Kekerasan Seksual Di Sekitar Pilkada, Para Calon Kepala Daerah Terduga Pelakunya

Oleh: Anita Dhewy, Luviana dan Verolyn Sintya

INDEPENDEN- Informasi ini tiba-tiba datang dan menyebutkan, bahwa seorang calon Bupati di Jember, Jawa Timur, berinisial MF dikabarkan melakukan perselingkuhan. Info ini kami dengar di sela-sela pelaksanaan kampanye Pilkada 2024.

Selama ini MF sudah punya istri. Sebelum kasus perselingkuhan jelang Pilkada ini terkuak, MF juga dikabarkan pernah menikah dengan seorang perempuan lain yang dinikahinya secara siri dan punya anak. Perempuan yang dinikahinya secara siri ini lalu dicerai ketika ketahuan hamil. Seorang sumber menyatakan, perempuan ini dinikahi secara siri di mobil, lalu dicerai begitu saja melalui pesan WhatsApp (WA).

Jelang pencoblosan Pilkada yang dilakukan 27 November 2024, sejumlah calon pemimpin daerah disorot. Ini karena beberapa diantaranya diduga melakukan kekerasan seksual dan kekerasan dalam pacaran, beberapa diantaranya adalah di Jember, Jawa Tengah, Maluku, Papua dan Bekasi.

Salah satunya adalah MF, Calon Bupati di Jember yang diduga melakukan perselingkuhan dengan seorang selebgram perempuan, berinisial MA.

Suami MA yang bernama Yu mengungkap kejadian ini dalam Tiktok mak.lambe.turah dan membenarkan bahwa istrinya, MA memang telah berselingkuh dengan MF. Kebenaran soal perselingkuhan ini juga ia dapatkan dari bukti-bukti chat antara MA dan MF.

“Salah satunya mereka bilang sayang-sayangan, trus dibales dengan sticker love. Istri saya ngomong sayang, trus dari MF nya juga ngomong love.

Sebelumnya ketika chat itu ditemukan oleh Yu, MA mengatakan bahwa chat tersebut bukan berasal dari MF. Tapi setelah waktu berlalu, akhirnya MA mengakui jika ia punya hubungan khusus dengan MF. MA selama ini diketahui bekerja dengan MF sebagai tim kampanye dan diberikan banyak uang.

“Uangnya gak sedikit, segepok, itu hasil kerja dengan MF. Dan itu ditunjukkan ke saya, saya gak tahu model kerjanya istri saya dengan MF ini gimana, dan saya juga terkait menanyakan terkait kontraknya bagaimana, berapa yang seharusnya dihasilkan? Istri saya hanya menyatakan, nanti ku mintakan, nanti ku mintakan.”

Namun lama-lama Yu melihat ada perubahan besar pada istrinya, seperti tiba-tiba istrinya bisa beli rumah dan apartemen.

“Istri saya bisa beli rumah, sampai yang terbaru ini, apakah apartemen ini sewa atau beli, saya gak tahu.”

Yu juga menyatakan, istrinya kemudian terangan-terangan menunjukkan jika memang punya relasi dekat dengan MF.

Konde.co kemudian menghubungi Direktur LBH Jentera Perempuan Indonesia, Fitriyah Fajarwati, dan Direktur Gerakan Peduli Perempuan (GPP) Jember, Sri Sulistiyani untuk menelusuri kasus ini pada Rabu (20/11/24). Baik Sri Sulistiyani maupun Fitriyah mengungkapkan, bahwa pihaknya belum melakukan investigasi atas kasus ini. Meski begitu menurut Sulis, penting untuk mencermati respon yang berkembang dari sejumlah pihak yang terlibat dalam kasus tersebut dan ramainya kabar tersebut beredar di Jember.

Fitriyah mengatakan, sejauh ini sudah ada laporan ke polisi terkait dugaan perselingkuhan antara Cabup Jember (MF) dan seorang perempuan (MA) yang diungkap oleh Yu, suami MA. Informasi ini ia dapatkan dari pemberitaan media yang ramai di Jember.

“Dari pemberitaan media, sudah ada laporan ke Polda Jatim yang dilakukan oleh suaminya. Karena si suami melihat chat istrinya dengan MF. Ketika dikonfirmasi ke istrinya, ia mengakui punya hubungan dengan salah satu calon bupati Jember,” kata Fitri.

Laporan ke polisi ini mengindikasikan kasus yang sedang bergulir tersebut adalah persoalan serius. Sulis menyayangkan sikap terduga pelaku dalam menanggapi kasus yang diduga melibatkan dirinya. Pengacara Yu, yang dihubungi Konde.co belum menjawab soal laporan ke Polda, sampai berita ini diturunkan.

Sebelumnya, ketika isu soal perselingkuhan dan kawin siri mencuat yang melibatkan perempuan lain sebelum MA, MF membantahnya dengan mengatakan kabar tersebut sebagai fitnah dan bohong. Alih-alih membuktikan tuduhan tersebut tidak benar, MF justru menyerang balik dengan tuduhan. 

“Jadi budaya malunya enggak ada. Kita perlu mencontoh masyarakat Jepang, kalau kena kasus begitu, mundur. Atau melakukan pembuktian terbalik, kalau dia dituduh maka buktikan bahwa dia tidak melakukan tuduhan itu,” kata Sri Sulistiyani. 

Hal lain adalah menanggapi dugaan kasus kekerasan seksual dengan menggunakan perempuan sebagai tameng atau memperhadapkan perempuan secara vis a vis. Sri Sulistiyani mengatakan jika strategi semacam ini sering dipakai dan membuat miris.

