Oleh: Rian Hidayat Husni
INDEPENDEN- Bel tanda istirahat baru saja berbunyi. Aurelio Angga Kalengkong, remaja 17 tahun menatap kosong sebuah lukisan pohon yang tampak di dinding kelas mereka. Siswa kelas 12 SMK Negeri 8 Halmahera tersebut terlihat seakan-akan murung.
Angga, sapaan akrabnya, tak lama lagi lulus di sekolah kejuruan tersebut.
Sebagai pelajar di daerah lingkar industri, ia mengalami dilematis antara keinginan untuk melanjutkan kuliah atau menjadi buruh tambang.
Belakangan, menjadi pekerja sektor tambang memiliki prestise tersendiri terutama bagi mereka yang tinggal di wilayah industri nikel Maluku Utara.
Animo menjadi “anak tambang” seringkali melekat pada stigma masyarakat ketika sektor kerja lainnya dianggap tidak dapat memberikan jaminan yang layak. Tak jarang, fenomena itu juga mewarnai wacana di tongkrongan generasi muda saat ini.
Saat diwawancarai cermat, Angga mengaku tak dapat mengelak bahwa kebanyakan teman-temannya justru memilih bekerja sebagai buruh tambang.
Ia menyebut slogan “anak tambang banjir cuan” jadi salah satu faktor mendorong generasi angkatannya menjadi lebih banyak bekerja di industri pertambangan daripada melanjutkan studi di perguruan tinggi. Bahkan, kendati hanya menjadi pekerja kasar (blue collar).
“Sebagian teman-teman saya memilih bekerja di tambang setelah mengambil ijazahnya. Namun ada pula yang menolak,” kata Angga ketika ditemui cermat di sekolahnya, pada Selasa, 15 Oktober 2024.
Ada faktor lain yang membuat seragam tambang begitu diminati generasi Z ini, pengaruhnya juga berlanjut hingga ke pergaulan. Teman-teman yang saling mengajak. Menawarkan beragam cerita menarik, termasuk nominal gaji yang menggiurkan. Tak surut membuat remaja seusia Angga tertarik.
Angga menyakini, woro-woro menjadi pekerja tambang nikel sebagai upaya membatasi karier pendidikan mereka. Bukan sebaliknya, menjanjikan masa depan yang cerah.
“Di antara ambisi menjadi ‘anak tambang’ itu, saya memang memutuskan agar tetap melanjutkan kuliah dulu setelah lulus. Saya perlu menambah pengetahuan dan memperkaya kompetensi diri terlebih dahulu,” ujarnya.
“Boleh saja torang (kami) masuk tambang, tergantung minat sendiri. Tapi lebih baik torang sekolah lebih tinggi dulu,” sambungnya.
Minat pendidikan yang rendah
Alih-alih disebut menopang pendapatan sektor ekonomi, kehadiran industri pertambangan nikel di Halmahera Tengah kini memicu rendahnya minat pendidikan tinggi masyarakat. Fenomena tersebut mulai dirasakan Nursifa M. Yunus, Kepala Sekolah SMK Negeri 8 Halmahera Tengah.
Sebelum tambang menambatkan izin operasinya dan merekrut tenaga kerja lulusan SMA sederajat, kata Nursifa, perguruan tinggi selalu menjadi pilihan utama peserta didiknya dalam menata karier pendidikan.
Di sisi lain, Mantan Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Weda, Halmahera Tengah itu mengatakan bahwa faktor ekonomi keluarga turut memicu alasan sektor tambang kerap menjadi pilihan.
“Sebelum kehadiran PT IWIP di Halmahera Tengah, jalan satu-satunya yang menjadi pilihan anak-anak ini setelah lulus adalah menempuh perguruan tinggi. Tetapi belakangan, minat untuk melanjutkan studi itu memang terlihat menurun. Salah satu penyebabnya juga karena didorong oleh orang tua,” ucapnya.
Warga Halmahera Tengah umumnya bertani dengan hasil alam seperti komoditas pala dan cengkeh. Sektor pertanian unggulan inilah, kata Mursifa, sering menopang kebutuhan sekolah generasi muda.
Namun, kini tambang hadir dan mengambil bagian penting di sektor masyarakat. Dengan begitu, mendapatkan pekerjaan cepat dengan gaji menjanjikan lebih mudah dipilih ketimbang harus mengeluarkan biaya sekolah tinggi.
