Ludruk Menolak Punah

Independen.id ---  Dinding rumah Teguh Budi Yanto yang akrab disapa Elok, 50 tahun, di Desa Tanggung, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang dihiasi aneka foto dirinya mengenakan pakaian dan berdandan ala perempuan. Berjajar pula plakat dan piala sebagai Pemain Utama Perempuan Terbaik dalam Festival Ludruk Piala Kapolda Jawa Timur 2023, di meja kerjanya. “Ini penghargaan yang baru saya terima, bersama Ludruk Lerok Anyar,” kata Elok sembari menunjukkan piala yang diraihnya.

Elok mengaku telah tiga kali menjadi pemeran perempuan terbaik dalam Festival Ludruk Jawa Timur di Gedung Kesenian Cak Durasim Surabaya. Tak hanya kesenian ludruk, Elok juga mengikuti sekolah model ini sering menjuarai model waria, dan Ratu Kebaya waria. Sedangkan 2003 dan 2015, ia dinobatkan sebagai Miss Waria mewakili Papua.

Tak mudah bagi Elok untuk meraih beragam prestasi dan diakui masyarakat seperti saat ini. Ia bahkan harus rela meninggalkan rumah, lantaran kerap menerima cibiran “lelaki kemayu”. Bapaknya yang anggota kepolisian tak menerima anaknya yang dilahirkan sebagai laki-laki menjadi feminin. “Bapak polisi, gak mau anaknya lembeng (gemulai),” kata Elok.

Ia mengenal kesenian Ludruk pada 1980-an, sejak menekuni seni tari di Sanggar Senaputra. Awalnya ia belajar menari tarian kreasi dan tari klasik. Selanjutnya, grup tari Senaputra berkolaborasi dengan Ludruk Armada untuk menari di atas panggung. Awalnya, ia menari tarian lelaki. Namun, pimpinan Ludruk Armada mengetahui karakternya yang cenderung feminin memintanya menari “perempuan”. Ia menari Jaipong, dan Remo.

“Nyaman rasanya saat menari dan berias perempuan. Ludruk menjadi tempat yang aman dan nyaman,” katanya. Elok belajar ke sejumlah tandak atau lelaki yang berperan perempuan dalam seni Ludruk. Lantas sejak 1989, ia berperan menjadi tandak dan bersama Ludruk Armada dan sejumlah kelompok Ludruk lainnya berkeliling Jawa Timur, mulai Malang, Pasuruan, Banyuwangi, Jember, dan Lumajang.

“Saya bermain Ludruk sembari kuliah di jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia IKIP Negeri Malang,” katanya. Namun, ia memilih berhenti kuliah dan menekuni kesenian Ludruk. Ia meyakini, Ludruk menjadi jalan hidupnya. Elok terus mengeksplorasi diri dalam kesenian Ludruk. Belajar menjadi tandak Ludruk dari senior tandak seperti Candrika. Mulai menyiapkan kostum hingga berseni peran dalam beragam lakon.

“Belajar semua peran mulai menjadi anak-anak, orang desa, anak kota, hingga hantu,” katanya.

Pada 1990-an, katanya, Ludruk Armada tampil dari panggung ke panggung selama empat bulan berturut-turut. Tidak pernah libur. Mulai hajatan hingga upacara Karo yang diselenggarakan masyarakat adat Tengger. “Capek. Gak sempat merawat diri. Menghibur orang, tapi diri kita tersiksa,” kata Elok.

Sejak 1995, kedua orang tua Elok menerima karakternya dan memintanya pulang. Setelah mengetahui beragam prestasi yang diraihnya. Elok juga lebih berani dan terbuka serta unjuk diri dengan berdandan seperti perempuan. Masyarakat sekitar, kata Elok, juga menerima dan berinteraksi dengan baik.

 

Kini nyaris regenerasi tandak Ludruk terhenti. Apalagi, saat Pandemi Covid-19 selama dua tahun tak ada pementasan Ludruk. Kini, ia memulai berusaha meregenerasi tandak Ludruk dengan melihat potensi di sekitarnya. Elok yang juga Ketua Ikatan Waria Malang (Iwama) ini mendekati dan membimbing sejumlah waria untuk menjadi tandak. Tandak di Malang sebagian besar laki-laki yang berperan sebagai perempuan. “Di Malang jarang perempuan menjadi tandak,” ujar Elok.