“Misalnya ketika seorang pemimpin dituduh sebagai pelaku kekerasan seksual terhadap perempuan, maka istrinya ditampilkan sebagai ibu yang penuh kasih sayang, perempuan rumah tangga, perempuan bijaksana, lemah lembut, dst. Kayak ditarik garis ke suaminya bahwa kalau istrinya alim, nggak mungkin dong suaminya nggak alim,” papar Sulis. 

“Fenomena itu yang saya lihat, bahwa perempuan sekali lagi dipakai untuk menutupi aib atau borok para calon pemimpin. Jadi seolah-olah masyarakat digiring untuk melihat si laki-laki calon pemimpin ini melalui profil istrinya,” tambahnya.

Padahal kalau misalnya seorang calon pemimpin selingkuh atau menikah siri dimana-mana, istri pertamanya adalah juga korban. Jadi korban dipakai untuk menutup atau membungkam korban yang lain, papar Sri Sulistiyani. 

Di sisi lain korban juga dimanipulasi supaya membela dirinya. Ini bisa dilihat dari pernyataan perempuan yang menjadi selingkuhan atau yang dinikahi siri. Misalnya dengan menyatakan bahwa dirinya bahagia, seolah-olah bukan korban kekerasan seksual. Pernyataan bahagia itu tidak bisa dilepaskan dari hadiah-hadiah yang diberikan kepadanya. Fenomena ini bisa ditemui di Jember maupun di luar Jember. Upaya untuk menggiring opini publik ini dilakukan dengan mengerahkan buzzer-buzzer yang sebagian juga merupakan tim sukses si calon.

Fitri menambahkan, strategi lain yang dipakai adalah dengan berlagak playing victim, yakni perilaku seseorang yang merasa seolah-olah dirinya menjadi korban dalam sebuah situasi, tanpa mengakui tanggung jawab pribadinya.

“Kalau yang di media sosial itu, postingan atau komentarnya itu seolah-olah dia terzolimi. Misalnya, ‘diejek, difitnah, di jelekin, sholawatin aja.’ Ya kayak gitu-gitulah. Itu citra yang berusaha dibangun. Tapi kalau saya lihat di media sosial netizen itu cerdas ya. Saya kira seperti itu,” urai Fitri.

Hal lain yang menurut Sulis perlu dikritisi adalah MF selama ini banyak menggunakan simbol-simbol yang dilekatkan dengan karakteristik keperempuanan dalam kampanyenya. Ini bisa dilihat sebagai upaya meraup suara pemilih perempuan.

“Misalnya sering menggunakan gestur cinta (finger heart), terus pakai dresscode-nya baju pink. Itukan mau menarik pemilih perempuan,” kata Sri Sulistiyani.

Bahkan slogan yang dipakai adalah ‘semua karena cinta’. Bagi Sri Sulistiyani, ini adalah jargon yang bagus dan relatif disukai banyak perempuan, namun perempuan ternyata hanya sebatas dijadikan objek, alat untuk meraup suara, sementara tindakannya jauh dari sikap menghormati hak-hak perempuan.

Sri Sulistiyani mengingatkan jika separuh populasi masyarakat adalah perempuan, maka penting sekali bagi calon pemimpin punya kesadaran untuk menegakkan HAM perempuan.

“Kalau misalnya dia sendiri pelaku kekerasan, maka pemilih perempuan bisa kehilangan kepercayaan. Walaupun misalnya dalam proses pencalonannya memberikan hadiah-hadiah kepada kelompok-kelompok pengajian untuk menarik suara kaum perempuan. Misalnya dengan membelikan seragam gamis untuk kelompok pengajian, mengajak wisata religi, atau memberi hadiah umroh,” tuturnya. 

Tindakan tersebut seolah-olah menunjukkan sikap pribadi yang religius, tapi itu semua hanya simbol-simbol yang tidak terkait langsung dengan karakter si manusianya sendiri. 

Menelisik Kasus Dugaan Tindak Kekerasan Seksual Di Daerah Lain

Tahun 2023 lalu, Bupati Maluku Tenggara, MTH diketahui melakukan sejumlah kekerasan seksual, termasuk pemerkosaan, pada salah satu pegawai kafe milik istrinya, TSA. Kini, di tahun 2024, MTH kembali mencalonkan diri menjadi Cabup di Maluku Tenggara.

Dalam liputan Konde.co pada September 2023, MTH disebutkan ingin menikahi korban dan memberikan keluarga korban uang Rp1 miliar. Kasus ini kemudian viral dengan sejumlah isu yang tidak bisa dikonfirmasi kebenarannya, di antaranya adalah apakah TSA telah menerima uang pengganti kerugian sebesar satu milyar rupiah dari kasus ini, dan telah dinikahi oleh MTH di Jakarta?

Bintang Puspayoga, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) kala itu, ikut memberikan dukungan pada korban. Ia menekankan bahwa Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) tidak memungkinan adanya proses damai yang ditawarkan oleh pelaku pada korban dalam kasus ini.

Untuk mengetahui status hukum kasus ini, Konde.co kemudian menemui Kanit Subdit IV Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polda Maluku Iptu Lilian Siwabessy yang dihubungi via sambungan telepon, Kamis (21/11/ 2024), untuk mengkonfirmasi status kasus TSA. Ia mengatakan, bahwa kasus ini telah selesai, namun ia enggan untuk menjelaskan lebih rinci.

Iptu Lilian beralasan tidak ingin mericuhkan situasi menjelang Pilkada. Ia meminta agar Konde.co menghubungi Direktur Ditreskrimum Polda Maluku Kombes Pol Andri Iskandar untuk mendapatkan informasi yang lebih mendetail.

“Saya hanya bisa bilang kasusnya sudah selesai, mengenai blah blah blah-nya itu saya tidak bisa menjelaskan, untuk lebih jelasnya silahkan temui direktur kami,” ucapnya.

