Hilangnya “Benteng Ombak Laut Cina Selatan” di Jambi

Oleh Sobar Alfahri

INDEPENDEN -- Murni (42) melangkahkan kaki menuju area pesisir yang berada di Desa Sungai Sayang, Kecamatan Sadu, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi, Minggu (18/2/2024) siang. Dengan menenteng jeriken berlubang persegi, perempuan itu melewati kawasan hutan bakau yang sudah rusak.

Ia melewati sisa-sisa pohon tumbang serta tanah yang kering setelah dua hari tidak hujan. Murni pun menyeberangi kanal yang dibuat perusahaan pada tahun 2020 lalu.

Sejumlah burung camar terlihat lalu lalang di area itu. Tetapi, tidak banyak pohon tersedia untuk rombongan unggas ini bertengger.

Kata Murni hutan bakau seluas berkisar 110 hektare itu rusak lantaran ulah sebuah perusahaan yang hendak membuka perkebunan kelapa sawit.

“Perusahaan itulah yang bikin (kerusakan Mangrove),” kata Murni dengan kondisi kaki terbenam lumpur tatkala mencari kerang, Minggu (18/2/2024) siang.

 

Murni (42) sedang mencari kerang di pinggir laut Desa Sungai Sayang, Tanjung Jabung Timur, Jambi. Di belakangnya terlihat mangrove yang sudah pada tumbang. (Inpenden/ M Sobar Alfahri)

 

Pemerintah daerah berhasil melakukan penyegelan kawasan itu, dan mengagalkan rencana perusahaan membuka lahan kelapa sawit di sana. Namun, ekosistem bakau sudah terlanjur rusak.

Rusaknya bakau sangat berpengaruh untuk warga pesisir. Misalnya saja kepiting bakau sudah sulit ditemukan sejak kerusakan lingkungan tersebut. Padahal, sebagian warga Desa Sungai Sayang, termasuk Murni berburu hewan bercapit ini untuk dijual.

Sekarang Murni menjadikan kerang sebagai mata pencarian dengan memanfaatkan kondisi surut di pantai.

Kerang-kerang dikumpulkannya ke dalam jeriken yang dibawanya sedari tadi. Ia biasa mengumpulkan kerang sampai malam hari berbekal alat penerang.

“Kerang kalau musim hujan banyak. Tapi, kalau hujan, tidak mencari. Tidak tentu (pendapatannya), kadang 20 kilogram kerang. Kalau kosong, sekilo saja tak dapat. Per kilogram harganya Rp 15.000,” ujar Murni.

Norma (37), perempuan di Desa Sungai Sayang lainnya, juga merasakan dampak rusaknya bakau. Selain sulit mencari kepiting bakau, tangkapan udangnya juga menurun.

Sejak bakau rusak, Norma hanya bisa mengumpulkan udang seberat lima kilogram per hari.  Padahal ketika mangrove masih asri, tangkapan udang Norma bisa mencapai 20 kilogram perhari. Untuk Norma, aktivitas menangkap udang dan kepiting bakau jadi andalan ketika gelombang laut sedang tinggi.

Dampak lain rusaknya bakau juga dirasakan suami Norma yang berprofesi sebagai nelayan. Sekarang nelayan harus mengayuh perahu lebih jauh dengan risiko yang lebih tinggi untuk mendapatkan ikan. Ongkos operasional tidak sepadan dengan hasil yang didapatkan.

Keluarga Norma mengeluarkan biaya Rp 500.000 setiap kali melaut, sedangkan pendapatannya dari hasil melaut hanya Rp 700.000.

 “Kami nelayan melaut lebih jauh. Modal banyak keluar, dapatnya untung-untungan, tapi risiko juga tinggi,” kata Norma.

 

Permukiman Terancam Abrasi

Selain keberadaan biota laut yang semakin langka dan mengikis ekonomi masyarakat, kerusakan bakau turut mengancam permukiman Desa Sungai Sayang. Kini kawasan itu nyaris “telanjang” tanpa barisan pohon mangrove yang menjadi benteng terjangan ombak Laut Cina Selatan.

Permukiman yang berada di bagian timur Sumatera itu jaraknya tidak sampai satu kilometer dari bibir pantai, akibat abrasi.

