Ironi Pembangunan Coastal Road: Proyeknya Mangkrak, Mangrove Hancur, Masyarakat Pesisir Merana

Oleh: M Razil Fauzan 

INDEPENDEN- Pembangunan jalan pesisir atau coastal road yang mangkrak selama belasan tahun telah menjadi ironi besar bagi ribuan warga pesisir. Proyek ambisius ini, yang awalnya digadang-gadang sebagai simbol kemajuan, kini hanya menyisakan luka bagi ekosistem mangrove. Hutan bakau yang dulunya membentang seluas jalanan sepanjang 12 kilometer dan menjadi benteng alami dari abrasi serta habitat bagi berbagai spesies kini tergerus pembangunan.

Bayangan, proyek coastal road yang mangkrak lebih dari satu dekade ini, menambah kepedihan pada luka-luka alam yang masih menganga. Hutan mangrove yang dulunya megah, kini hanya menyisakan bekas yang nampaknya bukan lagi berupa tunggul-tunggul kering, bahkan perubahan ekosistem mangrove yang asri kini menjadi ekosistem pantai yang tandus di himpit jalan besar.

Saat berjalan di sepanjang jalan yang belum difungsikan itu, terasa kehampaan yang menyelimuti. Pohon-pohon mangrove yang tersisa berdiri seperti saksi bisu dari perjuangan panjang antara alam dan ambisi manusia. Lumpur yang dulunya penuh dengan kepiting dan ikan kini berubah menjadi lahan tandus, memicu kesulitan ekonomi bagi masyarakat yang bergantung padanya.

Hilangnya mangrove tidak hanya merugikan keanekaragaman hayati, tetapi juga mengancam mata pencaharian penduduk setempat. Tragedi penghilangan mangrove ini membuka mata akan dampak negatif pembangunan yang serampangan. Coastal road yang seharusnya menjadi pintu gerbang kemajuan, kini menjadi simbol ketidakadilan dan kelalaian.

Seorang masyarakat pesisir yang akrab disapa Toni, menceritakan kenangan masa lalu tentang hutan mangrove yang pernah menghampar luas di hadapannya menghantui pikirannya. Di tempat yang sekarang menjadi coastal road, hutan bakau itu pernah berdiri kokoh, menjadi benteng alami yang melindungi pesisir dari abrasi dan menyediakan kehidupan bagi kepiting bakau, udang, bekantan hingga bangau putih dan banyak spesies lainnya.

Angin laut meniup rambutnya, membawa serta aroma asin dari laut dan suara riak ombak yang menenangkan. Sejak kecil, dia hidup di pesisir Kelurahan Nipah-nipah, tempat di mana jalan coastal road ini bermula dan telah menghabiskan hidupnya di laut ini, mengenal setiap sudut pesisir seperti punggung tangannya sendiri.

"Iya dulu di situ memang mangrove semua. Sekarang kan kita abrasi statusnya. Dulu loh yang di depan rumah Subair (kerabat Toni, red) di situ dulu ada kolamnya, sekarang tertimbun karena abrasi itu, tertutup pasir. Enggak ada bakau yang bisa halangi, itupun sekarang yah habis sudah mangrove itu," ungkap Toni dengan nada penuh penyesalan.

Toni menceritakan bagaimana hutan mangrove yang dulu begitu padat dan tinggi, bahkan lebih tinggi dari pepohonan kelapa, kini telah hilang. Keanekaragaman hayati yang pernah hidup di dalamnya, seperti kepiting besar dan ikan-ikan belanak, sekarang hanya tinggal kenangan.

"Dulu di situ memang padat mangrove itu, bahkan bakau itu besar-besar daripada pohon kelapa tingginya. Dulu orang cari kepiting di situ semua karena dulu masih besar-besar kepiting, sekarang orang nyari di Sesumpu," tambahnya.

Kini, kehidupan pesisir di PPU telah berubah drastis. Abrasi yang terjadi karena hilangnya mangrove mengubah lahan lumpur yang subur menjadi pasir yang tidak lagi mampu menopang kehidupan laut yang pernah ada.

"Sekarang sudah habis karena abrasi, yang dulu lahan mangrove itu lumpur sekarang jadi pasir tertimbun lumpur itu. Saya aja sering nyari ikan, kepiting dan udang di situ, sekarang apa yang mau dicari karena bukan lumpur lagi tapi pasir," keluh Toni.

Toni ingat bagaimana ekosistem mangrove di pesisir Nipah-nipah memberikan kehidupan yang melimpah. Lewat jaring yang ia lemparkan ke air, ia selalu mendapatkan tangkapan yang melimpah, cukup untuk menghidupi keluarganya dan menjual sebagian di pasar. Empang-empang (Kolam/tebat)yang dulu berada di kanan kiri jalan, yang dulunya kaya dengan kepiting, tudai, dan ikan belanak, sekarang juga telah hilang.

"Dulu ada beberapa empang di kanan dan kiri jalan itu, karena dulu masih ada mangrovenya seperti di Tanjung Jumlai jadi bagus. Tetapi sekarang mana ada, gimana mau ada lumpurnya sudah habis jadi pasir," kata Toni dengan nada sedih.

Hilangnya mangrove tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga mengubah kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat pesisir. Toni merasakan perubahan yang begitu nyata. 

"Jauh, terasa banget perbedaannya. Sekarang karena abrasi karena itu tadi sudah enggak ada mangrovenya. Itu tadi karena perkembangan kota dalam tahap pembangunan, jadi masyarakat itu semua mulai berkurang mencari di pesisir," ujarnya.

Dahulu, setiap pagi Toni berangkat sebelum fajar menyingsing, melintasi kanal-kanal alami yang terbentuk di antara rimbunnya mangrove. Di sana, ia sering melihat burung-burung bangau putih dan elang laut mencari makan. Kehidupan mangrove yang begitu kaya membuat pesisir Nipah-nipah bagaikan surga kecil bagi berbagai spesies. 

