Penulis: Idris Boufakar
Independen -- Bati, sebuah suku yang terletak di pegunungan sekitar 8 km dari pesisir Pantai Kiandarat, Seram Timur, Maluku, dikenal sebagai tempat dimana warga Suku Bati menjaga dengan teguh warisan leluhur mereka. Merawat tradisi dan melindungi hutan adat, juga menjadi bagian dari kewajiban warga setempat yang sangat dihormati.
Ditemani dua masyarakat lokal, Yani dan Yus, kami menyusuri hutan dan lereng bukit sekitar satu kilometer di atas jalan kerikil dan bebatuan, pada bulan Juli 2024 lalu. Di tengah perjalanan, senyum ramah dua warga lokal yang sedang menangkap udang secara tradisional di tepian sungai menyambut kami. Salah satu dari mereka ada seorang istri kepala dusun Bati Tabalian, Habiba Kilimodar, mengajak kami untuk melanjutkan perjalanan menuju pemukiman dusun Bati Tabalian. “Mari kita ke kampung,” ujarnya sambil tersenyum hangat.
Sambil berjalan, Habiba berhenti sejenak di dekat sumber air bersih yang berjarak sekitar 20 meter dari rumah warga. “Orang baru harus minum dan basuh muka dengan air itu.” katanya sebelum melanjutkan langkah untuk menjalankan ritual adat penyambutan, yang dalam bahasa lokal suku Bati disebut Datuan yang artinya menyambut orang baru.
Habiba, wanita berusia 50 tahun, mengambil lumut yang tumbuh di bebatuan sekitar. Sambil menatap ke langit, ia mengayunkan tangannya perlahan ke arah wajah, kemudian menempelkan lumut tersebut ke dahi dan jari kakinya sebagai bagian dari ritual. "Sudah, silakan jalan," ujarnya, di bawah rintik hujan yang menyertai langkah kaki kami menuju rumah kepala dusun Bati Tabalian di Desa Kelaba, Kecamatan Kiandarat, Seram Timur, Maluku.
Hutan adat dalam genggaman manusia beradat
Mulai dari bulan Juli sampai Agustus 2024, masyarakat suku Bati bergotong royong membangun pos pemantau yang bertujuan sebagai simbol penolakan kehadiran perusahaan migas yang ada di hutan adat suku Bati. Koordinator lapangan, Yani Boufakar, mengatakan bahwa sebelum pos itu dibangun, pihaknya terlebih dahulu sudah mengadakan sosialisasi di Dusun Bati Kelusi di Desa Watu-Watu dan Dusun Bati Tabalian di Desa Kelaba yang berada di Kecamatan Kiandarat, serta Dusun Airweul, Dusun Sayei, Dusun Tokon Akat, di Desa Bati Kilwouw Kecamatan Tutuk Tolo, Seram Timur, sejak 22 April hingga 29 Juni 2024.
Dalam pertemuan dengan masyarakat di lima dusun tersebut, warga sepakat untuk mendirikan pos pemantau di Kai Masak. Menurut warga, lokasi ini dianggap strategis untuk mengawasi aktivitas dari udara, terutama terkait pengawasan terhadap perusahaan yang beroperasi di wilayah mereka. "Gerakan ini berawal dari sosialisasi dan kampanye. Warga sepakat untuk membangun pos jaga," ujar Yani di Bati Tabalian.
Salah seorang warga suku Bati, Dahlan Siasaun, juga mengungkapkan hal senada mengenai pemilihan tempat pendirian pos pemantau, “Tempat itu kami pilih berdasarkan kesepakatan bersama,” katanya saat ditemui di Dusun Bati Kelusi.
Gerakan kampanye penolakan terhadap perusahaan migas dilakukan oleh warga setelah mengetahui bahwa PT Pertamina Hulu Energi menetapkan lokasi survei seismik 3D di perairan Kecamatan Teluk Waru, Kiandarat, Tutuk Tolo, dan Siritaun Wida Timur, Kabupaten Seram Bagian Timur, Maluku, pada Maret 2024.
Merujuk dari laman resmi Pertamina, survei yang dilakukan menggunakan metode akuisisi seismik 3D Marine Streamer Broadband yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran struktur bawah permukaan di area "target dalam." Wilayah Seram dianggap memiliki potensi besar dalam sumber daya minyak dan gas (migas) yang belum sepenuhnya dieksplorasi. Survei seismik 3D di wilayah Indonesia Timur, khususnya di SE Seram seluas 700 km², diproyeksikan selesai dalam 60 hari pada akhir Juni 2024.