Kini, kesenian Ludruk lebih banyak tampil di pedesaan, dan pinggiran Kabupaten Malang. Mulai kawasan di kaki Gunung Bromo, Bantur, dan Gedangan. Bahkan, masyarakat adat Tengger tetap terjaga menonton pertunjukan Ludruk hingga subuh. Respons penonton terhadap kesenian Ludruk, katanya, cukup bagus. Bahkan, setiap tampil di panggung kerap disorot kamera untuk siaran live di YouTube, Facebook dan sejumlah media sosial lainnya.

Tahun ini, kesenian Ludruk mulai bergeliat. Ludruk Armada kelompok Elok bermain sejak Juni hingga Agustus 2023 tercatat tampil di 40 panggung. Tarif Ludruk Armada yang tampil semalam suntuk dipatok Rp 80 juta.

Tandak Ludruk dan Kesetaraan Gender

Guru besar Kajian Budaya Universitas Negeri Surabaya Profesor Henricus Supriyanto dalam buku Ludruk Jatim dalam Pusaran Zaman menyebut unsur tandak atau transveti, berdasar sejarah Lerok Ngamen, Pak Pono mengenakan pakaian perempuan. Tujuannya untuk menu humor yang menyegarkan.  Pada periode Lerok Besut, peranan wanita dalam lakon muncul nama tokoh Rusmini, Asmunah, Istiminah dan Astimunah.

Karakter perempuan diperankan laki-laki, yang disebut tandak Ludruk. Pada pertunjukan Lerok Besut pemeran perempuan hanya mengenakan kerudung. Pada zaman Lerok masa perjuangan kemerdekaan menggunakan kerudung penutup kepala. Lerok kemudian berkembang dan disebut Ludruk, tandak mengenakan sanggul. Mereka berperan sesuai cerita dipentaskan menjadi karakter perempuan desa, gadis desa, perempuan kota dan gadis kota. tandak mengenakan busana sesuai zamannya.

Dalam perkembangannya tandak Ludruk dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama tandak Ludruk profesional yang hanya berperan sebagai perempuan di panggung. Sedangkan kelompok kedua berperan ganda, dikenal istilah tandak berperan AC-DC. Artinya tandak Ludruk menjalin hubungan percintaan dengan perempuan dan sesama jenis atau biseksual. Sedangkan kelompok ketiga, tandak Ludruk Waria, yakni lelaki yang berpenampilan perempuan dan menjalin hubungan percintaan dengan sesama laki-laki.

“Perjuangan gender, persamaan kaum perempuan dan laki-laki di lingkungan Ludruk dimulai grup RRI Surabaya,” tulis Henricus. Diawali Ning Umi Kulsum, kemudian disusul seniman perempuan lain seperti Ning Tini, Sumiati, Susiyanti, Ningsih, Muntiyani, Sunarsih, Ngatmiati, Lasiyanah, Sri Astutik, dan Karmia. Pada perkembangan Ludruk sesudah 1990-an, kehadiran seniman perempuan berdampingan dengan seniman tandak transveti.

“Toleransi dalam seniman ludruk tinggi, sehingga kehadiran perempuan tidak menganggu kelompok Ludruk,” tulisnya. Namun, banyak pula kelompok Ludruk yang mempertahankan tandak diperankan laki-laki.

Kidungan yang diciptakan Ning Umi Kulsum

Kelapa kulon pendhapa. (Pohon kelapa di sebelah barat Pendapa)

Belimbing iku legi rasane. (Buah Belimbing manis rasanya)

Akeh loro gak kaya larane jaka. (Banyak sakit gak seperti sakitnya jejaka)

Kepingin rabi, gak ana bandane. (Ingin menikah, tidak memiliki harta benda)

Pimpinan Ludruk Lerok Anyar, Marsam Hidayat, 48 tahun, akrab disapa Cak Marsam menilai tandak laki-laki dan perempuan sama saja. Asal mampu dalam memainkan karakter atau peran yang dimainkan. Cak Marsam kerap menghadirkan tandak perempuan dalam pertunjukan ludruknya. Namun, sebagian penonton menganggap tandak Ludruk harus laki-laki yang berperan perempuan. “Ludruk tanggapan, gak mau tandak perempuan. Dianggap bukan Ludruk,” katanya.