Direktur Ditreskrimum Polda Maluku Kombes Pol Andri Iskandar ketika dihubungi untuk mengajukan wawancara pada 22 November 2024 dan ditunggu pada pukul 11.00 WIT hingga pukul 16.00 WIT, ia tidak datang ke kantornya di jalan Rijali, dan juga tidak membaca pesan yang dikirimkan. Dari informasi seorang anggota polisi di Ditreskrimum, Kombes Pol Andri Iskandar sedang berada di kantor Polda Maluku yang berada di jalan Sultan Hasanudin sejak pagi, dan akan sulit ditemui.

Konde.co kembali mencoba menghubungi Kombes Pol Andri Iskandar via pesan WhatsApp pada 22 November, dan mengirimkan pertanyaan yang akan diajukan dalam wawancara agar bisa dijawab setelah ia tidak sibuk, namun pesan itu baru dibaca pada 23 November 2024 dan tidak dibalas.

Diusung oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN), MTH yang memenangkan pemilu 2018 dan menjabat sebagai bupati Maluku Tenggara periode 2018-2023, kini mencalonkan diri lagi. Kasus dugaan tindak kekerasan seksual yang dilaporkan di akhir masa jabatannya, tidak menghentikan MTH untuk kembali menjadi bupati.

Kepala Divisi Teknis Penyelenggaraan KPU Kabupaten Maluku Tenggara Triko Notanubun saat dihubungi pada Jumat (22/11), mengatakan bahwa Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) yang dimasukkan atas nama MTH bersama berkas lainnya saat pendaftaran, menerangkan bahwa statusnya hanya sebagai terlapor dalam kasus dugaan kekerasan seksual pada 2023. Tercatat sebagai terlapor, oleh KPU setempat, MTH dianggap masih memenuhi syarat untuk ikut dalam kontestasi politik pada 27 November 2024.

“Hanya terlapor. KPU prinsipnya selama tidak melanggar persyaratan tetap masih bisa untuk kembali mencalonkan diri,” kata Triko Notanubun pada Konde.co.

Konde.co kemudian menemui Othe Patty dari Yayasan Peduli Inayana Maluku (YPIM) yang mendampingi TSA, didukung oleh jaringan aktivis Gerak Bersama Perempuan Maluku berupaya agar kasus bisa diselesaikan dan korban mendapatkan keadilan. Othe Patty yakin bahwa hingga sekarang, korban belum mendapatkan keadilan.

“Menurut saya, korban belum mendapatkan keadilan. Kasusnya blunder ke mana-mana dengan berbagai isu dan spekulasi yang menyudutkan korban muncul di media massa dan media sosial,” kata Othe Patty dalam wawancara Konde.co pada Kamis (21/11/ 2024).

Ia mengaku tidak mengetahui hasil akhir kasus TSA, karena TSA mendadak tidak bisa dihubungi ataupun ditemui sejak 9 September 2023 lalu, delapan hari setelah TSA melaporkan kasusnya. Keluarga korban didampingi kuasa hukum Malik Raudhi Tuasamu kala itu dan mereka mendatangi Polda Maluku dan mengambil alih kasus. Setelah  menggelar jumpa pers, mereka menyatakan bahwa kasus itu telah diselesaikan secara damai.

“Saya tidak tahu lagi prosesnya dan akhirnya seperti apa karena korban tiba-tiba tidak bisa dihubungi sama sekali. Keluarga korban juga mengambil alih kasus, saya diminta untuk tidak lagi mendampingi korban,” ucapnya.

Korban, kata Othe Patty, yang sebelumnya tidak bisa dihubungi sama sekali sempat menjawab telepon darinya, dan menanyakan kesiapan korban mengikuti pemeriksaan psikiatrikum di Rumah Sakit Khusus Daerah (RSKD) Maluku, karena hasil pemeriksaan psikiatrikum pada 7 September 2023 invalid. Kepada Othe, korban menyatakan siap menjalani pemeriksaan psikiatrikum pada 9 September 2023, dan akan datang bersama VA, kakak kandungnya.

“Kami sudah janjian. Waktu itu di telepon saya tanya, apakah saya perlu menjemputnya dan sama-sama ke sana, dia bilang nanti dijemput VA. Beberapa jam sesudahnya tidak bisa dihubungi lagi,” ujar Othe Patty. 

Mengetahui adanya pencabutan laporan itu, Othe Patty kala itu bersama jaringan aktivis Gerak Bersama Perempuan Maluku menemui Kepala Sub Direktorat Ramaja, Anak dan Wanita (Renakta) Ditreskrimum Polda Maluku AKBP Sulastri Sukijang. Mereka meminta agar kasus tetap diselesaikan karena mengacu pada ketentuan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual/ TPKS, penyelesaian kasus kekerasan seksual tidak mengenal proses penyelesaian di luar pengadilan atau diselesaikan secara kekeluargaan (restorative justice).

AKBP Sulastri Sukijang saat itu menyampaikan bahwa penyidik belum bisa memanggil dan memeriksa MTH dikarenakan terlapor adalah seorang pejabat publik. Polisi akan mengikuti prosedur dengan terlebih dulu mengirimkan surat izin pemeriksaan ke Kemendagri. Jika dalam 30 hari tidak dibalas, maka penyidik berhak memanggil dan memeriksa terlapor.

Kepolisian kemudian melanjutkan penyelidikan, mereka menggelar pemeriksaan psikiatrikum pada 7 September 2023, dan harus diulang pada 8 September 2023 karena hasilnya invalid, namun pihak keluarga meminta ditunda hingga 9 September 2023.

Pada hari yang sama, Patty Kafyan Suat, pengacara pro bono yang dikontak sendiri oleh TSA via direct message Instagram pada Agustus 2023, untuk meminta bantuan, menemui ayah TSA di rumahnya. Saat itu ayah TSA secara sepihak mencabut kuasa Patty Kafyan Suat sebagai pengacara korban, dan tidak mengizinkannya menemui TSA.

