Oleh : Rangga Prasetya Aji Widodo
Sekolah Luar Biasa (SLB) dan sekolah inkusi ternyata masih jauh dari inklusif. Masih adanya potensi perundungan, biaya pendidikan tinggi, fasilitas belajar yang kurang memadai, dan kesejahteraan guru SLB Swasta yang rendah membuat jurang pendidikan untuk anak dengan disabilitas semakin lebar.
INDEPENDEN– Cahaya matahari menerobos celah-celah ranting pohon, menciptakan pola indah di dinding rumah Komunitas Mata Hati, Jalan Rungkut Asri XIII, Surabaya. Ida Fitriana (47) duduk bersebelahan dengan Alivia Juli Saraswati, anak perempuannya, dengan disabilitas grahita.
Pagi itu, jam menunjukkan pukul 08.00. Sambil menemani anaknya mengikuti lomba HUT RI Ke-79 dengan anak disabilitas lainnya, Ida bercerita betapa sulitnya mencari sekolah yang tepat untuk Lili, panggilan anaknya, sepanjang menempuh TK, SD, SMP, dan SMA.
Ia merasa sekolah inklusi, khususnya SMP, kurang memberikan perhatian mengenai kebutuhan belajar Lili. Sebab, menurut Ida, anak-anak dengan tuna grahita membutuhkan perhatian khusus dari guru pendamping yang berbeda dengan anak-anak lainnya.
“Saya menganggap masuk SMP inklusi pilihan yang salah," kata Ida, sambil menambahkan sekolah inklusi yang ditempuh Lily bukan untuk anak grahita.
Akhirnya, Ida memilih SLB AKW Kumara sebagai tempat belajar Lili di bangku SMA. Namun masalah bukan berhenti. Kata Ida kualitas pendidikan di SLB tersebut masih belum optimal. Misalnya saja tenaga pendidik yang kurang kompeten, fasilitas belajar jarang digunakan, dan tidak ada inovasi dalam mengajar.
“Banyak guru-guru relatif berusia lanjut, tidak ada guru-guru muda. Untungnya, SLB itu murah karena memang jumlah muridnya tidak banyak. Jika mereka menaikkan biaya, kemungkinan akan sedikit murid yang mendaftar. SPP-nya Rp150.000,” keluh Ida.
Ida berharap pemerintah dapat menyediakan SLB Negeri di Surabaya agar meringankan beban biaya bagi orang tua yang kurang mampu dan dapat memberikan akses pendidikan lebih layak bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).
“Sekolah umum saja punya sekolah negeri, seharusnya SLB juga. Dan, seharusnya difasilitasi, kan seperti itu. Jadi, pendidikannya itu sebanding antara anak inklusi dengan anak SLB,” pungkasnya.
Tak jauh dari tempat duduk Ida, ada Erni Yuliatin (41). Erni juga mengalami kesulitan mencari sekolah untuk anaknya yang disabilitas rungu. Asyifa Choirun Nisa, atau Syifa, memulai TK di SLB Karya Mulia selama tiga tahun.
Saat ini, Syifa duduk di kelas 6 SD di SLB tersebut.
Kata Erni, biaya pendidikan TK dan SD di SLB Karya Mulia cenderung mahal. Meskipun begitu, ia merasa fasilitas yang diberikan sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. Erni ingin Syifa melanjutkan SMP di SLB Karya Mulia, kendati sempat terbesit untuk mendaftarkan anaknya di sekolah inklusi.
"Memang, SLB itu swasta, jadi biayanya cukup mahal menurut saya. Mau tidak mau, harus diusahakan, walau kemampuan finansial terbatas. Dulu biaya TK sekitar Rp250.000, sekarang untuk SD naik menjadi Rp350.000," katanya.
Menurut Erni, bila Syifa mengambil sekolah inklusi, ia khawatir anaknya mengalami perundungan. Melihat kondisi yang ada, siswa disabilitas belum menjadi prioritas di sekolah inklusi, sehingga menjadi tantangan tersendiri bagi ABK.
