Oleh : Abdullah Fikri Ashri
Independen- Iming-iming duit hingga kriminalisasi menghantui warga yang tergabung dalam Jaringan Tanpa Asap Batubara Indramayu atau Jatayu. Sejumlah anggotanya bahkan mendekam di penjara. Namun, Jatayu tak pernah layu menolak pembangkit listrik tenaga uap demi menjaga ruang hidup.
Lantunan doa dan shalawat terdengar dari saung di pinggir sawah Desa Mekarsari, Kecamatan Patrol, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Kamis (12/10/2023) malam. Belasan laki-laki dan perempuan paruh baya tampak khusyuk bermunajat. Mereka memejamkan mata dan sedikit menggerakkan kepala.
Beginilah suasana tawasul yang rutin digelar Jatayu setelah shalat Isya setiap malam Jumat. Kali ini, mereka tidak hanya mendoakan warga yang telah meninggal ataupun para ulama, tetapi juga penduduk Palestina yang menjadi korban perang dan harus mengungsi meninggalkan tanahnya.
”Hasil panennya disimpan saja, aja (jangan) didol (dijual) semua. Mungkin masih ada peperangan enam sampai tujuh bulan ke depan. Uang bisa dicari, kalau pari (padi) cari di mana?” kata Ustaz Mustakim yang memimpin tawasul. Hadirin pun ikut mengangguk.
Taryani (60), warga Mekarsari, hanya diam kala mendengar hal itu. Ia tidak meragukan pesan agar warga menjaga cadangan pangannya.
Namun, kekhawatirannya adalah kehilangan lahan garapan. Apalagi, sejak 2015, banyak sawah warga yang sudah dibebaskan untuk pembangunan PLTU Indramayu 2.
PLTU berkapasitas 1.000 megawatt (MW) dengan luas sekitar 300 hektar itu mencakup lahan sejumlah desa, yakni Mekarsari, Patrol Lor, dan Patrol Baru. Lokasinya berdampingan dengan PLTU Indramayu 1 yang berkapasitas 3 x 330 MW di Desa Sumuradem, Kecamatan Sukra.
Berdasarkan data Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas, PLTU Indramayu 2 termasuk dalam proyek strategis nasional dengan nilai investasi Rp 29,5 triliun. Proyek ini menurut rencana ditangani PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) untuk memasok listrik di Jawa dan Bali.
Rencana pembangunan PLTU ini membuat Taryani waswas tidak bisa lagi menggarap lahan 400 bata atau seluas 5.600 meter persegi. Sawah itu bisa menghasilkan hingga 3 ton gabah kering panen (GKP). Namun, hasil panennya bulan Agustus anjlok seiring merebaknya tikus dan kekeringan.
”Kemarin cuma dapat 10 karung (5 kuintal GKP),” ucap Taryani yang juga menjadi kuli angkut.
Meski produksinya jatuh, ia masih bersyukur. Harga gabah kali ini lebih dari Rp 7.000 per kilogram (kg), jauh di atas harga pembelian pemerintah, Rp 5.000 per kg.
”Sawah itu tempat makan kami. Kalau dijadikan PLTU, kami mau makan apa?” lanjut anggota Jatayu ini.
Bersama warga, ia kerap berunjuk rasa ke Kantor Bupati Indramayu dan Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung. Dia juga bersuara lantang hingga ke Istana Negara di Jakarta.
Didampingi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jabar dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Jatayu juga menggugat izin lingkungan PLTU 2 ke PTUN Bandung pada Juli 2017. Di tengah proses itu, pihak PLTU membangun gardu induk tegangan ekstra-tinggi (GITET).
Warga pun menggelar aksi penolakan konstruksi GITET dengan menduduki alat berat di area itu pada September 2017. Aksi itu berujung rusuh antara warga dan pihak subkontraktor.
”Saya melihat ada perempuan, warga kami, di-piting, diseret, dan dicekik. Saya enggak terima,” ujar Taryani.
Pihak perusahaan dan Jatayu pun saling lapor tindakan kekerasan pasca-aksi itu. Namun, hanya warga yang menjalani proses hukum. Kasus itu bergulir tidak lama setelah Jatayu memenangi gugatan di PTUN Bandung yang menyatakan izin lingkungan PLTU Indramayu 2 tidak sah.
Dipenjara
April 2018, polisi menetapkan Taryani, Taniman, Caryani, dan Jauhari sebagai tersangka kasus penganiayaan. Kasus ini pun naik ke kejaksaan hingga pengadilan memutuskan bahwa keempat warga itu terbukti melakukan penganiayaan dan harus dipenjara selama 6 bulan.