Pada 8 September 2023, tujuh hari sesudah TSA melaporkan kasusnya, ayahnya TSA didampingi Malik Raudhi Tuasamu sebagai kuasa hukum keluarga korban, menyerahkan surat pernyataan menolak melanjutkan pemeriksaan psikiatrikum. Tercatat hingga 11 September 2023, penyidik masih melanjutkan pemeriksaan lima orang saksi dari pihak keluarga dan korban untuk berita acara wawancara (BAW), namun tidak seorangpun hadir.

Dari rentetan kejadian ini, Otte Patty yakin jika korban belum mendapatkan haknya.

Sejumlah dugaan kasus kekerasan seksual di kota lain, juga terjadi di Papua dan Bekasi. Melansir dari Kompas.id, salah seorang Calon Bupati (Cabup) Biak Numfor, Papua, HAN, ditetapkan sebagai tersangka kasus pelecehan seksual yang terjadi pada anak laki-laki berumur 18 tahun. HAN ditangkap dan dibawa ke Polda Papua di Jayapura pada Jumat 22 November 2024. Kompas.id juga menulis tentang pernyataan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Biak Numfor yang menyatakan bahwa pencalonan HAN masih sah karena belum ada putusan hukum tetap atau inkrah.

Di Bekasi, kasus dugaan kekerasan seksual yang dilakukan Calon Walikota Bekasi, S dilakukan terhadap kadernya sendiri. Kasus ini terbongkar setelah ada yang mendengar rekaman suara. 

Dilansir dari media pojoksatu.id, para kelompok perempuan yang membentuk Gerakan Wanita Peduli Kota Bekasi (GWPKB) mengecam perbuatan dugaan kekerasan seksual yang dilakukan terlapor inisial ‘S’ terhadap korban ‘IL’. Mereka juga mendatangi Kantor Bawaslu Bekasi pada 22 November 2024 dan meminta Bawaslu untuk mendiskualifikasi calon pimpinan daerah yang melecehkan perempuan. Saat ini S sudah dilaporkan ke Polda Metro Jaya atas kasus dugaan kekerasan seksual.

Dugaan Kekerasan dalam Pacaran di Jawa Tengah

Di Jawa Tengah, salah satu Calon Gubernur/ Cagub nya juga diduga melakukan kekerasan dalam pacaran terhadap pacarnya. Sebelumnya, informasi soal dugaan ini juga Konde.co dapatkan dari salah satu aktivis.

Dugaan ini mencuat lewat cuitan salah satu akun X, @JhondeeMinang pada 30 Oktober 2024. Dalam postingannya, akun itu menyebutkan jika Cagub AL telah melemparkan asbak ke pacarnya V, karena dianggap teledor saat memakai media sosial. Ini lantaran foto mereka tersebar, dan Instastory temannya kemudian viral.

Sebelumnya pada 29 Oktober 2024, akun tersebut mencuit V biasa bepergian dengan mobil mewah berplat Jatim. V juga biasa dikawal dengan patwal tiap kali bepergian. Dalam cuitannya, akun itu juga menyertakan video yang menunjukkan V tengah menjemput seseorang memakai mobil mewah.

Tak berselang lama, akun Instagram yang diduga milik V mengunggah klarifikasi lewat postingan yang menjelaskan bahwa dirinya menerima hujatan akibat berita soal hubungannya dengan AL. Ia juga menegaskan bahwa dirinya tidak punya hubungan spesial dengan AL. V juga mengakui mobil mewah yang ia pakai memang milik AL, dan dirinya hanya dipinjami.

Setelah membuat postingan tersebut, V kemudian mengubah setelan akun media sosialnya menjadi akun privat, sehingga tidak bisa dilihat dan dikomentari oleh akun yang bukan follower-nya. Sejauh ini AL tidak memberikan pernyataan kepada publik terkait kasus tersebut, namun isu terlanjur menjadi perbincangan luas netizen.

Konde.co berusaha menelusuri dugaan kasus kekerasan tersebut dengan menghubungi Direktur LRC-KJHAM, lembaga pengada layanan di Semarang, Nur Laila Hafidhoh atau Yaya pada Senin (18/11/24). Namun Yaya mengungkapkan hingga kini lembaganya belum menerima pengaduan dari korban. Ia juga belum mendapat informasi tentang lembaga pengada layanan yang mendampingi korban.

“Kami bekerja berdasarkan pengalaman atau pengaduan korban atau keluarganya. Sejauh ini kami tidak mendapatkan pengaduan korban dan kami juga belum mendengar korban didampingi oleh lembaga layanan yang mana. Jadi kami belum bisa merespons kebenaran kasus itu,” tutur Yaya.

Sementara itu Direktur Gerakan Peduli Perempuan (GPP) Jember, Sri Sulistiyani mengungkapkan hasil pengamatannya di media sosial atas kasus yang bergulir terkait Cagub AL.

“Kabar yang beredar, ceweknya kan dipacarin bertahun-tahun, jadi istilahnya simpenan gitu, dia (AL) duda. Terus si ceweknya ini minta dikawinin, AL janji-janji doang. Ceweknya minta dikawinin sebelum Pilkada. Emosilah AL, dia lempar asbak ceweknya itu,” tuturnya.

Isu ini ramai di media sosial dan jadi perbincangan warganet. Sulis melanjutkan AL punya slogan “Ngopeni Ngelakoni” artinya merawat dan melakukan/mengerjakan. Setelah kasus tersebut muncul, warganet memelesetkan jargon tersebut menjadi “Ngopeni Ngelakeni”—istilah yang maknanya kasar—yang artinya menjadi merawat dan mengajak hubungan seksual. Setelah isu ini menjadi viral, survei elektabilitas AL dan pasangannya merosot. Sulis menduga kemunculan isu tersebut turut berpengaruh.

