Oleh: Irham Hi. A Rahman
INDEPENDEN- Hari mulai sore, matahari mulai turun tanda langit akan gelap. Jarum jam menunjukkan pukul 17.30 WIT, terlihat beberapa perahu nelayan (fiber,red) mulai mendekati pesisir pantai Desa Sangowo, Kecamatan Morotai Timur, Kabupaten Pulau Morotai, Maluku Utara.
Sore itu seakan tak menampakkan wajah kebahagiaan bagi para nelayan yang baru saja tiba. Ya, hasil tanggapan hari itu tak sesuai yang diharapkan.
Para nelayan ikan tuna hanya pulang dengan hasil tangkapan seadanya. Begitulah kehidupan, tak selamanya menjanjikan tapi juga ada konsekuensi yang harus dihadapi.
Malut Post menghampiri seorang nelayan tuna Samsul Bahri (31) saat selesai mengikat pandara (tali,red) perahu miliknya lalu memperkenalkan diri. Sambil tersenyum saat sedang memperbaiki perkakas melautnya, Ancu sapaan akrabnya lalu mengajak ke rumah.
Jarak sekitar 50 meter dari bibir pantai, Samsul dan rekan seprofesinya memilih berjalan kaki menuju rumah mereka masing-masing. Setibanya di sana, dia meminta waktu sebentar untuk mandi.
Setelah menunggu beberapa menit, Samsul keluar dengan wajah cerah setelah sehari penuh di atas lautan dengan cuaca yang begitu terik.
Sebelum memulai ceritanya, di bawah pohon mangga tepat di depan rumahnya, terlebih dulu kita memulai dengan cerita santai dan basa basi sambil tersenyum.
Tak berlangsung lama, Ancu lalu mempertanyakan apa yang harus dia ceritakan. Setelah itu, pria kelahiran Sangowo itu kemudian bercerita tentang profesi yang sudah dijalaninya sejak masih berusia remaja.
Sebagai masyarakat yang mendiami desa dengan kebiasaan mengemban profesi ganda yakni, petani dan nelayan. Samsul lebih menitikberatkan dirinya untuk mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan keluarga dengan melaut. Ini tidak terlepas dari potensi perikanan yang di miliki Morotai, salah satu pulau yang berada perairan Pasifik.
“Kalau bisa dibilang, sudah dari usia muda saya menjadi nelayan terutama memancing tuna,” ucap Samsul.
Ada banyak pengalaman yang diperoleh baik senang juga sebaliknya. Sebagai nelayan mereka dituntut harus memiliki pengetahuan tentang perubahan cuaca dan kapan tibanya musim ikan tuna.
Jarak untuk menuju ke lokasi perairan yang biasa ditempuh memakan waktu sekitar 3-4 jam dengan menggunakan perahu fiber untuk melaut dengan jarak mulai dari 11-50 mil dari bibir pantai. Hal itu membuat para nelayan harus keluar melaut sejak subuh atau pagi hari ketika yang lainnya masih nyenyak di atas tempat tidur.
Meski waktu sehari penuh telah dihabiskan, hasil tangkapan tak selamanya menjanjikan. Jika bukan musimnya, para nelayan hanya bisa bawa pulang 1-5 ekor ikan tuna, tapi kadang tidak bawa pulang hasil sama sekali. Musim ikan tuna tidak bisa diprediksi, kadang sebulan sekali kandang juga 4-5 bulan, baru bisa memperoleh hasil tangkapan yang melimpah. “Kalau hasil tangkapan kita tidak banyak, maka per minggu sampai sebulan penghasilan kita hanya diangka Rp1 jutaan,” akunya.
Namun ketika keberuntungan berpihak saat musim tiba, hasil tangkapan bisa sampai puluhan ekor. Dengan begitu sudah pasti penghasilan para nelayan pun ikut meningkat dengan memperoleh hasil tangkapan ikan tuna yang masuk kategori ekspor berukuran 10 kilo ke atas. Untuk 20 kilo gram biasa dijual ke suplier dengan harga Rp37 ribu per ekor, sedangkan berat 40 kilo gram seharga Rp48 ribu per ekor.
