Penulis: Dedi
Independen -- Senin pagi yang cerah, sejumlah tenaga kesehatan [nakes] menggunakan seragam putih dilengkapi logo pemerintah daerah dan lambang kesehatan tertempel mentereng.
Di area depan Rumah Sakit Umum Daerah [RSUD] I Lagaligo, di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, ada terpampang jelas tulisan visi dan misi dengan motto melayani sepenuh hati.
Pada pukul 07.30 wita, terlihat kesibukan para staf rumah sakit. Beberapa orang melakukan daftar hadir elektronik. Yang lain melakukan pertukaran jaga dari malam berlanjut pagi.
Di rumah sakit ini, ada tiga jadwal masuk kerja. Pertama, pagi di mulai pukul 08.00 hingga 14.00. Selanjutnya 14.00 sampai 20.00 dan terakhir pukul 20.00 sampai 08.00.
Giliran jadwal kerja yang paling berat kata beberapa tenaga kesehatan [nakes] adalah shift malam. Tantangannya, harus tahan kantuk hingga keadaan darurat.
Eliza [bukan nama sebenarnya] sedang jaga pagi. Ia menerima operan pasien secara jelas dan lengkap dalam pergantian shift malam. Serta penerimaan pelimpahan tanggung jawab.
Setelah menerima laporan. Ia berkeliling untuk mengecek kondisi pasien, seraya melihat catatan dokter dalam rekam medik untuk pasien tindak lanjut. Ada pasien yang diganti perban, melakukan injeksi pemberian obat serta vitamin.
Eliza menerima telepon dari petugas Instalasi Gawat Darurat [IGD], salah seorang pasien yang akan didorong ke ruangannya. Lalu, ia bergegas menyiapkan ranjang untuk pasien. Menurutnya, aktivitas semacam itu sudah terbiasa ia lakukan seorang nakes.
Sebelum bekerja, Eliza bercerita harus bangun pagi buta. Selain membersihkan rumah, ia juga harus terlebih dahulu menyiapkan kebutuhan untuk suaminya. Setelah itu, pada pukul 07.00, harus menyiapkan diri untuk masuk kerja sesuai jadwal sudah ada.
Dari rumahnya, ke rumah sakit harus menempuh perjalanan 10 kilometer atau sekitar 30 menit dengan menggunakan sepeda motor-nya. Hal itu, sudah terbiasa ia jalani sejak tahun 2015.
Padatnya pasien masuk di rumah sakit hari ini, membuat dirinya kurang beristirahat. Waktu makan siang saja tidak sempat ke kantin, hanya melakukan pesan makan yang siap-antar ke ruangannya.
Eliza mengatakan setiap shift-nya berjumlah 4 sampai 5 orang nakes. Ada ASN (aparatur sipil negara), PPPK, honorer dan sukarela. Semua yang jaga punya beban kerja yang sama.
“Tetapi, gaji yang bervariasi,” katanya.
Ia sendiri sebagai honorer atau tenaga kontrak daerah, sebulannya hanya dapat upah sejuta. Katanya, upah sebesar itu sesuai kontrak ditandatangani setiap tahunnya dengan pihak manajemen rumah sakit.
“Kalau ditanya tentang gaji sebesar itu? Jelas tidak cukuplah.” katanya, ia tetap mensyukuri.
Profesi sebagai perawat kata Eliza, merupakan cita-cita sejak kecil. Selain untuk mengamalkan pengetahuan dan mengimplementasikan apa yang di dapat semenjak duduk di bangku kuliah selama empat tahun dengan gelar S1 keperawatan dan mengambil profesi perawat selama satu tahun.
“Hari ini gajian, hanya sekedar numpang lewat saja,” katanya. Sehari bekerja, biaya ia keluarkan untuk kebutuhan makan dan transportasinya sebesar Rp 50.000. Kalau dijumlahkan sebesar Rp 1.500.000, kebutuhannya selama sebulan bekerja di rumah sakit.
