Hampir Dicabut dari PSN, KEK Maloy Jatuh Bangun agar Tetap Berdikari

Oleh: Yasmin Medina Anggia Putri 

Independen-  Perjalanan dimulai dari Sangatta menuju KEK Maloy Batuta Trans Kalimantan (MBTK) atau KEK Maloy pada pukul 07.00 Wita, Senin (25/9/2023). Ditempuh dalam kurun waktu sekitar 3 jam dengan jarak 109 kilometer. Kemudian pada pukul 07.32 Wita, Kaltim Today tiba di Jalan Poros Perdau yang menghubungkan Kecamatan Sangatta Utara dan Bengalon.

Selama di jalan poros itu, kondisi jalan cenderung bagus. Namun ada beberapa titik jalan yang rusak, terutama di depan TPA Batota. Bagian kanan dan kiri jalan hanya hutan dan tidak disertai lampu jalan.

Sesampainya di desa pertama dari Sangatta yakni Desa Muara Bengalon, kembali ditemukan beberapa titik jalan yang rusak, sisanya sudah aspal. Ketika masuk ke Desa Sepaso Barat, Bengalon mulai terlihat banyak pohon-pohon kelapa sawit berjejeran. Bahkan di Jalan Poros Bengalon-Sangkulirang, tampak ada 13 truk yang mengangkut sawit.

Akhirnya sekitar pukul 11.00 Wita, Kaltim Today tiba di Jalan Muara Lemba (Simpang Maloy). Di depan gerbang KEK Maloy, tampak truk berwarna kuning yang membawa crude palm oil (CPO) berlalu lalang. Di sekitar situ juga ada bengkel khusus truk.

Huruf yang menunjukkan bahwa lokasi tersebut adalah KEK Maloy banyak yang terlepas. Bahkan disertai semak belukar sehingga tak terlihat jelas. Dari pintu gerbang, sebenarnya ada 2 jalur. Namun hanya jalur sebelah kanan yang bisa dilewati sebab jalur sebelah kiri dipenuhi semak belukar.

Agak sulit menemukan sinyal telekomunikasi di KEK Maloy. Sinyal hampir tak ada di sepanjang jalan masuk untuk sampai ke pelabuhan. Terkait jalan masuknya, hampir seluruhnya dicor. Hanya beberapa titik yang diaspal.

Kemudian, terlihat gedung perkantoran yang tampak sepi. Rupanya, itu adalah Kantor Administrator KEK MBTK yang berada di bawah naungan Pemkab Kutim. Di dalam kawasan kantor itu juga terdapat masjid. Untuk masuk ke area pelabuhan, diharuskan melintasi jalan yang tepat berada di belakang kantor tersebut.

Mendekati pelabuhan, tampak mangrove di kanan dan kiri. Siang itu, aktivitas di pelabuhan tak terlalu ramai. Bahkan cenderung sepi. Hanya ada beberapa kapal yang sedang sandar.

Staf Operasional PT MBTK, Muhammad Habibie mengakui bahwa sampai saat ini pihaknya terus berupaya agar KEK Maloy tetap bertahan. Meski KEK Maloy sudah ditetapkan sejak 2014 dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 85/2014, nyatanya KEK tersebut baru bisa beroperasi pada 2019.

Meski tampak lebih fokus untuk pengelolaan kelapa sawit, Habibie mengatakan sebenarnya KEK Maloy terbuka untuk pengolahan apapun. Entah kayu, energi, logistik, dan penyediaan infrastruktur. Di sisi lain, letaknya yang berada di lintasan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) II membuat KEK Maloy sangat strategis karena menjadi lintasan laut perdagangan internasional.

“Secara aturan, disebutkan kegiatan utamanya KEK Maloy itu ada di pengolahan kelapa sawit, industri energi, dan logistik. Kalau energi itu ya seperti batu bara dan solar cell juga masuk,” ujar Habibie saat ditemui pada pertengahan Oktober lalu.

Pada 1 April 2019, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meresmikan KEK Maloy. Sebagai informasi, sumber dana KEK Maloy berasal dari APBN, APBD Kaltim, dan APBD Kutim dengan nilai proyek yang diproyeksikan mencapai Rp 2,6 triliun.

Mengacu pada laporan hasil reviu tata kelola atas Proyek Strategis Nasional (PSN) KEK Maloy Triwulan IV tahun 2022 yang dikeluarkan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Kaltim, tercatat total dana pengembangan KEK Maloy yang telah direalisasikan sampai Triwulan IV tahun 2020.

Jenis kegiatan yang bersumber dari APBD Kutim, ada pembebasan lahan yang total dananya mencapai Rp 86.548.644.811 dan pembangunan pintu gerbang sebesar Rp 195.000.000.

Kemudian untuk kegiatan yang bersumber dari APBD Kaltim juga banyak. Pertama, ada pembebasan lahan lokasi air baku Sekerat mencapai Rp 2.126.357.320, pembangunan sistem air baku Sekerat sebesar Rp 158.597.181.000, pembangunan SPAM Maloy sebesar Rp 184.927.700.000, dan pembangunan jalan dalam kawasan Maloy sebesar Rp 355.259.557.000.

