Banjir Bansos Jelang Pemilu 2024

INDEPENDEN— Sri Murni (59) semringah. Dapurnya penuh dengan aneka bahan pangan. Artinya dia tidak perlu khawatir lagi menyambut bulan Ramadhan mendatang yang biasanya menguras kocek.

Bahan pangan itu bukan dibeli dari kantong pribadi Sri, begitu dia dipanggil. Perempuan itu berhasil mendapatkan enam bantuan sosial (bansos) dari para tim sukses yang mampir ke RT  tempat tinggalnya di salah satu kecamatan Jakarta Selatan.

“Lumayan,” kata Sri tertawa seraya menunjukkan isi dapurnya pada Independen.id. “Kalau beras sudah lebih dari 10 kilogram. Belum termasuk minyak goreng, tepung, susu, mi instan, gula, kopi dan teh.”

Sri Murni menyebutkan Bansos itu berasal dari beberapa calon legislator (caleg) partai termasuk satu kandidat presiden. Tentu saja semuanya tidak gratis, Sri “disarankan” memilih mereka dalam pemilu 2024 yang akan berlangsung 14 Februari nanti.

“Katanya nanti akan ada pembagian Bansos lagi, jadi saya tidak akan pergi kemana-mana,” kata Sri Murni tanpa malu-malu. “Tim sukses menghubungi saya.  Saya tentu saja menerima dengan senang hati.”

Kenapa harus sembako? Kenapa tidak uang.

Sri berbisik mengatakan pemberian dalam bentuk uang akan diberikan menjelang pemilu. Masing-masing tim sukses sudah mengantongi nama mereka-mereka yang akan mendapatkan uang bila mencoblos kandidat tertentu.

“Tidak semua mendapat uang, hanya yang sudah terdata dan pasti memilih kandidat tadi. Jadi sudah ada targetnya,” kata Sri menambahkan kalau kemungkinan masing-masing pemilih yang ada dalam jaringannya itu mendapatkan Rp 200.000.

Sri harus hati-hati. Pasalnya menggunakan politik uang untuk mencoblos salah satu kandidat itu dilarang, sehingga menggunakan sembako sebagai daya tarik lebih aman.

“Sekarang lagi musim sembako dan Bansos. Kita tidak bisa membedakan lagi mana Bansos dari partai dan mana yang dari pemerintah. Ambil saja semua kalau dibagikan,” celoteh Sri merekomendasi.

Sri percaya saat ini semua caleg akan memberikan apa pun selama dia dipilih kembali, dan sebagai masyarakat yang apatis, Sri akan menggunakan kesempatan itu baik-baik.

“Setelah itu mereka pasti lupa pada kita,” katanya tertawa.

Kalau Sri hanya terlibat kecil-kecilan dalam pembagian Bansos menjelang pemilu, Neyna Ahmad, istri salah satu perangkat RT di Jakarta Selatan justru terlibat aktif. 

Salah satu caleg sudah menitipkan puluhan sembako di rumahnya untuk dibagikan pada warga RT. Supaya jangan terkesan gratis dan melanggar peraturan pemilu, acara pembagian itu  dilakukan dengan tema “pasar murah”. Warga hanya perlu membeli kupon seharga Rp 10.000 namun mendapatkan sembako dengan harga jauh lebih murah.

Informasi "Pasar Murah" yang dilakukan Neyna disebarkan dalam grup RT, dan langsung dapat tanggapan positif oleh warga.  Maklum kebanyakan orang yang tinggal di kawasan pinggiran Jakarta Selatan itu hidup dalam kondisi pas-pasan. Pembagian sembako atau pasar murah atau apa pun itu sangat membantu kehidupan mereka.

“Politisi ini baru ingat kita kalau sudah lima tahun. Tetapi Mas Caleg ini – dia menyebutkan namanya—orangnya baik. Kalau hari raya Idul Adha sering menyumbang sapi untuk warga,” katanya pada Independen.id.

 

Bansos Pemerintah

Indonesia memang sedang mempersiapkan diri menjelang Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) dan legislator yang akan dilaksanakan pada 14 Februari 2024 mendatang.  Perihal bagi-bagi sembako menjelang pemilu bukanlah hal yang baru karena hal yang sama terjadi setiap masa pemilu.

Para caleg akan berlomba menawan hati calon pemilih dengan hadiah sembako.

Bukan hanya para caleg yang “mendadak” jadi dermawan. Pemerintah Indonesia juga sedang agresif menggelontorkan bansos untuk masyarakat di saat pemilu.  Bansos-bansos ini dinilai memiliki muatan politik yang kuat untuk mendongkrak suara salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden yang saat ini sedang berlaga.

