Perjalanan ini berawal dari pertemuan 3 sahabat lama, yang sejak akhir 1990-an aktif meliput berita berita ekonomi nasional: saya, Umi dan Sari.
Alkisah, dua tahun lalu, demi memperingati pertemanan kami yang memasuki tahun ke-20, rencananya akan melancong ke Solo. Kebetulan saat itu salah seorang rekan wartawati sedang terbaring sakit. Namun karena satu dan lain hal kerap batal rencana mulia kami itu. Destinasi pun sudah beberapa kali berubah.
Dari semula Solo, Jogja, beranjak menjauh ke Korea, lalu Jepang. Tak cukup di wilayah Asia, angan angan kami sempat melancong ke Eropa…..tapi apa daya, saat hitung berhitung bujet, ternyata isi dompet kurang memadai. Apalagi nilai tukar euro tak terjangkau oleh akal sehat kami. Maka destinasi diubah ke: Selandia Baru. Ternyata negara di ujung selatan Australia ini nilai tukarnya masih di bawah Euro, bahkan Singapore Dollar dan Australia. Pun, salah satu rekan yaitu Sari sudah pernah ke sana bersama suami sehingga kami tidak buta buta amat di sana. Final and deal: Liburan bersama bertiga ke Selandia Baru, road trip di bulan Maret 2019.
Waktu terus berjalan, memasuki awal 2019 kami putuskan untuk menambah peserta demi penghematan bujet. Lumayan kan, biaya campervan (sering disebut Motohome) bisa dibagi lebih banyak orang, juga biaya BBM, belanja makan dan sebagainya. Hitung punya hitung, kami menilai jumlah peserta paling pas adalah 6 adalah yang tepat. Maka, “perekrutan” pun dimulai. Peserta final adalah: kami bertiga plus Pandan, Ossy dan Jo. Yang pertama adalah rekan sesama wartawan. Dua terakhir adalah teman travel saya selama ini.
Lalu, mulailah drama demi drama itu.
Adegan kepanikan ala sinetron pertama adalah urusan visa. Semula kami dapat informasi biaya pengurusan visa group adalah Rp 650 ribu. Apa daya, pada hari H pengurusan yang – yang hanya 17 hari sebelum keberangkatan – ternyata Rp 2,4 juta !!!!!! Sempat syok. Tapi masa batal, kan tiket sudah di-issued semua? Maka walau hati sedikit bersungut, kami taat juga. Sejujurnya saya agak kaget karena sebelumnya saat pengurusan visa untuk Cina, atau India biayanya jauh di bawah itu. Lesson learn: visa ke western country ternyata jauh di atas negara Asia. Mungkin karena pengaruh nilai tukar juga. Kepanikan berikutnya adalah karena ternyata agent visa Kedutaan Selandia Baru – yang berlokasi di Kuningan City – salah memasukkan email saya. Yang semastinya “feby0602” diketik pada aplikasi visa dengan “febyoboz” – tanpa angka tapi huruf semua. Makanya saya sempat heran, saat semua teman sudah mendapat notifikasi ‘Visa Anda sedang diurus’ saya tak ada email notifikasi sama sekali. Beberapa kali kali mengontak via email ke Agen visa, tapi responnya selalu lempar sana lempar sini. Tidak ada kejelasan. DI salah satu email, saya diminta untuk menelpon bagian pengurusan visa di Selandia Baru sana. Waduhhhh. Namanya backpacker, kalau sudah disuruh nelpon ke luar negeri, kegalauan pasti urusan bayar biaya SLI. Gile, nelpon semenit ke Selandia Baru kan belasan ribu. Saya sempat enggan dan memutuskan menunggu beberapa jam. 1x24 jam tidak ada titik terang dan saya belum menerima email notifikasi proses visa.
“Hm, harus relakan biaya pulsa” pikir saya.
Maka setelah pergulatan iman dan akunting yang cukup alot saya hubungi nomor Selandia Baru tersebut. Duh!!!! Tersambung ke mesin yang buanyak banget info info spoiler tak penting (buat saya). Mata saya terus memandangi layar android menit demi menit, sembari suara mesin itu mengoceh tanpa henti. Hm, 3 menit, 4, 5, 6……..disuruh menunggu, lalu 7, 8 menit. Tutttt!!!!! Tetiba putus.
“Sialan!!!!’ Kata saya mengumpat. Sia-sia itu pulsa.
Tapi karena waktu terus berjalan, dan sempat ada kekhawatiran visa tidak selesai sebelum keberangkatan maka malam harinya saya coba lagi. Oiya, apalagi teman yang lain ternyata visanya sudah pada keluar semua. Wuaduhhhhh. Panik makin melanda.
Percobaan pertama, sama seperti pagi tadi. Buang-buang pulsa, puluhan ribu.
Percobaan kedua……..setelah 7 menit menikmati info yang sama, tetiba suara dengan aksen asing terdengar di ujung telepon “Hi, this is New Zealand blab la bla. How can I help you.” Blablablablabla. Saya jelaskan panjang lebar luas, bagaimana agen mereka di Jakarta salah memasukkan email saya.
Dua puluh menit kemudian, VISA saya keluar. Yes!
*
Supaya hemat, saya dan rekan lain sudah dari jauh jauh hari membeli tiket. Kebetulan ada promo Qantas Jakarta – New Zeland (NZ). Not bad. Kami dapat harga 7 jutaan PP. Untuk keberangkatan kami ambil rute transit 12 jam di Sydney Australia. Lumayan, punya waktu sekitar 7 jam untuk keliling Sydney. Jika rekan berniat keluar dari Bandara Sydney, maka wajib apply visa transit di kedutaan Australia di Indonesia. Bisa apply via online koq, dan hanya butuh waktu 2-3 hari tanpa biaya. Syaratnya tidak terlalu susah, yang penting ada passport, tiket PP dari dan ke NZ serta mengisi 3 halaman formulir.
Bagi yang akan melakukan roadtrip NZ, pihak rental van akan meminta nama nama supir yang akan mengemudi. Lalu, yang bersangkutan harus menerjemahkan SIM A dari Kepolisian Indonesia oleh penerjemah tersumpah. Jangan diterjemahankan sendiri dengan google translate. Dijamin ditolak.
Kami berangkat Minggu. Hari Rabu, semua urusan dokumen sudah selesai. Lega rasanya, tinggal persiapan packing dan lainnya.
Jumat pagi, teman saya Ossy mengirim kabar. “Udah dengar berita belum? Ada penembakan di Mesjid di Christchurch. Gimana ini ya?”
Saya terdiam beberapa saat, dan menggumam pelan “Ya ampun, koq ngga habis habis masalah dari kemarin.”
bersambung
Penulis : Feby Siahaan