"Yah mungkin beberapa ada kepiting, cuma yah kecil-kecil sekarang seukuran kotak rokok saja. Kalau dulu, itu besar-besar karena masih alami. Kayu angin saja di pantai itu tumbang semua sudah. Memang terkikis," tambah Toni.

Namun, Toni juga menyaksikan bagaimana surga kecil ini mulai terkikis oleh pembangunan coastal road. Toni menyadari bahwa untuk mengembalikan kondisi seperti semula sangatlah berat. 

Namun, dia percaya ada beberapa langkah yang bisa diambil untuk menstabilkan keadaan. Alih-alih pemerintah bertanggung jawab atas tragedi ini, masyarakat justru harus menanggung beban untuk memperbaiki ulah pembangunan yang dianggap serampangan ini.

"Itu untuk kembali seperti semula kayaknya berat sudah itu karena di sini juga banyak alat tangkap belat. Kalau setidaknya mau stabil yah di tambah siring (untuk menahan ombak,red) atau kalau mau dibuat pemecah ombak seperti di Balikpapan, itu satu-satunya jalan akhir," katanya.

Kehilangan mangrove ini tidak hanya merusak ekosistem, tetapi juga mempengaruhi kehidupan sehari-hari para nelayan seperti Toni. Kehilangan mangrove telah memaksa para nelayan untuk mengeluarkan biaya lebih besar dan mendapatkan hasil yang lebih sedikit. Dampak ekonomi ini sangat dirasakan oleh komunitas nelayan yang selama ini bergantung pada kekayaan alam pesisir.

Kondisi geografis pesisir PPU yang menerima angin dari semua musim juga menjadi tantangan tersendiri. 

"Nah, kalau seperti daerah Klandasan (Balikpapan) mereka hanya mendapat musim angin selatan, kalau angin timur dan utara enggak dapat dia. Kalau kita di pesisir PPU ini dapat semua musim angin yang ombaknya gede," jelas Toni.

Selain itu, Toni juga mengungkapkan kekhawatirannya tentang dampak pembangunan terhadap keanekaragaman hayati, terutama populasi bekantan. 

"Dulu bekantan dulu banyak di situ. Dulu di bakau itu bekantan, sekarang berpindah ke perkebunan warga, tanya saja warga, habis kelapanya di makan bekantan. Seperti bekantan itu dia sembunyi ke perkebunan warga, kalau itu hilang bisa masuk ke rumah-rumah warga mencari makan," katanya.

Toni menutup ceritanya dengan sebuah refleksi yang mendalam tentang hubungan manusia dengan alam. Kata-kata ini menggambarkan kesadaran bahwa kelangsungan hidup masyarakat pesisir sangat bergantung pada keberlanjutan ekosistem mangrove.

"Kita ini (masyarakat pesisir) kan hidup harus berdampingan dengan alam, kalau alamnya hilang mau bergantung ke siapa," kata Toni. 

Dengan keberanian dan keteguhan hati, Toni dan masyarakat pesisir PPU terus berjuang untuk melindungi ekosistem yang begitu penting bagi kehidupan mereka. Kisah mereka adalah pengingat bagi kita semua tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara pembangunan dan pelestarian lingkungan.

Antara Lingkungan dan Tantangan Pembangunan Coastal Road

Kabid Bina Marga Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) PPU, Petriandy Ponganton Pasulu, mengkonfirmasi bahwa dulunya wilayah tersebut memang merupakan hutan mangrove.  "Di jalan coastal road iya, hutan mangrove dulunya. Saya enggak tahu (ada atau tidak naskah akademik terkait dampak lingkungan) karena posisinya sudah ada eksistingnya," ujarnya. 

Meskipun pengembangan jalan ini sudah berlangsung lama, ada berbagai tantangan yang dihadapi dalam prosesnya. Petriandy menjelaskan bahwa sejak tahun 2010, dokumen terkait proyek ini sudah ada, dan saat ini hanya dilakukan peningkatan dari kondisi yang sudah ada.

"Saya enggak tahu kalau copy-an dokumen sebelumnya, kalau yang berlanjut pekerjaan berarti dokumen yang ada sekarang kan. Sejak 2010 dokumennya ada, kalau yang sekarang hanya peningkatan-peningkatan saja dari existing yang ada," tambahnya.

Namun, rencana untuk merampungkan proyek ini masih tergantung pada anggaran yang tersedia. Salah satu masalah utama yang dihadapi adalah perbedaan desain jembatan dari kondisi awal hingga sekarang, terutama karena perubahan kondisi tanah.

"Kalau (rencana) merampungkan pasti ada, cuma terkait anggaran. Seperti kayak jembatan itu agak besar sih anggarannya. Waktu itu Pj Bupati PPU, Makmur Marbun juga sempat meninjau tuh ke lapangan, dia menanyakan kenapa tidak difungsikan dan cepat diselesaikan," jelas Petriandy. 

Ketua DPRD PPU, Syahrudin M Noor, menambahkan perspektifnya terhadap pembangunan coastal road ini. Menurutnya, jalan ini belum fungsional secara 100 persen, namun progresnya terus berjalan. Namun, Syahrudin mengingatkan bahwa penebangan mangrove akibat coastal road harus diimbangi dengan upaya reboisasi.

"Memang kalau membicarakan masalah mangrove, kalau di aturan itu kan apa yang kita tebang harus kita ganti, nah kita maunya Pemda melaksanakan itu, kita sudah mengingatkan. Kalau dia melakukan penebangan, dampaknya pasti kita yang kena," ujarnya.