Berikutnya, pembangunan pelabuhan internasional Maloy sisi darat dan fasilitas pendukung mencapai Rp 74.291.118.100, serta pembangunan menara telekomunikasi sebesar Rp 1.206.188.000. Selain itu, PT Melati Bhakti Satya (MBS) juga ada mengeluarkan dana untuk pembangunan pintu gerbang/gapura sebesar Rp 165.471.000. Walhasil, jumlah investasi APBD keseluruhan mencapai Rp 863.317.217.231.

Sedangkan kegiatan yang bersumber dari APBN berupa pembangunan pelabuhan internasional Maloy sisi laut sebesar Rp 268.877.283.876, pembangunan Jalan Sp Perdau-Muara Lembak-Sangkulirang-Maloy sebesar Rp 374.656.870.033, serta pembangunan Jalan Akses Pelabuhan Maloy sebesar Rp 187.123.920.000. Total jumlah investasi APBN mencapai Rp 830.658.073.909. Maka, jumlah investasi APBN dan APBD ketika ditotalkan mencapai Rp 1.693.975.291.140.

“Jadi dari 2014 sampai 2017 sudah ada pembangunan tapi ternyata tidak selesai karena ada sedikit masalah. Mungkin di lapangan, dari pengembangan saham, sisi anggaran, dan lain-lain. Jadi dari 2017-2019, KEK Maloy diberi perpanjangan waktu selama 2 tahun,” sambungnya.

Habibie mengakui, sejak beroperasi dari 2019 hingga 2021, tidak ada investasi yang masuk dari pelaku usaha. Hal tersebut tentu menimbulkan pertanyaan besar dari Sekretariat Dewan Nasional KEK.

Akhirnya, pada 5 Mei 2021, PT MBTK yang dalam hal ini diwakili oleh PT MBS menghadiri sidang dewan nasional. Di situ, ujar Habibie, pihaknya memberikan penjelasan terkait alasan belum ada investasi yang masuk.

“Kami bilang kalau kami memiliki permasalahan kelembagaan. Di mana, pada saat itu direksinya dipegang oleh Bakrie Group. Sebenarnya dari 2019-2021, ada banyak minat investor dari Amerika Serikat, Tiongkok, Jepang, dan lain-lain. Tapi ternyata tidak ada respons dari direksi saat itu,” sambung Habibie.

Ditanya mengenai alasan direksi saat itu yang tidak ada memberikan respons, Habibie mengaku tak tahu pasti alasannya. Agar KEK Maloy tidak dicabut dari Proyek Strategis Nasional (PSN), Sekretariat Dewan Nasional KEK memberi waktu sekitar 6 bulan sampai 1 tahun untuk menyelesaikan permasalahan kelembagaan.

Oleh sebab itu, PT MBS yang merupakan perusahaan daerah (perusda) milik Pemprov Kaltim berusaha mengalihkan saham yang dimiliki oleh Bakrie Group yakni PT Trans Kalimantan Economic Zone (TKEZ) dan PT Batuta Chemical Industrial Park (BCIP).

“Februari 2022 itu baru selesai dan kami ambil sahamnya PT TKEZ dan PT BCIP. Dari situ, kami mengejar ketertinggalan,” ujar Habibie.

Juli 2022, PT MBTK melakukan Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan PT Palma Serasih Internasional (PSI). Hingga saat ini, realisasi investasinya sudah mencapai Rp 97 miliar. Khusus PT PSI, ada niat untuk membangun bulking station alias fasilitas penimbunan CPO dengan kapasitas 5 ribu ton.

Sebagai informasi, bulking station dibangun dengan tujuan agar mempermudah proses bongkar muat pengapalan CPO. Sehingga prosesnya bisa lebih efisien dan menjaga kualitas CPO sampai masuk ke pabrik refinery alias tahap pemurnian minyak yang memungkinkan pemisahan CPO dari berbagai kotoran dan kandungan lain yang tak diinginkan.

Di sana, memang sudah berdiri 2 bulking station namun belum difungsikan. Rencananya, November 2023 akan dinilai kesiapan dan kelayakan dari bulking station itu.

“Jadi sebenarnya PT PSI itu bangun bulking station 6 lagi timbun. Tapi untuk tahap pertama di tahun ini, dia membangun 2 dulu. Nanti tahun depan baru dibangun lagi sisa 4-nya,” sambungnya.

Sebenarnya, di PKS, PT PSI juga mau membangun pabrik pemurnian kelapa sawit. Namun, ujar Habibie, tidak disebutkan secara spesifik untuk pengolahan produk turunan apa.

“Mereka enggak bisa memastikan. Katanya, mereka masih ekspan kebun tapi paling lambat diusahakan 5-10 tahun ke depan baru mau bangun. Ini melihat kekuatan kebun mereka juga, mampu tidak menyuplai bahan,” paparnya.

Oleh sebab itu, sembari menunggu bulking station rampung seluruhnya, PT PSI memilih untuk mengirim CPO menggunakan truk ke pelabuhan. Sawit itu didapat dari kebun milik perusahaan yang berada di bawah naungan Palma Serasih Group dan diolah sendiri sebagai CPO.

Habibie sadar, tujuan utama dibentuknya KEK Maloy bukan sekadar mengirimkan bahan mentah. Harusnya ada hilirisasi industri.

“Tapi daripada enggak ada yang mau masuk, akhirnya PT PSI ini masuk. Jadi terlihat kalau KEK Maloy ini ada investornya. Sekaligus memancing juga untuk perusahaan lain,” tambah Habibie.