Ludruk Lerok Anyar menjuarai Festival Ludruk pada 2010. Cak Marsam mampu menghadirkan pertunjukan ludruk yang berbeda, lakon yang biasa tampil semalaman bisa ditampilkan secara padat selama dua jam. Bahkan, ia juga menyelipkan kritik sosial dalam pertunjukannya. Sejak menjuarai Festival Ludruk, Lerok Anyar hanya diundang 10 kali pementasan. “Tidak laku,” kata Cak Marsam.

Sejumlah lakon garapan ditampilkan Lerok Anyar. Setelah kawasan lokalisasi Dolly di Surabaya ditutup, ia menghadirkan kisah pekerja seks komersial (PSK) dalam lakon Sarip Tambak Oso. PSK bernama Endang terpaksa menjajakan di tepi jalan, setelah lokalisasi Dolly ditutup. Ia menjadi orang tua tunggal setelah suami meninggalkan anak dan dirinya. Endang protes terhadap Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang menangkapnya.

“Siapa yang mau kerja seperti ini, kenapa kami ditangkap? Kalau mau keren tangkap para maling berdasi,” kata Cak Marsam menirukan dialog karakter Endang.

Lakon Ludruk fleksibel, katanya, bisa mengangkat legenda, sejarah dan kehidupan sehari-hari. Menurut Cak Marsam sejauh ini, belum ada lakon baru yang kuat. Ludruk juga membuka ruang kreativitas yang luas, tergantung sutradara, pemain dan penonton. Sedangkan sebagian penonton mementingkan penampilan Ludruk yang lucu, dan menampilkan tandak yang cantik.

Sedangkan pimpinan Ludruk Kendo Kenceng Sutak Wardhiono tidak memandang tandak laki-laki atau perempuan. Asal mampu memerankan karakter yang ditawarkan. Sutak menyayangkan ruang ekspresi dibatasi, perempuan tak bisa beradu peran. Namun, faktanya Ludruk perempuan mulai banyak yang bermain Ludruk. Tidak lagi dominasi laki-laki.

“Mencetak aktor laki-laki berperan menjadi perempan luar biasa sulit. Siapa yang mau bersusah payah seperti itu?,” tanya Sutak.

Sejak Sutak berproses di kesenian Ludruk, tidak ada perempuan yang bermain Ludruk. Dalam Ludruk, ditampilkan bedayan. Laki-laki berdadan perempuan sambil melantunkan kidungan jula-juli. Mereka harus berdandan, bernyanyi dan lenggak-lenggok bak perempuan. “Saya curiga, bedayan sebuah depo tranformasi aktor laki-laki menjadi perempuan,” katanya.

 

 

Ludruk Gagap Membaca Perkembangan Zaman

Pimpinan kelompok Ludruk Kendo Kenceng, Sutak Wardhiono menilai Ludruk dibebani histroris tentang kisah perjuangan dan perlawanan melawan musuh atau penjajah. Sehingga, menjadi ikon sampai hari ini lakon Ludruk melawan Belanda atau Jepang secara fisik. Perang. “Ludruk hebat, saat itu. Ludruk hari ini gagap membaca masyarakatnya sendiri,” katanya.

Dulu Ludruk mampu mengoreksi kewenangan lurah, camat, ndoro (majikan) perusahaan tebu. Namun, sekarang masyarakat yang justru mengkritisi Ludruk yang tak bisa mengikuti perkembangan zaman. Ludruk lahir, katanya, untuk kritis terhadap kekuatan yang di atasnya atau penguasa dari sudut pandang rakyat. Sehingga lahir berbagai lakon seperti Sogol, Sakera, Sarip Tambak Oso, dan Sawunggaling. Menampilkan fenomena sosial saat itu, seperti isu penindasan, perampasan tanah, dan perlawanan terhadap penjajah. Sehingga Ludruk ditakuti Belanda, Jepang, hingga Orde baru.

“Hari ini Ludruk seharusnya mengangkat isu reforma agraria, oligarki atau sembilan naga. Ludruk memiliki gen perlawanan,” katanya. Sehingga Ludruk harus independen dan tidak mudah dipengaruhi oleh penguasa maupun pemodal. Namun, Ludruk sekarang telah kehilangan daya kritisnya.

keterangan foto: Kelompok Lerok Anyar pimpinan Marsam Hidayat, 48 tahun, alias Cak Marsam, Gondanglegi, Kabupaten Malang tengah beraksi di atas panggung. (Foto: Cak Marsam).

