Oleh : Betty Herlina
INDEPENDEN- Rancangan Undang-Undang (RUU) No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran sedang jadi sorotan publik. Perubahan UU yang lahir sebagai inisiatif DPR RI pascareformasi ini akan direvisi setelah 12 tahun mangkrak di DPR.
Rencana revisi ini datang serta merta dan membuat media dan pelaku penyiaran terkaget-kaget. Tidak mudah mendapatkan draft terbaru RUU ini, bertanda tidak adanya partisipasi masyarakat dalam pembahasannya.
Padahal Kehadiran UU No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran mengubah lanskap penyiaran di Indonesia, salah satunya dengan hadirnya lembaga yang mengatur penyiaran, yakni Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Tingkah DPR RI kali terang membuat gaduh komunitas pers dan sejumlah pihak di Indonesia. Apalagi dalam proses revisi itu ada sejumlah pasal yang diusulkan untuk diubah, dan potensial membungkam kebebasan pers di Indonesia.
Contohnya saja dalam pasal 50 b ada larangan penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi. Padahal jurnalistik investigasi menempati kasta tertinggi dari segala bentuk produk jurnalistik yang ada.
Di Indonesia sendiri saat ini tidak banyak newsroom yang masih menayangkan jurnalistik investigasi. Selain mininnya jumlah wartawan yang mumpuni dibidang ini, jurnalistik investigasi juga membutuhkan dana yang cukup besar dalam proses peliputannya, dan durasi waktu yang tidak singkat.
Selain itu, pasal-pasal lain yang juga mengundang kontroversi di antaranya Pasal 8A Ayat (1) huruf q. Disebutkan KPI dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Ayat (1) berwenang (q) menyelesaikan sengketa jurnalistik di bidang penyiaran.
Klausul ini dinilai bertentangan dengan Pasal 15 Ayat (2) Huruf D UU Pers 40/1999 yang menyatakan salah satu fungsi Dewan Pers ialah memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
Kemudian Pasal 50B Ayat (2) huruf c. Pasal itu pada pokoknya menyatakan Standar Isi Siaran (SIS) melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.
Pada Ayat (2) disebutkan selain memuat panduan kelayakan isi siaran dan konten siaran sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), SIS memuat larangan mengenai... (c) penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.
Pasal 50B Ayat (2) huruf k. SIS juga memuat larangan mengenai penayangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan, dan radikalisme-terorisme.
Kemudian, Pasal 51E, pada pasal ini disebutkan sengketa yang timbul akibat dikeluarkannya keputusan KPI dapat diselesaikan melalui pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu mengatakan pembahasan draft RUU Penyiaran mengabaikan keputusan Mahkamah Konstitusi terkait meaningful participation. Dimana, dalam pembahasan sebuah draft UU ada tiga hal yang harus diperhatikan, yakni bahwa masyarakat yang memiliki kepentingan langsung terhadap kebijakan ini punya hak untuk memberikan masukan, didengar sejak proses perencanaan, dan jika masukan-masukan tersebut tidak diterima maka masyarakat berhak mendapatkan penjelasan.
“Dalam proses penyusunan draft ini ada ketidakkonsistenan penjelasan soal draft, seperti pernyataan Banleg yang berdasarkan pembahasan di Komisi I. Sebaliknya Komisi I mengatakan ini masih di Banleg. Selain itu, kenapa teman-teman jurnalis (konstituen Dewan Pers, red) tidak diikutsertakan dalam pembahasan draft ini,” kata Ninik Rahayu, Minggu (19/05/2024) dalam Diskusi Akhir Pekan Forum Guru Besar dan Doktor.
UU Pers Nomor 40 Tahun 1999, lanjut Ninik, mempunyai irisan kepentingan dengan UU No 32 tahun 2022 tentang Penyiaran, yakni terkait produk jurnalistik yang siarannya menggunakan platform siar. Namun UU tersebut justru tidak dimasukkan dalam konsideran RUU Penyiaran.
Ninik menambahkan, pihaknya (Dewan Pers,red) menghormati upaya revisi yang dilakukan pemerintah. Namun jika proses ini tetap dilakukan, seharusnya tidak mengingkari janji reformasi yang dituangkan dalam undang-undang.
“Karena dalam prosesnya tidak ada pelibatan pihak-pihak yang berhubungan langsung dengan jurnalistik, maka kami dengan tegas menolak draft RUU Penyiaran,” kata Ninik.
Tumpang Tindih Aturan
Bentuk keresahan atas draft perubahan kedua UU No 32 tentang Penyiaran juga disampaikan Guru Besar UIN Jakarta, Prof Andi Faisal Bakti, Minggu (19/05/2024). Di hadapan Forum Guru Besar dan Doktor, dosen komunikasi tersebut mengatakan sejumlah pasal yang diusulkan dalam draft UU tersebut merupakan pelanggaran atas kemerdekaan pers dengan menciderai kebebasan pers dan hak publik atas informasi.
“Mulai dari adanya penyensoran karya jurnalistik, peselisihan antar pemberitaan melalui penyiaran yang dimediasi oleh KPI itu menafikan keberadaan Dewan Pers. Draft UU ini juga menghambat pemberantasan korupsi serta memudahkan untuk mempidanakan insan pers khususnya wartwan,” papar Andi Faisal.