Syahrudin mencatat bahwa tanpa kehadiran mangrove, daratan akan terus mengalami abrasi yang signifikan. Infrastruktur lama yang tidak dilengkapi dengan mangrove telah menyaksikan berkurangnya daratan setiap meter akibat abrasi. 

Namun, dengan kehadiran mangrove, abrasi dapat diatasi karena hempasan ombak tertahan oleh akar-akar kuat mangrove. Sebelumnya, daratan bisa berkurang 5-10 meter akibat abrasi, tetapi dengan adanya mangrove, pengurangan tersebut dapat diminimalisir.

Meski ada program penanaman mangrove setiap tahun, pelaksanaannya sering kali tidak sesuai dengan harapan. Program nasional penanaman mangrove yang diadakan setiap tahun menghadapi berbagai masalah dalam implementasinya, sehingga tidak selalu mencapai hasil yang diinginkan. 

Namun, Syahrudin tetap optimis bahwa program pemerintah akan terus diarahkan untuk menjaga keberlangsungan mangrove, mengingat manfaat ekologisnya yang sangat besar. Mangrove tidak hanya berfungsi sebagai penahan abrasi, tetapi juga sebagai ekosistem penting yang mendukung kehidupan berbagai spesies dan menjaga keseimbangan lingkungan.

Mangrove tidak hanya berfungsi mengurangi abrasi, tetapi juga memiliki potensi untuk menjadi tempat wisata dan penelitian. Syahrudin berharap pemerintah memiliki komitmen kuat untuk menangani dampak lingkungan dari setiap proyek pembangunan. 

"Kita ini kan kalau itu semua dibiarkan mangrove di pesisir saya kira kebutuhan pemerintah juga pasti ada membangun pelabuhan cuman mungkin perinsipnya kalau ini kita tebang harus diganti. Harus ada konsen untuk menangani dampak lingkungannya," ujarnya.

Untuk menjaga keseimbangan antara pembangunan dan pelestarian lingkungan, Syahrudin menekankan pentingnya pola yang jelas dan komunikasi dengan para ahli dalam perlindungan habitat fauna seperti bekantan dan orangutan. 

"Nah, itu yang harus dipola, kalau itu sudah terpola dengan baik kita bisa berkomunikasi dengan orang-orang yang ahli dalam perlindungan habitat fauna seperti bekantan dan orang utan. Jadi, habitatnya itu tetap ada. Kalau itu sudah berjalan dengan baik, saya kira tidak ada yang dirugikan," jelasnya.

Syahrudin menegaskan bahwa kemajuan dan teknologi harus terus berkembang, namun lingkungan juga harus tetap dijaga. Menurut Syahrudin, pendekatan ini harus menjadi indikator penting dalam setiap proyek pembangunan, memastikan bahwa pertumbuhan tidak mengorbankan keberlanjutan lingkungan.

Syahrudin berharap Dinas Pertanian dan Dinas Lingkungan Hidup dapat berperan aktif dalam menjaga lingkungan. Menurutnya, DPRD PPU mendukung pembangunan yang masif asalkan lingkungan tetap dipertahankan.

"Saya kira kami di DPRD ini seiring dengan masifnya juga pembangunan yah lingkungan juga harus tetap dipertahankan, karena ini menjadi kewajiban kita untuk mewariskan generasi anak cucu kita," tambahnya.

Mangrove Terancam oleh Pembangunan Tanpa Kajian

Mappaselle, Direktur Eksekutif Pokja Pesisir, menyoroti pentingnya ekosistem mangrove dan ancaman yang dihadapinya. Di balik cerita Toni tentang hutan mangrove yang hilang dan dampaknya terhadap kehidupan masyarakat pesisir, terdapat narasi yang lebih besar tentang bagaimana pembangunan infrastruktur tanpa kajian lingkungan yang memadai bisa membawa bencana. 

"Mangrove menjadi ekosistem penting di pesisir, mempunyai peran penting pada ekosistem pesisir. Nah, ketika itu rusak, maka banyak hal yang akan timbul," jelas Mappaselle.

Mappaselle menggarisbawahi kondisi geografis PPU yang berhadapan langsung dengan Selat Makassar, yang mana memiliki intensitas gelombangnya yang besar. Pada kondisi tersebut, mestinya mangrove menjadi benteng pertama yang melindungi daratan. 

"Kalau mangrovenya dirusak untuk kepentingan infrastruktur lain tanpa kajian yang memadai, maka dikhawatirkan itu abrasi akibat gelombang besar di Selat Makassar itu akan merusak daerah tersebut. Karena ada beberapa daerah di pesisir Kalimantan Timur ini yang berhadapan langsung dengan Selat Makassar itu cukup tinggi abrasinya," tambahnya.

Dia mengambil contoh dari daerah lain di Kalimantan Timur yang mengalami abrasi parah. Kekhawatiran Mappaselle tentang abrasi bukanlah tanpa dasar. Pembukaan hutan mangrove tanpa kajian yang tepat dapat menyebabkan daerah pesisir rentan terhadap kerusakan. 

"Yang dikhawatirkan kalau jadi pembukaan (hutan mangrove) sampai hampir ke bibir pantai yah abrasi akan mudah menerpa daerah-daerah yang ombaknya besar. Mangrove ini juga kan habitatnya bekantan, satwa penting dan satwa endemik di Pulau Kalimantan, nah ketika habitatnya rusak sudah pasti mereka juga akan terganggu," ujarnya.

Dengan habitat bekantan yang semakin sempit, konflik antara manusia dan satwa liar menjadi tak terhindarkan. 

"Ini dikhawatirkan habitat bekantan semakin sempit, maka akan terjadi konflik dengan manusia. Ada beberapa tempat kita mengambil contoh di daerah Soember itu ada beberapa bekantan yang sering masuk di rumah penduduk mengambil makanan. Nah, hal-hal demikian penting untuk diperhatikan," jelas Mappaselle sejalan dengan kondisi yang dipaparkan Toni sebelumnya.