Tempo pada 9 November 2024 menulis beberapa lembaga survei telah merilis hasil survei elektabilitas yang menunjukkan AP dan pasangannya (lawan AL) mengungguli AL dan pasangannya. Padahal sebelumnya hasil survei menunjukkan kalau AP dan pasangannya sempat tertinggal. Survei lembaga Poltracking Indonesia pada periode September misalnya, menunjukkan hasil AL dan pasangannya unggul. 

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Mike Verawati yang dihubungi Konde.co paska mengadakan acara Pilkada damai untuk perempuan di Bundaran HI, Jakarta pada 17 November 2024, membenarkan bahwa KPI juga telah mendata sejumlah calon kepala daerah yang melakukan kampanye seksis, misoginis dan diduga melakukan kekerasan seksual.

“Iya ada seksisme, misoginisme dan dugaan melakukan kekerasan seksual di beberapa daerah,” kata Mike Verawati.

Mike Verawati mengatakan bahwa sudah seharusnya KPU dan Bawaslu menjadikan ini pertimbangan sebagai calon pemimpin daerah.

“Hal seperti ini mestinya direspon, rekam jejak buruk ini tidak hanya dilakukan para koruptor. Ini khan performa, belum apa-apa sudah melakukan kekerasan. Ini contoh yang tak baik, ada pembanalan, dan tidak jadi pertimbangan, apalagi partai-partai ini tidak merasa jika kekerasan seksual ini ada hubungannya dengan politik, kekerasan ini khan bagaimana memperlakukan perempuan dalam perspektif, dalam bekerja nanti,” kata Mike Verawati.

Seksisme dan Misoginisme di Sekitar Pilkada

Seksisme dan misoginisme di seputar Pilkada juga dilakukan oleh para calon pimpinan kepala daerah. 

Pada Kamis (21/11), beredar sebuah potongan video, Calon Gubernur DKI Jakarta, Ridwan Kamil yang merendahkan janda sebagai bahan candaan ketika melakukan deklarasi dukungan relawan di Jakarta Timur.

“Nanti janda-janda akan disantuni oleh Pak Habiburokhman, akan diurus lahir dan batin oleh Bang Ali Lubis, akan diberi sembako oleh Bang Adnan, dan kalau cocok akan dinikahi oleh Bang Ryan,” ujar Ridwan Kamil dalam orasinya, diikuti gelak tawa dari timnya yang semuanya adalah laki-laki.

Ridwan Kamil punya rekam jejak membuat postingan di media sosial yang seksis dan mengobjektifikasi perempuan. Pada 2017, ia juga sempat membuat pernyataan tentang dirinya yang “mengizinkan” istri untuk meraih gelar S-2, tapi di satu sisi menuntut istrinya untuk “rajin ke salon luluran” sebagai bentuk dari kodrat perempuan.

Sama seperti Ridwan Kamil, calon gubernur pasangannya, Suswono juga melakukan pelecehan seksual pada janda. Pernyataan Suswono tentang “janda kaya” yang disarankan menikahi pemuda pengangguran menuai kritik tajam. 

Meski sudah meminta maaf, pernyataannya tetap menunjukkan asumsi bahwa janda perlu “diselamatkan” oleh laki-laki, seakan mereka tak bisa mandiri. Suswono meminta agar janda-janda kaya menikahi pemuda pengangguran dalam acara deklarasi dukungan Bang Japar di Aula Nyi Ageng Serang, di Jakarta Selatan pada 26 Oktober 2024

“Saya pastikan kalau janda miskin pasti ada. Tapi masa janda kaya minta kartu juga? Saya sarankan untuk janda kaya menikahi pemuda yang nganggur,” ujarnya 

Pernyataan Suswono ini mendapat kecaman dari masyarakat. Walau setelah itu ia minta maaf, namun pernyataan permintaan maafnya tak kalah problematik, karena justru memperlihatkan nasib perempuan janda yang harus diselamatkan laki-laki.

“Saya akui guyonan tersebut kurang tepat dan bijaksana, apapun penjelasannya saya mengakui kesalahan saya. Guyonan tersebut meskipun dimaksudkan untuk menyampaikan kepedulian pada anak yatim dan para janda serta pemuda di Jakarta, jelas tidak pada tempatnya.” 

Pandangan ini tak hanya memperpanjang stigma patriarkis yang menyudutkan perempuan janda, tetapi juga kabur dari akar permasalahan pengangguran dan kemiskinan. Bagaimana bisa membuat kebijakan berperspektif gender kalau sudah seksis dan tidak inklusif sejak dalam pikiran?

Gubernur DKI Jakarta yang lain, Pramono Agung juga kerap membuat cuitan bernada seksis di media sosialnya. 

“Kesamaan LOKET dan TOKET.. Kalau pengen tahu sama2 DIINTIP.. #nyantai ah…” “Cewek berbaju seksi itu aneh, dilihatin dibilang kita kurang ajar, kalau kita cuekin dibilang kita homo #Nyantai ah.” Itu beberapa contoh yang pernah Pramono Agung tulis di media sosial X miliknya.

Pelecehan dan misoginisme lainnya juga dilakukan oleh Calon Gubernur Banten, Dimyati Natakusumah. Dimyati misalnya menyerang Calon Gubernur pesaingnya, Airin Rachmi Diany dalam debat Pilkada Gubernur Banten pada 16 Oktober 2024. Dalam debat tersebut, Dimyati mengatakan bahwa perempuan jangan dikasih beban berat, apalagi jadi gubernur.

