Masyarakat seperti dipaksa mengalah menyerahkan lahan pribadinya untuk mendukung pembangunan bandar udara
Oleh Lutfiana Bekti
INDEPENDEN--Di jantung hutan hujan tropis Kalimantan Timur, sebuah proyek ambisius tengah merajut sejarahnya. Pemerintah sedang membangun Bandara Very Very Important Person (VVIP). Lokasi tepatnya di Ibu Kota Nusantara (IKN), Kelurahan Pantai Lango, Kecamatan Penajam, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU).
Bandara ini, digadang-gadang sebagai simbol kemajuan dan modernisasi Indonesia. Proyek yang dimulai November 2023 ini dirancang dengan konsep modern dan ramah lingkungan, serta memadukan unsur kearifan lokal Kalimantan.
Pembangunan bandara ini dikerjakan oleh Kementerian PUPR melalui Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional Kalimantan Timur dan Kementerian Perhubungan.
Berdasarkan dokumen LPSE Kementerian PUPR, Proyek pembangunan Bandara VVIP IKN Nusantara yang dikerjakan Kementerian PUPR memiliki nilai pagu Rp 4,286 triliun. Proyek tersebut dimenangkan PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk, dengan harga penawaran Rp 4,242 triliun. Adapun harga negosiasinya dilaporkan Rp 4,22 triliun.
Meski batal dioperasikan pada Agustus lalu untuk upacara kemerdekaan perdana di IKN, pemerintah terus mengebut proyek stasiun terbang ini. Sejumlah fasiltas seperti, landasan pacu dan terminal VVIP sudah diuji coba pada akhir Agustus lalu.
Namun, di balik gemerlap mimpi modernisasi, Bandara VVIP IKN tak luput dari kontroversi. Sejak awal, proyek ini menuai kecaman dari warga lokal yang khawatir akan kehilangan tanah, mata pencaharian, dan budaya mereka.
Protes dan demonstrasi telah digelar. Penyerobotan tanah warga secara paksa hingga intimidasi dari berbagai pihak menjadi persoalan yang masih memanas hingga saat ini. Seolah mereka ‘dipaksa’ mengalah menyerahkan lahan pribadinya untuk mendukung pembangunan bandar udara. Bagi banyak warga, tanah ini bukan hanya sekedar aset material, tetapi juga warisan keluarga dan sumber kehidupan.
***
Suaranya menggelegar, menguasai ruangan. Wajahnya, seulas kisah yang belum terungkap, memancarkan aura seorang petarung. Gesturnya, tegas dan lugas, membuka babak pertama cerita tentang pria kelahiran Pantai Lango ini.
Di tengah gemuruh suara mesin ekskavator dan buldoser yang merobohkan lahan perkebunan, Thomas (bukan nama sebenarnya) berdiri sebagai saksi bisu dari sebuah tragedi yang tidak hanya menggusur tanah, tetapi juga mengubah hidupnya secara drastis.
Pada Mei 2023, Thomas—pria paruh baya itu—merasa nasibnya tak jauh berbeda dengan perjuangan warga Pantai Lango lainnya. Namun, perjuangan ini bukan melawan ketidakadilan gender, melainkan melawan sebuah proyek besar yang menghancurkan kehidupan dan tanah warisan keluarganya.
Thomas adalah generasi kelima dari keluarga yang mengelola lahan seluas 20 hektare di Kelurahan Pantai Lango, sebuah lahan yang diwariskan dari orangtuanya sejak 1952 dengan alas hak berupa surat garap tanah.
Dulu, lahan ini digunakan untuk menanam padi, namun seiring waktu berubah menjadi kebun yang subur dengan berbagai jenis tanaman, termasuk sawit, karet, sengon, dan kapur naga.
Pada 2016, Thomas berusaha mengubah status lahan menjadi sertifikat SHM, namun biaya yang tinggi—sekitar Rp30 juta—menjadikan impian itu sulit tercapai. “Biaya untuk surat segel saja sudah sebesar itu, apalagi untuk sertifikat yang pasti jauh lebih mahal,” ujarnya.
Jauh sebelum adanya penangkapan sembilan petani Saloloang, kisah Bermula, saat Thomas mendapat kabar dari tetangganya yang melintasi areal perkebunannya di malam hari bahwa ada satu unit alat ekskavator dan buldoser yang memasuki areal perkebunannya. Lahan yang digusur memotong membentuk jalan lalu tembus ke lahan Kartini.
