Oleh : Mahmud Ichi
Independen- Rintik hujan pada Minggu (26/11/2023) sekira pukul 17.00 WIT itu, tak menyurutkan semangat Abdurahman Jabir (50) dan Anwar Ismail (67). Keduanya bahu membahu mengangkat tepung sagu yang telah mengendap dari dalam perahu yang dijadikan wadah penampung perasan pokok sagu.
Sekejap, tiga karung besar berhasil diisi tepung, hasil perasan empulur setengah batang pohon sagu, yang panjangnya kurang lebih 15 meter. Diambil dari bagian pangkal dan ujung pohon. Dipotong pendek ukuran sehasta kurang lebih menjadi 20 potong, setelah itu dibelah dan dibersihkan, lalu digiling menggunakan mesin parut. Mereka memerasnya menggunakan air dari Sungai Sagea yang tak jauh dari kampung.
Batang pohon sagunya sendiri berada agak jauh dari tempat mesin parut dan perasan sagu. Untuk mencapainya harus menggunakan perahu menyusuri sungai Sagea dan melawan arus sekira 500 meter. Kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki sekitar 30 menit.
Pohon sagu yang diolah ini ada di lahan milik keluarga Abdurahman yang berbatasan langsung dengan dua kawasan konsesi tambang di wilayah tersebut. “Pohon sagu yang diolah ini ditanam orang tua kami. Lahan kebun sagu ini tidak jual karena ini sumber makanan kami,” jelas Mano, begitu Abdurahman biasa disapa.
Mano adalah satu dari beberapa warga Sagea yang masih konsisten mengolah sagu untuk memenuhi pangan keluarganya. Sagu yang dia olah juga menjadi sumber pendapatan yang digunakan untuk membayar biaya pendidikan anak, kesehatan dan sedikit simpanan (tabungan,red). Tak hanya itu saja, ia ikut membantu mempertahakan sagu agar tetap bisa dikonsumsi warga setempat
“Hasil olahan ini langsung habis diborong warga karena mereka sudah pesan duluan,” imbuhnya.
Ia bercerita, setiap hari warga selalu datang mencari sagu untuk dimakan. Sayangnya di Desa Sagea dan Kiya, dua desa yang berdekatan, nyaris sudah tidak ada lagi orang mengolah pohon sagu. Akibatnya tepung sagu mentah maupun yang sudah dibakar dalam bentuk lempengan harus didatangkan dari Kecamatan Patani, Halmahera Tengah dan Maba, Kabupaten Halmahera Timur.
Stok sagu yang tidak banyak di pasaran, membuat hasil olahannya laris manis. Harga satu karung dengan beratnya 40 kilogram bisa dihargai Rp300 ribu. “Mengolah pohon sagu ini tidak lama. Satu hari kerja sudah bisa dapatkan dua karung sagu. Jika jadi tepung sagu sudah dikarungkan, pembeli langsung datang dan bayar,” katanya.
Apalagi jika sudah diolah atau dimasak dalam bentuk lempeng (sagu lempeng) keuntungan yang diperoleh bisa berlipat-lipat. Satu karung tepung sagu yang dibeli dengan harga Rp300 ribu bisa menjadi Rp700 ribu hingga Rp750 ribu.
Melihat prospek pasar sagu yang menjanjikan, Mano mengaku tidak tertarik lagi untuk bekerja di tambang. Apalagi sampai menjual lahan sagu memenuhi kebutuhan. Sebaliknya ia ingin mengembangkan sagu yang ada, lantaran saat ini sagu yang dihasilkan di kebunnya hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan keluarganya saja, belum mampu untuk melayani kebutuhan masyarakat.
“Kebun masyarakat hampir semua sudah dijual. Tetapi punya orang tua kami tidak dijual sehingga saya bisa olah sagu seperti sekarang. Kalau kita jual nanti tidak bisa olah sagu lagi. Ini sumber hidup kami. Dari dulu orang Sagea ini olah dan makan sagu," katanya.
Ia memastikan lahan sagu ini menjadi harapan hidup mereka di tengah maraknya penjualan lahan sejak 2017 hingga saat ini. Penjualan lahan itu termasuk kebun sagu di kampung Sagea yang dikenal dengan sebutan aha sagu. Aha sagu adalah satu hamparan lahan kebun sagu yang sangat luas dan dimiliki secara komunal. Atau juga milik keluarga tertentu di Sagea.
“Aha sagu itu semua sudah dijual,” kata Ibrahim Sigoro tokoh masyarakat Sagea.
