Caleg Selain Muslim di Serambi Makkah

Oleh : Cut Salma H.A

INDEPENDEN--Sore itu, seorang lelaki bermata sipit dengan kulit terang keluar dari balik bangunan ruko di pinggir pantai Kota Sabang.  Penampilannya begitu sederhana, menggunakan kemeja garis-garis dan celana kain berwarna hitam, dilengkapi tas selempang berukuran sedang.

Ia sudah menunggu kedatangan penulis sejak pagi. Kami pun jalan bersisian mencari warung kopi yang cocok untuk mengobrol.

Kursi paling pojok jadi pilihan kami, tepat berhadapan dengan menara merah putih yang juga jadi objek wisata di kota itu. Sesekali ia melambaikan tangan saat ada pengunjung yang memanggil.

Pembawaannya memang ramah dan sederhana. Jika bukan warga asli Kota Sabang, tidak akan ada yang tahu bahwa ia adalah seorang calon legislatif Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK) Sabang tahun 2024. 

Lelaki itu bernama Yuventius Gunawan.

Yuventius lahir di Sabang 67 tahun yang lalu.  Dia pemeluk agama Kristen Katolik yang taat, sementara mendiang orang tuanya beragama Budha. 

Saat ini Yuventius tinggal bersama adik kandung dan keluarganya yang beragama Islam. Terbiasa dengan Muslim membuat dia mudah berbaur dengan masyarakat Muslim meskipun menjadi kelompok minoritas.

“Yang orang tahu, keturunan Tionghoa itu sibuk berbisnis dan nggak mau bergaul dengan masyarakat lain,” kata lelaki  itu tertawa.

 

Yuventius berbaur bersama pekerja Muslim di home industri miliknya. (FOTO CUT SALMA. H.A)

 

Sehari-hari Yuventius bekerja di home industri miliknya, yaitu sebuah usaha kue oleh-oleh khas Kota Sabang. Para pekerja di home industri itu juga semuanya beragama Islam.

“Saya pakai pekerja Muslim agar orang tidak khawatir beli kue buatan saya karena dikira tidak halal,” kata Yuventius. 

Sabang adalah sebuah pulau di ujung barat Indonesia, sekaligus merupakan salah satu daerah dari Aceh yang punya keistimewaan karena memberlakukan syariat Islam.  Penduduk di Pulau Sabang juga didominasi oleh Muslim dan punya peraturan khusus syariat Islam yang disebut Qanun. 

Jika dilihat berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022, jumlah penduduk Aceh mencapai 5.407. 855 jiwa. Dari angka tersebut, Kementerian Agama RI menyebutkan, hanya sebanyak 75.677 jiwa penduduk yang beragama selain Islam. 

 

 

 

 

Terlibat di Pesta Demokrasi 

Yuventius mengeluarkan secarik kertas kecil dari dalam tas selempang miliknya. Kertas itu berwarna merah, identik dengan salah satu partai berlogo kepala banteng. Di bagian tengah kertas tersebut terpampang wajahnya dengan slogan “Saya bersama Rakyat”. 

Tahun ini adalah pengalaman kedua Yuventius maju sebagai calon legislatif. Sebelumnya ia juga sempat maju pada pemilu tahun 2014, namun gagal menduduki kursi DPRK Sabang. Meski begitu, dia tak menyerah. Yuventius bertekad untuk bisa terjun di bidang politik sejak lima belas tahun lalu. 

“Tahun ini, kalau untuk DPRK kita coblos nomor 1, untuk DPRI  juga nomor 1, kalau Presiden kita coblos nomor 3,” katanya sambil tertawa kecil. 

Yuventius melakukan kampanye door to door ke masyarakat Muslim Selasa, (30/1/2024) - (FOTO CUT SALMA H.A)

 

Yuventius mengawali karir politik dengan bergabung Partai Gerindra pada 2009. Kemudian dia pindah dan bergabung di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).  Saat ini Yuventius adalah bendahara umum untuk PDIP DPC Sabang.  

Niat Yuventius memang bulat untuk berkecimpung di dunia politik.