 

Ludruk mengalami kemerosotan pasca 1965, kelompok Ludruk dibina TNI dan Polisi. Mereka menyelamatkan pegiat Ludruk yang tidak berafilisasi dengan Lekra dan PKI. Sedangkan TNI dan Polisi berafiliasi dengan Golkar sehingga didesain lakon untuk menunjang kepentingan politik Golkar. Saat Orde Baru, Ludruk  menjadi manis-manis. “Seharusnya melawan kekuasaaan, bukan memelas kepada penguasa,” kata Sutak.

Ludruk, kata Sutak, harus dilihat secara utuh. Ludruk sebagai manajemen besar yang multidisiplin. Ada tontonan, teater, karawitan, seni rupa, manajemen pertujukan, ruang pementasan, dan perizinan. “Saya kagum dengan manajemen ludruk yang luar biasa. Keren. Bagaimana rakyat biasa mengkoordinir lembaga pertujukan profesional yang lakonnya berisi kritik sosial?,” tanya Sutak.

Menurut Sutak, sebagian seniman Ludruk tidak berdaya dalam perspektif pengetahuan. Mereka menyampaikan kritik jika lakon Ludruk tidak sesuai dengan sebelumnya. Sedangkan, mereka diam saat spirit perjuangan Ludruk melemah. “Ini kegelisahan saya,” katanya.

Sutak bermain Poris yang memerankan tokoh Manap namun dengan tema kekinian pada 2009. Poris merupakan monolog dalam Ludruk yang mempresentasi tokoh yang akan ditampilkan dalam lakon. “Saya eksekusi bagus, sampai hari ini ada yang memanggil saya manap,” katanya.

Lantas, Sutak merenung dan mencari sumber data selama tujuh tahun mengenai Poris. Poris, kata Sutak, mampu membongkar, dan menginstal karakter tokoh dalam lakon. Sehingga sang aktor harus mengenal dan mempelajari karakter tokoh yang dimainkan. Hasilnya, ia presentasikan kepada dosen Universitas Negeri Malang dan praktisi teater di Malang.

“Seperti ujian, dari Poris ternyata Ludruk serius dalam keaktoran,” katanya. Sehingga setiap aktor di Kendo Kenceng harus mampu memainkan Poris. Ludruk Kendo Kenceng, kata Sutak, tidak berorientasi tampil di panggung dan pendapatan. Namun, berorientasi untuk berpikir. Sehingga Kendo Kenceng memilih lakon yang bagus dan cukup tampil dua jam, dengan materi yang padat.

“Buat apa menonon Ludruk semalam suntuk, yang ditonton tidak memberikan apa-apa. Hanya ketawa. Seharusnya, setiap diksi, dialog harus punya efek,” ujar Sutak.

Kendo Kenceng senantiasa menampilkan karakter perempuan dan cinta. Sosok ibu yang dari sisi agama memiliki peranan penting, bahkan ada sebutan ibu kota, dan ibu pertiwi. Sutak menggarap lakon “Pernikahan Jahanam”. Mengisahkan bagaimana sosok lelaki apakah lebih berat cinta kepada istri atau ibunya. Mengulas efek sosial dalam keluarga dan hubungan antar keluarga. “Ada kekonyolan, dan gregetan,” katanya.

Kendo Kenceng menggarap lakon “Lemah Sangar”. Mengangkat kisah dari Macapat lama, bagaiaman manusia Jawa menandai batas pedesaan dengan kawasan pegununang. Bagian atas, bawah dan tengah yang memiliki nama dan makna sendiri. Lakon yang digarap Kendo Kenceng, katanya, menang di pengetahuannya.

“Secara pertunjukan digarap serius, dialog teruji, dan penonton bisa menerima. Kalau dia gelisah, biarkan mencari jawabannya sendiri. Itu yang diharapkan. Tidak hanya selesai menonton tepuk tangan,” kata Sutak. Lakon garapan Kendo Kenceng tidak pernah happy ending. Sutak membiarkan akhir lakon menggantung. Sehingga, Kendo Kenceng nyaris sepi tanggapan untuk tampil di hajatan.