Jurnalisme, kata Andi Faisal, merupakan pilar penting demokrasi, sehingga wajar jika ada kritik namun tidak elok jika dibalas dengan regulasi yang membungkam hingga kriminalsiasi.
“Revisi UU penyiaran ini membuat Indonesia kembali ke masa orde baru, dimana UU-nya bersifat subversi,” lanjutnya.
Andi Faisal meminta pemerintah untuk segera melakukan harmonisasi undang-undang, sehingga tidak ada tumpang tindih dan benturan, seperti tugas KPI dan Dewan Pers. Selain itu, menjadi keharusan bagi pemerintah sebagai pengelola negara untuk menjamin keberlangsungan pers yang independen sehingga pengekangan terhadap kerja-kerja pers harus dihindari.
Serupa disampaikan Guru Besar Ilmu Komunikasi, Prof Asep S Muhtadi juga merisaukan revisi UU penyiaran, karena akan melumpuhkan pers sebagai kontrol demokasi di Indonesia.
"Patut dicurigai dan harus dilawan, masyarakat sipil dan komunitas harus menolak revisi ini," tegasnya.
Respons Komunitas Pers
Mengutip Tempo.co, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Nani Afrida tegas mengatakan menolak revisi UU penyiaran yang tengah dibahas di Banleg saat ini. Pembahasan draft RUU ditunda pelantikan anggota DPR RI periode 2024-2029 karena RUU ini sifatnya sangat kompleks sehingga tidak dapat dilakukan terburu-buru.
“Kami meminta agar DPR menangguhkan sampai ada DPR yang baru, karena ini prosesnya sangat kompleks. Begitu kita bicara tentang penyiaran, itu kompleks,” kata Nani.
Jurnalis perempuan asal Aceh ini juga meminta agar pembahasan RUU Penyiaran melibatkan semua kalangan, mengacu pada keputusan Mahkamah Konstitusi terkait meaningful participation.
“Harus melibatkan semua kalangan masyarakat. Kami juga dari AJI minta partisipasi masyarakat terutama warga-warga, orang-orang dan kelompok-kelompok yang ada hubungannya dengan penyiaran. Jadi tidak begitu saja dibahas,” tuturnya.
Tak jauh berbeda disampaikan Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Wahyu Dyatmika dalam rilisnya. Ia menegaskan standing point AMSI jika DPR atau pemerintah tetap ngotot untuk memberlakukan RUU itu, maka akan berhadapan dengan masyarakat pers.
“Kalau DPR tidak mengindahkan aspirasi ini, maka Senayan akan berhadapan dengan komunitas pers,” kata Wahyu, biasa dipanggil Bli Komang.
Penolakan juga disampaikan Kamsul Hasan mewakili Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Menurut dia, RUU Penyiaran itu jelas-jelas bertentangan dengan UU Pers.
“PWI minta agar draf RUU Penyiaran yang bertolak belakang dengan UU Pers,” katanya.
Serupa disampaikan Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Herik Kurniawan, minta agar draf RUU itu dicabut karena akan merugikan publik secara luas dan kembali disusun sejak awal dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan.
Penolakan juga disampaikan oleh Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), dan semua konstituen Dewan Pers.
Djarot : Larang Jurnalisme Investigasi Bentuk Ketakutan
Arus penolakan atas revisi draft UU penyiaran juga disampaikan Ketua DPP PDI-P Djarot Saiful Hidayat. Dikutip dari Kompas.com, politisi partai berlogo Banteng ini keras menolak adanya aturan yang melarang produk jurnalistik investigasi dalam draf revisi undang-undang tersebut.
Ia menilai upaya melarang liputan dan penayangan jurnalisme investigasi sebagai bentuk ketakutan sejumlah pihak terhadap kerja-kerja jurnalistik yang dilakukan wartawan. Padahal dalam bekerja, wartawan jelas sudah diikat dengan kode etik sebelum melaporkan suatu peristiwa. Sehingga tidak perlu ada pelarangan, apalagi menghapus jurnalisme investigasi.
"Tentang revisi UU penyiaran, PDI-P mendorong supaya revisi UU Penyiaran ini benar-benar tidak menghapuskan penyelidikan secara investigatif. Pers itu pilar keempat demokrasi. Jangan sampai karena ketakutan yang berlebihan, pers dengan penyiaran dianggap negatif kemudian dilarang," ujar Djarot, Kamis (16/05/2024).
Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD juga buka suara. Mantan cawapres yang diusung PDI Perjuangan ini menilai upaya melarang wartawan melakukan investigasi sama halnya melarang orang melakuan riset.
Hal ini menunjukan konsep hukum politik Indonesia semakin tidak jelas. Menurutnya harus ada sinkronisasi dari UU Penyiaran jika ingin politik hukum membaik.
"Kembali, bagaimana political will kita, atau lebih tinggi lagi moral dan etika kita dalam berbangsa dan bernegara, atau kalau lebih tinggi lagi kalau orang beriman, bagaimana kita beragama, menggunakan agama itu untuk kebaikan, bernegara, dan berbangsa," pungkas Mahfud.