"Dulu, saya pernah berpikir memilih sekolah inklusi, karena biayanya mahal (di SLB Swasta). Namun, setelah dipertimbangkan, saya khawatir ada perundungan dan pendidikan yang kurang tepat untuk anak saya. Di sekolah inklusi, anak-anak bercampur dengan yang lain, jadi saya merasa kurang cocok," tuturnya.
Lantas, Erni mengharapkan hal yang sama, agar pemerintah menyediakan SLB Negeri yang dapat mengurangi beban biaya bagi orang tua. Ia percaya bahwa adanya SLB Negeri membuat keterampilan yang dimiliki siswa disabilitas dapat lebih ditonjolkan dan dikembangkan.
"Saya berharap ada SLB Negeri. Semoga sekolah Syifa bisa menjadi SLB Negeri, sehingga dapat meringankan biaya. Selain itu, keterampilan di sekolah-sekolah SLB juga perlu lebih ditonjolkan dan dikembangkan," ujarnya.
Rofiah (36) juga kenyang dengan pengalaman soal mencari pendidikan anaknya Syirin Salsabillah yang disabilitas netra. Seperti orang tua lainnya, ia khawatir Syirin mendapatkan bullying, terutama di masa remaja anaknya.
"Ini masa peralihan dari anak-anak ke remaja. Saya takut jika masuk sekolah inklusi, Syirin akan mengalami bullying. Itulah yang lebih dikhawatirkan," katanya.
Rofiah menjelaskan bahwa fasilitas dan tenaga pendidik SLB di Yayasan Pendidikan Anak Buta (YPAB) cukup baik, kendati ekstrakurikuler komputer untuk kelas tertentu masih kurang. Ia menilai tenaga pendidik di YPAB kompeten dalam mendampingi siswa disabilitas netra.
"Fasilitas sudah lumayan, tapi untuk kelas dewasa, (ekstrakurikuler) komputer masih kurang. Waktu belajarnya juga tidak menentu, kadang satu bulan sekali. Syirin akhirnya les sendiri," tuturnya.
Biaya pendidikan di YPAB terjangkau, sebab SPP yang dibayarkan bersifat suka rela.
Kata Rofiah, rata-rata orang tua membayar Rp100.000-Rp150.000 per bulan. Meski, ia justru merasa terbebani dengan biaya les di luar SLB untuk mengasah keterampilan Syirin.
“Les Syirin ada tiga, yaitu vokal, piano, dan biola. Itu biasanya per alat musik sekitar Rp500.000,” katanya.
Ia juga berharap pemerintah dapat menyediakan SLB Negeri di Surabaya untuk meningkatkan akses pendidikan bagi anak-anak seperti Syirin.
"Di sekolah negeri, kuota untuk anak-anak disabilitas terbatas. Misalnya, SMA Negeri 10 Surabaya, kemarin hanya menerima satu siswa tuna netra. Dan, kalau ada SLB Negeri gurunya akan terjamin (sejahtera)," ujarnya.
Kendala SLB Swasta
Suara obrolan anak-anak memekik di lorong depan ruang kelas di Yayasan Pendidikan Anak Cacat (YPAC), Surabaya.
Ahmad Syakur (50) menggerakkan kursi roda memasuki ruang kerjanya. Lebih dari 20 tahun, ia telah mengabdi sebagai guru, mendidik siswa disabilitas daksa di sekolah tersebut.
Syakur memahami biaya pendidikan di YPAC sebesar Rp300.000 masih menjadi beban bagi orang tua, khususnya dari keluarga dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. Sedangkan, sebagai SLB Swasta, YPAC harus menanggung biaya operasional dan honor guru sekaligus.
"Tapi, fasilitas di SLB kami lengkap, termasuk klinik terapi yang melayani BPJS, menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi biaya pendidikan di YPAC," ujarnya.
Syakur menyayangkan atas ketiadaan SLB Negeri di Surabaya. Padahal apabila SLB Negeri disediakan maka biaya pendidikan, seragam, dan lainnya akan gratis dan meringankan beban orang tua siswa disabilitas dalam memberikan pendidikan yang layak untuk anak mereka.
Ketua Lembaga Pemberdayaan Tunanetra (LPT), Tutus Setiawan menjelaskan bahwa pendidikan bagi anak disabilitas di Surabaya dapat diakses melalui dua jalur utama, yaitu sekolah inklusi dan Sekolah Luar Biasa (SLB).