Banjir pun makin sering melanda permukiman Desa Sungai Sayang.  Hal itu dialami Nurani (44) saat ditemui Independen.id berada di rumah yang terbuat dari susunan kayu.

“Sekitar seminggu lalu, terjadi banjir. Kalau rumahnya rendah, air masuk. Pas air pasang, banjir. Kalau banjir, anak-anak tidak bisa sekolah,” keluh Nurani.

Dia menambahkan sebelumnya, banjir terjadi hanya bulan Desember. Namun setelah Hutan Mangrove rusak, setiap air pasang rumahnya kebanjiran.

Ambo Akeng (48) masih ingat banjir besar pada Desember 2022 lalu. Warga Desa Sungai Sayang itu bercerita banjir menyebabkan satu-satunya akses jalan untuk keluar permukiman tenggelam. Beberapa kendaraan yang melintas mengalami gangguan mesin hingga mogok.

Ketinggian genangan air nyaris sepinggang orang dewasa.

“Rumah-rumah yang berdiri dengan konstruksi panggung aman dari genangan air. Namun, rumah tanpa panggung, bangunan sekolah, tempat ibadah, dan pemakaman terendam banjir,” kata Ambo Akeng.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), telah terjadi kenaikan permukaan laut global rata-rata 3 mm per tahun karena kenaikan suhu. Sedangkan hasil riset Climate Central menyatakan permukaan laut diprediksi meningkat sekitar 20 sampai 30 cm pada tahun 2050.

Fenomena kenaikan permukaan laut tentu membahayakan bagi masyarakat, terutama yang tinggal di daerah pesisir.  

Ambo Akeng juga mengeluhkan banjir turut mengancam perkebunan kelapa, kelapa sawit, dan pinang, yang menjadi komoditas dan mata pencaharian selain sektor perikanan di Desa Sungai Sayang.

“Kami khawatir air laut kembali merendam kebun kelapa. Kebun kelapa menjadi harapan ketika nelayan sudah susah cari ikan,” kata lelaki itu.

 

Warga mencari kepiting bakau di tengah mangrove yang rusak di Desa Sungai Sayang, Tanjung Jabung Timur, Jambi. (M Sobar Alfahri)

 

Menurut jurnal berjudul “Studi Kerapatan Mangrove dan Perubahan Garis Pantai Tahun 1989-2018 di Pesisir Provinsi Jambi”, yang ditulis para akademisi dari Universitas Jambi, pada tahun 1989, kondisi hutan bakau di Jambi sangat rapat.

Jurnal itu mendata bahwa luas hutan Mangrove mencapai 7.151,31 hektare dengan kerapatan sedang 308,95 hektare, dan rendah 300,13 hektare.

Namun, karena deforestasi dan pembukaan perkebunan kelapa sawit yang terjadi sejak tahun 2000, ekosistem Mangrove menyusut signifikan. Hampir dua dekade kemudian, tutupan Mangrove tersisa 2.076,44 hektare.

Daerah yang kehilangan ekosistem Mangrove tertinggi adalah Kecamatan Sadu dan Sabak Timur, Kabupaten Tanjung Jabung Timur.

Arie Suryanto, aktivis lingkungan di Tanjung Jabung Timur, mengatakan hingga saat ini belum ada upaya restorasi ekosistem Mangrove di Sungai Sayang. Menurut Arie, pemerintah terkesan mengabaikan fenomena abrasi yang terjadi di area pesisir Tanjung Jabung Timur. Ia khawatir permukiman di desa ini tenggelam beberapa tahun yang akan datang.

“Jangan seolah-olah membiarkan ini terus abrasi. Lama-lama permukiman Sungai Sayang ini hilang dan tenggelam karena tidak ada penyangga. Sepanjang perkembangan wilayah, tingkat abrasi tidak terbendung. Hutan-hutan penyangga yang menjadi benteng dari abrasi kurang mendapatkan dari pemerintah. Lalu siapa yang kita salahkan?” katanya, Senin (26/2/2024).

 

Bisakah Penegakan Hukum Dilakukan?