Diketahui, Palma Serasih Group memiliki 2 pabrik pengelolaan CPO sendiri yang berlokasi di Wahau dan Bengalon. Kebun sawit milik perusahaan itu juga ada di kedua daerah tersebut dengan luas sekitar 35 ribu hektare.

Terpisah, Social, Security and Licenses Division Head dari PT Palma Serasih Tbk, Yohanes W Jacob juga menjelaskan alasan PT PSI tertarik berinvestasi di KEK Maloy. Yohanes mengatakan, lokasi usaha PT Palma Serasih Group secara keseluruhan memang berada di Kutim.

“Jadi kebun dan pabrik kami seluruhnya ada di Kutim (Bengalon dan Wahau). Sehingga, jarak antara pabrik, kebun, dan pelabuhan itu yang paling dekat ada di KEK Maloy,” ujar Yohanes saat dihubungi, Senin (20/11/2023).

Kemudian, pihaknya juga menilai bahwa status KEK merupakan hal yang menarik. Sebab begitu banyak kemudahan yang diberikan kepada investor di KEK. Sebut saja seperti kemudahan perizinan, berhubungan dengan pihak instansi pemerintah, dan pajak.

“Jadi dari fasilitas-fasilitas itulah yang membuat PT PSI memilih berinvestasi di KEK Maloy. Koordinasi kami dengan Pemkab Kutim juga sangat baik. Kami juga dibantu untuk segera memulai kegiatan investasi di KEK Maloy,” sambung Yohanes.

Yohanes juga menceritakan masalah yang dialami PT PSI selama pembangunan bulking station. Dia menyebut, sampai saat ini pihaknya belum mendapatkan izin penggunaan dermaga.

“Jadi PT MBTK juga sedang membantu untuk bisa dipercepat perizinan dermaganya. Sehingga, bisa kami gunakan. Sebab bulking station itu kan titik akhirnya ada di dermaga,” tambah Yohanes.

Sebagai informasi, dermaga yang ada di KEK Maloy masih berada di bawah wewenang Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Di mana, saat ini dermaga tersebut diharuskan memiliki izin lingkungan yang masih dalam proses.

“Kalau dari kami, berharap izin lingkungan itu bisa cepat selesai. Apalagi, kami segera menguji kelayakan dan kesiapan dari bulking station itu. Secara project, bulking station sudah selesai tapi CPO yang akan dihadirkan dari bulking station itu belum bisa masuk ke dermaga,” jelas Yohanes.

Lalu pada Juli 2023, PT MBTK kembali menjalin PKS dengan PT Energi Agro Investama (EAI) dengan nilai investasi Rp 801 miliar. Perusahaan yang satu ini hendak membangun industri pengolahan turunan sawit. Yakni dengan cara membangun pabrik untuk memproduksi minyak goreng, biodiesel dan margarin.

Dijelaskan Habibie, pembangunan pabrik itu kemungkinan besar baru dimulai pada pertengahan 2024. Sebab, saat ini PT EAI tengah mengurus proposal bisnis, perizinan, hingga dokumen lingkungan. Dia menyebut, pembangunan harus berjalan pada 2024.

“Sebab kami juga dikejar dengan Sekretariat Dewan KEK Nasional. Jangan sampai nanti dibilang ini hanya PKS bodong,” ujar Habibie.

Sementara itu, Direktur PT EAI, Ryan Yashadhana juga mengatakan bahwa pihaknya tertarik untuk berinvestasi di KEK Maloy karena menilai kawasan tersebut sangatlah strategis. Ditambah lagi, road map yang ditawarkan ke kawasan tersebut juga baik.

“Jadi banyak dukungan untuk bisnis pabrik seperti kami. Ke depannya, saya rasa apa yang diinginkan KEK Maloy dan apa yang kami inginkan juga sejalan,” jelas Ryan, Kamis (23/11/2023).

Saat ini, pihaknya sudah selesai menyerahkan proposal bisnis ke PT MBTK. Proses berikutnya, ujar Ryan, pihaknya mesti mengurus izin terlebih dahulu sebelum membangun pabrik pengolahan produk turunan sawit.

Ryan menyadari bahwa PT EAI akan menjadi perusahaan pertama yang bakal membangun pabrik pengolahan produk turunan sawit di Kaltim. Walhasil, pihaknya melihat hal tersebut sebagai peluang untuk memaksimalkan bisnis tersebut.

“Terkait suplai sawitnya, pasti kami akan mengambil dari daerah setempat. Kami juga sudah pernah studi di sana bahwa ada banyak perkebunan sawit di Kutim dan dekat dengan KEK Maloy,” sambung Ryan.

Ryan berharap agar pengurusan izin yang sedang dalam proses ini bisa berjalan cepat. Sehingga, pihaknya juga bisa bergerak untuk memulai pembangunan pabrik. PT EAI belum bisa memastikan kapan izin itu bisa dikeluarkan. Namun harapannya, izin tersebut sudah bisa didapatkan dalam kurun waktu 3-6 bulan ke depan.

“Semua izin ini kan melalui pemerintah daerah dan juga administrator kawasan. Kami juga belum tahu seberapa sulit prosesnya dan seberapa cepat persetujuan izinnya,” ujar Ryan.

