INDEPENDEN—Warga negara Amerika Serikat Kenneth Eugene Smith (58) mungkin segelintir terpidana yang menghadapi eksekusi mati hingga dua kali.
Pada November 2022, Smith pernah dieksekusi dengan suntikan cairan kimia, namun gagal karena eksekutor tidak berhasil menemukan pembuluh darahnya. Hukuman dihentikan setelah surat perintah kematian Smith kadaluarsa.
Selanjutnya pada 25 Januari 2024, rencana eksekusi itu dilakukan kembali untuk Smith. Kali ini Smith menjalani hukuman mati dengan metode hipoksia nitrogen. Smith akan dipakaikan masker kedap udara dan dia akan menghirup nitrogen sampai meninggal dunia.
Yang kontroversial, metode hukuman mati ini belum pernah dilakukan di Amerika Serikat. Negara ini biasa melakukan eksekusi dengan metode suntik.
Untuk menghindari percobaan hukuman yang gagal seperti sebelumnya, pemerintah Alabama mengeluarkan surat perintah kematian yang berlaku selama 30 jam.
Otoritas Amerika Serikat sudah menyatakan bahwa eksekusi dengan gas nitrogen akan membuat terpidana tidak sadar dalam waktu cepat. Sayangnya tidak ada bukti terkait pernyataan tersebut. Yang ada justru peringatan para ahli bahwa kebocoran gas nitrogen bisa juga berdampak pada pendamping terpidana dalam proses eksekusi.
Dikutip dari BBC yang sempat mewawancarai Smith sebelum eksekusi dilakukan, lelaki itu mengaku tersiksa secara mental dalam proses menuju eksekusi.
"Saya mual setiap saat. Serangan panik terjadi rutin. Ini hanya sebagian kecil dari apa yang harus saya alami sehari-hari. Pada dasarnya, penyiksaan," tulis Smith pada BBC.
Penasehat spiritual Smith, Jeff Hood mengatakan bahwa Smith tidak takut mati, tetapi dia justru takut tersiksa dalam proses menuju kematiannya.
Smith dinyatakan meninggal pada pukul 20.25 pada 25 Januari 2024 di ruang kematian di Lembaga Pemasyarakatan William C Holman di Atmore.
Saksi yang bicara pada BBC mengatakan proses eksekusi Smith dengan nitrogen ini berlangsung selama 25 menit. Eksekutor bahkan sempat menunggu beberapa jam untuk memastikan dia benar-benar sudah meninggal dunia.
Kenneth Eugene Smith dihukum karena pembunuhan pada 1989. Pelaksanaan hukuman mati itu dilakukan setelah dia berjuang lebih dari 30 tahun untuk bisa lepas dari hukuman tersebut.
Tren Eksekusi Mati Global
Laporan Global tentang Hukuman Mati 2022 yang dikeluarkan Amnesty International menyebutkan ada peningkatan signifikan eksekusi mati pada tahun 2022 yaitu 883 kasus di dibanding pada tahun sebelumnya.
Data tahun 2021 menyebutkan ada 579 eksekusi mati.
Kebanyakan orang yang dihukum mati terlibat kasus narkotika.
Dari awal Amnesty International sudah memberikan disclaimer bahwa angka yang didapat lembaga ini belum bisa dikatakan angka total. Amnesty International meyakini angka eksekusi hukuman mati jauh lebih tinggi.
Disebutkan, 93 persen dari eksekusi global yang diketahui (tidak termasuk China) pada tahun 2022 terjadi di wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara.
Dari 825 eksekusi mati yang tercatat di wilayah tersebut, mayoritas dilakukan di Iran dan Arab Saudi. Kedua negara tersebut, diklaim Amnesty Internasional, rutin mengeksekusi orang melalui peradilan yang tidak adil (unfair trials), serta menyebabkan peningkatan tajam dalam eksekusi mati yang tercatat pada tahun 2022.
Di Iran, eksekusi mati yang naik menjadi 576 pada 2022 dari 314 eksekusi di tahun sebelumnya. Sedangkan di Arab Saudi, eksekusi mati tercatat tiga kali lipat, dari 65 eksekusi di tahun 2021 menjadi 196 eksekusi.
Kalau di Iran terpidana mati terlibat kasus narkotika maka di Arab Saudi lebih banyak pada kasus terorisme.