Untuk menutupi kekurangannya, ada kalanya penghasilan dari suaminya. Walaupun pekerjaan suaminya tidak menentu. “Pekerjaan suami juga tidak jelas. Kadang ada, kadang tidak,” katanya.
Untuk kebutuhan lainnya, terkadang melakukan pinjaman. Baik itu keperluan dapur dan kebutuhan lainnya. “Kalau boleh jujur, pembeli skincare [kosmetik] saja tidak cukup. Ditambah, kita juga harus berpenampilan menarik untuk layani pasien.”
“Ya…Gali lubang, tutup jurang,” katanya sambil memperlihatkan notifikasi gaji masuk di handphone berapa bulan terakhir.
Bekerja sesuai profesi dengan gaji standar Upah Minimum Kabupaten [UMK]. Eliza seringkali ia harapkan. Namun juga kebingungan mau mengadukan di mana. Standar UMK Kabupaten Luwu Timur sebesar Rp 3.431.131, berdasarkan keputusan Gubernur Sulawesi Selatan tentang Penetapan Upah Minimum Kabupaten Luwu Timur tahun 2023.
UMK Luwu Timur adalah upah bulanan minimum yang diterima pekerja/buruh yang bekerja 0 sampai dengan 1 tahun dengan waktu bekerja 7 jam sehari dan 40 jam seminggu, bagi sistem waktu kerja 6 [enam] hari dalam seminggu. Atau 8 jam sehari dan 40 jam per minggu, bagi sistem kerja 5 hari dalam seminggu. Tapi peraturan ini tidak berlaku bagi para perawat di RSUD.
“Mau apa, diterima saja. Daripada kita dianggap pengangguran,” katanya. Terima gaji juga tidak menentu tanggalnya.
‘Kerja Bagai Kuda’
Santiwati (29) [bukan nama sebenarnya] lulusan D3 tahun 2017 salah kampus swasta di Palopo. Ia mengabdikan diri di rumah sakit di Luwu Timur, sudah empat tahun lamanya. Lembur telah jadi makanan sehari-hari sebagai profesi bidan. Selama bekerja di rumah sakit Luwu Timur, berdasarkan Surat Keputusan [SK] penempatan kerja yang diterbitkan oleh manajemen rumah sakit.
Bermodalkan SK, Santiwati melakukan pekerjaannya sebagai nakes di rumah sakit. Pada shift pagi harus bekerja selama 7 jam, begitu shift siang. Dan shift malam, lebih berat baginya. Karena harus bekerja selama 12 jam.
Selepas shift malam, beban kerja yang banyak hingga rasa capek sering kali ia keluhkan. Selain tidur tak pernah ia nikmati, agar dapat memberikan pelayanan maksimal kepada pasien.
“Kalau dikatakan capek, sudah pasti. Apalagi shift malam, kerjanya 12 jam,” ucapnya. Kadang juga menangis ketika sampai di kosnya.
Santiwati bekerja di rumah sakit berstatus tenaga sukarela. Sebagai tenaga sukarela, menuntut gaji besar tidaklah mungkin baginya.
“Ya, begitu. Kerja bagai kuda, kalau dihitung jam kerja. Pekerjaan yang sama dengan teman sejawat lainnya. Kami hanya dapat gaji jasa JKN [Jaminan Kesehatan Nasional], saja.” katanya
Jasa JKN diatur Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2016 Tentang Penggunaan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional Untuk Jasa Pelayanan Kesehatan Dan Dukungan Biaya Operasional Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah.
Pada Pasal 4:
“Hanya mengharapkan jasa JKN saja setiap bulannya. Selebihnya tidak ada lagi. Beda honorer setiap bulan sejuta. Jangan tanya lagi PPPK atau ASN, ada gaji pokoknya dan gaji tambah lainnya,” kata Santiwati.