“Wanita itu harus mendapatkan perhatian karena wanita itu spesial. Maka kita harus melindungi wanita. Oleh sebab itu wanita jangan dikasih beban berat, apalagi jadi gubernur, itu berat. Maka laki-lakilah harus membantu memaksimalkan bagaimana Banten ini bisa maju,” kata Dimyati.

Dimyati mengatakan ini, padahal istrinya, Irna Narulita menjabat sebagai Bupati Pandeglang sejak tahun 2016.

Di Luar itu, ada Calon Gubernur Independen, Dharma yang mengatakan bahwa guru-guru perempuan sengaja ditempatkan di Taman Kanak-kanak untuk menyiapkan anak-anak menjadi bagian dari komunitas Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) sejak dini.

Di luar itu, ada juga baliho bernada seksis dari pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Sleman, Harda Kiswaya – Danang Maharsa yang bertuliskan ‘Milih Imam (Pemimpin) Kok Wedok. Jangan Ya Dik Ya! Imam (Pemimpin) Kudu Lanang’ yang berarti ‘Memilih imam (pemimpin) kok perempuan. Jangan ya dik ya!  Imam (pemimpin) harus pria’.

Yang lain, dilakukan Calon Bupati Pandeglang, Aap Aptadi. Seperti dilansir dari Detik.com, Aap menyatakan dalam debat Pilkada, Jumat 15 November 2024, ia menegaskan bahwa pemerintah harus bisa bersikap tegas untuk menekan angka kekerasan dengan melibatkan semua komponen masyarakat. Terlebih kata dia, LGBT di Pandeglang disinyalir sudah mulai terorganisir di Pandeglang.

“Saya lihat di Pandeglang bukan hanya kekerasan. Tapi juga pelecehan seksual, hubungan seksual sesama jenis LGBT sepertinya terorganisir di Pandeglang. Dan oleh karena itu pemerintah tidak boleh ragu-ragu untuk melakukan tindakan tegas melibatkan semua komponen masyarakat, menghilangkan atau mengurangi terhadap perempuan dan anak,” tutur Aap Aptadi.

Terduga Kasus Kekerasan, Namun Masih Bisa Jadi Calon Pemimpin Daerah?

Komnas Perempuan kemudian membuat catatan kritis pada Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 8 Tahun 2024 Tentang Pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota. 

Pada aturan ini, di antaranya, calon harus memenuhi syarat tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan atau tindak pidana politik dan bukan mantan terpidana bandar narkoba dan terpidana kejahatan seksual terhadap anak. Catatan kritis ini dipaparkan pada jurnalis pada 19 Agustus 2024.

Komnas Perempuan berpendapat ketentuan ini membuka ruang bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga dan tindak pidana kekerasan seksual untuk mengikuti pencalonan untuk pemilihan kepala daerah. Hal ini karena sejumlah tindak kekerasan terhadap perempuan dihadapkan dengan ancaman di bawah lima tahun. Misalnya saja, pada Undang-Undang Penghapusan Kekerasan di Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Kekerasan fisik sebagaimana diatur dalam  Pasal 44 ayat (4), kekerasan psikis pada Pasal 45 dan penelantaran pada Pasal 49 memiliki ancaman pidana kurang dari lima tahun. Demikian juga halnya dengan tindak pidana pelecehan seksual non fisik dan kekerasan seksual berbasis elektronik dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

Komisioner Siti Aminah Tardi menjelaskan, bahwa selain dari aspek substansi yang memungkinkan ancaman pidana dari tindak kekerasan terhadap perempuan adalah kurang dari 5 tahun, penting juga mencermati hambatan keadilan yang dihadapi korban.

“Banyak korban KDRT lebih memilih bungkam atau  tidak memproses secara pidana kasus yang dihadapinya,” ungkap Siti.

Hambatan keadilan juga terkait akses bagi korban untuk melaporkan kasusnya dan dukungan untuk melewati proses hukum yang tidak gampang sehingga bisa sampai pada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. 

“Mencermati ini, Komnas Perempuan berpendapat ketentuan KPU perlu memperluas persyaratan yang melarang pencalonan pelaku kekerasan terhadap perempuan, tidak hanya untuk yang sudah berkekuatan hukum tetap, tapi juga berlaku bagi  yang pernah dilaporkan melakukan kekerasan terhadap perempuan,” jelasnya.

Aturan yang mengatur soal persyaratan calon ada dalam undang-undang dan aturan pelaksana berupa Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU), namun aturan ini masih sangat umum dan tidak menyinggung soal kekerasan seksual terhadap perempuan.

Menurut sejumlah aktivis perempuan dan pendamping korban yang dihubungi Konde.co, aturan ini punya celah bahkan tidak berpihak pada korban. Komnas Perempuan juga mengkritisi aturan ini.

Ketentuan tentang Persyaratan Calon dalam Pilkada

Komnas Perempuan berpendapat bahwa ketentuan dalam PKPU Nomor 8 Tahun 2024 Tentang Pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota ini membuka ruang bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) untuk mengikuti pencalonan dalam pemilihan kepala daerah. Hal ini karena sejumlah tindak kekerasan terhadap perempuan dihadapkan dengan ancaman di bawah lima tahun. Seperti bisa dilihat pada Tabel 2, di bawah ini.

 Ancaman Hukuman Di Bawah Lima Tahun Atas Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Pilkada

*Keterangan: pasal ini menyebutkan perbuatan tersebut dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya

Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi menjelaskan, selain dari aspek substansi yang memungkinkan ancaman pidana dari tindak kekerasan terhadap perempuan kurang dari 5 tahun. Penting juga mencermati hambatan keadilan yang dihadapi korban, misalnya korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga/ KDRT.

“Banyak korban KDRT lebih memilih bungkam atau tidak memproses secara pidana kasus yang dihadapinya,” ungkap Aminah.