“Kalau saat musim dan hasil tangkapan banyak, penghasilan kita per minggu bisa sampai Rp15 jutaan. Itu saat musim, kalau tidak ya hasilnya sangat jauh dari yang diharapan. Tapi mau bagaimana, sebab itu sudah jadi konsekuensi yang harus kita hadapi,” katanya sambil tersenyum.
Perairan yang biasa menjadi tempat untuk memancing ikan tuna tidak hanya di wilayah Morotai, namun sampai ke perairan Halmahera. Sehingga kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) juga cukup banyak, mulai dari 70-100 liter sekali melaut disesuaikan dengan jarak tempuh.
Selain itu, masalah yang terus dihadapi nelayan saat ini, termasuk Samsul yaitu perahu fiber yang digunakan untuk melaut bukan milik pribadi, tapi milik saudaranya. Kebutuhannya ini sudah berulang kali disampaikan ke Pemerintah Daerah Pulau Morotai melalui Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP). Namun, keluhan tersebut belum juga ditanggapi sampai saat ini.
“Sering didata sebagai nelayan penerima bantuan, tapi setelah kita kasih masuk administrasi pendukung seperti KTP dan lain-lain, kita tidak dapat bantuan dan ini sudah berulang kali. Anehnya bantuan mesin itu malah diberikan ke warga yang tidak berprofesi sebagai nelayan,” kesalnya.
Permasalahan lain yang sering dihadapi nelayan tuna di Morotai yaitu cold storage atau ruang penampung ikan yang terkadang tidak mampu menampung hasil tangkapan nelayan. Akhirnya, ikan tuna hasil tanggapan para nelayan puluhan ton rusak dan terpaksa dikubur. Kondisi ini terjadi berulang kali dan membuat para nelayan dan pengusaha ikan di Morotai merugi puluhan bahkan ratusan juta.
“Karena tempat penampung dan ketersediaan es tidak memadai, sehingga pada 2018-2019 ikan tuna pernah dikubur sampai 4 ton karena rusak. Itu tidak hanya terjadi sekali saja tapi sudah berulang kali. Sebagai bentuk protes, kami pernah melakukan aksi demonstrasi dengan membawa serta ikan yang busuk dan dihamburkan di depan kantor DKP Morotai,” kata Asri Lotar yang juga berprofesi sebagai nelayan tuna.
Pria 37 tahun itu juga menceritakan, kondisi cuaca yang setiap saat berubah dan tak bisa diprediksi juga sering kali menjadi hambatan para nelayan saat melaut. Kemudian ada juga masalah lain saat melaut yaitu, tumpukan sampah yang berserakan di tengah lautan. Baik itu sampah plastik, seperti botol bekas, kertas plastik maupun ranting pohon dan jenis sampah lainnya.
“Kami belum temukan laut tercemar karena aktivitas pertambangan, tapi kalau sampah memang sering kami temukan dengan jumlah banyak. Kalau dihitung panjangnya bisa sampai ribuan meter, karena dari jauh terlihat seperti pulau,” ujarnya.
Kondisi ini tentu menjadi ancaman bagi ekosistem laut. Seperti yang terjadi pada November 2022, puluhan ton sampah terdampar di pesisir pantai Desa Juanga, Kecamatan Morotai Selatan.
Sampah plastik seperti botol minuman ternyata bukan hanya produk Indonesia tapi ada merek-mereknya yang berasal dari negara tetangga, mulai dari Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, Jepang dan Filipina.
Dugaan penyebab terdamparnya tumpukan sampah itu lantaran cuaca ekstrim jelang akhir, yang mengakibatkan pusaran arus dari permukaan perairan Halmahera dan Mindanau membawa sampah tersebut sampai ke pesisir Morotai.
