Insentif Tak Rutin, Nakes Bertaruh Nyawa Atasi Ombak

Penulis: Sakinah Fitrianti

Independen -- Para Tenaga Kesehatan (nakes) di Kecamatan Liukang Tangaya, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan harus berjuang penuh dengan tantangan. Kecamatan ini berupa kepulauan yang terletak terluar dari Kabupaten Pangkep. Para nakes harus bertaruh nyawa dengan  melintasi ganasnya ombak lautan ketika merujuk pasien dari pulau asal tugasnya.

Saat membawa pasien di atas perahu nelayan, para nakes itu harus tetap merawat pasien yang dirujuknya dengan peralatan yang serba terbatas. Pasien ada yang harus dirujuk ke Ibu Kota Kabupaten Pangkep, Kota Makassar ataupun ke Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan jarak tempuh berkisar 12-36 jam melalui jalur laut.

Secara geografis, wilayah Puskesmas Kecamatan Liukang Tangaya yang termasuk dalam wilayah terluar Kabupaten Pangkep ini berbatasan dengan NTB. Sehingga tak jarang pasien dirujuk ke Lombok atau juga ke Pulau Sumbawa. Paling banyak adalah pasien Ibu yang hendak melahirkan, ini sering sekali terjadi di pulau, bahkan juga kerap menelan korban jiwa akibat akses dan sarana yang tidak memadai dalam kondisi darurat.

Wirdah salah satunya, nakes dari Kecamatan Liukang Tangaya  sering merujuk pasien dengan kapal yang terbatas dan sangat kecil. Sehingga ia pun bersama pasien di atas kapal itu basah dengan air laut akibat gelombang tinggi yang menerjang dan kondisi kapal yang tidak begitu memadai. Namun tak ada pilihan lain, sebab ada nyawa yang harus diselamatkan.

“Mengkhawatirkan sebenarnya karena kapal kayu yang kecil dan kondisi perairan jadi sering kita itu basah kuyup dengan air laut baru sampai di kota, begitu kondisi yang dialami. Apalagi kalau merujuk ke Makassar, Lombok dan Sumbawa, saya sering merujuk ke daerah ini dengan kapal kayu yang kita tumpangi bersama pasien,”ucapnya.

Bagi Wirdah yang berprofesi sebagai bidan THL (Tenaga Honorer Lepas) nyawanya dipertaruhkan ketika kondisi darurat dan gelombang tinggi, terkadang juga tidak ada kapal yang berani untuk melaut. Sementara insentif yang diterimanya tak rutin tiap bulan,kadang dibayarkan dalam tiga bulan padahal ia tiap hari bekerja dan bertaruh nyawa sebagai seorang nakes honorer di pulau.

Dengan gaji yang biasa dibayarkan dalam tiga bulan, atau bahkan lewat daripada itu, yang saya terima per tiga bulan, itu Rp600 ribu dan diterimanya tidak rutin tiap bulan, “katanya.

Kepala Puskesmas Kecamatan Liukang Tangaya di Pulau Sapuka, Surianti Sattuang mengaku sudah puluhan tahun bertugas sebagai nakes di Pulau Sapuka, pulau yang ditempuh dengan perjalanan laut hingga 24 jam dari Ibu Kota Kabupaten Pangkep dengan menumpang kapal barang atau kapal perintis. Saat Independen.id berkunjung ke pulau tersebut dengan menumpang kapal khusus harus ditempuh dengan perjalanan 24 jam berangkat dari Pelabuhan Maccini Baji di Kecamatan Labakkang dan tiba di Pulau Sapuka, Kecamatan Liukang Tangaya, Pulau Sapuka sendiri merupakan Ibu Kota Kecamatan Liukang Tangaya.

“Kondisinya di PKM Sapuka itu terdapat empat orang perawat dan sembilan orang yang berprofesi sebagai bidan, ada juga satu orang non nakes yang semuanya ini berstatus sebagai THL (Tenaga Harian Lepas) daerah,”ucapnya.

Ia pun menceritakan kisah perjuangannya saat bertugas di salah satu pulau di Kecamatan Liukang Tangaya, tepatnya di Pulau Matalaang, ketika Surianti merujuk pasien ke RS yang ada di Bima, NTB karena lagi-lagi alasan jarak tempuh yang lebih dekat ke NTB di tengah cuaca yang tidak mendukung. Sementara kapal yang ditumpanginya juga tidak cukup besar, hanya muat 5-10 orang saja. Namun, sekuat hati dan keberanian, Surianti tetap mendampingi pasien pulau untuk dirujuk ke RS.