"Karena saya ingin menyumbang gagasan dan pemikiran. Serta berbaur dengan masyarakat tanpa pandang suku, ras, maupun agama,” kata dia

Selain itu, Yuventius juga merupakan ketua umum Federasi Olahraga Barongsai Indonesia (FOBI) Kota Sabang. Menurutnya, meski Barongsai identik dengan masyarakat Tionghoa, namun anggota dan atlit di dalamnya juga banyak dari kelompok Muslim.

“Kadang orang merasa kalau dari kelompok Tionghoa nanti hanya mengedepankan kelompok ini saja. Saya tidak. Di Sabang ini hanya ada 80 KK yang beragama Non-Muslim, semua kebutuhan seperti rumah ibadah juga sudah terpenuhi, jadi ngga ada tujuan khusus untuk kelompok tertentu saat memutuskan jadi caleg,” ungkap Yuventius.

Keberaniannya untuk maju didasari harapan supaya generasi muda Tionghoa nantinya berani tampil dan tidak perlu takut walaupun dari kelompok minoritas.

“Saya juga sampaikan untuk selalu bergaul dengan masyarakat. Kalau menang syukur, kalau ngga juga ngga apa-apa,” ujarnya.

Yuventius tak sendiri, calon-calon politisi dari agama Non-Islam dalam pemilu kali ini sudah banyak bermunculan di Aceh.

William Mega misalnya.  William adalah warga Kota Sabang yang juga keturunan Tionghoa namun memeluk agama Budha.  

William merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara, dan satu-satunya yang terjun di kancah perpolitikan.

Berbeda dengan Yuventius, ini adalah pengalaman pertama William menjadi caleg DPRK Sabang. William mengawali karirnya di politik pada tahun 2021 dan bergabung untuk partai Golkar. 

William justru maju menjadi caleg agar hak-hak dan suara dari kelompok etnis Tionghoa seperti dirinya lebih didengarkan. Menurut dia, masih sangat sedikit bantuan-bantuan sosial yang menjangkau kelompok-kelompok minoritas di Sabang.

“Sebenarnya ada sebagian yang sudah terjangkau oleh pemerintah, tapi mungkin untuk pemerataannya belum cukup ya,” kata dia yang mengaku juga sudah berbaur dengan masyarakat mayoritas sejak kecil.

Namun dia menyakinkan kalau akan memperhatikan semua masyarakat Sabang kalau terpilih nanti.

 

Lebih Banyak Melibatkan Minoritas

Meski tahun-tahun sebelumnya ada warga selain Muslim yang maju sebagai caleg di Aceh, pada tahun 2024 ini jumlah caleg Non-Muslim di Aceh justru lebih banyak.

Pembimbing masyarakat (Pembimas) Kristen Kanwil Kemenag Aceh, Samarel Telaumbanua menyebutkan, pemilu 2024 ini memang banyak melibatkan kelompok-kelompok minoritas di Aceh.

“Di pemilu tahun 2024 ini, saya melihat bahwa memang benar, banyak penganut agama minoritas yang terlibat. Baik sebagai pengurus partai, calon legislatif, ada  juga yang jadi petugas KPPS.” Kata Samarel, hal ini menunjukkan bahwa ada kemajuan yang luar biasa dalam menjaga toleransi beragama di tanah Serambi Mekkah. Kelompok Non-muslim punya hak yang sama di Aceh. 

Menurut data Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, hanya ada beberapa Kabupaten di Aceh yang terdapat caleg Non-Muslim. Paling banyak terdapat di Kabupaten Aceh Tenggara dan Aceh Singkil.

 

 

 

 

Tidak Ada Resistensi Namun Dihantui Rasialisme

 

Baik Yuventius maupun William mengaku belum pernah mendapat penolakan apalagi perlakuan buruk dari kelompok mayoritas di Kota Sabang. 

Namun keduanya sependapat sering dihantui rasialisme. Di daerah yang mayoritas beragama Islam, isu-isu soal agama minoritas memang cenderung menguat apalagi saat masa pemilu. Namun William secara pribadi selalu berusaha dan mengajak orang-orang terdekatnya agar tidak mudah terprovokasi.