”Rasanya lama banget. Yang paling berat selama di penjara itu, mikirin istri dan anak-anak bagaimana nasibnya?” ucap ayah lima anak dan kakek lima cucu ini. Beruntung, Jatayu serta organisasi peduli lingkungan turut membantu memenuhi kebutuhan harian keluarganya.
Bagi Taryani, penolakan terhadap pembangunan PLTU bukanlah wujud melawan pemerintah, melainkan upaya meminta keadilan bagi petani penggarap seperti dirinya. ”Kan, pemerintah bilang di televisi suruh warga jaga lingkungan. Kenapa saya yang mau jaga malah dikriminalisasi?” katanya.
Meski demikian, ia menyatakan akan tetap berjuang bersama Jatayu. Namun, tiga rekannya yang juga dipenjara memilih tak lagi terlibat. Ia mafhum. Apalagi, sekitar sepekan sebelum mereka bebas, tiga warga lain, yakni Nanto, Sawin, dan Sukma, masuk penjara 5-6 bulan.
Pengadilan Negeri Indramayu menetapkan ketiganya merendahkan kehormatan bendera negara. Kasus ini bermula saat warga merayakan kemenangan atas pencabutan izin lingkungan PLTU 2 akhir 2017 dengan mengibarkan Merah Putih. Namun, keesokan harinya kabar buruk datang.
”Ada info bendera yang dipasang terbalik. Pas Pak Sawin cek di lapangan, benderanya sudah enggak ada, dibawa aparat desa. Jadi, kami enggak melihat langsung bendera itu terbalik. Ini yang disebut kriminalisasi,” ungkap Rodi, Ketua Jatayu. Ketiga warga pun diproses hukum.
Rodi mengakui, berbagai kriminalisasi itu berdampak pada perjuangan warga. Sawin dan beberapa warga lain, misalnya, sempat mengalami trauma dan akhirnya keluar dari Jatayu. Namun, menurut dia, ”serangan” terhadap gerakan penolakan PLTU juga datang dari kalangan internal Jatayu.
Seorang yang vokal di Jatayu, misalnya, bersekutu dengan perusahaan. Anggota gerakan yang sebelumnya dari sejumlah desa, seperti Ujunggebang dan Sumuradem, kini hanya Mekarsari.
”Dulu, anggota kami sampai 900 orang. Sekarang, mungkin tersisa 100 orang,” ucapnya.
Warga setempat juga kerap meragukan perjuangan Jatayu. ”Ngapain, sih,bikin gerakan seperti ini? Enggak mungkin orang kecil menang melawan orang besar,” kata Rodi menirukan ucapan sejumlah warga tentang Jatayu.
Tidak hanya itu, warga juga mendapatkan iming-iming uang hingga lahan agar menghentikan gerakannya. Rodi mengaku, pihak tertentu pernah menawarinya mengolah lahan secara gratis di tempat lain dengan syarat tidak lagi menolak pembangunan PLTU.
Dengan tegas, penjual mainan di sekolah dasar ini menolak tawaran itu. Ia tidak ingin mengkhianati tujuan awal pembentukan Jatayu pada 2015, yakni membebaskan Indramayu dari asap batubara. Semuanya demi menjaga ruang hidup dari ancaman batubara.
”Kami berharap, perjuangan ini bisa jadi contoh untuk perjuangan teman-teman di daerah lain yang mengalami hal serupa,” ujar Rodi.
Senior Manager PT PLN Nusantara Power UP Indramayu Munif, dalam keterangan tertulisnya, belum bisa berkomentar terkait rencana pembangunan PLTU 2 Indramayu karena statusnya belum jelas. Secara aset, katanya, lahan itu milik PT PLN di kantor pusat.
Kompas sudah berupaya menghubungi Executive Vice President Komunikasi Korporat dan Tanggung Jawab Sosial Lingkungan PLN Gregorius Adi Trianto untuk mengonfirmasi pembangunan PLTU 2 Indramayu. Namun, hingga berita ini ditayangkan, belum ada jawaban dari yang bersangkutan.
*) Tulisan ini merupakan republikasi berita yang naik di portal Kompas.id, pada 17 Desember 2023. Liputan ini merupakan program penulisan Jurnalisme Kolaboratif untuk Memonitor Proyek Strategis Nasional kerjasama AJI Indonesia dan Kurawal.