Pada bulan September 2020 lalu, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Tanjung Jabung Timur telah menyegel serta melarang pembukaan perkebunan kelapa sawit di area tersebut.

Ada empat aturan yang digunakan DLH untuk menghentikan aktivitas liar tersebut, yakni Undang-undang Nomor 32 Tahun 2008 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; PP Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; Perpres Nomor 51 Tahun 2016 Tentang Batas Sempadan Pantai; juga Perda Kabupaten Tanjung Jabung Timur Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Tanjung Jabung Timur Nomor 11 Tahun 2012.

Namun, Kepala DLH Tanjung Jabung Timur Adel Aritonang mengatakan pihaknya ternyata tidak bisa menerapkan sanksi administratif serta melapor ke polisi lantaran Mangrove yang dibabat ini belum menjadi kawasan fungsi lindung.

Ia juga mengatakan pihak yang membuka lahan itu disebut per-orangan berinisial S, bukan atas nama perusahaan.

“Tanah itu tidak jadi dibeli (dengan masyarakat). Kemudian dikembalikan ke pemilik lahan. Kami juga tidak mengizinkan ada kegiatan di sana. Karena bukan fungsi lindung, tidak bisa (menerapkan sanksi dan melapor ke polisi). Dahulu kawasan fungsi lindung jauh ke laut, tetapi hilang karena abrasi,” kata Adel Aritonang, Selasa (27/2/2024) sore pada Independen.id.

Ia menyampaikan kawasan Mangrove dengan fungsi lindung di Desa Sungai Sayang, sebenarnya lebih dekat dengan laut. Karena kerap terjadi abrasi, Mangrove di kawasan ini hilang sehingga menjadi pantai terbuka sekaligus lokasi masyarakat berburu kerang.

Pemerintah daerah sudah mengadakan penanaman 3.000 pohon di kawasan Mangrove pada 2023 lalu. Namun, kegiatan ini tidak termasuk di Desa Sungai Sayang.

 “Di Sungai Sayang, belum. Pasang tinggi. Jadi belum bisa melakukan apa pun di sana,” ujar Adel Aritonang.

Ia juga mengatakan pihaknya sedang menyusun rencana tata ruang wilayah (RTRW), lalu kawasan Mangrove Sungai Sayang (yang terlanjur dibabat) akan dijadikan kawasan dengan fungsi lindung.

“Sedang berproses. Jadi perlu revisi, dan kawasan itu akan dimasukkan menjadi fungsi lindung. Cagar alam belum, fungsi lindung. Jadi kebijakan pertama kami memperbaiki tata ruang dahulu,” katanya.

Arie sebenarnya sudah melaporkan perusakan lingkungan ini kepada Polres Tanjung Jabung Timur. Menurutnya, pihak dari PT EWF melakukan tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang RI Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Namun, laporannya tidak dilanjutkan pihak kepolisian dengan alasan tidak menemukan pelanggaran. Ini tertuang dalam surat yang diterbitkan pada tanggal 7 Maret 2023.

“Ketika di polres, dilakukan penyelidikan, pembukaan lahan itu tidak ditemukan pelanggaran,” ujarnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi, Abdullah mengatakan pihak pengusaha bisa saja secara sengaja menggunakan surat kepemilikan atas nama masyarakat sehingga tidak perlu mengurus izin perkebunan, lalu bisa menanam di kawasan Mangrove atau area pesisir.

“Kalau mereka mengurus izin untuk perkebunan akan ditolak pemerintah karena ini kawasan penting, tidak boleh diubah,” ujarnya beberapa waktu lalu.

Ramos Hutabarat, Ketua Tim Advokasi Walhi Jambi, menyampaikan pemilik lahan yang merusak ekosistem Mangrove harus bertanggung jawab. Jika Polres tidak sanggup, bisa ditangani Polda Jambi.

Hal ini sesuai Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, perusakan lingkungan yang dilakukan tanpa izin lingkungan bisa dijerat pasal 98 dan pasal 109 jo pasal 116 ayat 2 dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 10 sepuluh tahun. Denda paling sedikit Rp 3 miliar dan paling banyak Rp10 miliar.

“Pembukaan lahan yang dilakukan tanpa izin itu jelas-jelas tindak pidana. Polres harusnya tetap lanjut tanpa harus menunggu keputusan pemda,” katanya.