Secara umum, proses sawit hingga menjadi produk turunan sangatlah panjang. Misalnya untuk menjadi produk minyak goreng, maka proses awal dimulai dengan panen tandan buah segar (TBS) di kebun, lalu TBS direbus untuk melepaskan minyak dari daging buahnya.

Selanjutnya, minyak sawit dipisahkan dari campuran air dan daging buah melalui proses penyaringan dan minyak sawit dilakukan pemurnian untuk menghilangkan kotoran. Kemudian, minyak masuk ke proses deodorisasi untuk menghilangkan bau dan rasa yang tak diinginkan.

Berikutnya ada proses hidrogenasi. Merupakan proses opsional, di mana proses ini bertujuan agar minyak goreng memiliki kestabilan yang lebih baik. Terakhir, minyak goreng siap dikemas untuk dijual ke pasaran.

Diakui Habibie, investor dari berbagai negara banyak yang menaruh ketertarikan di KEK Maloy. Mulai Amerika Serikat, Korea, Jepang, hingga Tiongkok. Namun investor mulai meragu karena infrastruktur dan waktu tempuh yang memakan waktu. Namun setidaknya, untuk infrastruktur jalan menuju KEK Maloy sudah lebih baik dan sebagian besar sudah mulus.

“Kalau dulu kan sempat ada wacana jalan tol Samarinda-Bontang, tapi kan dicabut dari PSN. Tapi katanya mau dilanjutkan lagi. Ujung-ujungnya kan kembali lagi mana duluan ayam atau telur kan? Nanti sudah dibangun tapi tidak ada yang pakai, gimana?” tambah dia.

Dia juga memandang penting lengkapnya infrastruktur. Menurut Habibie, investor mesti mempertimbangkan soal pelabuhan. Meski di KEK Maloy sudah ada pelabuhan, namun pelabuhan itu belum kuat untuk transportasi vessel bersandar. Beberapa orang juga menyarankan agar pelabuhan bisa diperkuat dan dilengkapi dengan pelabuhan induk hingga kargo.

“Kalau ada pelabuhan kargo kan otomatis orang lebih mudah untuk mengirimkan barang dan material mereka,” sambungnya.

Habibie mengatakan, PT MBTK saat ini juga sedang berusaha untuk mencari strategi agar bisa mengembangkan pelabuhan di KEK Maloy lebih baik lagi. Anak perusahaan dari PT MBS yakni PT Kaltim Bhakti Samudra yang dipilih untuk menangani persoalan itu.

KEK Maloy yang memiliki luas sebesar 557,34 hektare pun ternyata menyediakan tempat bagi UMKM, koperasi atau pelaku usaha untuk ikut terlibat di dalam KEK.

Meski tak begitu besar, hanya 0,7 hektare di bagian bawah. Dia mengatakan, untuk saat ini kepentingan UMKM belum terlalu besar juga.

Habibie mengatakan, UMKM, koperasi, atau pelaku usaha yang bisa terlibat di dalam KEK Maloy sebenarnya diharapkan untuk bisa mendukung kegiatan utama di KEK. Misalnya, menjadi penyedia bahan baku untuk keperluan operasional perusahaan pengolahan kelapa sawit atau yang bergerak di bidang agribisnis lainnya.

“Jalan dalam kawasan (menuju plot untuk UMKM) itu dari 11 kilometer juga baru 3 kilometer yang dicor. Kami menyediakan 29 plot kecil untuk UMKM,” tambahnya.

Sebenarnya, keterlibatan petani atau pelaku UMKM untuk bergabung di dalam KEK sangat memungkinkan. Apalagi, pihak PT MBTK juga sudah menyiapkan plotnya untuk dimanfaatkan sebagai penumpukan sementara atau menaruh sawit milik masyarakat.

“Tapi, akses dari kebun mereka ke KEK Maloy kan agak jauh. Kekuatan mereka bagaimana? Kecuali mereka lewat BUMDes. Sejauh ini, belum ada BUMDes yang menghubungi kami apakah bisa masuk ke KEK. Kami sebenarnya enggak tertutup untuk UMKM,” lanjut Habibie.

Dia juga mengakui bahwa pihaknya belum pernah ada menyosialisasikan ke masyarakat, BUMDes, atau petani bahwa tersedia 29 plot di KEK Maloy yang bisa digunakan. Sebab selama 1 tahun ke belakang, pihaknya fokus untuk mengejar ketertinggalan yang ada.

“Kami paham, memang UMKM ini kekuatannya tidak sebesar di perusahaan besar. Di KEK Maloy itu jalannya belum terbangun semua (menuju plot), masih hutan. Kalau land clearing mungkin kami masih bisa tapi kalau bangun jalan agak susah karena asetnya masih di Pemkab Kutim,” kata Habibie.

KEK Maloy ini diproyeksikan menarik investasi sebesar Rp 34,4 triliun dan diproyeksikan dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 55.700 hingga tahun 2025. Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa hanya 169 tenaga kerja yang paling banyak terserap. Ratusan orang itu sempat mengerjakan pembangunan bulking station milik PT PSI.

“Tapi karena sekarang sudah mau selesai, mungkin makin menurun jumlah pekerjanya. Mungkin sekitar 60-an tenaga kerja saja. Tapi tahun depan akan ada penambahan lagi karena mau bangun 4 bulking station,” jelasnya.