Di tengah potensi ikan tuna yang melimpah, ternyata pemerintah daerah dan PT. Jababeka selaku pihak swasta yang diberikan tanggung jawab sebagai pengelola Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), khususnya di sektor perikanan belum mampu mengelola potensi perikanan dengan baik.
Pasalnya, sejak beroperasi pada 2018 lalu sampai saat ini tidak ada potensi perikanan yang dikelola. Padahal salah satu tujuan utama PT. Jababeka hadir di Morotai yaitu mengelola perikanan demi pengembangan KEK.
Dilintasi oleh Alur Laut Kepulauan Indonesia III yang juga merupakan jalur migrasi ikan tuna, KEK Morotai merupakan sumber bahan baku bagi industri pengolahan perikanan.
Dengan potensi yang dimiliki, KEK Morotai akan menjadi pusat industri perikanan didukung dengan logistik yang akan menjadikan Pulau Morotai sebagai penghubung internasional di kawasan timur Indonesia. Namun, jika dibandingkan dengan daerah lain KEK Morotai masih dapat rapor merah dari pemerintah.
Padahal potensi yang ada di Morotai ini perlu didorong terutama dari sisi ekspor komoditas perikanan. Dengan begitu pertumbuhan ekonomi Maluku Utara, tidak hanya bergantung pada sektor pertambangan. Karena ada beberapa investor yang tertarik untuk masuk di Morotai.
Hanya saja, masih banyak hal yang perlu dikembangkan seperti sarana prasarana. Karena hal tersebut menyebabkan kurangnya investor yang masuk. Akhirnya KEK Morotai dievaluasi akhir 2023 dan status KEK terancam dicabut oleh Pemerintah Pusat karena tidak ada perkembangan sama sekali.
Sesuai data ekspor dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Maluku Utara, selama ini komoditi perikanan dari Morotai yang banyak dibawa keluar, namun ekspornya melalui daerah atau provinsi lain salah satunya Surabaya, Jawa Timur.
Sehingga nilai devisa masuk ke daerah lain atau tidak memberi keuntungan sama sekali bagi daerah yang punya potensi perikanan terutama tuna yang menjadi kebutuhan pangan di negara luar.
Sehingga berdampak pada perputaran ekonomi masyarakat yang lambat dan begitu memprihatinkan. Belum lagi lahan KEK Morotai yang ditetapkan pemerintah pusat ribuan hektar baru digunakan 5-9 persen.
Rencana awalnya PT Jababeka sebagai pengelolaan KEK ada tiga sektor yakni, logistik, pariwisata dan lebih diprioritaskan sektor perikanan. Namun, yang dikembangkan saat ini hanya sektor pariwisata. Sedangkan perikanan belum ada pengembangan sama sekali dengan alasan terkendala regulasi dan perizinan.
Sebab proposal yang diajukan PT Jababeka ke Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di masa kepemimpinan Menteri Susi Pudjiastuti, terkait integrasi sektor perikanan mulai dari tangkap, pengolahan sampai pada industri tidak disetujui KKP lantaran izin tersebut menggunakan kapal asing.
“KEK Morotai itu beroperasi sejak 2018 dan awalnya kita fokus di sektor perikanan. Saat itu sempat beberapa kali kita datangkan investor ke sini (Morotai). Namun terkendala moratorium Ibu Susi (Mantan Menteri KKP) soal kapal dari luar negeri tidak boleh masuk. Kemudian pihak kami juga pernah ajukan ke KKP untuk 100 orang anak Morotai buat sekolah pembuatan kapal di Taiwan, tapi itu pun belum ditanggapi KKP. Itu yang jadi hambatan, sehingga KEK untuk perikanan belum jalan sampai saat ini. ,” kata Agustina Iskandar, selaku Manajer PT. Jababeka di Morotai.