 

Masihkah Ada Harapan Mangrove Sungai Sayang?

Kerusakan Mangrove Desa Sungai Sayang tidak bisa dibiarkan begitu saja karena mengancam permukiman di dekatnya.

Menurut Koordinator Divisi Komunikasi Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi Jambi, Sukma Reni, ekosistem Mangrove di sana harus dipulihkan.

“Beberapa hari lalu Menteri Keuangan Sri Mulyani memberi pernyataan bahwa Indonesia berpotensi mengalami kerugian lebih dari Rp 500 triliun pada tahun 2020-2024 akibat perubahan iklim. Maka dari itu, kini yang harus dilakukan adalah memulihkan kerusakan ekosistem yang telah terjadi. Jika di daerah itu ada indikasi pelanggaran hukum atas tata kelola yang dilakukan para pihak, maka penegakan hukum harus dilakukan,” tutur Sukma Reni.

Ia mengatakan masyarakat harus disadarkan tentang bahaya perubahan iklim sehingga bisa bersama-sama memulihkan dan menjaga ekosistem Mangrove.

“Isu-isu perubahan iklim saat ini tidak sampai ke masyarakat. Ketika bencana terjadi berulang dimaknai sebagai musibah,” kata Sukma Reni.

Penelitian yang dilakukan BRIN mengungkapkan bahwa barisan Mangrove mampu mencegah abrasi dari gelombang laut termasuk tsunami.  Tidak hanya itu, barisan pohon ini juga dapat menyerap karbon sebanyak lima sampai tujuh kali lebih besar dibandingkan dengan pepohonan yang berada di hutan darat atau terrestrial.

Karbon yang disimpan hutan ini bisa mencapai sekitar 1.023-1.083 metrik ton per satu hektare. Dengan kata lain, Mangrove dapat menyerap ekuivalen karbon dioksida (CO2e) sampai 3.754-3.975 metrik ton setiap hektarnya.

Stakeholder Engagement Specialist KKI Warsi Agus Sumarli mengatakan pemulihan dan pelestarian Mangrove perlu melibatkan masyarakat.  Misalnya pemulihan Hutan Mangrove Pangkal Babu di Kuala Tungkal, Tanjung Jabung Barat yang menjadi cerita sukses.

Berangkat belajar dari pengalaman buruk, masyarakat sekitar Hutan Mangrove Pangkal Babu kini memiliki kesadaran kuat untuk menjaga hutan bakau. Berbeda dengan 20 tahun silam, pohon Mangrove kini tumbuh di mana-mana bersama dengan siput, ikan-ikan, dan udang melimpah di wilayah tersebut.

Kegiatan restorasi ekosistem itu dipelopori Ahmadi (74) dan Pemuda Pesisir (Pasir), komunitas yang terbentuk di Dusun Bahagia, sekitar Hutan Mangrove Pangkal Babu. Mereka melakukan pembibitan hingga penanaman.

“Itu secara swadaya. Jadi, para pemuda yang mempunyai jiwa konservasi, menyelamatkan Mangrove mereka yang sebelumnya sudah habis. Kemudian kita damping itu,” kata Agus.

Sesuai hasil musyawarah pemerintah desa dan masyarakat, hutan ini dilindungi peraturan desa (Perdes) dan dikelola sebagai eco-wisata sehingga turut mendatangkan manfaat secara ekonomi bagi masyarakat lokal.

Dibentuk pula Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) di sana.

“Wilayah Mangrove yang sudah menjadi APL itu dibuatkan peraturan desa (Perdes). Dengan adanya perdes, itu bisa mencakup kegiatan pelestarian dan pariwisata di sana. Sampai sekarang terus berkembang,” katanya.

Agus mengatakan apa yang dilakukan untuk Hutan Mangrove Pangkal Babu dapat diterapkan di Desa Sungai Sayang.

“Kalau masih ada masyarakat yang peduli, bisa melakukan pembibitan lokal. Kalau pemdes peduli juga, bisa dialokasikan dananya. Atau bisa membuat Bumdes,” ujarnya.

Masalahnya apa masih ada yang mau berinisiatif?

 

kali dilihat