan oleh pihak pemerintah.

Biaya yang harus dikeluarkan oleh para relawan, mulai dari makanan, kopi, termasuk rokok mau tak-mau harus berasal dari kantong mereka sendiri. Sesekali, keluarga pasien memberikan biaya pengganti makan atau membelikan sebungkus rokok.

Namun di beberapa kejadian, para relawan menolak untuk menerimanya. Parto (bukan nama sebenarnya) sebagai seorang relawan sopir kerap enggan menerima niat baik keluarga pasien ini. 

Bukan tanpa alasan, kebanyakan pasien yang diantarnya sudahlah pasti ia kenal. Jadi, ia tahu betul latar belakang keluarga pasien. “Kan kami relawan nggak boleh minta, sedikasihnya saja. Tapi, kalau kami melihat pasien juga masih kesulitan, pasti saya tolak,” tegas Parto. 

Setiap harinya, mobil ambudes selalu melayani seluruh warga. Bukan hanya warga desa tempat ambulance berasal, tetapi dari desa lain juga. Oleh karena itu, bahan bakar harus tetap terisi.

Biaya untuk mengisi penuh bahan bakar cukup mahal, terkadang mereka hanya mengisi setengahnya saja. “Ngisi bensin kadang cuma 200 ribu, kalau penuh itu 500 ribu, nggak kuat (buat bayar-red),” sebut Supardi.

Dalam pelaksanaannya, beberapa desa memilih untuk tidak ikut menanggung biaya pengisian bahan bakar. Biaya ini dibebankan kepada keluarga pasien yang meminjam mobil. Parlin (bukan nama sebenarnya), seorang perangkat desa yang merangkap sebagai relawan sopir ambulance, merasakan hal ini.

Saat ada warga yang membutuhkan fasilitas ambudes, Parto merasa tidak enak jika harus membebani keluarga untuk mengisi bahan bakar. “Kadang, nggak tega buat minta dari pasien, ya udah isi sendiri aja,” keluh Parlin. 

Tak bisa dipungkiri, perekrutan relawan sopir ambudes yang sedari awal tidak diatur dengan baik menjadi masalah dalam pengadaan di awal. Alhasil banyak warga yang berat hati untuk melakukannya. Imbasnya, perangkat desa menjadi aktor yang dibebani tanggung jawab dahulu sebagai relawan.

Seperti perangkat desa yang harus menjalani dua pekerjaan, relawan-relawan lainnya juga memiliki pekerjaan utama. Mulai dari sopir material, salesman, petani, sampai ojek online.

Parto menjadi relawan yang harus membagi waktunya dengan sangat teliti. Saat dibutuhkan menjadi sopir ambudes, di pagi hari ia akan mengantar pasien. Sorenya setelah mengantar pasien ke rumah, ia akan lanjut mengangkut material bangunan.

“Kalau lagi nunggu pasien, waktunya dipakai buat istirahat aja. Tidur aja di ambulans, jadi nggak capek banget, biar tetap bisa ngelanjutin kegiatan lain toh,” katanya. 

Kegiatan mengangkut materil ini sebisanya Parto lakukan sampai malam hari. Hal ini harus dilakukan untuk menutupi kebutuhan rumah tangganya. 

Sama seperti Parto, usaha menutupi pengeluaran dapur juga Edi akali lewat ojek online. Edi lazimnya mengambil penumpang di wilayah Muntilan. Saat panggilan menjadi relawan datang, orderan yang masuk kadang ia lepas.

Di beberapa situasi, saat orderan masuk; Edi akan menanyakan penumpangnya, apakah bersedia jika bukan dia yang datang. Jika putra Edi sedang luang atau ingin pergi satu arah, ia akan meminta tolong pada anaknya untuk mengambil orderan. “Kalau penumpang bersedia, nanti anak saya yang ambil. Kalau mau, lumayan kan, tapi kalau penumpangnya tidak mau, saya selalu bilang; ‘Tidak apa-apa, di-cancel saja’,” ujar Edi.

Kondisi para relawan yang sudah lelah mengantar dan menunggu pasien seharian kerap diperparah kondisi di jalanan. Setiap relawan sudah dibekali pemahaman akan lantas dan SOP penggunaan sirene ambulans.

Dalam keadaan-keadaan darurat relawan harus menggunakan sirine tertentu guna mempercepat laju pengantaran pasien. Namun, pengendara kendaraan lain terkadang keras kepala atau bahkan mengambil kesempatan ini.

Bukan tanpa sebab, di beberapa kejadian, para relawan akhirnya harus mengalami laka lalu lintas akibat hal-hal seperti ini. Bukan sekali lagi, Supardi sudah sering mengalami kejadian seperti ini. Suatu hari, ia sedang mengantarkan bayi berusia 1,5 bulan yang tak sadarkan diri.