Ibrahim yang juga mantan camat Weda Utara 6 tahun lalu itu bercerita, penjualan tanah termasuk lahan sagu, dimulai sejak 2017 lalu saat ia masih menjabat sebagai camat. Kala itu, perusahaan tambang yang datang akan membeli lahan, maka warga beramai- ramai menjual lahan dengan alasan desakan kebutuhan. Selain itu jika tidak dijual warga akan kesulitan mengakses lahan dan mengambil hasilnya jika perusahaan sudah beroperasi.
Salah satu lahan sagu dengan luas aha mencapai 50 hektare dibeli perusahaan tambang bernama PT. Song Hai yang berada tidak jauh dari desa Sagea.
Akibatnya ketika kebun sagu telah dijual saat ada warga yang mau mengolah sagu, harus meminta kembali kepada pihak perusahaan. Untungnya saat ini kebun sagu yang sudah dibeli itu karena belum digusur perusahaan, sehingga hasilnya masih bisa dimanfaatkan.
“Pihak perusahaan juga persilakan jika mau ambil hasilnya,” kata Abdurahman.
Ia mengatakan pihak perusahaan mempersilakan warga untuk mengolah dan mengambil hasil sagu yang ada. Namun jika sudah digusur dan dijadikan wilayah konsesi tambang, sumber pangan itu akan lenyap. Jika hal itu terjadi, \warga akan semakin kesulitan mendapatkan sagu.
“Saat ini saja sudah sangat sulit apalagi kebun kebun sagu yang ada ini digusur,” katanya.
Mano menambahkan, di daerah lingkar tambang ini tidak hanya kebun sagu yang dijual, hutan mangrove, kebun kelapa pala dan cengkih serta lahan lahan kosong hampir semua dilego ke perusahaan.
Serupa disampaikan Kepala Desa Sagea Arif Thaib. Ia tidak menampik masifnya penjualan lahan termasuk kebun sagu di kampungnya. Sagu menjadi salah satu sumber pangan lokal penting, namun kebun sagu dijual ke perusahaan sehingga terancam habis.
Pihaknya mengaku tidak bisa membatasi masyarakat menjual lahan terutama kebun sagu karena itu milik masyarakat. Pihaknya hanya mampu memberikan pertimbangan. Selanjutnya menjadi hak warga mau jual atau tidak.
Sebaliknya, ia mengatakan warga saat ini semakin malas mengolah sagu. “Lahan sagu nyaris habis karena warga sudah tidak mau lagi mengolah sagu. Di Desa Sagea ini tersisa dua orang aktif mengolah sagu. Warga sebenarnya merindukan makan sagu tiap saat. Tetapi semakin jarang orang mengolah sagu. Akhirnya harus beli dari daerah lain,” katanya.
Hal ini menjadi ancaman serius karena sumber pangan ini tidak bisa diharapkan lagi diolah warganya.
Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Halmahera Tengah Yusmar Ohorela dikonfirmasi menjelaskan wilayah Kecamatan Weda Utara, masuk delineasi kawasan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Meski kawasan lahan bekelanjutan namun penjualan lahan sulit dibendung. Pihaknya tidak bisa berbuat apa-apa. Apalagi membatasi warga, karena kebutuhan masyarakat juga mendesak.
“Saya sudah coba lakukan pendekatan dengan memberikan penjelasan terkait lahan. Misalnya lahan pertanian selain untuk kegiatan pertanian tanaman pangan, tanaman perkebunan dan tanaman sayuran, juga bisa dimanfaatkan untuk kepentingan tempat tinggal bagi anak cucu. Tapi karena alasan kebutuhan mendesak sehingga kebun juga dijual,” jelasnya.
Dia contohkan, temuannya di lapangan, ada sepuluh petani punya lahan berdekatan. Lahan milik tujuh petani telah dijual kepada perusahan tambang. Sementara tiga orang tidak menjualnya. Nanti lahan yang sudah terjual akan digunakan perusahaan, karena dikhawatirkan berdampak terhadap lahan mereka, akhirnya tiga orang ini berpikir dari pada terkena dampak, mereka jual lagi. (bersambung)
*) Tulisan ini merupakan republikasi berita yang naik di portal Kabar Pulau, pada 7 Januari 2024. Liputan ini merupakan program penulisan Jurnalisme Kolaboratif untuk Memonitor Proyek Strategis Nasional kerjasama AJI Indonesia dan Kurawal.