Berjibaku Hidup di Lingkar Pertumbuhan ‘Dua Digit’

Oleh:  Mario Panggabean

INDEPENDEN- Sinar mentari belum juga tampak bersinar namun Rudi (bukan nama sebenarnya) telah bersiap meninggalkan kamar indekosnya yang sempit. Dengan seragam berwarna khaki dan helm kuning tanpa terlebih dahulu sarapan, ia bergegas untuk berangkat kerja.

Dari tempatnya bernaung dibutuhkan waktu 30 menit lebih sedikit untuk mencapai lokasi kerja. Waktu tempuh itu tidak akan berlaku jika jalan dalam kondisi macet akibat hilir mudiknya para pekerja.  

Perjalanan ke lokasi kerja menghadirkan tantangan baginya, jalan berdebu ketika kemarau dan akan berlumpur ketika hujan datang menerpa. Saban hari, ia harus menempuh perjalanan tersebut untuk memenuhi kewajibannya.

Kamar indekos Rudi berukuran 2x3 meter, berdinding triplek, dan satu ventilasi udara menjadi ‘istana kecil’ yang dengan rela ia bagi. Bersama dengan satu orang teman sesama pekerja, ia berbagi kamar tersebut untuk menghemat pengeluaran di tengah mahalnya biaya properti di sekitar tempat kerjanya.

“Di sini tidak ada kost yang harga sewanya di bawah satu juta, ini yang paling murah, saya dapat kost yang harganya satu juta,” ucapnya.  Namun, ia  tidak merasa kerasan untuk menetap lebih lama di kamar indekos tersebut. 

Ia memilih pindah untuk mencari ‘istana kecil’ yang lebih baik meski tentu saja ada biaya tambahan yang harus dikeluarkannya.

Hanya terdapat dispenser, penanak nasi, peralatan makan minum, kipas mini serta satu stopkontak di kamarnya. Tidak ada hiburan lain  selain telepon pintar yang menemaninya jika sedang tidak bekerja.

Pemuda lajang asal Halmahera Barat, Maluku Utara tersebut hampir 3 tahun malang melintang mengais rezeki sebagai pekerja di industri ekstraktif, Halmahera Tengah, Maluku Utara. Baginya bekerja di industri tersebut merupakan pilihan cepat untuk menghidupi diri, keluarga, dan menggapai cita-citanya.

“Saya memilih bekerja di sini karena alasan ekonomi, untuk bantu keluarga, dan adik yang masih berkuliah,” ucap Rudi memaparkan alasannya.

Kamar Kost Karyawan di Halmahera
Kondisi indekos pekerja di wilayah lingkar industri ekstraktif, Halmahera Tengah, Maluku Utara. (Foto: Mario Panggabean/RRI)

Meski lulusan dari perguruan tinggi, tuntutan kehidupan memaksanya untuk bekerja meski tidak sesuai dengan studi yang telah dijalaninya. Namun, meski bekerja mengutamakan kekuatan fisik, Rudi masih menyimpan asa. Ia masih ingin melanjutkan studinya di masa mendatang.

Dengan tugas sebagai operator eksavator, Rudi mendapatkan penghasilan lebih Rp7 juta dan dapat mencapai Rp8 juta per bulan jika mengambil lembur. Penghasilan yang ia dapatkan sebagai pekerja di PT IWIP (Indonesia Weda Bay Industrial Park) tersebut harus dihemat dengan sedemikian rupa. 

Harga komoditas baik itu properti hingga kebutuhan lain menjadi tantangan besar baginya dalam mengatur keuangan.

Rudi mengungkap bahwa untuk hidup di wilayah lingkar industri ekstraktif paling sedikit Rp100 ribu yang ia harus keluarkan per hari. Dengan nilai uang yang ia keluarkan tersebut itu pun masih dilakukan penghematan  agar pengeluarannya tidak membengkak. 

Rudi menyiasatinya dengan cara menanak nasi di kamar indekos dan hanya membeli lauk di warung.