Supardi sudah ikut panik melihat ibu bayi yang selama perjalan menangis histeris. Ia memasang sirine khusus gawat darurat. Namun, masih ada pengendara yang tidak ingin memberikan jalan. Ia harus melakukan banyak hal pada waktu yang bersamaan. Ia menyetir dengan cepat tanpa melukai siapapun, bersikap tenang saat di dalam ambudes kondisinya sedang kaos, dan tidak terbawa emosi melihat pengendara yang keras kepala.

Banyak kejadian-kejadian lain yang Supardi harus alami. “Paling parah itu, kalau ada yang ngeyel dan mau ngecek ada pasien nggak (di dalam ambulans-red). Padahal pasien kan kadang nggak harus tidur di bed, ada juga yang bisa duduk,” keluh Supardi. 

Waktu Jeda Pekerjaan Relawan

Dalam kerja-kerja kemanusiaan yang para relawan lakukan, mereka hadir satu-sama lain. Membantu satu sama lain dan membagikan keluh-kesahnya lewat tegukan-tegukan kopi di angkringan. 

Biasanya, setelah menurunkan pasien di rumah sakit, para relawan menunggunya di angkringan terdekat. Mereka mengobrol sampai waktu menunggu tidak lagi terasa menjemukan. “Kalau di angkringan, sopir ambulans sambil bercanda. Biar nggak kerasa capeknya,” ungkap Edi dengan senyum tipis.

Dalam jam-jam sibuk, panggilan untuk menggunakan ambulans masih masuk kala para relawan sedang menunggu pasien. Momen ini sudah menjadi hal wajar. Jika seluruh armada ambulans sedang digunakan, para relawan ini akan menghubungi relawan lain untuk menjemput dan mengantar pasien ke rumah sakit. 

“Ada grupnya, jadi kalau memang lagi nggak bisa, tanya teman yang lain. Kayak hari ini, dari desa saya baru saja butuh ambulans dan dua-duanya sedang dipakai. Saya hubungi dari kelurahan lain buat bantuin,” cerita Supardi.

Di Kabupaten Magelang perkumpulan ini jauh lebih terasa lewat paguyuban relawan sopir ambulans, Paguyuban Gemilang. Umumnya dalam tiga bulan, mereka mengadakan kumpul rutin sembari mengundang beberapa pihak terkait untuk memberikan pengarahan.

“Kami kopdar lah, tapi belajar juga buat, misal di jalan nantinya gimana. Jadi, nggak cuman asal ngumpul aja,” terang Parto. 

Mengingat jumlah relawan sopir ambulans di wilayah Kabupaten Magelang cukup banyak, jadwal temu atau pelatihannya akan dibagi ke dalam beberapa sesi. “Kadang, jadi tiga sesi. yang penting semuanya berkesempatan ikut,” terang Edi.

Para relawan terus bahu-membahu, menutupi pekerjaan satu-sama lain, dan menciptakan iklim kerja di waktu-waktu mereka yang tak mendapatkan upah. Keputusan mereka untuk melanjutkan panggilan hati menjadi alasan utama mereka tak kunjung mundur. 

Para relawan merasa dengan berkumpul dengan relawan lain dan mengobrol menjadi cara mereka untuk melepas penat. Mereka meyakini bahwa setiap relawan akhirnya menjadi keluarga kedua mereka. 

Banyr mengatakan bahwa para relawan ambudes menjadi batu sandaran satu sama lain. Ia meyakini bahwa mereka akan selalu saling bahu membantu. “Misal nih, Mbak, kalau ada teman relawan yang nggak punya uang buat makan, entah karena dompet ketinggalan atau apa. Relawan lain pasti ada,” tegasnya.

Hal yang sama juga Supardi ceritakan. Ia menyebutkan bahwa dengan adanya perkumpulan dengan sesama relawan, pekerjaannya terasa lebih ringan. Walaupun, Supardi tidak pernah bergabung dengan sopir ambulans pekerja rumah sakit yang memang sudah terpisah, ia merasa bahwa pekerjaannya memberikan ia lebih banyak saudara baru. 

Seluruh relawan sopir ambulans selalu meyakini satu hal, mereka akan mendapat balasan atas pekerjaannya kelak. “Kalau pakai hitungan matematik, jelas nggak bisa nyampe (untuk menutupi biaya hidup-red). Tapi, nanti pasti ada aja rezeki yang datang, semuanya ada upahnya,” tutup Edi.

*) Tulisan ini  merupakan bagian dari program Fellowship Independen yang didukung USAID, Internews dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. 

 

kali dilihat