Meski demikian, kata dia, pihak PT Jababeka masih terus membangun komunikasi dengan pihak investor dan sudah beberapa yang datang langsung ke Morotai melihat langsung potensi perikanan terutama ikan tuna. Namun terkendala izin dari kementerian, sehingga investor juga belum berinvestasi untuk pengembangan KEK di sektor perikanan.
Sehingga sampai saat ini belum ada produksi atau pengembangan KEK untuk perikanan. Dengan begitu, pihaknya akan kembali berkoordinasi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk skema pengembangan KEK Morotai di sektor perikanan.
“Ekspor ikan tuna masih ditangani pihak swasta yang lain di Morotai. Karena kita juga punya kendala soal beberapa izin, termasuk izin tinggal warga asing di sini. Padahal KEK punya spesial khusus. Jadi sekarang kami koordinasikan kembali dengan pihak kementerian. Harapannya agar ada respon baik dari kementerian soal pengembangan KEK di sektor perikanan. Sehingga bisa menjadi penunjang untuk kita kembangkan sektor perikanan di Morotai terutama tuna,” uapnya.
Lantaran hambatan tersebut, sehingga PT Jababeka melihat potensi lain untuk dikembangkan yaitu, tengah fokus pada pengembangan KEK di sektor pariwisata. Namun ada juga kendala yang terus dihadapi, terutama jadwal penerbangan pesawat ke Morotai. Dari sebelumnya setiap hari, sekarang hanya seminggu sekali. Sementara dari infrastruktur pendukung KEK menjadi tanggung jawab PT Jababeka tanpa ada bantuan dari pemerintah.
Meski demikian, pihak pengelola mengaku telah berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi, salah satunya penyerapan tenaga kerja lokal. Sebab hampir sebagian besar karyawan merupakan orang Morotai.
Merespon status KEK Morotai yang terancam dicabut oleh Pemerintah Pusat karena tidak ada perkembangan sama sekali, Agustia mengaku, hal itu merupakan kewenangan Dewan KEK Pusat.
Namun, pihak penilai harus mempertimbangkan berbagai macam hal. Apalagi Morotai ini merupakan daerah terluar yang berbeda dengan daerah-daerah yang ada di Jawa.
“Kalau status KEK dicabut pasti kecewa. Tapi perlu diingat kita ini merupakan salah satu pengelola KEK paling sukses di Indonesia yaitu KEK Kendal. Jadi dengan kondisi ini kita tetap berkomitmen dan optimis terus berupaya lakukan pengembangan membangun Morotai,” ujarnya.
Berdasarkan data ekspor tuna dua tahun terakhir yang diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Pulau Morotai yang dilakukan pihak swasta yakni PT. Harta Samudera yaitu sebagai berikut:
Ekspor tuna 2022
Tuna loin, Januari 1,920, Februari 48,226, Maret 29,040, April 25,080, Mei 24,540, Juni 1,830, Juli 2,760, Agustus 29,820, September 61,870, Oktober 13,470, November 5,460, Desember 47,880. Total 291,896 ton.
Baby Tuna, Januari 2,830, Februari 0, Maret 25,675, April 20,920, Mei 4,194, Juni 8,200, Juli 19,434, Agustus 31,704, September 53,020, Oktober 72,986, November 68,260, Desember 38,654. Total 345,877 ton.
Ekspor tuna 2023
Tuna loin, Januari 2,580, Februari 39,197, Maret 7,920, April 23,940, Mei 50,400, Juni 62,530, Juli 126,480, Agustus 61,110, September 49,140, Oktober 47,880, November 23,940, Desember 0. Total 495,117 ton.
Baby Tuna, Januari 2,624, Februari 33,886, Maret 13,792, April 7,200, Mei 6,320, Juni 9,762, Juli 3,700, Agustus 15,720, September 0, Oktober 0, November 0, Desember 0. Total 93, 004 ton.
Sementara Kepala Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) Morotai, Mahli Aweng mengatakan pengelolaan perikanan di Morotai pada umumnya masih banyak kendala harus diselesaikan. Sebagai pihak pengelola KEK, PT Jababeka sampai saat ini belum membangun komunikasi dengan SKPT soal pengembangan perikanan.