Sejak beroperasi Agustus 2018, perusahaan pertambangan PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) telah menyerap lebih dari 75.000 tenaga kerja lokal melalui rekrutmen langsung. IWIP menargetkan setidaknya 100.000 tenaga kerja pada tahun 2027 mendatang.
General Manager Sustainable Development IWIP, Erry Kurniawan mengaku hingga Juni 2024 lebih dari 47.000 tenaga kerja telah mengikuti pelatihan di berbagai bidang seperti welder, loader, excavator, DT 10 bola, dan trailer, dengan tujuan meningkatkan keterampilan dan daya saing tenaga kerja lokal.
Erry mengklaim perusahaan telah turut andil dalam upaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat sekitar, melalui berbagai program CSR yang berfokus pada sektor pendidikan, kesehatan, sosial budaya dan lingkungan, serta pengembangan ekonomi masyarakat lokal.
“Pada sektor pendidikan, IWIP memberikan bantuan sarana dan prasarana kepada lebih dari 25 sekolah dan pesantren. IWIP juga telah melaksanakan program pelatihan pandai berhitung cepat dan pengentasan buta huruf di Halmahera Tengah. IWIP pun telah melaksanakan program beasiswa Weda Bay kepada mahasiswa di tingkat vokasi hingga pascasarjana, dan juga memberikan peralatan laboratorium untuk Fakultas Kedokteran dan Fakultas Teknik Universitas Khairun Ternate,” kata Erry dalam keterangan resmi seperti dilansir Investor.id, pada Kamis, 18 Juli 2024. IWIP juga belum merespons konfirmasi yang dilayangkan cermat pada Jumat, 18 Oktober 2024 lalu.
Perusahaan patungan dari tiga investor asal Tiongkok yakni Tsingshan Holding Group, Huayou Holding Group dan Zhenshi Holding Group itu, mayoritas sahamnya dimiliki Tsingshan sebesar 40 persen melalui anak perusahaannya Perlux Technology. Sementara Zhenshi dan Huayou menguasai saham masing-masing 30 persen (sumber: Mongabay).
Mantan Presiden RI, Joko Widodo, resmi menetapkan IWIP sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) melalui Pepres nomor 109 tahun 2020. Perusahaan ini juga memfasilitasi sejumlah investor untuk membangun fasilitas pengolahan industri hilirisasi melalui dua anak perusahaan Tsingshan, yaitu Weda Bay Nickel Projects (tambang) dan Weda Bay Nikel (smelter).
Data Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) yang merupakan organisasi non-profit bidang lingkungan menyebutkan, PT IWIP telah mengoperasikan dua pabrik smelter yang menghasilkan feronikel per Oktober 2020. Masing-masing pabrik dimiliki Weda Bay Nickel dan PT Yashi Indonesia Investment di bawah Tsingshan dan Zhenshi.
Halmahera Tengah belakangan memang didapuk sebagai daerah pemasok nikel terbesar dari Maluku Utara. Kementerian ESDM memperkirakan daerah ini memiliki 30 persen nikel dari cadangan nasional atau jumlahnya sekitar 1,4 miliar ton.
Rekrutmen PT IWIP yang menyasar tenaga kerja lulusan SMA sederajat ini juga dinilai dapat menurunkan sektor sumber daya manusia (SDM) yang dapat mengisi birokrasi di Pemerintahan Daerah Halmahera Tengah.
Nursifa mengaku pihaknya rutin melakukan pertemuan dan mengimbau agar orang tua siswa jangan terlalu memikirkan untuk memasukkan anaknya ke perusahaan untuk bekerja, tetapi mengupayakan agar mereka didorong untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi.
“Karena mereka inilah yang ke depan akan menjadi generasi penerus di daerah ini, dan itu bisa terwujud dengan pendidikan yang lebih tinggi,” cetusnya.
Nursifa berharap tambang tak selamanya menjadi pilihan generasi muda sekarang. Ia bilang, animo masuk perusahaan sebaiknya dibarengi dengan pengetahuan yang didapatkan dari perguruan tinggi.
“Karena memang banyak yang begitu lulus SMA mereka ini dikhawatirkan hanya menjadi pekerja kasar. Bukan berada pada posisi yang strategis,” kata dia.
Masalah Minat Pendidikan Tinggi
Berbeda dengan Angga. Belum genap satu tahun, Iswanto Rauf (samaran) mulai bekerja dan berseragam PT IWIP usai lulus di SMA Negeri 2 Halmahera Tengah. Ia harus bangun pagi sekitar jam 6 dan pulang di waktu petang.