Keterlibatan Petani Sawit Mandiri untuk Berkontribusi di KEK Maloy Belum Signifikan

Sawit sudah jadi pemandangan lazim yang dilihat Herman (28) sehari-hari. Sejak kecil, dia terbiasa melihat orangtuanya mengelola kebun sawit secara mandiri. Tepatnya pada 2006, saat usianya masih 11 tahun. Beranjak dewasa, Herman dipercayakan untuk membantu mengelola 7 hektare kebun sawit milik orangtuanya dan masih berlanjut sampai sekarang.

Saat ini, Herman masih aktif sebagai petani sawit mandiri. Dirinya bermitra dengan salah satu perusahaan di Sangkulirang bernama PT Indonesia Plantation Sinergy (IPS) sejak 2006. Ada beberapa alasan yang membuatnya menjalin mitra dengan cara menyuplai tandan buah segar (TBS) ke perusahaan itu.

“Pertama, karena ada bantuan bibit. Bibit yang kami pakai ini tersertifikasi. Jadi sudah pasti unggul. Jadi kami kerja sama. Perusahaan yang mengadakan bibit, hasil TBS-nya kami suplai ke perusahaan,” ungkap Herman saat ditemui akhir September lalu di kediamannya, Desa Bual-bual, Kutim.

Selain itu, dari lokasi kebunnya, suplai TBS yang paling dekat memang dikirim ke PT IPS. Otomatis, ongkos pengiriman juga lebih murah. Jika ingin dikirim ke area perusahaan, biasanya Herman hanya membayar ongkos sekitar Rp 300-400 ribu.

Biasanya, dalam 1 truk dia mengusahakan untuk membawa banyak TBS, karena jika sedikit akan rugi di ongkos. Herman mengatakan, 2 kali dalam sebulan, dirinya menyuplai TBS ke perusahaan tersebut. Sebab rotasi panen untuk per hektare biasanya 2 kali dalam sebulan.

Namun, saat ini bentuk mitra antara petani sawit mandiri dengan perusahaan sudah lebih beragam. Tak sebatas di bibit, tapi ada juga mitra lahan di mana perusahaan mengelola lahan milik masyarakat. Pengelolaan mencakup pembukaan lahan, penanaman bibit, hingga menghasilkan buah. Saat mitra yang berhasil ini menghasilkan buah, mulai dilakukan pembayaran ke perusahaan.

“Mereka (petani sawit mandiri) mulai cicil biaya pembukaan lahan, bibit, dan perawatan. Mungkin kisaran Rp 30 juta 1 mitra untuk bayar utang itu ke perusahaan,” sambungnya.

Metode mitra ini dinilai cukup membantu. Khususnya bagi sekelompok orang yang tidak mampu untuk beli bibit dan membuka lahan, maka perusahaan yang menyediakan fasilitas itu. Kendati demikian, Herman masih menjalin mitra berupa bibit sawit. Sebab menurutnya, ongkos untuk membuka lahan dan perawatan cukup mahal.

Herman mengatakan, setelah buah dari kebun sawitnya disuplai ke perusahaan, maka perusahaan akan memproses sawit itu menjadi CPO dan kernel (inti atau biji buah kelapa sawit). Sebagai informasi, kernel bisa diolah menjadi palm kernel oil. Lalu dibawa ke KEK Maloy untuk didistribusikan ke luar Kaltim.

“Kalau saya pribadi, kurang lebih 10-12 ton sawit per bulan. Sebab kalau lambat panen, rotasinya sudah mulai terganggu,” ujarnya lagi.

Buah sawit yang disuplai ke perusahaan juga harus dalam kualitas baik. Herman mengatakan, ada kriteria buah yang sudah ditentukan oleh perusahaan.

“Misalnya, buah masak itu yang seperti apa. Begitu sebaliknya,” sambungnya.

Dulunya, perusahaan pernah beberapa kali memberikan sosialisasi ke petani sawit mandiri terkait kriteria buah yang baik seperti apa. Herman sendiri pun sudah tidak ingat kapan terakhir kali sosialisasi itu dilakukan.

Namun hingga saat ini, sosialisasi itu belum ada dilakukan lagi. Padahal, banyak petani yang pernah mempertanyakan itu.

Di satu sisi, hadirnya KEK Maloy cukup membantu pergerakan para petani sawit mandiri ketika hendak menyuplai hasil buahnya ke perusahaan seperti PT IPS. Khususnya jika menyuplai buah sawit dari Pulau Miang dan Bual-bual, maka akses yang digunakan ada di Kecamatan Kaliorang dan Sangkulirang.

“Mereka sangat diperbantukan untuk suplai (buah) ke perusahaan karena jalurnya cukup bagus. Ya dari 2 kecamatan ini, Kaliorang dan Sangkulirang,” tambahnya.

Sampai saat ini, Herman juga masih betah menjadi petani sawit mandiri. Dia belum ada keinginan untuk bergabung dengan koperasi karena beberapa alasan.

Menurut pengakuan Herman, hingga saat ini belum ada koperasi yang mengelola hasil dari petani sawit mandiri seperti dirinya di Desa Bual-bual. Sehingga, dia tak tahu pasti perbedaan antara petani sawit mandiri yang bergabung ke koperasi dan tidak.