Bansos para caleg ini tentu saja terbanting kalau dibandingkan Bansos pemerintah.

Idealnya bantuan dari pemerintah berasal dari anggaran negara. Jadi jumlahnya jauh lebih besar .

Kandidat yang dikhawatirkan terseret kilaunya Bansos pemerintah itu  itu tak lain dan tak bukan adalah putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka. Pemuda ini akan mendampingi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto sebagai salah satu kontestan Pemilu dan dianggap aktivis paling banyak memiliki sumber daya untuk menang.

Makanya para aktivis sangat konsen dengan pengelontoran Bansos pemerintah karena bisa dipolitisasi salah satu pasangan capres dan cawapres yang “dekat” dengan kekuasaan.

Konsep dana bantuan sosial atau Bansos adalah infrastruktur negara untuk membantu warganya yang gagal memenuhi kesejahteraan hidupnya. Untuk Indonesia, jumlah warga yang masih membutuhkan Bansos ini diperkirakan masih tinggi, yakni di angka sekitar 30 juta jiwa atau mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Pada tahun 2024, anggaran Bansos naik Rp 20 Triliun menjadi Rp 496 Triliun, dibandingkan anggaran 2023 yang sebesar Rp 476 Triliun dengan jumlah penerima manfaat yang ikutan terkerek naik.

 

 

 

 

Namun lagi-lagi pemerintah menyerahan Bansos di saat masa pemilu. Hal ini disampaikan oleh  Direktur Indonesia Budget Center Elisabeth Kusrini pada diskusi Jaga Pemilu,  Rabu di Jakarta. Kecenderungan membagi Bansos pada pemilu bukan hanya terjadi sekarang saja, melainkan sejak pemilu yang dilakukan 2004 lalu.

Menurut Elisabeth, jelang pemilu 2004 lalu, Presiden Megawati Soekarnoputri menyalurkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Rp100 ribu per bulan kepada 15,5 juta keluarga miskin selama enam bulan.

Lalu pada pemilu 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyalurkan bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) sebesar Rp 150.000 per bulan kepada 19 juta keluarga miskin selama tiga bulan.

Di pemilu 2014, SBY kembali menyalurkan bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) sebesar Rp 150.000 per bulan kepada 19 juta keluarga miskin selama tiga bulan.

Bagaimana di era Presiden Jokowi?

Ternyata Jokowi juga tidak berbeda dengan dua presiden pendahulunya. Sejak awal terpilih di tahun 2019 Jokowi telah menyalurkan bantuan pangan nontunai (BPNT) sebesar Rp 110.000 per bulan kepada 15,6 juta keluarga miskin. 

Selain itu, juga terdapat peningkatan jumlah Keluarga Penerima Manfaat (KPM) Bansos Beras: 21,3 juta KPM (2023), menjadi sebanyak 22 juta KPM (2024). Dan, ada bentuk-bentuk bansos lain, baik program lama seperti Program Keluarga Harapan, Program Indonesia Pintar dan juga bentuk baru seperti bantuan dengan nama mitigasi risiko pangan, bantuan El Nino dan lain sebagainya.

Berdasarkan penelitiannya, Elisabeth mengatakan ada empat bentuk politisasi Bansos pada masa pemilu, yaitu penyaluran data penerima, penyelewengan dana, penggunaan simbol atau atribut partai dan upaya memengaruhi preferensi politik masyarakat penerima Bansos.

Dan, ada empat aktor yang berpotensi menyalahgunakan program Bansos pada masa kampanye Pemilu 2024. Mereka adalah peserta pemilu, aparatur sipil negara, BUMN dan BUMD serta masyarakat penerima bansos

Sementara itu Wawan Mas’udi, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada berpendapat sebagai instrumen negara, kenaikan jumlah dana Bansos setiap menjelang Pemilu bisa juga dilihat sebagai mekanisme untuk melakukan mobilisasi politik seperti hubungan antara patron dan klien.

 “Selain instrumen negara, di sisi lain Bansos bisa menjadi alat mobilisasi dukungan/kesetiaan politik dan untuk memperkuat struktur patron – client bagi penguasa. Apalagi jika tidak dilakukan dalam kerangka universal dan imparsial, namun bersifat partikular dan selektif, serta cenderung personifikasi. Selain itu, momentum distribusi bansos juga terjadi di sekitar momentum politik elektoral,” kata Wawan.


 

Politisasi Bansos

Ilustrasi (Foto Kemensos)

 

Sebenarnya semangat pembagian Bansos untuk masyarakat itu cukup mulia, misalnya saja, Bansos diharap dapat memulihkan dan mengembangkan kemampuan seseorang yang mengalami disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar, hal yang disebut Elisabeth sebagai rehabilitasi sosial.