Mendengar hal itu, Thomas langsung bergegas mendatangi lahannya untuk memastikan. Begitu terkejutnya Thomas, saat ia mendapati 54 pohon sawit miliknya dirobohkan paksa untuk membuka jalan perimeter bandara. Dengan perasaan kecamuk, ia menggerutu lalu mengusir monster baja itu dari lahannya.
Mulutnya tak berhenti mengomel, malampiaskan kekesalannya mengetahui lahannya diserobot. Belum selesai melampiaskan kekesalannya, dua mobil truk berisikan anggota TNI bersenjata lengkap dan satu mobil polisi berisikan personel dengan senjata juga gas air mata menghampiri Thomas yang saat itu sendiri tak ditemani siapapun.
Melihat ancaman yang mengarah padanya, spontan Thomas mengikat kencang parang kecil digenggamannya. Tak gentar, seolah bersiap melawan musuh di medan perang.
Tanpa aba-aba, Thomas membabi buta mengibaskan parang kecil digenggamannya agar aparat keamanan yang mengepungnya tidak mendekat.
Wusss, gerakan refleks tangannya bergerak cepat memiting leher satu anggota polisi yang memegang tubuh Thomas yang mencoba untuk menahannya. Selagi memiting, Thomas melampiaskan amarahnya lantaran penggusuran lahan tanpa ada konfirmasi ke pemilik lahan.
"Ini tanah perjuangan keluarga saya. Yang awalnya hutan jadi lahan perkebunan. Jadi saya keras seperti ini karena membela hak saya. Kalau bukan hak saya, tidak berani saya seperti ini," kata Thomas dengan nada tersengal-sengal.
Setelah emosinya sedikit mereda, Thomas melepas lengannya dari leher salah satu polisi tersebut. Seketika itu, semua aparat keamanan yang mengepungnya lari ke arah hutan meninggalkan Thomas dan mobil yang membawanya.
Usahanya melawan aparat tidak membuahkan hasil yang baik. Setelah insiden pertama, alat berat kembali melakukan pengerjaan secara sembunyi-sembunyi saat Thomas tidak berjaga. "Setelah kejadian pertama. Saya kalau pagi sampai sore jaga di kebun. Biar lahan saya tidak dicaplok lagi. Eh, pas saya pulang, mereka (operator alat berat) ngelanjutin kerjaannya lagi. Pusing saya jadinya," bebernya.
Ketika bertanya kepada operator alat berat, Thomas diberitahu bahwa kegiatan tersebut mendapat izin dari Badan Bank Tanah. Namun, ketika ia mendatangi kantor Badan Bank Tanah Thomas diminta konfirmasi ke kelurahan. Saat di kantor kelurahan Thomas tidak mendapatkan keterangan apapun. Salah satu pegawai kelurahan hanya menjanjikan akan ada ganti rugi.
"Saya nggak percaya juga. Soalnya pas di sana saya melihat gelagat yang aneh. Sesama pegawai saling main mata seolah ada yang disembunyikan," akunya.
Intimidasi semakin intensif ketika rumah Thomas kedatangan empat pria tak dikenal. Mengetahui itikad baik empat pria tersebut, Thomas mempersilakan masuk ke kediamannya.
Thomas bilang, empat pria tersebut meminta Thomas untuk tidak bertindak berlebihan lagi. Meskipun mereka tahu lahan itu hak Thomas. Selagi pria tak dikenal itu mengingatkannya, Thomas bilang mereka juga menegaskan apabila saya melawan, maka akan berhadapan dengan negara.
"Saya nggak peduli berhadapan dengan siapa. Kalau caranya memperlakukan warga seperti ini. Seperti penjajah saja. Yang tiba-tiba menggusur lahan tanpa pemberitahuan ke pemelik lahan," ucapnya.
Tak hanya itu, Thomas juga diminta untuk menghibahkan lahan miliknya untuk pembangunan bandara. Dengan iming-iming namanya bakal dicatat untuk mendapatkan sejumlah fasilitas di IKN.
"Pokoknya saya terus dibujuk buat melepaskan lahan sebagai bentuk membangun negara. Tapi saya tetap nggak mau," timpalnya.