Hambatan keadilan juga terkait akses bagi korban untuk melaporkan kasusnya dan dukungan untuk melewati proses hukum yang tidak gampang sehingga bisa sampai pada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.

“Mencermati ini, Komnas Perempuan berpendapat ketentuan KPU perlu memperluas persyaratan yang melarang pencalonan pelaku kekerasan terhadap perempuan. Tidak hanya untuk yang sudah berkekuatan hukum tetap, tapi juga berlaku bagi yang pernah dilaporkan melakukan kekerasan terhadap perempuan,” jelasnya.

Seruan untuk memilih calon kepala daerah yang diketahui merupakan pelaku atau resisten pada upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan juga tidak dapat dilepaskan dari angka kekerasan terhadap perempuan setiap tahunnya. Komisioner Alimatul Qibtiyah mengutip Catatan Tahunan (CATAHU) 2023 yang melaporkan sekurangnya ada 339.782 kasus kekerasan terhadap perempuan.

Selain itu masih ada 305 kebijakan diskriminatif yang berlaku di berbagai daerah yang menyasar dan berdampak terhadap perempuan. Seperti kebijakan diskriminatif atas nama agama, moralitas, pemaksaan busana keagamaan yang berdampak pembatasan, pembedaan, pelecehan, pengucilan dan/atau pengabaian terhadap perempuan.

“Kepala daerah akan memimpin upaya-upaya penghapusan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan di daerahnya. Karenanya, mereka harus memiliki perspektif dan keberpihakan terhadap perempuan,” jelas Alimatul.  

Perspektif kepala daerah akan berkontribusi pada penyusunan program-program strategis perempuan dan meningkatkan status perempuan agar lebih setara dengan laki-laki. Adapun program yang dimaksud tidak terbatas pada dukungan penuh terhadap UPTD PPA, pengarusutamaan gender dan peningkatan terhadap akses pendidikan, kesehatan dan keadilan untuk warganya.

“Untuk itu Komnas Perempuan merekomendasikan agar Partai Politik Peserta Pemilu atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu dalam mengusung pasangan calon untuk cermat dan melakukan penelusuran rekam jejak terkait kekerasan berbasis gender. Jika teridentifikasi sebagai pelaku, maka jangan diusung atau dicalonkan,” tegas Alimatul Qibtiyah.

Syarat ‘berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap’ juga menyebabkan kasus-kasus yang baru pada tahap pelaporan/pengaduan/penyelidikan/penyidikan/ penuntutan/pemeriksaan pengadilan yang belum berkekuatan hukum tetap, tidak menjadi penghalang bagi seseorang untuk mencalonkan diri.

“Padahal kasus-kasus kekerasan berbasis gender bersifat kompleks dan memerlukan waktu untuk penyelesaiannya. Dan jika yang bersangkutan terpilih juga akan mempengaruhi penanganan kasusnya,” tutur Aminah kepada Konde.co, Senin (18/11/24).

Kritik terhadap pasal 14 ayat 2 huruf f PKPU Nomor 8 tahun 2024 juga disampaikan Nur Laila Hafidhoh, Direktur LRC-KJHAM. Lembaga yang memberikan layanan bantuan hukum bagi korban kekerasan terhadap perempuan di Jawa Tengah.

Menurut Nur Laila Hafidhoh yang biasa disapa Yaya, syarat ‘berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap’ tidak dibuat berdasarkan fakta di lapangan. Pasalnya kasus kekerasan terhadap perempuan terutama kekerasan seksual sangat sedikit yang proses hukumnya bisa sampai persidangan dan keluar putusan.

“Itu nggak mungkin sekali karena pengalaman kami dalam mendampingi korban kekerasan itu sangat kecil angkanya yang melaporkan kasus kekerasannya kemudian diproses cepat dan sampai keluar putusan,” papar Yaya kepada Konde.co, Jumat (22/11/24).

Apalagi dalam konteks pencalonan kepala daerah, dari sejumlah kasus yang mengemuka menyangkut dugaan tindak pidana kekerasan seksual. Pada kasus kekerasan seksual dengan korban perempuan dewasa, sangat sedikit yang kasusnya bisa sampai keluar putusan pengadilan.

“Pengalaman kami, kasus kekerasan seksual itu lebih banyak yang mandek. Artinya masih proses konseling kemudian bingung, ragu, takut tidak berani lapor polisi atau sudah laporan ke polisi tapi prosesnya lama. Apalagi kalau korbannya perempuan dewasa,” jelasnya.

Sepanjang 2023 LRC-KJHAM menerima laporan kasus kekerasan terhadap perempuan sebanyak 93 kasus. Dari jumlah tersebut sebanyak 53 merupakan kasus kekerasan seksual. Yaya menuturkan bahkan terdapat satu kasus kekerasan seksual yang dilaporkan pada tahun 2022, tapi sampai 2024 prosesnya masih tahap penyelidikan. Meski sudah hampir dua tahun tapi perkaranya belum naik ke proses penyidikan.

“Di LRC-KJHAM ada kasus kekerasan seksual yang pelakunya punya relasi personal, itu baru satu kasus yang korbannya berani lapor polisi. Itupun prosesnya lama, 2022 sampai sekarang. Apalagi kalau dalam kondisi korbannya perempuan dewasa dan pelakunya punya posisi (jabatan),” urai Yaya.

Karena itu syarat ‘berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap’ menurut Yaya bisa memberi peluang bagi pelaku-pelaku kekerasan untuk tetap menjadi calon kepala daerah.

“Syarat itu nggak bisa diberlakukan, karena untuk kasus kekerasan terhadap perempuan itu nggak bisa diterapkan seperti itu,” tegasnya.