Tak hanya itu, Mappaselle juga menyoroti dampak terhadap mata pencaharian masyarakat pesisir. Kehidupan nelayan yang bergantung pada hasil laut akan terganggu. Tempat-tempat pemijahan dan pertumbuhan biota laut, seperti udang dan ikan, yang sangat bergantung pada mangrove, akan hilang. Akibatnya, hasil tangkapan mereka menurun, mengancam keberlangsungan hidup mereka yang bergantung pada kekayaan laut.

Konversi hutan mangrove untuk kepentingan infrastruktur mengganggu ekosistem yang menjadi tempat tumbuh kembang biota laut. Kerusakan pada mangrove akan menyebabkan gangguan signifikan pada ekosistem pesisir. Ini bukan hanya mempengaruhi keanekaragaman hayati, tetapi juga merusak sumber penghidupan masyarakat yang bergantung pada hasil laut.

Pemulihan ekosistem mangrove bukanlah tugas yang mudah, pasalnya mangrove tidak mudah tumbuh di semua tempat, hanya ada beberapa lokasi tertentu yang menjadi habitat ideal bagi pertumbuhannya.

“Sebaiknya ada upaya untuk melakukan pemulihan, tetapi pemulihan yang benar tidak memindahkan sebenarnya, karenakan yang dirusak di hutan mana nanti yang diberikan (mangrove) di daerah lain. Secara ekologi itu kan tidak akan ketemu," jelas Mappaselle.

Resiko besar dalam pemulihan ekosistem mangrove dihadapi terutama di daerah pesisir dengan gelombang besar. 

“Ada beberapa upaya sebenarnya yang bisa dilakukan untuk kawasan yang dirusak itu dalam konteks ini mangrove pada akhirnya gagal, karena tidak semua daerah bisa ditanami mangrove. Apalagi di daerah pesisir yang gelombangnya cukup besar, itu tantangannya lebih besar," ujarnya.

Namun, ada cara-cara alternatif untuk melakukan pembangunan tanpa merusak ekosistem mangrove. Mappaselle menjelaskan bahwa konversi kawasan mangrove memerlukan kehati-hatian yang tinggi. Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk membangun tanpa mengubah bentang alam atau menyebabkan kerusakan yang signifikan.

“Tidak harus ditebang mangrovenya misalnya, jembatan layang itu kan bisa menjadi salah satu pilihan, tidak perlu melakukan reklamasi atau penimbunan, ini salah satu contoh strategi untuk mencegah perusakan ekosistem mangrove sembari juga bisa melakukan pembangunan," katanya.

Meski begitu, sayang seribu kali sayang, praktik seperti itu disebutnya belum populer. Akibatnya, salah satu pilihan yang sering diambil oleh pemerintah adalah mengkonversi dan menimbun kawasan mangrove, merusak ekosistem yang berharga.

“Padahal semua sepakat bahwa mangrove itu punya nilai ekologi yang strategis di masyarakat pesisir," tambah Mappaselle.

Mappaselle memaparkan bahwa Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur sebenarnya telah menerima dana emisi karbon dari Bank Dunia karena berhasil menurunkan emisi karbon. Padahal, menurut banyak peneliti, mangrove adalah salah satu tumbuhan yang paling efektif dalam menangkap karbon, mampu menyerap lima kali lebih banyak karbon dibandingkan tumbuhan lainnya. Ia menyebut jika dana tersebut seharusnya digunakan untuk melindungi ekosistem mangrove. 

"Harusnya, reward itu digunakan Pemprov Kaltim termasuk kabupaten kotanya untuk menjaga ekosistem mangrove. Mestinya reward itu menjadi pemicu untuk melakukan upaya perlindungan mangrove yang lebih baik," kata Mappaselle.

Ia juga Mappaselle menekankan bahwa perencanaan yang jelas mengenai keberlanjutan lingkungan dalam proyek-proyek besar sangat penting. Tanpa perencanaan yang matang, kerusakan yang tidak termitigasi bisa terjadi, meningkatkan risiko dan dampak negatif yang semakin besar. 

Mappaselle menjelaskan bahwa banyak aspek yang harus diperhitungkan dalam perencanaan, termasuk ekologi, sosial, dan ekonomi. Dia menekankan bahwa jargon pemerintah tentang pembangunan berkelanjutan harus terlihat dalam implementasinya, dimulai sejak tahap perencanaan. 

Mappaselle mengakui bahwa penguatan perencanaan pembangunan yang memperhatikan faktor ekologi masih perlu diperkuat. 

“Perlu meningkatkan penguatan perencanaan yang lebih baik agar fungsi-fungsi ekologi itu yah menjadi faktor penting dalam perencanaan pembangunan jangan sampai banyak pembangunan mengabaikan faktor ekologi yang pada akhirnya memberikan dampak kerugian yang cukup besar," katanya.

Mappaselle menyampaikan harapannya dengan penuh semangat bahwa ekosistem mangrove harus menjadi faktor penting dalam perencanaan pembangunan. Menurutnya, menjaga ekosistem mangrove bukan hanya soal lingkungan, tetapi juga tentang memenuhi impian masyarakat yang bergantung pada pesisir yang sehat dan produktif. Jika perencanaan pembangunan mengabaikan aspek ekologi, dampaknya akan luas dan merugikan nelayan. 

“Harapan masyarakat pesisir kan ingin pesisirnya hijau dan lautnya biru," katanya.

Mappaselle dengan tegas menyampaikan bahwa jika perencanaan pembangunan mengabaikan aspek ekologi, khususnya mangrove, maka harapan para nelayan untuk masa depan yang sejahtera akan sulit terwujud. 

Dia menggambarkan bahwa kerusakan pada mangrove akan berdampak langsung pada laut, mengancam ekosistem laut yang menjadi sumber kehidupan bagi banyak nelayan.