Ganti Rugi Tanam Tumbuh Dianggap Tak Sesuai
Beberapa bulan setelah serangkaian insiden, Thomas menghadapi proses ganti rugi yang mengecewakan. Dari kerugian lahan seluas enam hektare yang ditanami 630 pohon karet dan 120 pohon sawit, pemerintah hanya menawarkan ganti rugi untuk 120 pohon sawit, dengan harga yang jauh dari nilai sebenarnya.
Satu pohon sawit maksimal dihargai Rp1,4 juta. Padahal sawit yang ia tanam adalah dalam usia produktif dan jenis yang unggul. Yang bisa dipanen dua kali dalam sebulan. Menurutnya harga tersebut tak sesuai, mengingat untuk mencapai sawit unggul dengan dua kali panen dalam sebulan, biaya perawatan tidak sesuai dengan yang ditawarkan. Alasan lainnya ialah, lahan miliknya sangat strategis.
Ratusan pohon karet yang rusak bahkan tidak mendapat ganti rugi penuh karena Thomas tidak dapat membuktikan keberadaan fisiknya pada saat penilaian. Mau tidak mau, ia mengikuti mekanisme yang ditawarkan tim penilai. Dari penilaian dan perhitungan, hanya 300 pohon karet saja yang bakal diganti rugi.
Menurutnya, penilaian yang dilakukan tidak transparan. Sebab, saat Thomas meminta daftar rinci nilai ganti rugi setiap jenis tanaman, justru permintaan Thomas tidak dikabulkan dengan alasan nilai ganti rugi yang diberikan sesuai keputusan pemerintah pusat.
"Kalau tanaman, yang diganti rugi hanya itu. Pohon tanaman lainnya tidak dihitung untuk ganti rugi. Itu yang membuat saya kesal. Solanya, sebelum penilaian, saya masih melihat pohon karet yang rebah di lahan saya. Eh, pas hari H malah nggak ada batangnya satu pun. Malahan lahan saya bersih," jelasnya
Kemudian, kandang ayam berukuran 8x60 meter, satu unit pondok berukuran 4x6 dan satu unit pondok berukuran 5x5 mendapat ganti rugi. Dengan total ganti rugi keseluruhan yang diterima ialah Rp350 juta.
Mulanya, Thomas menolak untu tanda tangan sebagai penerima ganti rugi. Lantaran nilai yang ditawarkan tidak sesuai dengan harga saat jual saat ini. Setelah dibujuk pemerintah, dengan alasan untuk membangun negara dan dijanjikan sebagai penerima manfaat reforma agraria akhirnya ia menyetujuinya.
"Sebenarnya saya sangat keberatan. Karena tanah saya dan 54 pohon sawit saya yang dirobohkan diawal tidak masuk dalam ganti rugi ini," keluhnya.
Di lubuk hati yang paling dalam, sebenarnya Thomas mendukung program pemerintah. Hanya saja cara yang dilakukan tidak dapat diterima. Sejumlah protes yang ia utarakan adalah sebagai bentuk kritikan bagi pemerintah. Misalnya saja mengenai lahan yang tidak diganti, Thomas protes keras lahannya tidak diakui negara. Namun, setiap tahun ia diwajibkan membayar pajak tanah.
"Kalau dari awal dibicarakan dengan masyarakat pasti tidak ada kejadian seperti ini. Saya ada buktinya kalau tiap tahun bayar pajak. Kalau tanah kami tidak diakui hanya karena tidak mau diganti, kenapa saya disuruh bayar pajak," ucapnya protes.
Kisah Thomas menggarisbawahi ketegangan antara proyek pembangunan besar dan hak-hak individu. Dengan proyek Bandara VVIP IKN yang berlanjut, tantangan bagi pemerintah adalah memastikan bahwa pembangunan tidak mengabaikan hak-hak masyarakat yang terdampak dan memastikan transparansi serta keadilan dalam proses kompensasi.
Jawaban Badan Bank Tanah : Kontroversi Penyerobotan Lahan Bandara VVIP IKN
Kasus penyerobotan lahan warga secara sepihak yang muncul dalam proses pembangunan Bandara VVIP di Ibu Kota Nusantara (IKN) terus menjadi sorotan tajam. Kepala Badan Bank Tanah, Parman Nataatmadja, terkesan menghindar dari pertanyaan seputar tudingan ini.
Saat dikonfirmasi, Parman mengarahkan agar pertanyaan langsung diajukan kepada pihak yang dianggap lebih berwenang dalam menangani penggarapan lahan, yakni Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) serta Kementerian Perhubungan.