Padahal sesama pihak yang ditetapkan dalam program nasional, seharusnya ada sinergitas. “Belum ada komunikasi sama sekali dalam hal pengembangan KEK. Karena pengembangan KEK di sektor perikanan juga belum jalan sampai saat ini,” katanya.
Sebagai lembaga yang bernaung di bawah KKP, Mahli juga menilai, Pemerintah Kabupaten Pulau Morotai juga dinilai terkesan tidak mendukung program-program perikanan, sehingga menimbulkan berbagai macam masalah yang dihadapi para nelayan.
Misalnya pendistribusian bahan bakar minyak (BBM) subsidi ke nelayan yang tidak sesuai dengan rekomendasi Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BH-Migas). Sebab penyaluran BBM tidak langsung ke kapal ikan, malah melalui suplier yang akhirnya banyak nelayan yang tidak memperoleh jatah BBM subsidi sesuai kebutuhan.
“Pemda tidak jelas dalam mendistribusi BBM subsidi ke nelayan karena tidak sesuai prosedur yang akhirnya menyebabkan kenaikan harga BBM subsidi atau harganya tidak sesuai yang telah ditetapkan. Ujung-ujungnya nelayan yang menjadi korban, karena terkesan dipersulit” kesalnya.
Kemudian masalah lain dalam pengembangan perikanan juga yaitu, ada pihak swasta yang terkesan monopoli pengelolaan sektor perikanan yang mengakibatkan koperasi perikanan tidak jalan dan harus ditutup. Padahal tujuan utama pembangunan SKPT itu dalam rangka menghidupkan koperasi untuk mendukung ekonomi masyarakat.
Namun Pemda Morotai memilih menghapus status koperasi dengan memasukkan pihak swasta yakni PT Harta Samudera untuk mengelola fasilitas yang ada di SKPT. Dalam rangka pengembangan perikanan, saat ini pihak SKPT sementara membangun tambahan ruang pendingin ikan 200 ton, pabrik es dan fasilitas pendukung lainnya.
Ditargetkan pada pertengahan 2024 pengembangan tersebut sudah selesai sehingga bisa dioperasikan. Ketika pengembangan SKPT selesai, maka diwajibkan seluruh kapal untuk beraktivitas di SKPT disertai dengan surat-surat kapal yang jelas.
“Kami pastikan ketika pengembangan SKPT selesai, maka kita akan tertibkan seluruh aktivitas kapal perikanan yang beraktivitas di Morotai. Sehingga pengelolaan perikanan Morotai berjalan sesuai dengan prosedur yang sudah ditetapkan, dengan tujuan mempermudah nelayan tanpa ada yang dikorbankan,” tegasnya.
Pengelolaan KEK di sektor perikanan yang belum maksimal juga diakui Pemda Pulau Morotai. Selain kurangnya investasi, sektor perikanan dalam pengelolaan KEK juga masih terkendala berbagai macam fasilitas pendukung. Mulai dari tidak layaknya kontainer, kapasitas tol laut yang hanya memuat delapan kontainer dalam sekali pengiriman per bulan juga fasilitas infrastruktur pelabuhan yang tidak mendukung. Akhirnya hasil dari Morotai hanya bisa dikirim sampai ke Surabaya untuk diekspor ke luar negeri.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Pulau Morotai, Yoppy Jutan mengatakan, untuk ekspor perikanan wilayah 3TP (terdepan, terluar, tertinggal dan perbatasan) termasuk Morotai masuk dalam penugasan yaitu, hanya ekspor melalui tol laut karena tidak ada aksesibilitas untuk kargo pesawat. Sehingga komoditi ekspor seperti tuna dari wilayah jauh hanya menggunakan tol laut untuk ke Surabaya.