“Bekerja di tambang atau kuliah? Atau jika sudah selesai kuliah, kerja di mana, di tambang juga?” pertanyaan itu sering muncul di benaknya sebelum kini dirinya bekerja sebagai tenaga helper di PT IWIP.
Kondisi ekonomi keluarga yang tidak menjaminnya untuk melanjutkan sekolah membuar Iswanto mencari peruntungan sebagai pekerja kasar perusahaan.
“Mau gimana lagi, ya tambang ini sudah jadi solusi. Sebelumnya memang ingin kuliah, tapi keadaan ekonomi tidak memungkinkan,” ujarnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) Halmahera Tengah mencatat angkatan kerja yang berusia 15 tahun ke atas didominasi oleh mereka yang tak ingin melanjutkan studi di perguruan tinggi negeri atau swasta.
Tahun 2024, jumlah penduduk usia kerja (PUK) Halmahera Tengah adalah 43.032 jiwa dengan persentase angkatan kerja sebesar 70 persen. Dari jumlah ini, tercatat 1.204 diklasifikasikan sebagai pengangguran. Adapun 18.715 merupakan pekerja laki-laki dan perempuan sebanyak 10.533 jiwa. Kemudian dalam laporan survei angkatan kerja nasional 2024, jumlah tenaga kerja sektor pertambangan di Halmahera Tengah berusia 15 ke atas sebanyak 32.074 jiwa.
Sekretaris Dinas Pendidikan Kabupaten Halmahera Tengah, Daud Arif mengaku menyayangkan sikap anak muda yang tergiur dengan dunia pertambangan.
Menurut Daud, pemerintah daerah melalui dinas pendidikan telah membuka kesempatan bagi siapa saja yang ingin melanjutkan studi ke perguruan tinggi.
“Memang harus diakui bahwa Halmahera Tengah masih memiliki sumber daya manusia yang terbatas. Sementara di sisi lain produksi SDM lulusan SMA di sini banyak juga yang memiliki kecenderungan ke tambang. Menurut saya ini perlu ditinjau dan dikaji kembali apakah SDM kita siap bersaing di dunia industri atau tidak,” kata Daud kepada cermat, Kamis, 17 Oktober 2024.
Daud menyebut pemerintah daerah sudah mengalokasikan Rp 10 miliar setiap tahun untuk beasiswa lanjut studi hingga jenjang S3. Tujuannya meningkatkan sumber daya manusia. Karena itu, ia merasa aneh jika terdapat keluhan bahwa tidak bisa kuliah karena faktor ekonomi dan berujung menjadi buruh tambang.
“Saya melihat hampir fenomenanya sama ya. Di mana di suatu daerah kalau peluang kerjanya terbuka luas, masyarakat akan berbondong-bondong untuk bekerja. Saya sendiri belum tahu persis jumlah lulusan SMA tahun lalu yang kerja di tambang, tetapi fenomena itu benar adanya dan mesti menjadi bahan evaluasi kita bersama,” katanya.
Daud turut menyarankan agar para remaja lebih dulu mementingkan karier pendidikan mereka. “Jadi, intinya ilmu pengetahuan kita harus memadai dulu baru bisa bekerja dengan kompetensi kita,” ucapnya.
Dikonfirmasi terpisah, Akademisi Muhammadiyah Maluku Utara, Agus Hj Jamal menilai bahwa dampak pertambangan di Halmahera Tengah telah menimbulkan gejala sosial yang makin kompleks.
Persoalan lainnya, menurut dia, adalah hilangnya habitat mata pencaharian masyarakat akibat dari ekspansi pertambangan yang makin meluas. Dampak ini cukup dirasakan oleh warga yang permukimannya berdekatan langsung dengan konsesi tambang.
Agus mencontohkan di daerah Lelilef, Weda Tengah, yang masuk ring satu kawasan lingkar tambang Halmahera Tengah di mana sebagian warga bahkan tak lagi memiliki lahan pertanian untuk digarap. Sementara para nelayan juga mengeluhkan hasil tangkapan yang makin memperihatinkan.
“Jika kondisi ini terus terjadi bisa dipastikan masyarakat menghadapi pola perubahan sosial dan ekonomi. Dulunya mereka bertani dan melaut, kini lebih cenderung menjadi buruh tambang karena yang tersisa hanya itu,” paparnya.
*) Tulisan ini merupakan republikasi berita yang naik di portal Cermat.co, pada 28 Oktober 2024. Liputan ini merupakan bagian dari program Fellowship “Mengawasi Proyek Strategis Nasional” yang didukung Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.