Begitu yang dilakukan Surianti, setiap ada pasien rujukan, ia harus mendampinginya, bersama dengan peralatan kesehatan yang dibawanya, setiap pasien yang dirujuk pun harus diinfus di atas perahu, walaupun dalam kondisi yang terbatas dan gelombang tinggi. "Perahu yang ditumpangi juga terbatas muatannya, biasanya perahu kecil, hanya muat lima orang. Jadi kita jaga betul ini pasien, pasti basah juga kita kalau ombak sudah tinggi, pasien tetap infus,"katanya.

Tidak hanya itu, pengalaman yang memprihatinkan juga saat ada ibu yang terpaksa melahirkan di atas perahu, saat hendak dirujuk ke RS, Surianti berperan juga sebagai bidan untuk membantu proses persalinan ibu di atas perahu yang kecil itu. Hal yang seperti itu sudah sering dilakukan, bagi para medis di kepulauan, membantu proses melahirkan ibu di atas perahu kerap terjadi saat hendak dirujuk ke RS. Surianti memang seorang perawat, tetapi ia juga melakukan tugas-tugas bidan dan dokter. Sebab hanya ada satu orang di tiap desa. Sementara ada ratusan bahkan ribuan warga yang harus diperhatikan kondisinya setiap saat.

Tidak sekadar merujuk, tetapi para medis pulau juga tetap mendampingi pasien yang dirujuknya. Padahal di pulau menanti masyarakat lain untuk diobati, sebab satu pustu hanya ada satu tenaga medis saja. Sementara satu desa ada empat pulau yang harus dilayani, dengan tenaga medis yang tersedia hanya satu orang.

Belum lagi, saat ada warga yang sakit di pulau lain dan kondisinya kritis. Surianti harus langsung bergerak mencari kapal nelayan untul berangkat ke pulau yang ada warga sakit. Itu hanya mengandalkan perahu nelayan yang melintas saja, sebab ia tidak memiliki perahu sendiri.

"Kalau ada warga sakit di pulau lain, kita harus cari tumpangan ke nelayan-nelayan yang melintas. Sebab jika tidak begitu, maka saya tidak bisa datang melihat keadaan pasien yang sakit, tidak ada transportasi," katanya.

Sementara untuk menumpang di perahu nelayan, Surianti harus mengeluarkan biaya sendiri, tidak masuk dalam tanggungan pemerintah, saat ia datang ke rumah warganya yang sakit. Kadang juga ada nelayan yang secara sukarela mengantar Surianti untuk menolong warganya yang sakit itu.

Ia berharap, agar pemerintah memperhatikan juga kesejahteraan tenaga medis non PNS, di wilayahnya disebut masih banyak tenaga medis yang secara sukarela tidak digaji oleh pemerintah, rela menolong dan membantu masyarakat yang sakit, untuk biayanya, para medis yang PNS memilih patungan untul memberikan insentif bagi para medis yang berstatus non PNS dan tidak memiliki SK pemda ini.

Selain itu, Kepala Puskesmas Liukang Tangaya ini juga berharap agar, para nakes memperoleh insentif layaknya guru yang bertugas di wilayah terpencil. "Kalau gaji alhamdulillah ada, kita berharapnya juga ada insentif tambahan, melihat wilayah tugas kita yang sulit dan tenaga medis juga sangat kurang yang mau ditempatkan disini, kita berharap ada insentif yang berbeda antara tenaga medis yang tugas di pulau dan tugas di daratan," ucapnya.

Tidak hanya itu, ia juga berharap agar pemerintah memperhatikan ketersediaan alat kesehatan dan sarana pendukung di Puskesmas Liukang Tangaya. Menurutnya terbatasnya aliran listrik di pulau, menyulitkan untuk dilakukan pelayanan saat malam hari dan menggunakan alat kesehatan dengan maksimal.