Menghadapi era digital, kata Sutak, Ludruk juga gagap. Ia mengakui tak bisa menggunakan piranti digital menjadi medium pertunjukan Ludruk. Meski terlintas ide membuat pertunjukan lima menitan yang diunggah di sejumlah platform media sosial. “Digital bukan zaman saya, anak-anak saja. Terrnyata, anak didik saya tidak juga ada. Sayang,” kata Sutak.

Bagi Sutak, Ludruk merupakan identitas Jawa Timur yang harus dipertahankan. Sedangkan jika meminta bantuan kepada pemerintah akan membatasi etika mengkritik. Genetika Ludruk melawan, sehingga jika Ludruk tampil dibiayai pemerintah dan dibatasi ruang kritik. Maka menyalahi kodrat Ludruk yang lahir untuk mengkritik penguasa. “Sepi, tidak perlu mengeluh kepada pemerintah,” katanya.

 

Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan menjadi angin segar, namun seabrek administrasi mustahil bisa dikerjakan seniman Ludruk. Sehingga Ludruk harus tetap berjuang untuk mendapat pembiayaan. “Kerja administasi pelik, orang tradisi kesulitan,” katanya.

Ludruk merupakan salah satu teater rakyat di Indonesia. Jakarta memiliki Lenong, Ubrug, Banjet dan Longser di Jawa Barat dan Arja, Topeng Prembon di Bali. Teater tradisional, memakai bahasa pengantar bahasa daerah setempat. Profesor Henricus mencatat pada zaman Orde Baru, Ludruk di Jawa Timur mencapai 500 kelompok.

Setelah reformasi Ludruk tersebar di 16 Kota/Kabupaten di Jawa Timur. Meliputi Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Gresik, Lamongan, Nganjuk, Kediri, Madiun, Ponorogo, Blitar, Lumajang, Jember, Probolinggo dan Tulungagung. Sedangkan di Malang Raya tersisa Ludruk Taruna Budaya, Armada, Subur Budaya, Malinda, Arbama, PALMA (Paguyuban Arek Ludruk Malang), dan Komunitas Lerok Anyar.

 

 

Tantangan Regenerasi Ludruk

Sutak menjelaskan seniman Ludruk belajar seni peran dengan pola nyebeng, yakni melihat secara intens seniman Ludruk senior. Lantaran aksi di atas panggung dilakukan secara spontanitas. Sehingga tidak bisa diajarkan dan tidak ada metode pengajaran yang tepat. “Sedangkan saat ini, belajar dengan metode nyebeng sulit. Harus mencari alternatif,” katanya.

Sehingga Sutak memutuskan Kendo Kenceng masuk ke dalam kampus mulai 2006. Namun, hanya beberapa kampus yang terbuka dengan kesenian Ludruk. Sutak memasukkan Ludruk kepada mahasiswa dengan konteks, narasi dan filosofis yang disesuaikan dengan perkembangan zaman. Awalnya, Sutak yang berangkat dari seni tradisi mengalami benturan dan tak mudah diterima kaum muda.

Sutak membuat naskah dalam setiap pertunjukan, aktor membaca dan menghafalnya. Bahkan, saat latihan para aktor Kendo Kenceng kerap berdiskusi atas naskah yang dipentaskan. Profesor Henricus menyebut Kendo Kenceng sebagai Ludra atau Ludruk Drama. “Saya mencurigai Ludruk ada naskah, entah naskah berupa teks atau non teks. Mana mungkin sebuah dialog bermuatan politik, spirit, perjuangan dan pendidikan kepada rakyat dilakukan sprontanitas?,” tanya Sutak.

Sutak bergelut dalam dunia seni sejak belajar menari di Sanggar Senaputra 1982. Empat bulan kemudian dipercaya menjadi asisten pelatih dan setahun menjadi ketua dewan pelatih. Sutak kerap diundang Nurbuat, pimpinan Ludruk Gelora Budaya, Tosari, Pasuruan untuk menari dalam pementasan Ludruk. Ia menari Surung Dayung, setelah menari remo, sebelum dagelan Ludruk. Tak disangka, usai menari ia mendapat honor.

Sutak juga diundang kelompok lain seperti Ludruk Persada. Lantas, Sutak diajak ikut bermain dalam lakon Ludruk. Dulu Ludruk menjadi pekerjaan utama, namun saat ini Ludruk bukan tak bisa menjadi tumpuan utama. Sehingga sebagian besar seniman Ludruk, bertumpu dengan pekerjaan lain. “Ludruk sekarang untuk apa? Bagi saya untuk pengetahuan, terutama yang muda,” katanya.