“Belum ada koperasi yang mengelola. Saya juga belum tahu apa bedanya, selama ini belum pernah ada koperasi. Terkait administrasi itu sepertinya kami belum siap. Kadang ada petani yang takut ketika ingin bergabung, seperti ada permainan antara perusahaan dan koperasi,” jelas Herman.

Jika dalam sebulan Herman bisa menghasilkan10-12 ton buah sawit, harga yang didapat juga bervariasi. Sebab harga buah mengacu pada tahun tanam. Misalnya, semakin tua umur buahnya, harganya semakin mahal dan berbeda.

“Tapi kalau secara administrasi di sini, dibulatkan sekitar 2 ribuan per kilogram. Kalau harga Rp 2 ribuan itu dapat sekitar Rp 2 juta lah per ton. Dari Rp 2 juta itu, paling bersihnya Rp 1,5 juta,” bebernya.

Meski KEK Maloy sekilas tampak tak terurus dan mangkrak, setidaknya Herman masih melihat bahwa akses jalan di KEK Maloy cukup membantu dia. Herman mengatakan, dari kebun sawit milik orangtuanya ke KEK Maloy mesti ditempuh dengan jarak sejauh 12 kilometer.

“Sebenarnya dalam hal fungsional ini berjalan. Aksesnya dipakai beberapa perusahaan, bahkan dari luar kecamatan Sangkulirang pun memakainya untuk akses menerima CPO,” ujar dia lagi.

Menurut Herman, kelebihan KEK Maloy setidaknya bisa menjadi akses alternatif untuk masyarakat desa di sekitar kawasan itu. Dia mengatakan, akses itu sangat membantu. Sedangkan kelemahannya, masih ada beberapa titik jalan yang perlu perbaikan dan perawatan. Termasuk rambu jalan yang masih minim.

Keuntungan bagi petani sawit mandiri yang menyuplai hasil buahnya ke perusahaan memang belum terlihat signifikan. Apalagi, ketika perusahaan memproduksinya sebagai CPO atau kernel dan mengirimkannya ke luar pulau melalui KEK Maloy.

Padahal, menurut Undang-Undang (UU) Nomor 39/2009 tentang KEK, di Pasal 3 ayat 2 menyebutkan bahwa di dalam KEK dapat dibangun fasilitas pendukung dan perumahan bagi pekerja. Kemudian di ayat 3 disebutkan bahwa di setiap KEK disediakan lokasi untuk usaha mikro, kecil, menengah (UMKM), dan koperasi. Baik sebagai pelaku usaha maupun sebagai pendukung kegiatan perusahaan yang berada di dalam KEK.

Disinggung mengenai payung hukum tersebut, Herman mengaku tak pernah mendapat pemberitahuan atau informasi bahwa petani sawit mandiri seperti dirinya bisa dilibatkan di dalam KEK Maloy. Dalam hal ini, petani sawit mandiri bisa dikatakan sebagai salah satu pendukung perusahaan yang beroperasi di KEK Maloy.

“Setahu saya belum pernah (diberitahu soal UU Nomor 39/2009). Khususnya di tingkat desa,” jelas Herman.

Petani sawit mandiri lainnya juga berbagi cerita. Dia adalah Kasim (48) asal Desa Tepian Langsat, Kecamatan Bengalon. Kasim sudah menjadi petani sawit mandiri sejak 2011 silam.

“Awalnya betul-betul karena sekadar tertarik dan mulai membuka lahan. Kemudian saya mulai menanam dan seiring berjalannya waktu, dapat informasi kalau petani tidak bisa sembarang menanam bibit. Harus ada sertifikasinya,” ucap Kasim saat dihubungi pertengahan November lalu.

Di Desa Tepian Langsat, ada 4 perusahaan yang biasanya menjadi tujuan para petani sawit mandiri untuk menyuplai TBS. Di antaranya, PT Dinamika Prima Artha, PT Anugerah Energitama, PT KBN, dan PT Bima Palma Nugraha.

Kasim bukanlah petani sawit mandiri yang bermitra dengan perusahaan. Oleh sebab itu, dia bebas untuk menyuplai TBS-nya ke perusahaan mana pun. Bahkan jarak antara kebun sawitnya ke perusahaan-perusahaan itu sangat dekat, hanya 3 kilometer.

“Kalau seperti kami yang swadaya, bebas (suplai TBS-nya). Kecuali yang bermitra,” sambung dia.

Biasanya, 2 kali dalam sebulan atau 3 kali dalam 2 bulan, Kasim mesti menyuplai TBS itu ke perusahaan. Jika kondisi buah sedang banyak, biasanya dia menyuplai buah antara 5-7 ton. Upah yang dikeluarkan Kasim untuk menyewa truk demi mengangkat TBS sebesar Rp 150 ribu per ton.

Saat ini, Kasim memiliki lahan yang TBS-nya sudah panen sekitar 6 hektare. Terkait bibit, dirinya membeli sendiri dengan koneksi resmi yang ada di Samarinda. Per butirnya, bibit dibanderol seharga Rp 8 ribu.

“Berarti kalau saya beli 100 butir, harganya Rp 800 ribu. Ada juga yang ke penangkaran bibitnya dan beberapa kelompok tani memang berinisiatif untuk beli di outlet yang resmi,” jelas Kasim.