Pada sekolah inklusi, siswa disabilitas bersekolah bersama siswa reguler. Namun, banyak tantangan yang dihadapi. Seperti kuota penerimaan siswa disabilitas yang terbatas, sebab hanya menerima siswa disabilitas dengan IQ minimal 70, fasilitas belajar untuk siswa disabilitas belum memadai, dan jumlah Guru Pendamping Khusus (GPK) yang belum banyak. Itu sesuai dengan keluhan banyak orang tua sebelumnya.
Selama ini, imbuh Tutus, SLB memang dirancang khusus untuk anak disabilitas. Sayangnya, hampir 90 persen biaya pendidikan di SLB ditanggung orang tua siswa disabilitas. Dari 40-50 SLB yang ada, tidak ada satupun SLB Negeri di Surabaya.
"Pemerintah seharusnya menyediakan SLB Negeri agar pendidikan bagi anak-anak disabilitas bisa gratis. Saat ini, pemerintah berencana mengonversi beberapa SLB Swasta menjadi SLB Negeri, namun proses negosiasi masih berlangsung," kata Tutus.
Tantangan lain yang dihadapi adalah fasilitas belajar dan kualitas guru. Banyak SLB hanya berupa rumah biasa dan belum memiliki fasilitas belajar yang memadai, terutama untuk anak-anak disabilitas netra yang membutuhkan alat-alat khusus seperti printer braille yang begitu mahal. Sementara jumlah guru yang memiliki kompetensi khusus untuk menangani anak disabilitas masih terbatas.
Psikolog Anak, Linda Hartati berupaya mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi pendidikan anak disabilitas di Indonesia. Kurangnya pengalaman tenaga pendidik dalam menangani keberagaman siswa, sehingga penanganan menjadi kurang tepat.
"Kemudian, terkait program pembelajaran yang masih belum sesuai dengan kebutuhan siswa disabilitas yang beragam. Ada juga, fasilitas yang kurang lengkap untuk mengembangkan potensi individual. Serta, dukungan orang tua dan masyarakat yang masih terbatas. Terakhir, kendala biaya pendidikan yang tinggi, sementara kondisi ekonomi masyarakat beragam," kata kata Hartati.
Hartati menekankan pentingnya menyediakan alat bantu pembelajaran yang sesuai untuk anak disabilitas, seperti ruang belajar yang nyaman dan aman, serta alat belajar yang mengandung unsur terapi.
Dampak biaya pendidikan yang tinggi memang seringkali mengakibatkan keluarga dengan kondisi ekonomi terbatas memilih untuk tidak menyekolahkan anak disabilitas mereka. Solusi yang ia usulkan ialah penyediaan SLB Negeri yang didukung oleh pemerintah, dengan tenaga pengajar yang berpengalaman dan fasilitas yang memadai.
"Model pendidikan SLB yang direkomendasikan adalah pembelajaran individual dan pengembangan kemampuan vokasional sesuai bakat dan kemampuan masing-masing siswa," tuturnya.
Upaya Pemerintah Menyediakan SLB Negeri di Surabaya
Menurut data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI tahun 2021, jumlah SLB Swasta di Indonesia tiga kali lipat lebih banyak daripada SLB Negeri, dengan 595 SLB Negeri dan 1.655 SLB Swasta.
Lalu, Jawa Timur memiliki jumlah SLB terbanyak di Indonesia, kendati di Kota Surabaya hanya terdapat SLB Swasta. Sebagian besar SLB di provinsi ini masih mengkhususkan diri pada beberapa jenis disabilitas tertentu, serta menggabungkan 2-3 jenis disabilitas dalam satu sekolah.
Gambar: Perbandingan Jumlah SLB Negeri dan SLB Swasta di Indonesia.
Jawa Timur merupakan provinsi yang memberikan perhatian khusus terhadap Peserta Didik Berkebutuhan Khusus (PDBK) yang tertulis dalam Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 6 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif. Di sisi lain, Kota Surabaya juga memiliki kepedulian besar terhadap PDBK, yang tertuang dalam Peraturan Walikota Surabaya Nomor 47 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan di kota tersebut.