“Sedimen akan mudah turun ke laut dan ketika sedimen masuk ke terumbu karang itu dampaknya cukup luas termasuk ikan-ikan akan kesulitan berkembang biak dan nelayan menjadi orang pertama yang merasakan dampaknya," kata Mappaselle.

Di balik keprihatinan Toni tentang dampak pembangunan coastal road, ada pandangan yang lebih luas dan mendalam dari para pakar yang memahami secara langsung pentingnya mangrove. 

Dampak Kerusakan Mangrove dan Tantangan Rehabilitasi di Pesisir
 
Esti Handayani Hardi, seorang Guru Besar Fakultas Kehutanan di Universitas Mulawarman, memberikan wawasan yang sangat mendetail tentang bagaimana kerusakan mangrove dapat mempengaruhi ekosistem dan kehidupan masyarakat pesisir.  "Jadi kalau secara umum pembukaan ekosistem mangrove yang tidak terkendali atau mengubah struktur dari lahan tersebut itu punya dampak secara ekologi dan sosial itu pasti ada," kata Esti. 

Dia menjelaskan bahwa secara ekologi, mangrove berperan penting dalam menjaga barier pantai dari erosi, abrasi, serta melindungi dari banjir dan angin kencang. Perubahan iklim semakin memperburuk kondisi ini, memberikan dampak langsung pada kehidupan masyarakat yang tinggal di daerah tersebut.

Esti menjelaskan lebih lanjut bahwa perubahan struktur ekosistem mangrove akan mengakibatkan perubahan komoditas dan populasi organisme yang hidup di perairan tersebut. 

"Kalau kita bicara ke ekologi, berarti akan terjadi perubahan struktur atau komoditas atau populasi organisme yang hidup di perairan, contoh yang paling kecil bakterinya akan terkikis, kalau dia kena panas dan abrasi dia pasti juga rumah dan sumber makanannya akan terganggu," ujarnya. 

Hal ini juga berlaku untuk ikan-ikan kecil yang berlanjut ke ikan-ikan besar. Ketika habitat pemijahan ikan terganggu, reproduksi ikan akan menurun, berdampak pada ketersediaan ikan yang menjadi sumber pangan bagi masyarakat pesisir. Perubahan iklim sendiri juga memberikan dampak negatif terhadap proses reproduksi ikan. 

"Nah, perubahan iklim sendiri sebenarnya kalau terhadap perikanan dia akan mengganggu proses reproduksi atau perbanyakan ikan atau kalau kita bilang pemijahan ikan akan terganggu, ikan yang melakukan pemijahan akan semakin sedikit dan nanti jumlah ikan akan sedikit," lanjutnya. 

Mangrove yang berfungsi sebagai penahan suhu panas dan abrasi, jika hilang, akan membuat organisme yang tinggal di wilayah tersebut terancam mati karena suhu yang semakin tinggi. Esti juga mengingatkan bahwa abrasi bisa menyebabkan longsor, yang berujung pada tenggelamnya pantai. 

"Belum lagi abrasi yang bisa menyebabkan longsor. Kan sudah banyak sekali kasus hingga pantainya tenggelam. Nah, dampaknya secara ekologi pasti akan sangat mengganggu. Krisis secara fisik yang artinya dari segi bentuk pulaunya berubah kemudian secara biologi mikrobanya akan hilang," jelasnya. 

Selain itu, mangrove memiliki kemampuan menyerap logam berat, yang sangat penting di wilayah PPU yang memiliki industri tinggi. 

"Apalagi di wilayah PPU itu kan banyak industri, dari riset saya bahwa kandungan logam berat di wilayah PPU itu lebih tinggi dibandingkan Kukar dan Paser karena pohon mangrove punya kemampuan menyerap logam berat, lah kalau mangrovenya enggak ada, bisa tercemar siapa lagi yang bisa membantu menyerap logam berat dari industri, rumah tangga, maupun kegiatan lainnya," katanya.

Esti menjelaskan bahwa dampak ekonomi dari kerusakan mangrove sangat nyata. Ketika hasil tangkapan nelayan menurun, pendapatan mereka ikut menurun, dan kehidupan sehari-hari menjadi lebih sulit. Selain itu, kesehatan masyarakat pesisir juga terancam. 

Dengan hilangnya mangrove yang berfungsi meredam panas, suhu di daerah tersebut meningkat, mengakibatkan masalah kesehatan yang serius. Kelembaban yang berubah, baik menjadi terlalu rendah atau terlalu tinggi, juga menambah deretan masalah yang harus dihadapi oleh masyarakat pesisir, memperburuk kondisi kesehatan mereka.

Rehabilitasi mangrove di ekosistem yang telah berubah juga menghadapi banyak tantangan. Esti menjelaskan bahwa keberhasilan penanaman mangrove sangat bergantung pada kondisi tanah, kualitas bibit, dan nutrien dalam tanah.

"Bisa jadi tidak berhasil jika mangrove ditanam kembali di ekosistem yang sudah berubah itu. Rehabilitasi itu kan banyak syarat, kalau kita menanam kembali pohon mangrove di areal yang sudah terbuka itu tingkat keberhasilannya bisa 50:50," katanya. 

Terlebih, upaya rehabilitasi mangrove membutuhkan waktu, tenaga, dan biaya yang besar. Dia menyoroti betapa mahalnya proses ini, dengan biaya rehabilitasi di Kalimantan Timur mencapai Rp6 juta per hektare. 

Bahkan, tingkat keberhasilannya hanya sekitar 60%. Untuk memulihkan lahan mangrove yang telah rusak, dibutuhkan dana puluhan juta rupiah dan waktu yang lama. Mangrove yang baru ditanam tidak akan langsung berfungsi seperti mangrove alami; setidaknya diperlukan dua tahun bagi mangrove baru untuk menjadi barier lingkungan yang efektif.