Saat ini, biasanya Kasim mampu memanen TBS sekitar 700-750 kilogram per hektare. Kasim mengatakan, TBS yang disuplai petani ke perusahaan biasanya akan masuk ke pabrik minyak kelapa sawit (PMKS) untuk diolah menjadi CPO. Kemudian CPO itu bakal diangkut ke pelabuhan di KEK Maloy.

“Rata-rata perusahaan itu punya PMKS. Setelah CPO-nya jadi, itu diangkut ke Maloy. Nah nanti dari Maloy, terserah diantarkan kemana, tergantung pembeli dari perusahaan,” tambah dia.

Di sisi lain, Kasim berharap ada kesetaraan harga TBS antara petani sawit mandiri sepertinya dan petani yang bermitra dengan perusahaan. Mereka yang sudah bermitra, telah mempunyai pedoman penetapan harga TBS sesuai Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 1/2018 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian TBS Kelapa Sawit Produksi Pekebun.

“Kalau di Kutim ini, per 1 bulan baru keluar penetapan harganya. Kalau sekarang, saya lihat sudah berubah. 2 kali dalam sebulan, jadi ada ketetapan harga dari tanggal 1-15. Kemudian keluar lagi tanggal 16-30 atau 31 tiap bulannya,” ujar Kasim.

Selama ini, petani sawit mandiri yang tidak bermitra hanya mengikuti pergerakan harga yang fluktuatif. Per kilogramnya, biasa ada perbedaan antara 200-300 rupiah. Bahkan, terkadang harga TBS dari petani sawit mandiri yang tidak bermitra lebih tinggi dibanding yang bermitra.

“Kalau yang mitra ini dia mau naik harga CPO, mau turun, tetap di harga yang sudah ditetapkan itu,” bebernya.

Menurutnya, mesti ada inovasi dari pemerintah kabupaten atau provinsi serta pemangku kepentingan terkait untuk bekerja sama dengan organisasi petani sawit lain demi meluruskan hal tersebut. Namun terlepas dari itu, besar harapan Kasim agar petani juga diberikan edukasi oleh perusahaan sekitar.

“Kami petani sangat mengharapkan supaya tiap perusahaan yang ada di daerah kami, keluar memberikan edukasi terhadap petani yang ada. Gimana cara panennya, pemupukan yang tepat,” paparnya.

Disinggung mengenai KEK Maloy, Kasim mengakui belum pernah mendapatkan informasi bahwa di dalam KEK tersedia tempat yang bisa digunakan oleh pelaku UMKM atau petani berkegiatan. Namun dia menilai ada kelebihan pula dari kehadiran KEK Maloy.

“Kelebihannya ya khusus sektor kelapa sawit dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi masyarakat di Kutim. Khususnya kami yang ada di pelosok desa,” kata Kasim.

Namun, Kasim juga melihat adanya kelemahan dari KEK Maloy. Terutama belum ada sosialisasi signifikan yang diberikan ke petani dari pihak terkait mengenai KEK Maloy.

“Harapannya, ke depan pemerintah juga bisa melibatkan BUMDes dalam pengelolaan KEK Maloy,” jelas Kasim lagi.

Menelusuri Upaya Pemerintah Pertahankan KEK Maloy

Terpisah, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kaltim, Puguh Harjanto juga angkat suara. Puguh mengakui, masuknya investasi di KEK Maloy memang belum signifikan. Dia berharap, hal itu bisa dimaksimalkan lagi.

“Harus bisa dimaksimalkan lagi dengan infrastruktur yang terpenuhi, dari sisi badan usahanya juga clear karena kan lagi progress kalau MBTK mau dijadikan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sendiri,” jelas Puguh pada Oktober lalu.

Salah satu upaya yang dilakukan DPMPTSP Kaltim adalah tengah menyusun Investment Project Ready to Offer (IPRO) di KEK Maloy. Targetnya, IPRO tersebut akan selesai pada 2024. Diharapkan, hadirnya IPRO itu bisa memberikan gambaran kepada calon investor yang potensial.

Saat menyelenggarakan Mahakam Investment Forum (MIF) pada akhir Agustus 2023 lalu, salah satu kawasan yang digencarkan Pemprov Kaltim adalah KEK Maloy. Diakui Puguh, ada beberapa investor yang serius dan tertarik untuk menanamkan modalnya di sana.

“Ini saya sedang minta tim dari Bidang Promosi Penanaman Modal untuk bisa mengawal langsung dan sedang intens komunikasi. Kami melihat ada beberapa yang tertarik. Selebihnya nanti kami update lagi pada akhir tahun,” tambahnya.

Bicara soal keterlibatan UMKM untuk masuk di dalam KEK juga menjadi perhatian Puguh. Menurutnya, hal tersebut harus ditangani oleh pengelola. Apalagi jika plot yang disediakan untuk UMKM itu harus diisi, maka harus direspons secara serius oleh pengelola.

“Tentu ada arah ke sana ya untuk menarik UMKM. Tapi mungkin secara infrastruktur sudah terpenuhi, sudah jadi BUMD, maka akan lebih mudah juga untuk menarik partner usaha,” papar Puguh.

Sekretaris Daerah (Sekda) Kaltim sekaligus sebagai ex-officio Sekretaris Dewan KEK Maloy, Sri Wahyuni mengatakan, setelah ada penambahan 1 investor yakni PT EAI pada Juli 2023 lalu, perusahaan itu tengah melakukan kajian untuk perizinan.