Di sisi lain, ekspor langsung ke luar negeri juga tidak mudah karena harus melalui berbagai macam tahapan dan syarat yang harus dipenuhi. Misalnya setiap pengelolaan ikan ekspor harus memiliki standar kelayakan produk dan harus berproses sesuai dengan standar. Kemudian syarat tambahan ke negara tujuan seperti nomor register.
“Selain itu, ekspor di sektor perikanan juga masih banyak kendala yang dihadapi. Baik kontainer, kelayakan dan waktu transportasi tol laut juga fasilitas infrastruktur pelabuhan yang tidak mendukung. Sehingga kita sedang mendorong kebutuhan kelayakan ekspor dari hulu sampai hilir agar produk perikanan kita tidak mubazir. Jadi prosesnya tidak mudah. Karena komoditi perikanan itu punya syarat tersendiri jadi harus memenuhi syarat itu baru bisa dilakukan ekspor langsung ke negara luar,” katanya.
Untuk KEK di bawah pengelolaan PT. Jababeka, kata Yoppy, saat ini terus didorong agar ada investasi yang masuk untuk mengembangkan KEK di Morotai. Hanya saja, kendala-kendala tersebut menjadi penghambat untuk investasi khususnya di sektor perikanan.
Olehnya itu, perlu ada intervensi dari pemerintah pusat untuk melihat kendala-kendala yang dihadapi untuk bisa dipenuhi. Kalau tidak maka sektor perikanan terus diperhadapkan dengan masalah yang terus menerus.
Saat ini sedang diusulkan agar diberikan akses tol luat dari Morotai langsung melalui Bitung untuk tujuan ekspor ke luar negeri seperti Filipina, Sanghai, Tiongkok dan Jepang. Karena selama ini akses tol lautnya belum masuk melalui Bitung, padahal jaraknya cukup dekat dari Pulau Morotai.
“Jatah kontainer kita begitu sedikit, akhirnya produk ikan kita banyak tidak bisa diangkut. Kalau investor masuk bagaimana pengangkutannya, sebab mereka membutuhkan jaminan trayek. Hal ini yang menjadi kendala. Kemudian KEK ini di bawah koordinasi pemerintah pusat. Jadi mereka harus mengintervensi hal ini dalam bentuk subsidi dan lain-lain. Karena dibutuhkan kolaborasi pihak-pihak terkait, sehingga perencanaannya bisa berjalan baik,” ujarnya.
Meski KEK perikanan di Morotai tidak jalan, namun ada salah satu perusahaan swasta yakni PT. Harta Samudra yang bergerak di sektor perikanan telah memiliki izin serta syarat untuk melakukan ekspor ke Vietnam. Namun perusahaan tersebut bukan sebagai pengelola untuk mengembangkan KEK di Pulau Morotai.
“Sudah ada PT. Harta Samudera sebagai pengelola di SPKT yang lakukan ekspor tuna dari Morotai langsung ke Vietnam. Tapi perusahaan itu hanya mengelola SKPT saja dan bukan sebagai perusahaan pengelola KEK,” jelasnya.
Menurutnya, dalam upaya ekspor tuna ini pemerintah daerah tengah berupaya membangun komunikasi dengan sejumlah pihak. Bahkan akan dilakukan percobaan ekspor dari Morotai langsung ke luar negeri menggunakan maskapai Garuda. Jika percobaan ini berhasil maka jumlah ekspornya akan dinaikkan per trip.
“Kita coba ekspor tuna langsung dari Morotai sampai Jepang yang didukung TNI Angkatan Udara dan pihak Garuda. Untuk langkah awal kita coba ekspor 200-300 kilo. Kalau sampai tiba di negara tujuan dan ikan kita masih masuk gret sasimi, maka ekspornya akan kita naikkan 3 ton per trip,” ujarnya.