Esti menegaskan bahwa pemerintah harus memiliki rencana yang jelas sebelum melakukan perubahan pada ekosistem mangrove. 

“Mestinya sudah ada sociability, kalau misalnya kalau mau dialihkan fungsi profitnya apa nih buat masyarakat, kalau misalnya enggak dibandingkan dengan dia jadi ekosistem mangrove alami mana yang lebih besar. Itu harusnya sudah jelas dulu," tegasnya.

Dia juga mengkritik perencanaan yang tidak matang dan penggunaan anggaran yang tidak efisien. 

​​Esti menjelaskan bahwa jika pemerintah ingin mengubah ekosistem mangrove, seharusnya pembahasan anggaran dilakukan dengan matang sejak awal. Misalnya, jika alasan perubahan adalah keterbatasan anggaran, maka harus ada estimasi yang jelas mengenai berapa tahun waktu yang dibutuhkan untuk pembangunan tersebut. 

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) harus dipersiapkan untuk jangka waktu tiga tahun. Jika anggaran tidak mencukupi, seharusnya pemerintah tidak memulai proyek dan membuka lahan tersebut tanpa perencanaan yang matang. Pasalnya, perubahan ekosistem mangrove bisa membawa kerugian berlipat-lipat jika tidak dilakukan dengan baik. 

"Pemerintah mestinya mikirnya waktu mau dirubah manfaatnya untuk masyarakat itu lebih besar atau lebih kecil, kalau lebih besar yah kita masih ada excuse lan untuk ke situ, tetapi kalau kepentingannya untuk segelintir orang yah pemerintah harusnya tegas untuk hal itu. Karena pada akhirnya yang merasakan akibatnya adalah masyarakat," jelasnya.

Dia menekankan pentingnya studi kelayakan harus jelas dan terperinci mengenai tujuan dari suatu proyek. Jika lahan mangrove sudah dibongkar dan kemudian tidak dimanfaatkan, kerugian yang ditimbulkan akan sangat besar. 

Proses pembongkaran memerlukan anggaran yang tidak sedikit, dan pemerintah pasti mengeluarkan biaya untuk menebang mangrove tersebut. Namun, jika setelah dibongkar lahan tersebut tidak dimanfaatkan, maka negara mengalami kerugian berlipat ganda. Uang negara telah digunakan untuk merusak ekosistem, tetapi tidak ada manfaat yang kembali. Ini, menurut Esti, adalah pemborosan yang tidak bisa ditoleransi.

"Jadi yang harus dilakukan adalah mesti ada sikap tanggap dan cepat dari pemerintah untuk menindaklanjuti pemanfaatan ekosistem," ujarnya.

Esti juga menjelaskan bagaimana perubahan struktur komunitas biota dan ekosistem dapat berdampak luas. Menurutnya, jika struktur komunitas biota dan ekosistem mangrove berubah, maka fungsi ekologis dari dunia ini juga akan berubah. 

Mangrove memiliki kemampuan menyerap karbon jauh lebih besar dibandingkan tanaman lainnya, mampu menyimpan karbon lima kali lebih banyak dari pohon biasa. Dampak perubahan iklim yang ditimbulkan sangat signifikan, termasuk krisis pangan dan kesehatan. 

Esti menjelaskan bahwa karbon dapat berkontribusi pada efek gas rumah kaca, dan jika sinar ultraviolet langsung menembus atmosfer, ini dapat menyebabkan berbagai penyakit, peningkatan suhu global, dan perubahan iklim. Dalam jangka panjang, kita akan menghadapi krisis pangan dan krisis kesehatan yang semakin parah akibat perubahan iklim ini.

Habitat bekantan juga menjadi salah satu kekhawatiran utama Esti. Ia menjelaskan bahwa ketika habitat alami bekantan terganggu, mereka harus mencari tempat tinggal baru. Mangrove yang tadinya menyediakan makanan dan tempat berlindung bagi bekantan kini rusak, sehingga bekantan harus mencari sumber makanan lain. 

Akibatnya, mereka sering memasuki pemukiman warga untuk mencari makan. Kasus-kasus bekantan yang memasuki perkebunan dan pemukiman warga semakin sering terjadi, menunjukkan betapa seriusnya dampak kerusakan mangrove terhadap satwa liar.

Esti berpendapat bahwa pemerintah perlu menyusun rencana strategis yang komprehensif, tidak hanya untuk Teluk Balikpapan tetapi juga untuk memulihkan ekosistem yang telah mengalami degradasi. Menurutnya, diperlukan pendekatan yang lebih holistik dalam perencanaan ini.

Esti juga mendorong penerapan konsep agrikultur yang menggabungkan produksi dengan rehabilitasi, konservasi, dan restorasi. Dia menjelaskan bahwa sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan tidak hanya harus fokus pada produksi, tetapi juga harus berperan dalam upaya pemulihan dan pelestarian lingkungan.

Salah satu solusi yang diusulkan adalah akuakultur restorasi, yang dapat membantu memulihkan ekosistem yang rusak sambil tetap menyediakan sumber daya pangan yang berkelanjutan.

"Saya juga sekarang sudah ke akuakultur restorasi, jadi akuakulturnya tidak hanya pada penyuplai produksi yang menghasilkan pangan tetapi juga untuk memulihkan wilayah-wilayah yang contohnya jenis ikannya mulai berkurang. Kita budidayanya dengan menambahkan dengan ikan yang siap memijah, jadi akan menambah jenis ikan dan benih ikan di situ," katanya.

Esti menjelaskan bahwa rumput laut dapat digunakan sebagai alat filtrasi dan sedimentasi di wilayah yang terkontaminasi bahan kimia dan memiliki air keruh. Jika di wilayah tersebut terindikasi banyak bahan kimia dan airnya keruh, rumput laut bisa menjadi solusi untuk filtrasi dan sedimentasi. 