Walaupun tak pernah iri atas besaran gaji diterima teman sejawat lainnya. Ia tetap menerima upah sebulan itu. Besar upah yang ia terima, tidaklah juga menentu.
Dulu, dua tahun sebelumnya jasa JKN dapat sebesar Rp. 1,2 Juta. Namun, makin lama besaran upah semakin berkurang jasa JKN diterima. Sekarang Santiwati terima paling banyak Rp 800.000 ribu.
Kalau ditanya, apakah cukup dengan biaya hidup? “Tidaklah cukup!” ucapnya. Santiwati harus bayar kos Rp. 600.000 per bulanan. Ditambah biaya hidup selama sebulan. “Coba kamu pikir sendiri? Hari ini gajian, malamnya tinggal kenangan,” kata Santiwati mengeluh.
Untuk menutupi kekurangan selama bekerja di rumah sakit. Apakah mungkin punya kerja sampingan?
Bekerja di rumah sakit saja, tenaga dan waktunya cukup terkuras. Apalagi mencari kerja sampingan. Untuk menutupi kekurangan seperti bayar kosan dan biaya hidup. Mau tidak mau dengan berat hati, Santiwati harus meminta bantuan kepada orang tuanya. Walaupun sudah berstatus pekerja di rumah sakit.
“Seharusnya bantu orang tua. Malah kembali jadi beban,” ujarnya. Terkadang ia merenung dengan upah diterima, pernah berpikir untuk mengundurkan diri. Tetapi ada yang mengimbangi pada saat kerja di rumah sakit. Yakni dengan lingkungan nyaman.
“Untuknya lingkungan bekerja nyaman. Jadi, membuat termotivasi bekerja. Apalah gunanya banyak gaji, tapi lingkungan tidak nyaman,” katanya. “Lebih parah lagi, lingkungan tidak nyaman. Gaji juga ikut tidak nyaman. Mungkin dari dulu saya mundur kerja.”
Santiwati berharap tahun ini akan giat belajar untuk mendaftar sebagai PPPK Nakes. Hal ini dapat mengurangi beban orang tuanya.
Upah Tenaga Kontrak Jauh dari Upah Minimum Kabupaten
Di lantai dua RSUD, tepatnya di ruangan direktur RSUD I Lagaligo, dr. Fajar Wella sedang ada pertemuan bersama bupati dan wakil bupati. Independen menunggu 3 jam untuk wawancara.
Sehabis rapat, dokter Fajar tidak ingin diwawancarai. Katanya, lagi sibuk. “Saya mau pergi sama bupati,” katanya, tidak ingin diganggu. Dua hari sebelumnya, sudah melakukan janji wawancara. Namun pada hari H, namun direktur tidak bisa dihubungi alias memblokir nomor telepon.
Setelah dikonfirmasi berkali-kali, pihak direktur dan manajemen RSUD I Lagaligo meminta terlebih dahulu bersurat ke PPID untuk melakukan wawancara dan pengambilan data yang butuhkan.
Sementara Bupati Luwu Timur Budiman, mengatakan untuk kesejahteraan nakes PPPK dan PNS semua di atas UMK. Hanya saja, upah jasa atau tenaga kontrak masih tergantung kemampuan keuangan daerah. “Kita doakan, semoga semua nakes bisa terangkat jadi P3K atau PNS,” katanya saat dikonfirmasi melalui WhastApp.
Bupati meminta untuk data jumlah alokasi anggaran 2023 untuk nakes di puskesmas, dinas kesehatan dan RSUD I Lagaligo, langsung bertanya kepada bendahara keuangan dan asset daerah [BKAD] Luwu Timur.
RSUD I Lagaligo didirikan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor: 11 Tahun 2002 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD). Kemudian ditindaklanjuti Bupati Luwu Timur, H. Andi Hatta Marakarma menetapkan Kecamatan Wotu sebagai pusat pembangunan Rumah Sakit di Kabupaten Luwu Timur.