Meski, hingga kini Surabaya belum memiliki regulasi khusus mengenai pendidikan inklusif, dan masih mengacu pada Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 6 Tahun 2011 sebagai landasan hukumnya.
Berdasarkan data dari Dinas Sosial Kota Surabaya tahun 2017, jumlah ABK usia sekolah di Surabaya mencapai 5.735 anak, meliputi usia 6-12 tahun 2694 anak, usia 13-15 tahun 813 anak, dan usia 16-18 tahun 2228 anak, dengan jumlah PDBK yang tersebar di berbagai jenjang pendidikan.
Gambar: Jumlah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Usia Sekolah di Surabaya.
Di sisi lain, menurut Data Sekolah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, terdapat 40 SLB Swasta di Surabaya. Sebagian besar SLB terdistribusi di Surabaya Pusat, Surabaya Timur, dan Surabaya Selatan, sementara di Surabaya Barat ketersediaan SLB masih belum begitu merata.
Pada tahun 2023, Walikota Surabaya, Eri Cahyadi mengungkapkan rencana untuk menyediakan SLB Negeri di Surabaya mulai dari jenjang SD hingga SMA selama tahun 2024. Kata Eri, rencana ini muncul dari kesadaran bahwa biaya SLB Swasta tergolong mahal.
“Kami akan berkoordinasi dengan Pemprov Jawa Timur karena kewenangan provinsi (untuk jenjang SMA/SMK). Kalau dibangun provinsi kan seluruh Jawa Timur bisa masuk. Tapi kami ingin SLB mewadahi dan memfasilitasi arek-arek Suroboyo. Biaya dari kami. Kami koordinasikan,” kata Eri.
Walikota Surabaya Eri Cahyadi telah dimintai konfirmasi melalui Surat Permohonan Wawancara berisi pertanyaan terkait penyediaan SLB di Surabaya yang dikirim ke Balai Kota Surabaya, namun belum memberikan jawaban hingga berita ini dipublikasi.
Sedangkan, pada tahun 2024, Kepala Dinas Pendidikan Surabaya, Yusuf Masruh mengatakan bahwa pihaknya masih dalam tahap koordinasi dengan peneliti untuk mengevaluasi kapasitas penampungan anak-anak inklusi.
Ia juga menjelaskan bahwa pembangunan SLB Negeri perlu mempertimbangkan kapasitas penampungan, sebab berhubungan langsung dengan jumlah tenaga pengajar yang dibutuhkan.
"Kami akan berkoordinasi dengan teman-teman peneliti, karena SLB merupakan kewenangan di sana (Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur). Karena pembangunan harus mempertimbangkan kondisi strategis, mengingat ABK memerlukan perhatian berbeda. Kami harus memastikan koordinasi yang baik terkait lokasi dan kondisi lingkungan," tutur Yusuf.
Kepala Dinas Pendidikan Surabaya Yusuf Masruh dan Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur Aries Agung Paewai telah ditelepon untuk dimintai konfirmasi mengenai penyediaan SLB Negeri di Surabaya, namun belum memberikan jawaban hingga berita ini dipublikasi.
Selain itu, Anggota Komisi E Bidang Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Teknologi DPRD Jawa Timur, Hikmah Bafaqih menyampaikan bahwa pihaknya sedang menggodok dan memberikan masukan untuk perubahan Peraturan Gubernur Nomor 33 Tahun 2019 tentang Biaya Penunjang Operasional Penyelenggaraan Pendidikan (BPOPP) terkait SLB. BPOPP merupakan pembagian anggaran yang diberikan Pemerintah Provinsi Jawa Timur kepada sekolah negeri dan swasta, termasuk SMA/SMK/MA, serta SLB dari semua jenjang.
"BPOPP satuannya berdasarkan jumlah siswa, dan karena jumlah siswa di SLB biasanya tidak banyak, kami mengusulkan agar dalam perubahan Pergub tersebut, besaran anggaran per anak khusus di SLB dibedakan," katanya pada Sabtu (7/9/2024).
Hikmah menambahkan bahwa kebutuhan SLB jauh lebih besar dibandingkan dengan sekolah reguler. Oleh karena itu, perhatian khusus terhadap SLB, baik negeri maupun swasta, dapat dilakukan melalui berbagai program peningkatan kapasitas dan kompetensi guru, tidak hanya infrastruktur, tetapi juga bantuan terkait belanja modal, peralatan, dan sebagainya.