“Kendala pemilu dengan agama memang ada sering kita dengar, lumayan sedikit mengganggu. Contohnya baru-baru ini di depan publik secara terang-terangan ada yang menyampaikan kurang lebih ‘ngapain sih (milih) dari kelompok lain (Tionghoa) bukan dari kita-kita aja’ kayak gitu,” kata William. 

Embel-embel haram pada bantuan dari salah satu tokoh dari kelompok Tionghoa dan kalimat tidak perlu terhadap kelompok minoritas juga jadi pembahasan dalam pidato salah satu kelompok di daerah itu.

Hal ini yang menurut William dan Yuventius terlihat mendiskrimanasi. 

“Kekerasan memang tidak ada, aktivitas ibadah maupun untuk berbaur dengan warga yang mayoritas juga masih baik dan aman-aman saja, tapi ada kalimat-kalimat seperti ini terlihat menjatuhkan calon dari kelompok minoritas,” kata Yuventius. 

Baru-baru ini Setara Institute merilis laporan Indeks Kota Toleran (IKT) 2023. Pada publikasi ketujuh tersebut, Setara Institute menggunakan studi pengukuran kinerja kota meliputi pemerintah kota dan elemen masyarakat dalam mengelola keberagaman, toleransi, dan inklusi sosial.

Hasilnya, Kota Sabang, Provinsi Aceh menjadi kota paling intoleran di Indonesia pada tahun 2023 dengan skor 4,45.

Anehnya  William Mega mengaku belum pernah mendapat kekerasan maupun larangan melakukan aktivitas keagamaan yang bisa dikategorikan intoleran sebagaimana yang disebut Setara Institute.

“Selama ini memang kami aman-aman saja, nggak pernah juga ada konflik. Walaupun seperti yang saya sampaikan tadi, kadang-kadang memang ada ujaran-ujaran yang kesannya mendiskriminasi dan rasis. Namun selebihnya kami masih baik-baik saja. Saya ngga tau cara ngambil hasil surveinya seperti apa, karena kami juga tidak dilibatkan untuk mengisi survei tersebut,” kata William. 

William berharap, masa pemilu ini bisa berjalan dengan damai tanpa menjatuhkan kelompok tertentu.

“Harapannya ya kita damai-damai sajalah. Jangan ada menjatuhkan agama atau kelompok tertentu. Tujuan kita sama, sama-sama ingin memajukan kota,” kata William. 

Selain itu, Pembimas Katolik, Baron Ferryson Pandiangan juga dibuat bingung oleh hasil survei yang dilakukan Setara Institute.

Menurut Baron, indikator dan koresponden yang dipakai kurang tepat. Selama 13 tahun di Aceh, Baron belum pernah mengalami intimidasi maupun penolakan dari masyarakat. 

“Tidak ada juga kita dengar atau kita alami, warga kita kesulitan. Ya sedikit ada masalah sosial sih biasa. Cuma untuk indikator dikatakan intoleran itu tidak,” kritik Baron.

Dia menekankan meski hanya satu penganut Katolik yang maju sebagai caleg tahun ini, namun tidak ada penolakan maupun ancaman tertentu dari warga Aceh.

“Kalau untuk jadi caleg itu dari Katolik memang hanya satu orang di Sabang, dan untuk yang terlibat sebagai petugas KPPS ada juga satu di Banda Aceh dan satu di Aceh Tenggara. Semuanya aman-aman saja, tidak ada penolakan apalagi diskriminasi,” kata Baron.

Dia percaya Aceh membebaskan pemeluk agama lain untuk beraktivitas baik aktivitas keagamaan maupun sosial. 

“Kami punya sekolah yayasan Katolik, itu di dalamnya juga ada orang-orang Islam. Begitu juga sebaliknya, sekolah-sekolah yang mayoritas Islam juga ada warga bukan Islam di dalamnya, tidak masalah,” ujar dia. 

Sebenarnya, bagaimana sebaran penduduk dengan agama selain Islam di Aceh? 

Secara geografis, kabupaten yang paling berdekatan dengan Sumatera Utara punya warga bukan Muslim yang lebih banyak dibanding kabupaten lain.