Sebagai gambaran, menurut penuturan Rudi, ia habiskan Rp20 ribu – 25 ribu untuk membeli lauk tanpa nasi untuk sekali makan. Jika ingin makan di warung terpaksa ia harus merogoh ‘kocek’ lebih dalam sekitar Rp35 ribu dengan lauk ayam dan Rp25 ribu dengan lauk ikan.

Namun, meski di tengah mahalnya biaya hidup, ia masih tetap memastikan bahwa keluarganya di kampung halaman juga mendapat kebahagian dari hasil kerja kerasnya. Rudi kerap mengirim Rp2 – 3 juta per bulan kepada keluarganya.

Terkait tingginya biaya hidup di sekitar lingkar industri ekstraktif, Rudi sebagai pekerja menyampaikan pendapatnya melihat persoalan tersebut. Ia merasa bahwa pemerintah memiliki kewenangan untuk mengatasi persoalan terkait mahalnya biaya hidup di sekitar wilayah lingkar tambang.

“Menurut saya, Pemda Halmahera Tengah harus melakukan semacam investigasi atau penelitian di setiap kampung di lingkar tambang, apakah pendapatan masyarakat sesuai atau tidak dengan harga barang yang ada di pasaran,” ucapnya. “Contoh seperti sewa kost paling murah Rp1 juta dan paling mahal bisa Rp2 juta lebih per bulan, banyak yang mengeluh.”

Masih menurut penuturan Rudi, ia pernah mencari tahu mengenai fasilitas indekos dengan tarif  Rp2 juta lebih per bulan. Dengan tarif tersebut, penghuni indekos akan mendapatkan fasilitas  pendingin ruangan, kamar mandi dalam, kasur, dan terkadang mesin cuci yang dapat dipakai bersama. 

Namun, dengan alasan penghematan  agar dapat membagikan pendapatan bagi keluarganya, ia tetap memilih indekos di rentang Rp1 juta setiap bulannya.

Selain Rudi, Wahyu (bukan nama sebenarnya) pekerja asal Halmahera Utara juga menggantungkan hidupnya menjadi pekerja di industri ekstraktif yang kian bertumbuh. Pria lajang tamatan perguruan tinggi tersebut juga menerapkan metode “ikat pinggang” yang ketat agar dapat bertahan hidup.

Sama seperti Rudi, ia hanya membeli lauk di warung dan menanak nasi di kamar indekosnya. Wahyu berujar untuk membeli lauk, minimal ia mengalokasikan dana sebesar Rp50 ribu per hari. Itu belum biaya lain seperti bensin, biaya indekos, dan kebutuhan sehari – hari lainnya.

Dengan hidup berhemat, Wahyu dengan pendapatan lebih dari Rp6 juta hingga dapat mencapai Rp7 juta tergantung hari kerja masih dapat mengirimkan sebagian pendapatannya kepada keluarga di kampung halaman. Sebagai karyawan di PT IWIP, ia kerap mengirimkan hingga Rp3 juta saban bulan kepada keluarganya.

Selain Rudi dan Wahyu,  Rahmat (bukan nama sebenarnya) asal Lombok, Nusa Tenggara Barat  juga berjibaku  hidup dengan bekerja sebagai pekerja di industri esktraktif. Meski jauh dari keluarga, pekerjaan yang dilakoninya jauh di dalam hutan merupakan keniscayaan untuk bertahan hidup.

“Saya lakukan pekerjaan ini karena ada beberapa orang yang harus saya tanggung, istri,anak, dan orang tua,” ucapnya.

Rahmat yang berlatarbelakang pendidikan SMA memiliki tugas sebagai admin di PT.HSM (Halmahera Sukses Mineral) dengan pendapatan gaji Rp4,6 juta per bulan. Pendapatan itu dialokasikannya untuk membiayai cicilan motor, membiayai anak bersekolah, dan biaya hidup untuk orang tua.

Dengan pendapatan dibawah Rp5 juta per bulan, ia bersyukur karena perusahaan mengakomodasi konsumsi dan tempat tinggal selama bekerja. Namun, dengan pendapatan tersebut ia punya rasa khawatir terhadap masa depan ketika tidak lagi bekerja.