Meskipun Iran dan Arab Saudi menempati tempat teratas dalam hal eksekusi mati di dunia, China sebenarnya punya rekor yang bahkan melebihi Iran dan Arab Saudi dalam hal eksekusi hukuman mati.
Amnesty International melaporkan China melakukan eksekusi mati lebih dari seribu kali selama 2022, namun tidak ada data valid yang bisa digunakan.
Laporan Global tentang Hukuman Mati Amnesty International juga memberikan angka vonis hukuman mati di seluruh dunia.
Jumlah vonis hukuman mati lebih mencengangkan karena ada 2.016 orang yang dijatuhi hukuman mati di dunia pada 2022 di 52 negara. Angka ini diklaim lebih rendah dibanding 2021 yaitu 2.052 orang.
Jumlah itu menambah mereka yang menunggu hukuman mati di dunia seperti Smith yang akhirnya dieksekusi setelah 30 tahun menunggu.
Data menyebutkan ada 28.282 orang diketahui berada di deret tunggu hukuman mati pada 2022. Mereka ini yang disebut para aktivis hak asasi manusia (HAM) mengalami fenomena deret tunggu, yaitu potensi mendapatkan hukuman ganda.
Mereka dipenjara bertahun-tahun, kemudian baru menjalankan hukuman eksekusi mati.
Iwao Hakamada adalah orang yang paling lama menunggu eksekusi mati di dunia. Lelaki Jepang ini menunggu 47 tahun untuk dieksekusi, sampai kasusnya kembali disidang ulang di Jepang.
Hakamada yang usianya sudah 87 tahun ini divonis mati tahun 1968 atas pembunuhan atasan dan keluarganya pada tahun 1966. Dia terpaksa mengakui perbuatannya setelah disiksa dalam pemeriksaan dan setelah itu Hakamada mencabut pengakuannya di pengadilan.
Hukuman Mati di Indonesia
Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia juga termasuk negara yang masih menerapkan hukuman mati di dunia. Bahkan hukuman mati sudah ada di Indonesia sejak zaman kerajaan nusantara.
Kerajaan Majapahit abad 13-14 masehi misalnya. Majapahit menerapkan hukuman mati untuk enam kejahatan; membakar rumah orang atau rumah raja yang berkuasa, meracuni sesama manusia, mengamuk, menenung atau mencelakai orang dengan ilmu hitam, memfitnah raja yang berkuasa, dan merusak kehormatan perempuan.
Sejarahwan Slamet Muljana dalam buku Perundang-undangan Madjapahit (1967) yang dikutip oleh litbang Kompas mengatakan semua aturan masa itu termaktub dalam Kutaramanawardharmacastra atau Kitab Perundang-undangan Agama.
Implementasi hukuman mati pada masa itu juga tidak mengenal strata dan usia alias tidak pandang bulu. Siapa saja yang bersalah harus siap dihukum mati.
Di masa modern, Indonesia masih konsisten dengan penerapan hukuman mati. Hukuman ini sudah lama dikritisi aktivis HAM dan organisasi sipil terutama karena dianggap tidak berperikemanusiaan dan tidak cocok lagi dengan kondisi.
Selain itu banyak peraturan di Indonesia yang masih belum bisa dijalankan dengan adil, peraturan tumpang tindih, persepsi dan pengetahuan hakim dan lain-lain sehingga dikhawatirkan hukuman mati tidak melalui pengadilan yang sempurna.
Data dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyebutkan sejak era Reformasi 1998 hingga sekarang, sebanyak 45 terpidana mati telah dieksekusi. Mayoritas dari terpidana tersebut terlibat kasus narkotika.
Eksekusi yang paling banyak yaitu selama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ada tiga gelombang eksekusi pidana mati dengan total 18 terpidana yang dilakukan sepanjang 2015-2016. Sedangkan sebelumnya sejak 1998 telah terjadi eksekusi mati terhadap 28 terpidana.
Data itu juga menyebutkan dari jumlah 45 terpidana mati yang sudah dieksekusi, hanya tiga terpidana yang menunggu hukuman kurang dari tiga tahun. Sementara itu terdapat 12 orang yang dieksekusi setelah menunggu 10- 20 tahun dan sisanya harus menunggu 5-10 tahun setelah vonis.
Indonesia memang memiliki perangkat hukum yang mengatur tentang pelaksanaan eksekusi mati. Peraturan itu seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), UU No.2/PNPS/1964, aturan grasi, dan Surat Edaran Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum No. B-235/E/3/1994 tentang Eksekusi Putusan Pengadilan.