Selain itu, jika wilayah tersebut kekurangan oksigen sehingga tidak banyak ikan atau tanaman yang bisa hidup, maka budidaya perlu diarahkan ke arah restorasi dan rehabilitasi untuk memperbaiki kondisi tersebut.

Rehabilitasi mangrove, menurut Esti, memiliki manfaat ganda. Proses ini tidak hanya memulihkan fungsi lingkungan, tetapi juga meningkatkan produksi pangan. Mangrove yang direhabilitasi mampu menyerap karbon dan memasok oksigen, sementara akuakultur restorasi membantu memperbaiki ekosistem laut secara keseluruhan.

“Mulai ke situ harusnya mikirnya, karena kita enggak bisa lagi mengharapkan bumi ini pulih dengan sendirinya, kita perlu melakukan upaya-upaya. Makanya sektor-sektor itu didorong untuk tidak hanya menghasilkan produksi tetapi memulihkan ekosistem itu juga," tandasnya.  

Derita warga di sekitar area Coastal Road 

Di balik ambisi pembangunan Coastal Road di Penajam Paser Utara (PPU), daerah penyangga IKN, banyak cerita warga yang merasa terabaikan. Roland, seorang warga Kelurahan Sungai Parit, menceritakan kisah panjang pembebasan lahan yang dimulai sejak 2008. 

"Ada rapat appraisal waktu itu muncullah nilai Rp18.000 jadi sebagian warga ada yang diterima dan dibayar, ada sebagian juga yang enggak karena menurutnya yah masa empang dan kelapa digantinya Rp18.000 per meter, enggak cukup dibelikan lahan lagi yang baru,” bebernya. 

“Nah, jadi sebagian dibebaskan, tetapi tidak ada tindak lanjut. Setelah itu di 2016 kalau tidak salah ada lagi yang dibebaskan, ini jalan sudah jadi aspal," sambung Roland.

Proses pengerjaan jalan Coastal Road yang berlangsung dari 2008 hingga 2016 tidak disertai dengan komunikasi yang baik. 

Selama proses pengerjaan jalan Coastal Road yang berlangsung dari 2008 hingga 2016, Roland mencatat bahwa tidak ada komunikasi yang baik antara pihak pelaksana proyek dan warga. Salah satu contohnya adalah balombong (pintu air) yang dibangun dengan posisi miring sehingga tidak berfungsi dengan baik untuk mengalirkan air. 

Banyak warga, terutama mereka yang tinggal di daerah pinggiran pantai, merasa terpinggirkan dan dipaksa untuk pindah ke dataran yang lebih tinggi. Namun, ganti rugi yang diberikan sering kali tidak memadai.

Roland mengungkapkan bahwa antara tahun 2016 dan 2018, beberapa lahan dibebaskan dengan harga Rp200 ribu per meter. Namun, tanah miliknya belum dipanggil-panggil untuk proses ganti rugi. Ketika pembangunan Rumah Jabatan (Rujab) dimulai, muncul berbagai tuntutan, dan Roland mendapati bahwa tanah keluarganya belum dibayar hingga sekarang. 

Situasi ini menunjukkan ketidakadilan yang dialami warga dalam proses pembebasan lahan untuk proyek Coastal Road, di mana ganti rugi yang seharusnya mereka terima belum terealisasi sampai saat ini.

“Baru ke Rujab (Rumah Jabatan) dibangun, di situ muncul semua lah kita, ternyata saya tanya bos ku (orang tua) ternyata belum dibayar sampai sekarang," lanjut Roland. 

Alasan tumpang tindih sertifikat menjadi penghambat, namun Roland merasa hal ini seharusnya bisa diselesaikan melalui proses pengadilan jika memang ada sengketa. Menurut Roland, banyak warga yang telah dirugikan selama bertahun-tahun. 

"Sekarang mirisnya, 2008 itu sampai 2024 itu selama 16 tahun gedung megah bisa dibangun tetapi lahannya orang yang sudah digusur enggak (dibayarkan) apalagi jalannya sudah dibangun aspal, ironisnya di situ," kata Roland dengan nada kecewa. 

Ia berharap pemerintah dapat mendata ulang lahan-lahan yang belum dibayar dan menyelesaikan sengketa secara transparan.

Petriandy Ponganton Pasulu, Kabid Bina Marga Dinas PUPR PPU, mengakui bahwa proyek coastal road memang sudah berlangsung lama dan mengalami banyak tahapan. 

"Sejak saya masuk pertama kali ke Dinas PUPR proyek itu sudah ada, tahun 2010," ujarnya. 

Proyek ini, yang dimulai sejak zaman Bupati PPU Yusran Aspar, menghadapi berbagai kendala, termasuk permasalahan lahan dan desain jembatan. Proyek ini mengalami banyak perubahan dan penundaan. 

"Memang proyeknya itu bertahap, kalau enggak salah multiyears pertama itu di zaman Bupati PPU Yusran Aspar, yang mengerjakan PT Baswara. Setelah itu sempat berhenti, kemudian lanjut lagi tetapi sisi yang manunggal," jelas Petriandy. 

Dalam beberapa tahun terakhir, ada upaya perbaikan spot-spot tertentu, namun banyak bagian yang masih belum selesai. Petriandy juga menyoroti masalah pembebasan lahan yang menjadi hambatan utama. 

"Kalau yang sekarang antara yang di Nipah-nipah dan di dekatnya Pantai Amal itu nah itu yang kita rigid. Kalau jembatan itu enggak, karena jembatan itu paket yang berbeda. Kalau jembatan itu enggak bisa digabungkan dengan jalan karena dia nilainya besar," katanya. 