“Setiap bulan ini lolos saja (pendapatan yang diterima) untuk tabungan seribu rupiah pun tidak ada ini,” ucapnya lirih.

Tantangan dalam Bekerja dan Rasa Khawatir

Bekerja di industri ekstraktif Halmahera Tengah tidak hanya berkisah tentang biaya hidup tinggi serta pendapatan yang harus ‘diikat’ dengan kencang. Bayang – bayang kecelakaan kerja serta bekerja melewati standard yang ada menghantui para pekerja.

Seperti yang dipaparkan oleh Wahyu. Ia berpendapat, tingkat keselamatan kerja perlu ditingkatkan dan mematuhi ketentuan yang telah ditetapkan oleh perusahaan seharusnya menjadi perhatian utama.

“Kadang kita diarahkan bekerja diluar ketentuan perusahaan padahal untuk mengangkat beban tidak boleh terlalu berat sebenarnya telah diatur oleh perusahaan namun praktik di lapangan ada pekerjaan yang melebihi dari kapasitas manusia,” ujarnya.

Ia berkisah pernah bekerja melebihi ketentuan dari perusahaan. Wahyu pernah mengangkat nikel batangan dengan berat lebih dari 20 kilogram padahal ketentuan perusahaan setiap pekerja tidak boleh mengangkat beban lebih dari 20 kilogram.

“Seharusnya ketika beban di atas lebih dari 20 kilogram diangkut dengan alat berat namun kita diarahkan untuk mengangkat beban (nikel batangan) tersebut,” katanya.

Selain Wahyu, Rudi juga berkisah bahwa penerapan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) masih minim menurut pengalamannya. Ia mengungkap ada unit (alat operasional) yang sudah tidak layak dipakai namun dipaksakan untuk dioperasionalkan.

“Wajar saja jika ada kecelakaan kerja karena itu tadi tidak diperhatikannya K3,” kata Rudi.

Rudi juga mengungkap telah terjadi beberapa kali kecelakaan kerja terjadi di perusahaan tempat ia bekerja. Ia mencontoh adanya kecelakaan dimana pekerja yang ditabrak oleh alat berat loader, kendaraan alat berat yang saling bertabrakan karena rem yang tidak berfungsi hingga lain sebagainya.

“Keselamatan ada di diri kita, jika di lapangan kondisi tidak layak untuk dikerjakan sebaiknya tidak dikerjakan,” ucapnya.

“Kita bisa sampaikan kepada foreman (mandor) jika suatu pekerjaan tidak layak dikerjakan tapi kadang pekerja ini kan takut kehilangan kerja, takut sama atasan jadi tetap dipaksakan untuk bekerja meski mereka tahu hal tersebut tidak layak untuk dikerjakan," ia menambahkan. 

Pekerja di Trans Weda
Para pekerja berteduh ketika hujan datang menerpa di jalan Trans Weda - Patani, Halmahera Tengah, Maluku Utara. (Foto: Mario Panggabean/RRI)

Di sisi lain, menurut penuturan Rudi, di perusahaan tempat ia bekerja tidak membatasi jika pekerja berkehendak untuk berserikat dalam organisasi pekerja. Kebebasan untuk berserikat ditandai dengan begitu beragamnya serikat pekerja.

“Terdapat serikat pekerja seperti SPSI,SBSI,SPN,FNPBI,FSPMI, serta Gakarya,” ungkap Rudi. “Untuk serikat pekerja , perusahaan paham aturan.”

Rudi juga menyimpan rasa khawatir terkait industri ekstraktif yang kini tengah bertumbuh. Sebagai masyarakat lokal, Rudi menyimpan kekhawatiran akan kelestarian lingkungan Maluku Utara di masa mendatang. “Saya khawatir terhadap lingkungan, toh ketika perusahaan angkat kaki dari sini otomatis imbasnya kita sendiri masyarakat Maluku Utara,” katanya.

 Magnet  bagi Angkatan Kerja dan Tingkat Inflasi

Melansir penuturan Kepala Bidang Tenaga Kerja, Dinas Tenaga Kerja Halmahera Tengah, Fauzan Anshari tercatat lebih dari 70 ribu pekerja asal Indonesia yang menggantungkan hidup pada industri ekstraktif di Maluku Utara. Para pekerja mayoritas berasal dari Maluku Utara (yang paling banyak), Maluku, dan Sulawesi Utara.