"Listrik terbatas, kita terbantu dengan tenaga surya, namun itu juga dayanya tidak mencukupi untuk kita operasikan beberapa alkes yang membutuhkan tenaga listrik. Padahal alkes ini harus kita pergunakan sesuai dengan kebutuhan pasien. Namun nyatanya sulit kita pakai karena tidak ada listrik yang memadai," ucapnya.

Selain itu, ambulans laut yang disediakan untuk merujuk pasien dan untuk pelayanan bagi para medis yang bertugas lintas pulau masih terbatas, khususnya untuk biaya operasionalnya. Sementara di Kecamatan Liukang Tangaya terdapat 25 pulau yang letaknya saling berjauhan, ada yang dekat ke Bima, Lombok dan Sumbawa.  M

Menurutnya, kapal sangat dibutuhkan para medis agar dapat memaksimalkan tugasnya mengelilingi pulau, sehingga tidak menumpang lagi di kapal milik nelayan. Apalagi saat cuaca tidak bersahabat dan kapal nelayan tidak melaut, itu juga menjadi resiko yang dihadapi para medis agar tetap dapat melayani warga yang sakit.

"Sekarang sudah ada ambulans laut, namun biaya operasionalnya yang masih terbatas. Sebab keuangan kami tidak mencukupi untuk biaya operasional ambulans laut itu. Tetapi jika melihat kebutuhan, memang kita sangat butuh. Melihat seringnya kita merujuk pasien dengan kapal kecil saja itu juga penuh resiko. Tetapi tidak ada lagi pilihan yang lain," ucapnya.

Lanjut disampaikan terkait dengan konsisi nakes lain di tempatnya itu THL, di PKM tempatnya terdapat 20 orang yang berstatus sebagai sukarela yang bekerja tanpa insentif yang diberikan. Namun tetap ikut membantu nakes THL bertugas pelayanan termasuk ketika ada pasien yang hendak dirujuk ke luar pulau.

“Ini yang jadi masalah memang karena ada juga yang membantu kita sukarela tetapi tidak ada insentif honornya dari daerah, padahal mereka ikut bekerja dan membantu pelayanan tetapi tidak memperoleh gaji ataupun insentif dari daerah,” katanya.

Ia pun berharap agar para THL dan sukarela yang ada di PKMnya ini diperhatikan kesejahteraannya, sebab mereka bekerja bertaruh nyawa di laut lepas, namun tidak diimbangi dengan gaji ataupun insentif dari pemerintah.

“Harapan kita agar ketika ada pengangkatan PPPK mereka inilah yang diprioritaskan untuk jadi ASN dan PPPK karena tenaganya sangat dibutuhkan pada pelayanan kesehatan yang ada di pulau, apalagi Pulau Sapuka ini merupakan Ibu Kota Kecamatan jadi memang banyak aktivitas dan pelayanan rawat jalan, rawat inap hingga pasien rujukan dilakukan dari pulau ini,”paparnya.

Selain itu, ia juga sangat berharap pemerintah Kabupaten Pangkep memperjuangkan insentif untuk para nakes yang bertugas di wilayah pulau terluar agar ada kebijakan atau regulasi khusus yang mengatur terkait dengan insentifnya sehingga berbeda dengan nakes yang ada di daratan.

“Harusnya ini betul-betul bisa diperjuangkan adanya insentif tambahan dari daerah untuk kategori daerah terpencil dan terluar karena kondisi geografis kita yang tidak sama dan itu jadi tantangan besar bagi kami ketika pelayanan, agar pemerintah bisa mengalokasikan untuk tahun depan insentif khusus bagi nakes di pulau terluar,” tuturnya.

Sementara itu, bagi tenaga sukarela yang diperbantukan selama ini, ia juga menaruh harapan besar agar dapat diprioirtaskan atau diangkat menjadi tenaga ASN dan PPPK di PKM asalnya Kembali.

“Kementerian Kesehatan pun kita harapkan dapat melihat kondisi yang kami alami disini dan memberi perhatian lebih, karena masyarakat disini juga butuh pelayanan Kesehatan yang ahrus ditopang dengan SDM yang memadai,”ungkapnya.