Sayangnya tidak satupun dari peraturan di atas yang menyinggung mengenai batasan masa tunggu eksekusi mati. Tidak adanya ketegasan dalam menentukan batasan masa tunggu dan buruknya pelayanan Lapas, memperparah efek fenomena deret tunggu yang dialami oleh terpidana mati.
Saat ini ada ratusan terpidana mati yang menunggu di penjara-penjara seluruh Indonesia. Banyak diantara terpidana mati itu sudah divonis puluhan tahun namun belum ada kejelasan nasib mereka.
Menurut data dari Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat yang dikumpulkan dari Kemenkumham, hingga semester dua 2023 ini terdapat 528 terpidana mati yang masuk daftar tunggu eksekusi mati.
Dari jumlah itu 12 diantaranya adalah perempuan.
Menyikapi kondisi tersebut Komnas HAM, Komnas Perempuan, Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK), Ombusdman dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia pernah mengeluarkan Kertas Kebijakan Fenomena Deret Tunggu dan Rekomendasi Komutasi Hukuman Mati pada 2020.
Dalam Kertas Kebijakan itu, Komnas HAM telah menemukan banyak kasus hukuman mati yang memiliki cacat serius dalam proses peradilannya. Mulai dari minimnya pendamping hukum, praktik penyiksaan dan perlakuan buruk dalam interogasi, tidak adanya penerjemah, hingga penolakan grasi secara umum bagi para terpidana mati untukkejahatan tertentu.
Dalam ketidakpastian hukum, para terpidana mati hidup berdesakan dengan narapidana dan tahanan lain di lapas yang over-capacity atau terlalu padat.
Padatnya lapas mempengaruhi para terpidana mati yang harusnya mendapat bimbingan rohani untuk lebih banyak beribadah demi kepasrahan maksimal.
Masalah lainnya adalah hak untuk mendapatkan kunjungan dari keluarga. Di lapas yang memiliki tingkat keamanan tinggi dan menjadi tempat tinggal terpidana mati justru hak tersebut tercerabut. Hal ini terutama dialami terpidana mati yang dipindahkan jauh dari daerahnya.
Berdasarkan temuan Komnas HAM para terpidana mati dalam kondisi tertekan secara mental.
Udo Tohar misalnya, terpidana mati asal Medan yang berusia 61 tahun saat berada di Lapas Klas IIA Besi Nusa Kambangan. Dia mengaku tertekan karena jauh dari keluarga pada usia yang sudah lanjut.
Munir Jafaruddin, terpidana mati asal Aceh, dipenjara di Lapas Klas IIA Tangerang, susah mendapatkan kunjungan dari keluarga karena keterbatasan jarak dan biaya.
Begitu juga terpidana mati Zainal Abidin hanya dapat menelepon anaknya pada saat menjelang eksekusi mati sementara dia tidak pernah dijenguk karena tempat penahanannya di Nusa Kambangan.
Masalah Mental dan Kelamaan Menunggu
Kebutuhan akan psikolog juga kerap terabaikan, padahal terpidana mati ini membutuhkan pendampingan untuk kesehatan mental mereka.
Dalam temuan Komnas HAM, dari enam lapas yang menjadi rumah terpidana mati, hanya satu lapas yaitu Lapas Kelas I Cipinang yang memiliki psikolog tetap. Sementara Lapas Tangerang, Lapas Batu,Lapas Besi, Lapas Kembang Kuning dan Lapas Narkotik tidak memiliki psikolog tetap.
Ketika Jaksa tiba di Lapas untuk memberitahu terpidana mati tentang batas waktu pengajuan hak Peninjauan Kembali (PK) dan grasi, suasana di dalam penjara menjadi tegang dan penuh dengan emosi yang terpendam. Para terpidana mati cenderung menjadi lebih tertutup dan emosional menghadapi berita ini.
Menurut peraturan, terpidana mati yang akan dieksekusi dalam waktu 3x24 jam harus dipindahkan ke sel isolasi. Pemindahan ini sendiri menciptakan trauma mental bagi para terpidana mati.
Beberapa di antaranya bahkan mencoba memberontak untuk menghindari dipindahkan, sementara yang lain tampak cemas dan panik, menyadari bahwa saat eksekusi semakin mendekat.
Mary Jane dan Mary Utami adalah dua terpidana mati yang paling merasakan dampak psikologis secara mendalam. Keduanya sama-sama lepas dari peluru regu tembak meskipun sudah dipindahkan ke sel isolasi di Nusa Kambangan.