Hal ini tertuang dalam SK Bupati Luwu Timur, No:284 Tahun 2008 mengenai izin pemanfaatan RSUD I Lagaligo diikuti dengan Izin Penyelenggaraan oleh DINKES Provinsi Sulsel pada tanggal 07 november 2008 dengan No: 08633/DK-I/Yan-I/XI/2008.
Pada tahun 2009, melalui Surat Rekomendasi DINKES Provinsi Sulsel Nomor: 03327/DK-I/YAN-1/IV/2009. RSUD I Lagaligo direkomendasikan sebagai rumah sakit klasifikasi Tipe C pertanggal 05 April 2010 melalui Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 445/MENKES/SK/IV/2010.
Penetapan RSUD I Lagaligo sebagai Rumah Sakit Tipe C yang ditindaklanjuti dengan PERDA Nomor 11 Tahun 2010 mengenai perubahan struktur di RSUD I Lagaligo menjadi struktur tipe C.
Pada tanggal 24 Februari 2010, RSUD I Lagaligo terus melakukan upaya menciptakan mutu pelayanan yang lebih baik, dengan melalui proses Akreditasi Rumah Sakit melalui Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: YM.01.10/III/1057/2010 memutuskan status Akreditasi Penuh Tingkat Dasar untuk RSUD I Lagaligo. Pengelolaan Rumah Sakit yang lebih strategis sebagai unit sarana publik daerah yang terpercaya dengan ditetapkannya RSUD I Lagaligo menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) di Tahun 2013.
Peningkatan kesejahteraan bagi tenaga medis di RSUD I Lagaligo, menjadikan prioritas utama. Selain tunjangan penghasilan (TPP). Juga tunjangan profesi dan penambahan insentif yang bersumber dari BLUD RSUD I Lagaligo sebesar Rp. 10.000.000,- per orang, dengan menggunakan alokasi anggaran BLUD tahun 2022 sebesar Rp. 1.6200.000.000.
Data tahun 2022, upah jasa [tenaga kontrak] di RSUD I Lagaligo sebanyak 382 orang. Tenaga sukarela sebanyak 228 tahun 2023. Untuk PNS sebanyak 231 bekerja di RSUD I Lagaligo.
Menurut catatan pengurus PPNI, jumlah perawat tersebar di Kabupaten Luwu Timur sebanyak 1.336. Sedangkan IBI (Ikatan Bidan Indonesia) mencatat sebanyak 1.057 bidan tersebar di Luwu Timur.
Nakes Dipecat Karena Beda Hak Politik
Kasus pemecatan Nakes akibat beda politik, bukan kali pertama di RSUD I Lagaligo sejak berdirinya hingga sekarang. Tercatat sudah ada lima orang nakes yang dipecat. Baik itu masih berstatus tenaga sukarela hingga honerer.
Selagi cita-citanya sejak kecil. Profesi perawat sudah mendarah daging baginya. Walaupun bekerja untuk mencari uang. Baginya, bukan hal yang utama, bukan juga yang menjadi tujuan. Melainkan perawat adalah profesi sudah menjadi dunianya.
Itulah Fitrah Kaming (36) sudah mengabdikan diri selama 10 tahun di RSUD I Lagaligo Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Menjadi perawat selama ini, tujuan ingin membantu dan menolong antar sesama dan bisa berguna bagi masyarakat yang membutuhkan.
“Inilah tugasku sebagai perawat. Tapi sakit sekali, ketika ingin membantu, namun tidak bisa apa-apa lagi,” katanya. Karir Fitra tiba-tiba kandas di tengah jalan setelah dipecat pihak manajemen rumah sakit.
Sejak itu, ia berjuang dan berinisiatif mengkonfirmasi beberapa pihak manajemen sampai direktur RSUD I Lagaligo. Namun hasilnya nihil. Semuanya angkat tangan. Malah jawaban yang ia peroleh sangat jauh dari dugaannya.