Sutak menyebut kekuatan proses seniman Ludruk dalam berkesenian. Untuk itu, ia menggunakan tetembangan untuk mengenalkan dialog kepada para pelajar dan mahasiswa yang diasuhnya. Sutak menyebutnya sesingiran artinya yang penting menyenayi dalam bahasa Jawa.

Kini, Kendo Kenceng mulai menurun karena tidak bisa mengekspresikan di atas panggung setelah latihan lama. Lantaran tidak bisa mengatur jadwal. Sutak mengangumi pelaku Ludruk masa lampau yang mampu mengatur manajemen Ludruk. “Saya seharusnya berhenti. Gak tahu, pasti ada yang melanjutkan atau ada orang baru,” kata Sutak.

keterangan foto: Kelompok Ludruk Kendokenceng, pimpinan Sutak Wardhiono tengah tampil di atas panggung. (Foto: Sutak).

 

Sedangkan Elok mengetuk kepedulian pemerintah terhadap kesenian Ludruk yang asli Jawa Timur. Seperti memberikan wadah dan tidak menganaktirikan Ludruk dibandingkan kesenian yang lain.  Ia juga meminta Dinas Pendidikan dan Kebudayaan memberikan ruang dan apresiasi bagi seniman Ludruk. “Perlu payung hukum, agar organisasi Ludruk kuat dan dilindungi. Jangan sampai Ludruk punah,” kata Elok.

Ia juga bermimpi kesenian Ludruk bisa tampil rutin dan bisa dinikmati kelompok menengah ke atas. Bahkan, bisa mengajak para pelajar untuk menonton dan mempelajari kesenian teater tradisional khas Jawa Timur. “Siswa menonton dan menuliskan alur ceritanya,” katanya.

Cak Marsam juga harus masuk ke dalam sekolah dan kampus untuk mengenalkan Ludruk kepada generasi muda. Salah satunya menjadi dosen tamu di Program Studi Tari Universitas Negeri Malang. Selama satu semester penuh, Cak Marsam melatih mahasiswa dengan kesenian Ludruk. “Probono. Tidak dibayar, cuma ingin memberi pengetahuan tentang Ludruk kepada anak muda,” katanya.

Cak Marsam belajar Ludruk sejak kecil di panggung Karawitan. Mulai menjadi panjak, dan pengrawit, di Ludruk Wijaya Kusuma unit 2. Bahkan, ia memilih tidak bersekolah formal. Dilanjutkan dengan belajar menari, ketoprak dan teater kepada Bagong Kussudiardja di Yogyakarta pada 1986. Cak Marsam juga belajar ilmu pedalangan dari Ki Manteb Sudarsono.

Menurut Cak Marsam tarian remo, kidungan dan gending jula-juli menjadi rohnya kesenian Ludruk. Ia menulis Kidung Kluyuran yang berisi syair kidungan dari apa yang dilihat dan didengarnya pada 2021.

Sedangkan kini, pendekatannya berbeda. Ia memberi naskah Ludruk kepada para mahasiswa. Dimulai dengan diskusi, membaca dan mengahafal naskah yang disajikan. Bahkan, ia menggarap teater pelajar dengan rasa Ludruk. Sedangkan pemain Ludruk, biasanya menghafal dialog yang sama dan tidak dikembangkan. Sesekali dikembangkan dalam improvisasi.

Renegerasi pemain Ludruk mandek, banyak aktor yang tidak bisa memerankan sejumlah karakter. Seperti Marlena, istri Sakerah yang dalam pementasan menggunakan logat Madura. “Dulu pemain tertentu, hanya dua orang. Sedangkan Sakerah dulu hanya empat pemain. Semua sudah sepuh, sulit mencari pemain yang memerankan Sakerah,” katanya.

Menurut Cak Marsam, kini kualitas pemain dalam seni peran di atas panggung turun 45 persen. Sehingga kelompok Ludruk mengambil pemain secara serampangan. Akhirnya, kualitas Ludruk menyusut. Sedangkan kadersasi pemain Ludruk terputus, akibat perkembangan zaman.

 

Penulis: Eko Widianto

kali dilihat