Kepala Dusun Bati Tabalian, M. Ramli Boufakar, mengungkapkan kekhawatirannya bahwa eksplorasi migas di perairan tersebut akan meluas hingga ke hutan adat suku Bati, yang diyakini menyimpan cadangan minyak dan gas, "Tanah Bati ini menjadi incaran perusahaan karena mengandung sumber migas yang mengalir hingga ke laut," ujarnya di Bati Tabalian.
Ramli menambahkan bahwa kampanye penolakan terhadap perusahaan migas merupakan upaya besar warga suku Bati untuk melindungi lingkungan dan mencegah bencana yang mungkin terjadi setelah eksploitasi sumber daya alam dilakukan, “Mati sekalipun kami siap demi menjaga tanah Bati dan seisinya,” tuturnya.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, menjelaskan bahwa eksplorasi adalah kegiatan untuk memperoleh informasi geologi guna menemukan dan memperkirakan cadangan migas di wilayah kerja yang telah ditentukan. Eksplorasi dikerjakan oleh para ahli kompeten untuk mendapatkan titik lokasi tambang yang tepat dengan perkiraan cadangan bahan tambang memadai.
Menjaga hutan adat dari mara bahaya perusahaan migas
Penyelenggaraan kegiatan usaha minyak dan gas bumi di Indonesia diatur oleh Undang-undang No. 22 Tahun 2001, yang berasaskan ekonomi kerakyatan, keterpaduan, manfaat, keadilan, keseimbangan, pemerataan, kemakmuran bersama dan kesejahteraan rakyat banyak, keamanan, keselamatan, dan kepastian hukum serta berwawasan lingkungan.
Namun, bagi masyarakat suku Bati di Seram Timur, kehadiran perusahaan migas justru membawa dampak negatif terhadap lingkungan dan sumber penghidupan mereka. Masyarakat suku Bati memiliki ketergantungan dengan hutan adat mereka. Pohon cengkih dan pala, adalah salah satu tanaman yang menjadi komoditi utama bagi warga suku Bati.
Yunus Rumalian, seorang warga Dusun Bati Tabalian, mengungkapkan dampak buruk yang ia alami sejak perusahaan migas mulai melakukan eksplorasi di daerah tersebut. "Pohon cengkeh saya di tiga lokasi hampir semuanya mati mengering," ujar Yunus saat sedang ditemui di Bati Tabalian. Sambil menunjuk ke arah matahari terbenam, Yunus menjelaskan bahwa sebelum masuknya perusahaan migas pada tahun 2012, pohon cengkehnya selalu subur. Namun, setelah kegiatan seismik dimulai, tanaman yang menjadi andalan ekonominya tersebut perlahan-lahan mati.
Hal yang sama juga terjadi di hutan adat Bati pada tahun 2022, kehadiran PT Pertamina Mineral yang melakukan eksplorasi di wilayah tersebut menimbulkan penolakan dari masyarakat, terutama karena titik pengeboran terletak hanya sekitar 200 meter dari pemukiman warga. Warga khawatir dampak lingkungan yang ditimbulkan akan memperparah kerusakan alam di sekitar mereka
Sahid Siasaun, tokoh masyarakat setempat, menegaskan bahwa penolakan warga terhadap perusahaan migas merupakan bentuk perlindungan terhadap hutan adat dan warisan leluhur. "Ini adalah antisipasi sebelum terjadi kerusakan lebih besar," ujarnya. Menurut Sahid, bukti kerusakan lingkungan akibat eksplorasi migas sudah banyak terlihat di tanah Bati, dan upaya warga untuk menolak perusahaan tersebut adalah langkah yang direstui leluhur mereka.
Penelitian mengenai dampak pembuangan lumpur pengeboran terhadap ekosistem darat dan perairan, seperti yang dilakukan oleh Wojtanowicz (2008) dan Zvomuya (2011), menemukan bahwa kandungan garam terlarut yang tinggi, logam berat, dan residu minyak bumi dalam cairan pengeboran merusak kualitas tanah dan tanaman. Hal ini semakin memperkuat kekhawatiran warga suku Bati akan bahaya eksplorasi migas di wilayah mereka.