 

 

 

 

Toleransi Qanun Soal Penyelenggaraan Pemilu

Aceh memiliki ketentuan khusus terhadap persyaratan yang harus dipenuhi seorang caleg, bupati/walikota hingga calon gubernur Aceh.

Ketentuan tersebut berupa tes uji kemampuan membaca Al-Qur'an. 

Hal ini diatur dalam Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2008 tentang Partai Politik Lokal Peserta Pemilihan Umum Anggota DPR Aceh dan DPR kabupaten/kota. Kemudian untuk calon eksekutif diatur dalam Qanun Aceh Nomor 12 Tahun 2016 Pilkada Bupati/Wali Kota dan Gubernur/Wakil Gubernur Aceh. 

Namun, peraturan itu tak berlaku bagi bacaleg dari agama selain Islam. Mereka yang beragama Non-Islam mendapat kebebasan sebagaimana syarat umum dari ketentuan pusat. 

“Memang di Aceh itu berbeda dengan provinsi yang lain karena di Aceh ini ada kekhususan. Yang pertama kekhususan terkait syarat menjadi calon legislatif salah satunya yaitu mampu baca Al-Quran, nah mampu baca Al-Qur’an ini bagi kami hanya kami berlakukan untuk yang beragama Islam saja, sementara agama Non-Islam ya kami tidak berlakukan itu,” kata Saiful, Ketua KIP Aceh. 

Menurut Saiful, label minoritas bukan penghalang bagi masyarakat Non-Muslim untuk bergabung dalam politik di Aceh. Kata dia, demokrasi di tanah syariat berlangsung terbuka bagi siapa saja.

"Masyarakat hidup dalam kerukunan, dan itu harus ada dukungan politik. Apalagi secara peraturan perundang-undangan tidak ada perlakuan khusus terhadap satu pihak baik mayoritas maupun minoritas, semuanya sama,” kata dia.

Selain itu, Aceh jadi salah satu daerah di Indonesia yang punya keistimewaan dengan adanya partai lokal dan diizinkan memimpin pemerintahan. Hadirnya partai lokal tersebut hadir dari perjanjian damai MoU Helsinki (GAM-RI).

Tahun 2024, ada 6 partai lokal yang memenuhi persyaratan dalam pemilu; Partai Aceh, Partai Adil Sejahtera (PAS) Aceh, Partai Generasi Atjeh Beusaboh Tha’at dan Taqwa, Partai Darul Aceh, Partai Nanggroe Aceh, dan Partai Solidaritas Independen Rakyat Aceh.

Namun dari 6 partai itu, hanya 2 yang mampu memperoleh kursi di Kabupaten dan Provinsi pada tahun 2019, yaitu Partai Nanggroe Aceh (PNA) dan Partai Aceh (PA). 

Partai-partai lokal juga tak membatasi kelompok-kelompok tertentu untuk bergabung. Pemeluk agama Non-Islam diberikan kebebasan untuk terlibat dalam keanggotaan partai lokal maupun pencalonan legislatif melalui partai lokal tersebut. 

“Tahun 2024 ada salah seorang warga Non-Muslim yang maju sebagai calon anggota DPRK untuk daerah Aceh Singkil dari partai lokal Partai Nanggroe Aceh (PNA), dan kalau tidak salah merupakan pengurus PNA daerah setempat,” kata Saiful. 

Seperti yang disampaikan Saiful, caleg Yuventius memang tak khawatir.  Dia malah optimis suara yang ia peroleh tahun ini justru berasal dari kalangan masyarakat muslim. 

“Saya optimis, tahun ini suara untuk saya banyak dari kalangan muslim. Karena teman-teman saya justru lebih banyak yang muslim. Sehari-hari saya juga selalu berbaur dengan masyarakat muslim,” katanya bersemangat.  (NAF)

 

 

Catatan Redaksi

Hasil liputan ini   merupakan kolaborasi dari Independen.id, AJI dengan media penerima beasiswa liputan Pemilu 2024 didukung USAID MEDIA - Internews

 

 

 

 

kali dilihat