Sementara itu, Data Dinas Kesehatan Pangkep, tercatat ada 78 Nakes di wilayah kepulauan Pangkep yang mendapat insentif dari APBD, itu tersebar di tujuh puskesmas pulau, diantaranya Pusat Kesehatan Masyarakat (PKM) Pulau Sabutung 8 orang, PKM Pulau Sarappo 11 orang, PKM Liukang Tangaya 14 orang, PKM Liukang Kalmas 13 orang, PKM Pulau Pamantauang 14 orang dan PKM Pulau Sailus 5 orang dan PKM Kecamatan Liukang Tupabiring 13 orang.

“Untuk insentifnya itu terbagi dua ada yang diambil dari APBD dan ada yang masuk kategori Non ABPD” ucap Sekretaris Dinas Kesehatan Kabupaten Pangkep, Mansyur.

Meski demikian, ia pun mengakui bahwa hingga saat ini, belum ada insentif dari pemerintah terkait dengan kebijakan letak geografis di wilayah kepulauan, khususnya yang berada di wilayah pulau terluar Kabupaten Pangkep.

“Iya memang untuk insentif terkait dengan lokasinya belum ada, ini sementara kami siapkan untuk diusulkan agar ada perbedaan insentif antara yang bertugas di daratan dan wilayah pulau, apalagi pulau terluar yang aksesnya memang sulit,”bebernya.

Meski demikian, ia tak merinci berapa besaran insentif yang diperoleh dari para nakes yang berstatus Tenaga Harian Lepas (THL) APBD dan Non APBD ini.

“Kalau terkait dengan nilainya itu bervariasi, tergantung dari pendapatan masing-masing PKMnya, jadi beda-beda, selain itu juga tergantung dengan jenis profesinya,”katanya.

Terpisah, Anggota DPRD Pangkep dari Derah Pemilihan Kecamatan Liukang Tangaya dan Kecamatan Liukang Kalmas, M Ramli menyebut bahwa persoalan kesejahteraan nakes di pulau harus jadi atensi pemerintah, sebab nakes di pulau adalah motor penggerak dalam membantu masyarakat, sehingga tenaganya sangat dibutuhkan untuk membantu dan menyelamatkan pasien yang ada di pulau.

Bagi Ramli, nakes yang ada di pulau beban kerjanya lebih, sebab harus berhadapan dengan sulitnya medan dan terbatasnya sarana dan prasarana di pulau, seperti transportasi yang terbatas untuk merujuk dan menjemput pasien, hingga harus bertaruh nyawa saat musim kemarau dengan kondisi angin kencang dan gelombang tinggi.

“Persoalan krusial yang dihadapi nakes di pulau adalah pertama perihal kesejahteraan khsusnya yang asli pulau masih banyak diantara mereka statusnya honorer dan THL, harapannya agar pemerintah lebih memperhatikan dengan memberikan skala prioritas bagi mereka yang bertugas di kepulauan dan mereka yang asli pulau dalam proses penerimaan nakes kategori PPPK,” katanya.

Ramli juga meminta pemerintah untuk tetap menyediakan kategori afirmasi bagi nakes di pulau untuk mendaftar di PPPK agar ada kebijakan yang memperhitungkan akses dan letak geografis mereka. “Bila perlu kategori afirmasi kembali diberlakukan untuk mereka yang mengabdi di daerah terpencil, ini penting karena aksesnya sangat terbatas,”ucapnya.

Selain nakes yang belum masuk kategori ASN untuk PPPK, Ramli juga menaruh perhatian kondisi nakes bagi yang bukan domisili asli pulau, agar ikut diperhatikan tempat tinggalnya di pulau.

“Sementara itu, bagi mereka yang sudah lulus PPPK atau CPNS dan bertugasnya di daerah kepulauan agar pemerintah menyediakan akses tempat tinggal mungkin rumah dinas, tetapi jika daerah belum mampu menyediakan minimal ada tunjangan untuk itu karena salah satu keluhan yang pernah di sampaikan ke kami adalah perihal ini,” ucapnya.

Sebab, Ramli masih menemukan di pulaunya itu, ada nakes yang terpaksa harus menumpang di rumah warga atau menyewa rumah sekitar PKMnya lantaran tidak adanya sarana rumah dinas bagi nakes di pulau.

 “Karena masih ada nakes yang harus menumpang tinggal di rumah warga atau menyewa rumah untuk tempat tinggal mereka di lokasi penugasan , makanya perlu untuk disiapkan juga rumah dinas atau insentif tambahan di luar gajinya,”katanya.

kali dilihat