Selain tenaga kerja lokal terdapat juga tenaga kerja asing yang menggantungkan hidupnya pada industri yang menyokong pertumbuhan ekonomi tersebut. Masih menurut penuturan Fauzan Anshari, terdapat 4.767 pekerja asing  yang bekerja di sektor ekstraktif di Halmahera Tengah per Desember 2023.

Kepala Dinas Tenaga Kerja Halmahera Tengah, Hamka Mujidin berujar bahwa sejak kehadiran industri ekstraktif banyak masyarakat antusias untuk mengurus ‘kartu kuning’. Membuat ‘kartu kuning’ merupakan salah satu syarat untuk mendaftar kerja di Halmahera Tengah. Namun, Hamka mengungkap bahwa tingkat pengangguran di Halmahera Tengah belum mendapat data yang pasti karena pembaharuan data yang belum dilakukan.

“Saya baru satu tahun menjabat namun sebelumnya ada kebijakan untuk bekerja di Halmahera Tengah harus memiliki KTP Halmahera Tengah jadi ada perpindahan penduduk dari kabupaten atau kota lain,” ucapnya.

“Dengan status awal tidak bekerja namun ketika melamar pekerjaan dan diterima status di KTP kan tidak berubah," lanjutnya.

pekerja
Banyaknya pekerja yang hendak pergi bekerja di kawasan industri ekstraktif di Halmahera Tengah, Maluku Utara. 
Puluhan ribu pekerja menggantungkan hidup pada industri  tersebut yang kian berkembang dan menjadi salah satu pusat pertumbuhan di wilayah timur nusantara. (Foto: Mario Panggabean/RRI)

Terkait pengawasan dan peningkatan kualitas pekerja , Hamka mengungkap bahwa pemerintah melalui dinas terkait telah melakukan hal tersebut. Ia berujar dinas yang dipimpinnya telah melakukan pengawasan, pembinaan, hingga penyelesaian masalah hubungan industrial antara pekerja dengan perusahaan

“Kami pemerintah daerah dalam hal ini Disnaker melakukan proses mediasi jika perusahaan tidak melaksanakan kewajibannya dan begitu juga sebaliknya kewajiban pekerja kepada perusahaan,” katanya. “Kami di Disnaker hanya dalam proses mediasi jika terjadi permasalahan antara perusahaan dan pekerja untuk penyelesaian masalah itu kewenangan di Disnaker provinsi.”

Dalam hal kecelakaan kerja yang pernah terjadi di perusahaan industri tambang, Hamka juga angkat suara dalam menyikapinya. Ia mengungkap agar baik perusahaan dan pekerja menaati aturan dan regulasi. “Jika terjadi kecelakaan kerja, Disnaker akan membentuk tim untuk mencari tahu permasalahan yang telah terjadi, memetakan masalah, dan menuntaskannya agar hal tersebut tidak menjadi bom waktu,” ucapnya.

Terkait inspeksi berkala dan rutin K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) menurut penuturan Fauzan Anshari sebagai Kepala Bidang (Kabid) Tenaga Kerja, Dinas Tenaga Kerja Halmahera Tengah mengungkap bahwa kewenangan tersebut berada di tingkat provinsi. Terkait tingkat kecelakaan kerja yang terjadi rentang tahun 2023 yang terjadi menurut penuturan Fauzan Anshari sebanyak 13 kasus.

“Sesuai UU No. 23 Tahun 2014, untuk pengawasan dan penindakan K3 telah dialihkan ke tingkat pemerintah provinsi,” ucapnya. “Kita (Disnaker Halteng) hanya melakukan tindakan preventif dan edukatif.”

Tidak hanya tentang K3, pendapatan para pekerja menjadi perhatian agar setiap pekerja mendapat haknya. Masih menurut Fauzan Anshari setiap pekerja mendapat haknya sesuai ketentuan yang berlaku dan pendapatan yang diterima masih menggunakan UMP (Upah Minimun Provinsi) 2023 sebesar Rp3,6 juta yang lebih tinggi nilainya dari UMP Provinsi 2024 sebesar Rp3,2 juta.