Kata Fitrah, pengakuan manajemen rumah sakit, karena ada unsur beda pilihan pada Pilkada tahun 2019 lalu. Hal ini membuat Bupati merasa terluka. Pengakuan manejemen rumah sakit, Fitrah pun menepis kalimat itu. Ia menjamin bahwa tidak pernah suaminya melontarkan kalimat yang dapat melukai perasaan sang Bupati itu.
Fitrah mengakui bahwa suaminya mendukung calon lainnya. Ia menjelaskan semacam itu. Pihak rumah sakit tidak memberikan solusi dan tidak berdaya atas putusan itu.“Pihak manajemen tidak bisa melakukan apa-apa. Katanya, itu perintah langsung atasan [Bupati] mau tidak mau, saya harus dipecat,” katanya.
Fitrah dan suaminya memenuhi langsung Bupati. Bukan jawaban baik diterima dari Bupati, malah mengamini bahwa dirinya-lah yang melakukan pemecatan tersebut.
"Saya temui Pak Bupati di rumah jabatannya. Pemecatan itu karena kecewa terhadap saya. Katanya saya melontarkan kalimat bahwa saya tidak mau undang Pak Bupati, malah undang calon lain pada saat acara pesta pernikahan," ucapnya. Padahal Fitrah dan suami mengaku tidak pernah lontarkan kalimat tersebut.
Setelah dipecat, sesekali merenung sendiri di rumahnya sambil meneteskan air mata. Ketika melihat baju seragam putihnya yang tergantung dalam lemari. Sesekali ia berkata dalam hatinya.
“Ya, Allah… Mudah-mudahan bisa lagi ke pakai seragam itu di kemudian hari,” kata Fitrah.
Walaupun kejadian itu, menurutnya cukup susah untuk melawan seorang pejabat. Tapi ia meyakini suatu saat seragam selama ini tergantung dalam lemarinya, bakal digunakan lagi.
“Saya tidak putus asa berdoa, karena memang saya yakin bahwa Allah, sudah punya rencana dibalik semua ini.” kata Fitrah.
Paling menyedihkan bagi Fitra. Ketika ketemu pasien yang pernah dilayani selama bertugas di Poli Mata RSUD I Lagaligo, tidak lagi melanjutkan obatnya. Pasien itu berkata kepada Fitra ,“Ibu, saya tidak lanjut obatku lagi”.
“Kenapa tidak lanjut lagi, Bu?" tanya Fitrah
“Bagaimana mau lanjut, Ibu sudah tidak kerja [rumah sakit]. Sementara saya sendiri di rumah, tidak ada anak dan suami yang ambil obatku…Selama ini yang ambil obatku, cuman Ibu,” jawab pasien,
“Mudah-mudahan tidak sakit ki Bu, sehat ki Bu…Tidak perlu lagi sambung obat dan konsumsi obat,” kata Fitra kepada pasien. Perkataan itu juga membuat menyayat hatinya.
Pasien yang diceritakan Fitrah adalah salah satu pasien yang berasal dari Pendolo, Sulawesi Tengah [Sulteng] , jika harus menempuh perjalanan menggunakan sepeda motor sekitar 10 kilometer dari RSUD I Lagaligo. Fitrah yang pernah bekerja di RSUD selalu membantu pasien jauh. Bahkan ia mewakili untuk mengambilkan obat yang sudah diresepkan oleh dokter.
PPNI Bisa Apa?
Fitrah juga sebagai Anggota Persatuan Perawat Nasional Indonesia [PPNI] Luwu Timur, mengadukan untuk mencari pelindungan atas masalahnya. Tapi apa yang terjadi? Pengurus PPNI Luwu Timur, malah tidak bisa apa-apa dengan masalah ditimpa Fitrah.