Ia menjelaskan bahwa proses pembebasan lahan seringkali terkendala oleh masalah tumpang tindih sertifikat dan klaim ahli waris. Proyek Coastal Road yang telah berjalan lebih dari satu dekade ini diharapkan dapat menyambung dengan Coastal Road Balikpapan melalui Jembatan Nipah-nipah—Melawai. 

Meski proyek tersebut terus didanai dari APBD PPU dengan nilai yang cukup besar, misalnya saja pada lanjutan pembangunan tahap II multiyears, dari dikumen kontrak yang dipublikasikan pada lpse.penajamkab.go.id nilai anggaran yang digelontorkan lebih dari Rp65 miliar. Alih-alih merampungkannya hingga tuntas terlebih dahulu, kini pemerintah justru memfokuskan pembangunan Jembatan Pulau Balang untuk menunjang IKN. 

"Kalau nanti dengan jembatan itu harusnya menyambung, karena jembatan itu turunnya nanti di Coastal Road Balikpapan di Melawai, itu menyambung dengan jembatan kita di Nipah-nipah karena masuknya di Coastal Road situ," jelas Petriandy.

PUPR menekankan bahwa keberlanjutan proyek Coastal Road sangat bergantung pada ketersediaan anggaran. Mereka menjelaskan bahwa meskipun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) meningkat, dana tersebut harus dibagi secara merata untuk pembangunan di setiap kecamatan. 

Dengan masuknya proyek Ibu Kota Nusantara (IKN), fokus pembangunan juga mengalami pergeseran. Prioritas utama kini mencakup pembangunan infrastruktur pertanian dan jalan usaha tani untuk mendukung kebutuhan pangan IKN. Tanpa dukungan yang memadai, IKN tidak akan memiliki sumber pangan yang cukup. 

Perubahan-perubahan ini, termasuk pembangunan Coastal Road, diharapkan dapat mendukung sektor pariwisata dan investasi di kawasan tersebut. Proyek Coastal Road, meskipun menghadapi berbagai tantangan, tetap menjadi prioritas untuk mendukung sektor pariwisata dan investasi di PPU.

"Jadi banyak perubahan-perubahan yang terjadi semenjak masuknya IKN ini. Kalau Coastal Road ini salah satunya pariwisata, karena banyak juga pariwisata pantai yang harus kita tingkatkan. Sama investasi kita sudah besar di situ kan, artinya harus kita tuntaskan juga supaya fungsional," tutup Petriandy.

Menurut dokumen dari Dinas PUPR, timeline pengerjaan proyek Coastal Road menunjukkan perjalanan panjang dan berliku dari proyek ini, yang telah berlangsung sejak 2009 hingga 2024. Proyek ini melalui berbagai tahap dengan kontrak-kontrak yang terus diperbarui, dan pengerjaan dilakukan secara bertahap. 

Dimulai dengan peningkatan Jalan Coastal Road yang dikontrakkan pada 22 Desember 2009, proyek ini kemudian dilanjutkan dengan peningkatan Tahap II (Multiyears) yang berlangsung dari 20 September 2016 hingga 2018.

Tahap berikutnya mencatat peningkatan Jalan Coastal Road Tahap II (Multiyears) dengan kontrak yang ditandatangani pada 10 Desember 2019. Pada 19 April 2021, kontrak baru untuk peningkatan Jalan Coastal Road kembali diteken, dan proyek ini terus berlanjut dengan kontrak terbaru yang ditandatangani pada 19 Maret 2024. 

Ketua DPRD PPU, Syahrudin M Noor juga membenarkan jika memang ada tambahan anggaran yang dialokasikan pada tahun 2024 ini. Meski begitu, ia menaruh harapan besar terhadap proyek yang sudah berusia remaja ini. 

"Bahkan tahun ini kan ada tambahan anggaran. Nanti, kalau itu sudah siap semua saya kira pasti berfungsi lah," jelas Syahrudin.

Syahrudin menekankan, betapa pentingnya membuka akses jalan untuk mengantisipasi banyaknya pendatang yang akan datang ke PPU. Menurutnya, setiap jalan yang ada di wilayah ini harus difungsikan secara optimal, bahkan jika sebelumnya tidak ada jalan, akses baru harus dibuka. 

Dengan begitu banyaknya orang yang akan datang dan bermukim di berbagai tempat, tidak mungkin hanya mengandalkan satu koridor jalan saja. Jalan alternatif harus tersedia untuk mengakomodasi pertumbuhan penduduk dan aktivitas yang meningkat.

Selain itu, Syahrudin juga menyoroti pentingnya Coastal Road sebagai akses utama untuk menyelesaikan jembatan Teluk Balikpapan. Ia berharap jalan Coastal Road ini dapat mendukung penyelesaian jembatan tersebut, yang akan menghubungkan PPU dengan Balikpapan. 

Bahkan, rencana untuk memperluas jalan Coastal Road hingga mencapai ujung perbatasan dengan Grogot juga menjadi bagian dari strategi untuk membuka lebih banyak akses di pesisir.

Setiap tahap pengerjaan mencerminkan upaya yang terus menerus namun belum sepenuhnya rampung, menggambarkan tantangan dan dinamika yang dihadapi dalam menyelesaikan proyek besar ini.

Meskipun proyek ini telah berjalan lama, banyak masalah yang masih belum terselesaikan. Warga seperti Roland terus menunggu kepastian dan keadilan atas lahan mereka yang telah digusur. Ketika proyek pembangunan yang besar ini tidak disertai dengan penyelesaian yang adil bagi warga, mereka yang menjadi korban merasa buntung. 

*) Tulisan ini merupakan republikasi berita yang naik di portal Kaltim Today, pada 8 Juli 2024.  Liputan ini merupakan bagian dari program Fellowship “Mengawasi Proyek Strategis Nasional” yang didukung Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. 

kali dilihat