“Di klausul SK UMP 2024, pendapatan yang sudah tinggi  di industri ekstraktif seperti emas dan nikel tidak boleh menyesuaikan dengan UMP tahun ini karena nilainya turun,” ucap Fauzan. “Tetap mengacu pada UMP 2023 di angka Rp3,6 juta untuk pertambangan nikel, yang nilainya telah tinggi tidak boleh diturunkan lagi.”

Hak pekerja dalam mendapat upah layak sesuai ketentuan yang berlaku di industri ekstraktif di Halmahera Tengah masih berjalan dengan baik. Sebagai Kabid Tenaga Kerja di Disnaker Halteng, Fauzan Anshari menyampaikan sampai saat ini belum ada temuan perusahaan yang membayarkan gaji di bawah UMP.

Hal tersebut menurut penuturan Fauzan karena pengesahan kontrak kerja antara pekerja dan perusahaan disahkan oleh Disnaker. “Selama ini tidak ada temuan, selama ini masih dalam standar ketentuan UMP atau di atas UMP,” ujarnya.

Sebagai perpanjangan tangan pemerintah, Disnaker Halteng juga ikut turut andil dalam melakukan mediasi antara pekerja dan perusahaan. Fauzan berujar proses mediasi yang dilakukan oleh Disnaker sejak Januari hingga pertengahan April 2024 telah mencapai lebih dari 30 proses mediasi.

“Alhamdulillah, proses penyelesaian di atas 95 persen dan biasanya mediasasi kebanyakan terkait dengan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) namun pesangon dan kompensasi belum dibayarkan,” ucap Fauzan. “Kita mediasi, kita beri tahu regulasi, aturan terkait, dan perusahaan memahami dan melaksanakan kewajibannya.”

Selain pemenuhan hak dalam pendapatan yang sesuai aturan, kemerdekaan berserikat juga merupakan hak pekerja yang telah diatur dalam ketentuan yang berlaku. Di Halmahera Tengah sendiri sebagai salah satu pusat pertumbuhan industri ekstraktif, serikat pekerja juga mendapat tempat untuk menjadi wadah bagi para pekerja. Fauzan Anshari menyampaikan bahwa serikat pekerja yang tercatat di Disnaker Halteng berjumlah sepuluh serikat pekerja.

Mengenai kondisi pekerja, rri.co.id telah mengirimkan permohonan wawancara tertulis dengan daftar pertanyaan kepada PT IWIP melalui surat elektronik (e-mail) sejak tanggal 17 April 2024. Namun, sampai berita ini ditayangkan, belum ada respons dari pihak perusahaan terkait permohonan wawancara tertulis tersebut.

Terpisah, akademisi Universitas Khairun (Unkhair) Ternate, Nurdin I Muhammad melihat bahwa kemahalan wilayah di daerah lingkar tambang bukan tanpa sebab. Ia berujar secara teori ketika ada pertumbuhan ekonomi hal tersebut akan bersanding dengan tingkat inflasi. 

Masih menurut Nurdin dalam melihat Halmahera Tengah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi namun tidak disertai dengan ketersediaan barang dan jasa.

Selain ketersediaan, distribusi barang dan jasa di Halmahera Tengah (khusus pusat pertumbuhan atau wilayah lingkar tambang) juga masih terbatas karena faktor jarak yang cukup jauh sehingga hal tersebut memicu inflasi. Ia khawatir, inflasi daerah yang tinggi di wilayah pertambangan akan memicu tingkat kemiskinan.

“Saya lihat data statistik meski memperlihatkan pertumbuhan ekonomi tinggi yang berakibat dengan pendapatan per kapita tinggi tetapi jika kita lihat dari pengeluaran per kapita memperlihatkan daya beli masyarakat di sana rendah,” uca dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unkhair tersebut.