Menurut Fitrah, seharusnya organisasi PPNI bukan hanya sebagai wadah sebatas administrasi, tapi melakukan pelindungan bagi teman sejawat. PPNI juga berperan dalam advokasi untuk hak-hak perawat yang bertugas di fasilitas kesehatan. Mereka juga berkomitmen untuk memastikan bahwa perawat memiliki kondisi kerja yang aman, keadilan dan pengakuan setara dalam bidang kesehatan lainnya.
"Namun, apa yang terjadi! Jangankan mendapat dukungan. Memberikan support saja dari PPNI, itu tidak ada. Apalagi menyinggung soal kasus saya group, itu tidak ada sama sekali," katanya sambil terbata-bata dengan mata memerah.
“Pengurus PPNI datang di rumah hanya sebatas mengklarifikasi saja, tanpa ada sikap dilakukan atas masalah saya.” Kedatanganya pengurus PPNI ke rumah Fitrah setelah menulis curhatnya di media social [facebook] hingga viral.
Ketua PPNI Luwu Timur Muhklis Katilli, mengakui tidak bisa melakukan apa-apa terhadap anggotanya [Fitrah] pasca pencabutan kontrak dan dipecatnya bekerja di rumah sakit. Terlebih lagi, katanya berkerja selama 10 tahun di rumah sakit tidak ada pelanggaran dilakukannya.
“Saya dapat informasi anggota ini [Fitrah] adalah orang yang baik dan profesional dalam bekerja untuk kepentingan pasien. Namun, ia mendapatkan tindakan yang tidak sepatuhnya,” katanya.
“Orang bekerja dengan baik. Sebaiknya, dilanjutkan kontraknya dan tidak dipecat. Entah apa pertimbangan bupati dan direktur untuk melakukan tindakan semacam itu,” katanya.
Muhklis juga akui bahwa pemecatan Fitrah bukan hal sepele. Itu adanya unsur beda pandangan politik pada Pilkada 2019 silam. Muhklis anggap tidak wajar, karena negara menjamin hak setiap orang dalam politik.
“Kalau kami terima, ada unsur itu [beda pandangan politik]. Suaminya Fitrah ini. Ada hubungan salah satu calon lainnya. Sehingga unsur pimpinan melakukan tindakan itu [pemecatan] fitrah. Saya dengar hal itu. Dan beberapa pengakuan,” ucapnya.
Setelah kejadian itu, pengurus PPNI meminta Fitrah untuk bisa berdamai kondisi itu dengan tidak untuk memaksakan setelah pemecatan. Masalah rejeki masih bisa dicari tempat lain selain rumah sakit. Tidak perlu menangis dan menghabiskan air mata itu untuk orang tidak menghargai kita. “Itu pointnya. Tidak perlu meretapi suatu tempat tidak bisa dihargai,” ujar Ketua PPNI Luwu Timur.
Dulunya, kata Fitrah, masuk di PPNI Luwu Timur sebagai anggota cukup senang. Menurutnya, PPNI adalah lembaga dapat memberikan kontribusi dalam hal memberikan perlindungan bagi teman sejawat perawat yang bekerja di fasilitas kesehatan.
Ketika Fitrah mendapatkan masalah. Sepertinya kepercayaan itu sirna seketika karena berbanding terbalik apa dia pikir selama ini, ketika masuk di lembaga PPNI di Luwu Timur. Masuk sebagai anggota PPNI di Luwu Timur, dianggap cukup sia-sia.
"Kalau mau dibilang kecewa. Sudah pasti kecewa, tapi apalah daya saya ini, orang kecil hanya mencari keadilan dan meminta perlindungan kepada PPNI. Itupun tidak ada sama sekali. Mudah-mudahan teman sejawat [Perawat] tidak bernasib seperti saya nantinya," katanya.
Selama 10 tahun mengabdi di RSUD I Lagaligo sebagai tenaga upah jasa, bukanlah waktu cukup singkat. Namun Fitrah harus berakhir putus kontrak, karena perbedaan pilihan politik.
*) Tulisan ini merupakan bagian dari program Fellowship Independen yang didukung USAID, Internews dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.