Perlunya Revisi UU Pilkada

Paparan di atas menunjukkan aturan pilkada tidak memasukkan pidana khusus. Seperti Tindak Pidana Kekerasan Seksual/ TPKS dan KDRT sebagai persyaratan calon kepala daerah. Selain itu aturan tersebut juga masih memberi celah bagi para pelaku KDRT dan TPKS yang tetap mencalonkan diri. Bahkan ketika dalam proses pencalonan ditemukan calon yang diduga melakukan TPKS atau KDRT, dia tetap bisa melenggang dalam proses pencalonan.

Karena itu sejumlah aktivis perempuan berpendapat perlunya revisi Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pilkada. Seperti diungkapkan Direktur LRC-KJHAM, Yaya.

“Iya menurut saya harus ada aturan yang jelas untuk memastikan calon kepala daerah, calon presiden, calon anggota legislatif bukan pelaku kekerasan,” kata Yaya.

Perubahan UU Pemilu dan UU Pilkada juga disampaikan Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah. Pasalnya kedua undang-undang terbit sebelum UU TPKS disahkan pada 2022 lalu.

“Persyaratan anggota DPR/DPRD/Kepala Daerah harus diubah dalam UU Pemilu dan UU Pilkada, karena undang-undang ini ada sebelum lahirnya UU TPKS,” ujar Aminah.

Lebih jauh Direktur GPP Jember, Sri Sulistiyani mencermati keterbatasan Undang-Undang Pilkada terutama terkait persyaratan calon.

“Calon-calon kepala daerah yang sudah lolos mencalonkan diri ternyata dalam perjalanannya banyak yang terungkap kasus-kasus kekerasan atau korupsi yang dilakukannya. Fenomena ini sudah banyak terjadi dimana-mana di Indonesia, di kabupaten dan provinsi. Sementara Undang-Undang Pilkada belum punya jaring pengaman untuk mengantisipasi kejadian ini,” papar Sulis.

Karena itu menurutnya revisi Undang-Undang Pilkada hendaknya memastikan sejumlah mekanisme yang bisa menjaring calon kepala daerah bukan pelaku kekerasan di tiap tahap.

“Jadi saya mikirnya kalau ke depannya supaya gimana caranya memasukkan pasal. Itu agar bahkan calon yang mau mendaftar itu harus ada track record untuk misalnya tidak korupsi, bukan pelaku kekerasan terhadap perempuan, dan sebagainya. Terus kalau sudah lolos menjadi calon kalau kemudian baru ditemukan kasusnya. Itu bagaimana saringan pengamannya supaya orang ini tidak terus bisa melenggang sampai pada pemilihan. Bahkan walaupun sampai terpilih apakah ada saringannya juga bahwa ini bisa dibatalkan. Jadi saringannya tiga lapis karena kan cari pemimpin harus orang yang benar ya,” urai Sulis.

Beberapa waktu lalu, DPR dan pemerintah sepakat memasukkan revisi Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pilkada dalam daftar Program Legislasi Nasional 2025. Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah yang diwawancara Konde.co mengungkapkan proses revisi mesti didorong agar tidak memberikan ruang kepada mantan narapidana untuk punya hak politik untuk dipilih. Terutama pidana tertentu yang bisa mencederai keadilan bagi para korban.

Ini penting dilakukan kepala daerah nantinya punya kewenangan untuk membuat kebijakan. Jadi harus dipastikan mereka punya rekam jejak bebas dari kasus-kasus pidana khusus.

“Karena nanti kepala daerah yang akan lahir dari proses pilkada itu akan punya kewenangan untuk membuat kebijakan. Bagaimana kita bisa mengharapkan kepala daerah yang memiliki rekam jejak sebagai pelaku untuk membuat kebijakan yang melindungi masyarakat. Terutama perempuan dan kelompok minoritas lain? Nah ini saya kira penting untuk menjadi pertimbangan strategis,” jelas Anis Hidayah pada Konde.co

Selain revisi undang-undang Anis berpendapat hal lain yang tak kalah penting adalah pendidikan politik untuk masyarakat. Ini lantaran sebenarnya pemegang keputusan ada di masyarakat sebagai pemilih.

“Secara konseptual demokrasi itu kan menempatkan masyarakat itu sebagai penentu. Tetapi sampai sejauh ini, hal itu belum terjadi. Sehingga yang paling urgen untuk dilakukan ke depan ya pendidikan politik untuk masyarakat,” katanya.

Kalau masyarakat punya kesadaran politik, punya pengetahuan yang cukup kritis terhadap kandidat, mencermati visi misi mereka, dan sebagainya, kita bisa menentukan pemimpin yang punya rekam jejak yang baik. Tidak pernah terlibat dalam kejahatan hak asasi manusia, pelaku kasus-kasus kekerasan berbasis gender termasuk juga kasus korupsi dan lain sebagainya.

Jadi tidak bisa hanya mengandalkan satu hal. Tapi mencakup sejumlah langkah seperti revisi Undang-Undang Pemilu dengan memasukkan kriteria calon hingga melakukan pendidikan politik. Selain itu, juga yang terakhir membangun penyelenggara pemilu yang berintegritas mulai dari proses rekrutmennya. Jadi penyelenggara pemilu harus bebas dari kasus-kasus TPKS, papar Anis.

Ia juga mengakui partai politik punya peran dalam proses Pendidikan politik dan perlu juga untuk diadvokasi.

“Kita kan kalau bicara reformasi sering kali lupa mengadvokasi partai politik sebagai bagian dari elemen demokrasi. Partai politik ini kan menjadi penentu banyak hal tapi lupa nggak direformasi,” pungkasnya.

*) Tulisan ini merupakan republikasi berita yang naik di portal Konde.co pada 25 November 2024.  

kali dilihat