“Perkembangan terakhir, KEK MBTK juga akan menjadi BUMD, dan di APBD Perubahan 2023 ini, ada dukungan dari Dinas PUPR-PERA Kaltim untuk menambah sarana dan prasarana di sana,” ujar Sri Wahyuni.

Diakuinya, beberapa waktu lalu KEK Maloy sempat disorot oleh Sekretariat Dewan KEK Nasional karena tidak ada perkembangan yang masif, namun Sri Wahyuni menegaskan bahwa pihaknya terus berbenah. Perempuan berhijab itu mengatakan, ada beberapa pertimbangan yang membuat Pemprov Kaltim hendak meningkatkan status PT MBTK menjadi BUMD.

“Sebab asetnya kan ada Pemprov Kaltim dan ada Pemkab Kutim. Kalau jadi BUMD, jadi lebih mudah. Supaya para investor yang sudah masuk tidak akan mengalami kesulitan dalam mengembangkan usaha mereka di KEK Maloy,” sambungnya.

KEK Maloy Sepi Investor, Pengamat Sebut Pasar di Kaltim Belum Kuat

Sementara itu, pengamat ekonomi sekaligus akademisi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) di Universitas Mulawarman (Unmul), Hairil Anwar atau Cody turut menyoroti perkembangan KEK Maloy. Dia mengatakan, pemerintah termasuk yang sulit mempengaruhi industri secara langsung untuk tumbuh.

“Apa yang harus dilakukan? Ya infrastruktur diperbaiki. Supaya orang mau. Pemerintah harus mengupayakan supaya bisnisnya efisien. Kenyataannya enggak ada yang mau karena ada paradigma dan pendapat yang sedikit salah,” jelas Cody belum lama ini.

Menurutnya, sangat salah jika memiliki pola pikir bahwa ketika infrastruktur selesai diperbaiki semuanya akan beres. Dia meyakini bahwa investor akan mempertimbangkan banyak hal ketika hendak berinvestasi di sektor industri.

“Orang kalau mau investasi di suatu tempat, pasti melihat dulu pasarnya ada atau tidak. Investasi di industri pengolahan pabrik itu kan tidak murah. Mereka maunya pasar yang jangka panjang. Di Kaltim, pasarnya belum kuat,” sambung Cody.

Selama ini, Cody melihat bahwa di KEK Maloy memang mayoritas menyelenggarakan kegiatan ekspor. Namun hanya ekspor berupa barang setengah jadi yang dikirim ke pabrik-pabrik besar di Pulau Jawa atau Sumatera. Apalagi KEK Maloy berada di ALKI II yang posisinya sangat strategis.

“Bagi saya, selama industri pengolahan besar itu belum jadi di Kaltim, seharusnya kita mengubah paradigma menjadi perdagangan antar pulau. Harus diakui industrinya eksis di Jawa. Kita yang pasok kan, sampai kita juga punya skala pasar yang cukup,” bebernya.

Cody berpendapat, mestinya pemerintah saat ini bisa lebih menaruh fokus ke perdagangan antar pulau untuk barang-barang setengah jadi. Jika demikian, distribusi dari KEK Maloy ke luar pulau juga sudah terhitung sebagai business to business.

“Tidak usah dulu mikirnya mau ekspor, ubah saja dulu jadi perdagangan antar pulau pada barang-barang setengah jadi,” ungkapnya.

Cody juga melihat, tampak belum memungkinkan untuk melibatkan UMKM, petani sawit mandiri, atau koperasi untuk masuk ke dalam KEK. Perusahaan masih dinilai yang paling ideal untuk terlibat langsung di dalam sana.

“Itu  harusnya nanti. kalau pengusaha boleh masuk ke situ. Kalau petani segala macam, ngapain masuk ke situ? Bahan bakunya saja masih tidak jelas,” ujar Cody.

Dia juga mendorong agar pemerintah tidak berpikir lurus-lurus saja. Jika memang kesulitan untuk mendapat investor, maka bisa memanfaatkan kehadiran perusda. Di satu sisi, petani sawit atau plasma juga didorong untuk bisa menghasilkan CPO.

“Jadi petani itu tidak menjual dalam bentuk TBS lagi, tapi sudah CPO. Teknologinya sudah sangat banyak. Masyarakat bisa sebenarnya. Perusda yang kelola. Jadi masyarakat terselesaikan, KEK terpakai, dan perusda juga jalan,” tegasnya.

Menurut Cody, penyediaan teknologi sederhana untuk mengubah TBS menjadi CPO itu juga bisa ditangani oleh BUMDes. Dia menyebut, anggaran yang digelontorkan ke desa bisa dimanfaatkan. Kemudian, hasil CPO itu yang dibeli oleh perusda.

“Saya lebih senang sifatnya komunal. Perusda bisa keliling truk tangkinya untuk mengambil hasil CPO-nya. Kalau masyarakat punya teknologi kecil mengubah TBS jadi CPO, kan bisa dijual. Bisa disimpan dalam waktu yang cukup lama,” tandasnya. 

*)Tulisan ini merupakan republikasi berita yang naik di portal KaltimToday pada 3 Desember 2023. Liputan ini merupakan program penulisan Jurnalisme Kolaboratif untuk Memonitor Proyek Strategis Nasional kerjasama AJI Indonesia dan Kurawal.

kali dilihat