Selain itu Bansos juga mencegah dan menangani risiko dari guncangan dan kerentanan sosial seseorang, keluarga, kelompok masyarakat agar kelangsungan hidupnya dapat dipenuhi sesuai dengan kebutuhan dasar minimal yang disebut Elisabeth sebagai perlindungan sosial.

Bansos diharapkan menjadi jaminan sosial, pemberdayaan sosial, penanggulangan kemiskinan dan bencana dan lain-lain.

Hal ini juga disampaikan Presiden Jokowi baru-baru ini.

Jokowi menyatakan alasan utama pemberian sederet Bansos untuk memperkuat daya beli masyarakat, khususnya masyarakat kelas bawah. Penguatan daya beli ini perlu dilakukan di tengah kenaikan harga pangan, meroketnya harga pangan juga diakui Jokowi terjadi di berbagai negara bukan cuma Indonesia.

Menurut Jokowi Bansos yang diberikan juga sama sekali tak ada kaitannya untuk dipolitisasi sebagai keuntungan pada paslon tertentu dalam Pemilu 2024. Pasalnya bantuan sosial itu banyak diberikan jauh-jauh hari sebelum Pemilu 2024, bahkan ada yang sudah diberikan sejak September tahun lalu.

"Dan itu sudah dilakukan misalnya bantuan pangan beras itu sudah sejak September [2023 lalu,red]. BLT itu karena ada El Nino, kemarau panjang sehingga juga ini memperkuat daya beli masyarakat, sehingga diperlukan," beber Jokowi minggu lalu.

Jokowi menilai, BLT yang digelontorkan bukan cuma keputusan sepihak dari pemerintah. Dia mengatakan sudah ada mekanisme persetujuan dari DPR juga untuk memberikan semua bantuan sosial ke masyarakat dari dana APBN.

"Dan itu semuanya sekali lagi, itu kan sudah melalui mekanisme persetujuan di DPR, APBN itu. Jangan dipikir hanya keputusan kita sendiri. Tidak seperti itu dalam mekanisme kenegaraan kita pemerintahan kita ngga seperti itu," pungkas Jokowi.

Namun masyarakat dan kelompok sipil tidak bisa menerima mentah-mentah pernyataan presiden itu. Bagi mereka telah terjadi politisisasi Bansos untuk kemenangan pasangan capres/cawapres tertentu.

 

 

Direktur Indonesia Budget Center Elisabeth Kusrini (Foto Jagapemilu)

 

Misalnya saja ketika distribusi Bansos tidak dilakukan oleh Kementerian Sosial tapi melibatkan pimpinan partai politik.

Lalu, data yang dipakai juga bukan yang dimiliki Kemensos, tapi data dari Kemenko Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (PMK).

“Akibatnya, terjadi ketidaksesuaian data dan berpotensi menimbulkan ketidakadilan di kalangan masyarakat,” ujar Elisabeth seraya menambahkan bahwa Menteri Sosial (mensos) Tri Rismaharini sejak awal menjabat Mensos punya komitmen untuk menggunakan data kemiskinan.

“Saat ini, data kemiskinan tersebut tidak lagi dipakai. Berdasarkan informasi Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini, saat ini pemerintah menggunakan data dari Kemenko PMK dalam pembagian Bansos,” kata Elisabeth lagi.

Elisabeth yakin pembagian Bansos akan merusak citra dan kredibilitas pemerintah sebagai penyelenggara program.  Selain itu bansos dapat mengurangi manfaat dan kesejahteraan yang seharusnya diterima, serta menimbulkan ketidakadilan dan ketimpangan sosial, dan yang tidak kalah pentingnya politisasi Bansos dapat mengancam hak dan kewajiban politik masyarakat, serta menimbulkan konflik dan polarisasi politik.

Sebelumnya calon wakil presiden 01 Muhaimin Iskandar pernah mengkritik pemerintah atas distribusi Bansos jelang pemilu. Menurutnya Bansos harus diberikan saat masyarakat membutuhkannya.

"Bukan diberikan pada saat menjelang pemilu, bukan bergantung agenda politik,” katanya.

Sedangkan calon Presiden 03 Ganjar Pranowo juga memberikan tanggapan atas Bansos pemerintah.

 “Ya, kalau secara regulasi selalu saja, tidak ada yang terlanggar. Tapi, kembali lagi ini soal moral, etika, dan rasa,” kata Ganjar. (NAF)

 

 

kali dilihat