Mengenai kesejahteraan guru SLB di Surabaya, Hikmah menambahkan bahwa terdapat aturan tentang kepegawaian di sekolah negeri yang mencakup fasilitas, penempatan, dan guru berstatus ASN, baik PNS maupun P3K.
"Dalam konteks sekolah baru (SLB Negeri), Diknas berkewajiban untuk membantu memetakan dan menugaskan guru-guru yang dimaksud. Jika SLB Negeri mengalami kekurangan guru dan mengangkat guru honorer dengan SK (Surat Keputusan) Kepala Sekolah, maka tanggung jawab tersebut menjadi beban pihak sekolah," tuturnya.
Namun, kata Hikmah, guru honorer bisa diajukan menjadi Guru Tidak Tetap (GTT) dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur dengan SK Gubernur, nantinya akan diurutkan untuk mengikuti rekrutmen P3K. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) sedang berupaya menghapus guru honorer, sehingga semua guru harus berstatus minimal P3K.
"Oleh karena itu, diharapkan ke depan tidak ada lagi guru honorer, ada larangan untuk mengangkat guru honorer. Namun, larangan ini harus dipertanyakan ketika menyangkut sekolah-sekolah yang memang membutuhkan, baik itu sekolah lama apalagi sekolah baru," ujarnya.
Selain itu, mantan Sekretaris Komisi D Bidang Kesejahteraan Rakyat DPRD Surabaya, Akmarawita Kadir mengatakan bahwa proses penyediaan SLB Negeri mengikuti aturan Permendikbud Nomor 48 Tahun 2023, yang mengatur perlunya akomodasi layak di setiap satuan pendidikan. Di Surabaya, SLB Negeri termasuk dalam satuan pendidikan dasar negeri dan menengah negeri.
"Jadi, SD Negeri dan SMP Negeri di kota Surabaya, mulai tahun ajaran 2024/2025, harus siap menerima pendaftaran dan menyediakan akomodasi yang layak untuk penyandang disabilitas berbasis kesetaraan. Proses ini akan dilakukan secara bertahap sehingga seluruh SD Negeri dan SMP Negeri dapat menerima penyandang disabilitas," kata Akmarawita .
Saat ini, kata Akma, proses penyediaan SLB Negeri sudah berjalan secara bertahap. Fasilitas dan Sumber Daya Manusia (SDM), terutama GPK, harus dipersiapkan dan ditingkatkan. Menurutnya, Pemerintah Kota Surabaya perlu fokus pada dua hal tersebut agar dapat mempercepat pemenuhan kebutuhan penyandang disabilitas sesuai dengan kurikulumnya.
"Kami juga meminta evaluasi, hasil evaluasi akan dikoordinasikan dengan Pemerintah Provinsi Jawa Timur, karena pembangunan SLB berada pada domain Pemerintah Provinsi Jawa Timur," tuturnya.
Ia menegaskan bahwa sekolah swasta maupun negeri di Surabaya harus mampu menyediakan dan menerima penyandang disabilitas. Tentu saja, kata Akma, ini dilakukan secara berjenjang, namun yang pasti SDM dan fasilitas harus menjadi fokus utama.
"Guru-guru di SLB, seperti guru lainnya, harus diusulkan untuk diterima menjadi PNS atau P3K. Guru-guru yang sudah ada juga dapat mengikuti pelatihan khusus sesuai Permendikbud dan harus mendapatkan tunjangan kinerja," ujarnya.
Terakhir, Akma menyampaikan bahwa perundungan yang ditemui di sekolah inklusi masih menjadi pekerjaan rumah (PR) bersama. Semua pihak, kata Akma, harus secara bijak menyikapi dan memberikan contoh yang baik.
"Termasuk orang tua, guru, media sosial, dan masyarakat dari berbagai bidang harus memberikan contoh yang baik, sebab perundungan adalah sikap yang tidak baik dan harus dihindari," katanya.
*) Tulisan ini merupakan bagian dari program Fellowship Independen yang didukung USAID, Internews dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.