Saat ini Morotai memiliki cold storage atau tempat pendingin ikan dengan kapasitas 850 ton. Diantarnya 100 ton di Desa Ngele-Ngele, 250 ton di Desa Tiley Pantai, 250 ton di SKPT, 50 ton di Desa Sangowo dan sekarang ada tambahan melalui hibah ada 200 ton.
Dengan kapasitas cold storage tersebut masih perlu ditambah. Karena pengangkutan ikan keluar Morotai masih terkendala jumlah trip Tol Laut. Dari sebelumnya dua kali sebulan, tetapi sekarang hanya satu kali setiap bulan. Kemudian sekali angkut hanya 4-5 kontainer. Secara otomatis masih banyak yang tidak terangkut.
“Misalnya hari ini yang keluar 4-5 kontainer melalui Tol Laut, satu minggu kemudian cold storage sudah ful lagi. Jika dalam sebulan baru kapal datang mengangkut lagi, maka akan terjadi over kapasitas yang memaksakan ikan-ikan tersebut harus dikubur. Apalagi sekarang ini mau menjelang musim puncak pada Maret sampai Mei,” ujarnya.
Untuk menambah cold storage, Pemkab Pulau Morotai telah mengajukan permohonan ke Dirjen PDSP dan Direktur Logistik untuk menambah gudang beku yang akan dibangun dengan kapasitas 500 ton di Morotai.
Tujuannya agar tidak terjadi lagi peristiwa kubur ikan. Karena penambahan pembangunan cold storage tidak cukup menggunakan APBD, sehingga Pemkab Morotai hanya bias mengharapkan bantuan dari pemerintah pusat melalui KKP.
“Morotai ini setiap saat harus kubur ikan. Karena selain kebutuhan es yang terbatas, juga infrastruktur cold storage juga masih sangat terbatas. Sementara anggaran kami masih dibilang sangat kecil untuk bangun cold storage, akhirnya hanya mengharapkan bantuan dari Pemerintah Provinsi dan kementerian,” tandasnya.
Asisten I Sekretariat Daerah (Setda) Kabupaten Pulau Morotai, Muhlis Bay mengatakan, PT Jababeka selalu pihak pengelola juga sudah berupaya pengembangan KEK. Rencana awalnya pengelolaan KEK itu berbasis pada tiga sektor yakni, logistik, perikanan dan pariwisata. Hanya saja sektor perikanan belum berjalan maksimal lantaran terkendala regulasi.
Meski demikian, saat ini pihak PT Jababeka terus berupaya maksimalkan pengelolaannya, sehingga KEK tetap eksis kedepan. Terkait soal ekspor tuna, sambung dia, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Morotai juga ikut berupaya untuk melakukan ekspor sendiri yang berbasis Sentra Kelautan Perikanan Terpadu (SKPT). “Memang sampai saat ini pengelolaan KEK belum tercapai sesuai yang diinginkan,” akunya.
Menurutnya, Pemda Morotai tidak ikut campur karena dalam pengelolaan KEK. Sebab itu merupakan program nasional yang ada di beberapa kawasan termasuk di Indonesia Timur yang disertai dengan insentif fiskal kepada pihak pengelola sesuai dengan undang-undang KEK. Terkait soal KEK yang terancam dicabut, hal itu tergantung evaluasi Kementerian Perekonomian. Jika mereka menganggap KEK Morotai tidak jalan maka bisa saja terjadi pencabutan status KEK sesuai regulasi yang ada.
“Sekarang ini masih proses evaluasi dan kami juga beberapa kali diundang dalam evaluasi tersebut. Kemudian pihak PT Jababeka juga masih terus berupaya soal KEK ini. Pada prinsipnya Pemda Morotai tetap mendukung pihak pengelola dengan memberi izin pembebasan lahan ketika diperlukan untuk pengembangan KEK di Morotai,” tutupnya.
*) Tulisan ini merupakan republikasi berita yang naik di portal Malutpost.com pada 16 April 2024. Liputan ini merupakan bagian dari program Fellowship “Mengawasi Proyek Strategis Nasional” yang didukung Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.