Mary Jane Veloso dijadwalkan untuk eksekusi pada 29 April 2015.
Sebelum eksekusi, ia diketahui membenturkan kepalanya ke tembok dan mengalami kesulitan tidur setiap kali mendengar suara kunci. Saat kunjungan terakhir keluarganya sebelum eksekusi, Mary Jane bahkan menangis secara histeris ketika dipisahkan dari anak-anaknya.
Namun menjelang detik-detik eksekusi, ada informasi yang menyelamatkan Mary Jane. Seseorang yang mengaku perekrut Mary Jane menyerahkan diri ke polisi di Filipina. Eksekusi pun tertunda karena proses hukum masih berjalan di Filipina.
Mary Jane ditangkap pada April 2010 oleh polisian di Bandar Udara Adisutjipto, Yogyakarta. Saat itu Mary Jane kedapatan menyeludupkan 2,6 kilogram heroin. Mary Jane mengaku dia diperalat untuk membawa barang haram itu.
Dalam proses mencari keadilan, diketahui bahwa Mary Jane adalah korban perdagangan manusia.
Sementara Merry Utami adalah salah satu terpidana mati yang nyaris dieksekusi pada tahun 29 Juli 2016 lalu. Keputusan Peninjauan Kembali (PK) kasus Merry keluar dua hari menjelang eksekusi. Meskipun PK ditolak, yang akhirnya menyelamatkan Merry.
“Merry sempat melalui persiapan untuk dieksekusi. Dan ini kami sayangkan. Bahkan dia mendapatkan informasi keputusan PK di lapas Nusa Kambangan,” kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) Muhammad Afif Abdyl Qoyim kepada Independen.id.
Afif mengatakan bahwa Merry ditangkap tahun 2001, dan divonis mati pada 2002. Hakim menganggap Merry bersalah karena membawa narkoba jenis heroin seberat 1,1 kilogram dalam tas di Bandara Soekarno Hatta dari Taiwan.
Merry kemudian mengajukan grasi pada Presiden Joko Widodo pada 2016. Dan setelah 22 tahun dalam penjara, grasi yang diajukan dikabulkan oleh Presiden.
Keppres No 1/G/2023 itu dikeluarkan pada 27 Februari 2023. Hukuman Merry diubah dari mati menjadi seumur hidup.
Merry merupakan satu terpidana narkotika yang berhasil mendapatkan grasi dari Presiden Joko Widodo.
“Presiden Joko Widodo juga mengeluarkan grasi untuk empat terpidana mati lainnya, tetapi cuma Merry yang terpidana narkotika,” kata Afif.
Afif sendiri mengaku tidak tahu mengapa grasi yang diajukan harus menunggu sampai tujuh tahun.
“Tidak ada batas waktu dalam peraturan kapan grasi ini bisa diberikan, selain juga dibutuhkan inisiatif untuk grasi ini dari presiden,” kata Afif.
Afif mengatakan Indonesia harusnya sudah meninggalkan penerapan hukuman mati dan mencabut metode penghukuman ini dalam semua undang-undangnya.
“ Ini kan peninggalan Belanda. Kita kan mencontek peraturan Belanda. Padahal sekarang Belanda sudah menghapus hukuman mati,” kata Afif.
Dia juga menkritisi pendapat sebagian orang bahwa hukuman mati menimbulkan efek jera.
“Belum ada kajian keberhasilan implementasi hukuman mati dengan kejahatan narkotika,” katanya.
Menurut Afif salah satu jalan tengah yang diambil dalam pro dan kontra hukuman mati dan penyelesaiannya adalah komutasi atau perubahan hukuman.
Komnas HAM dan ICJR juga merekomendasi hal yang sama. Komutasi merupakan satu-satunya jalan keluar untuk mencegah dan menghentikan praktik penyiksaan, tidak berkemanusiaan dalam fenomena deret tunggu .Fenomena yang berpotensi dialami terpidana mati untuk menjalankan hukuman ganda yaitu hukuman penjara dan vonis mati itu sendiri.
Selain itu hingga tahun 2022 tercatat 111 negara telah menghapus penerapan hukuman mati. Negara yang masih mempertahankan hukuman mati jumlahnya lebih sedikit yaitu 84 negara. Hal ini menunjukkan bahwa hukuman mati tidak lagi manusiawi dan relevan dalam perkembangan hukum global.