Nurdin menjelaskan ada fenomena capital flight (uang yang beredar cepat keluar dari wilayah pusat pertumbuhan tersebut). “Hal itu terjadi karena para pekerja di industri pertambangan tidak dibelanjakan di sana begitu pekerja mendapat upah, upah tersebut segera dikirim ke luar,” ucapnya. “Ketika upah yang di dapat tidak dibelanjakan di sana akibatnya perputaran ekonomi di sana akan melemah.”

Kebijakan pemerintah sangat penting dalam menekan laju inflasi yang tinggi menurut Nurdin. Ia berpendapat harus ada sinkronisasi kebijakan antara pemerintah daerah dan pemerintah provinsi. Penyelesaian akar masalah merupakan hal mutlak yang harus dikerjakan oleh pemerintah.

“Utamanya, inflasi  di dorong oleh bahan pangan dan transportasi, jika itu sumber masalahnya kita harus menyelesaikannya di situ,” katanya. “Saya berpendapat harusnya ada industri pertanian yang menopang pusat proyek strategis nasional ini agar bisa menjaga keseimbangan harga terutama harga pangan.”

Masih menurut Nurdin hal tersebut penting dilakukan karena terkait dengan daya beli masyarakat lokal. Ia berpendapat meski pemerintah melakukan operasi pasar atau hal lain selama akar masalah tidak terselesaikan maka tidak akan menyelesaikan masalah inflasi.

Terkait biaya properti yang cukup tinggi di lingkar tambang, Nurdin juga melihat pemerintah harus melakukan intervensi untuk mengatasi persoalan tersebut.

“Jika kita lihat kamar indekos yang tidak layak sebetulnya biaya sewanya sudah sangat mahal maka dibutuhkan intervensi pemerintah agar biaya sewa tersebut dapat dikendalikan,” kata Nurdin. “Intervensi pemerintah melalui perusahaan daerah dapat membangun unit usaha seperti properti bagi pekerja yang lebih layak huni dengan sanitasi dan drainase yang lebih sehat.”

Harapan yang Tersemat

Meski berjibaku hidup sebagai pekerja di pusat pertumbuhan industri ekstraktif,  harapan tentu saja masih tersemat. Seperti yang diharapkan oleh Rudi bahwa peningkatan kualitas K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) merupakan hal yang penting bagi para pekerja. Rudi juga berharap agar pemerintah ikut terlibat dalam memastikan K3 dan hak – hak pekerja dapat dipenuhi sesuai ketentuan yang berlaku.

Selain Rudi, Wahyu juga berharap agar perusahaan lebih mengoptimalkan aturan kerja yang ada. Selain itu, peningkatan upah bagi pekerja agar dapat disesuaikan dengan tingkat inflasi daerah. “Banyak orang beranggapan bekerja di tambang memiliki gaji yang besar namun di sisi lain kita sebagai pekerja terkadang merasa upah yang diterima tidak sesuai dengan kemahalan wilayah,” ungkapnya. “Tingkat kemahalan meningkat namun upah menetap.”

Rahmat, sebagai pekerja yang berasal dari luar Maluku Utara juga memiliki harapan dalam hal peningkatan kesejahteraan. “Kita harapkan ada kenaikan gaji lah dan kiranya pemerintah lebih memperhatikan pekerja kecil seperti kita entah itu memberikan bantuan,” harap Rahmat.

Bagi Rudi, Wahyu, Rahmat  serta ribuan pekerja lainnya, berjibaku hidup di lingkar industri ekstraktif merupakan hal yang harus dilakukan untuk menyambung hidup.  Hidup orang lain bergantung pula atas setiap peluh keringat yang mereka teteskan ketika bekerja di pusat industri yang menghasilkan pertumbuhan ‘dua digit’ tersebut. Oleh karenanya, bekerja dengan layak dan menerima manfaat yang lebih seharusnya merupakan keniscayaan bagi mereka para penyokong pertumbuhan negara.

*) Tulisan ini merupakan republikasi berita yang naik di portal RRI.co.id pada  30 April  2024.  Liputan ini merupakan bagian dari program Fellowship “Mengawasi Proyek Strategis Nasional” yang didukung Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.

kali dilihat