"Kami hanya bertugas melakukan land clearing (pembersihan lahan). Soal itu, silakan tanya ke yang menggarap," ujar Parman saat ditemui pada Juli lalu.
Parman mengkonfirmasi bahwa Badan Bank Tanah telah melakukan land clearing untuk pembangunan Bandara VVIP IKN. Namun, ia menegaskan bahwa lahan yang digunakan sudah berstatus Hak Pengelolaan Lahan (HPL). Dengan demikian, lahan tersebut sah sebagai aset milik negara. Setelah proses pembersihan lahan, pengelolaan selanjutnya diserahkan kepada Kementerian Perhubungan dan Kementerian PUPR untuk membangun infrastruktur IKN.
Sebelum lahan tersebut beralih status menjadi HPL, Parman menjelaskan bahwa Badan Bank Tanah terlebih dahulu mengambil alih lahan bekas Hak Guna Usaha (HGU) PT Triteknik Kalimantan Abadi yang sudah lama ditelantarkan.
"Lahan HPL yang digunakan untuk Bandara IKN itu sepenuhnya milik negara dan statusnya sudah clean and clear," katanya.
Sebagai bagian dari proyek ini, Badan Bank Tanah memperluas area lahan dari semula 347 hektare menjadi 621 hektare. Parman menyatakan bahwa perluasan tersebut didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 31 Tahun 2023 tentang Percepatan Pembangunan dan Pengoperasian Bandara VVIP IKN untuk mendukung keberlanjutan Ibu Kota Nusantara.
Meski demikian, Parman memastikan bahwa negara tetap bertanggung jawab terhadap lahan masyarakat yang terdampak proyek tersebut. Pemerintah berencana melakukan penggantian lahan dalam bentuk reforma agraria bagi warga yang terkena dampak pembangunan.
Skema Reforma Agraria: Solusi atau Tantangan?
Badan Bank Tanah merancang skema reforma agraria dengan konsep redistribusi tanah sebagai bagian dari pembangunan IKN. Skema ini akan diterapkan di atas lahan seluas 1.758 hektare, yang merupakan 30 persen dari total lahan yang dikuasai oleh Bank Tanah di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU). Lahan yang akan dibagikan ini tersebar di lima kelurahan.
"Lahan yang akan digunakan nanti sudah dalam bentuk clearing dan dibuatkan badan jalan. Artinya, warga tinggal memanfaatkan saja. Untuk lokasi akan kami update kembali," ujarnya.
Kata Parman, skema ini bertujuan memberikan lahan kepada warga terdampak pembangunan, Namun ada kekhawatiran tentang efektivitas dan penerapan skema tersebut.
Dalam skema ini, warga yang terverifikasi oleh Tim Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) akan mendapatkan lahan untuk dikelola menjadi perkebunan. Mereka juga diberikan Sertifikat Hak Pakai selama 10 tahun sebagai bentuk legalitas awal. Setelah masa 10 tahun tersebut, jika kriteria terpenuhi dan pengelolaan lahan berhasil meningkatkan kesejahteraan dan pendapatan warga, Badan Bank Tanah akan mengubah status lahan menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM).
Namun, skema ini mungkin menghadapi masalah dalam implementasinya, seperti potensi manipulasi oleh oknum atau kesulitan dalam verifikasi dokumen.
"Itu nanti dinilai oleh Tim GTRA setelah 10 tahun. Jika sudah memenuhi kriteria, maka kami akan berikan SHM," kata Kepala Badan Bank Tanah, Parman Nataatmadja.
Penetapan tenggat waktu 10 tahun ini, menurut Parman, bertujuan untuk mencegah praktik jual beli lahan oleh mafia tanah. Ia menjelaskan bahwa pemberian legalitas dalam bentuk hak pakai selama periode tersebut dimaksudkan untuk mencegah adanya warga yang menjual tanah sebelum benar-benar mampu mengelolanya dengan baik.
Selain itu, Badan Bank Tanah juga membatasi pemberian lahan maksimal satu hektare per warga. Hal ini disebabkan oleh status hukum warga yang dinilai tidak kuat atas lahan yang mereka klaim. Bahkan, Parman mengklaim bahwa lahan yang saat ini dikuasai oleh warga di area Bandara VVIP IKN sudah berstatus HPL, yang artinya klaim warga atas lahan tersebut tidak diakui secara hukum.
"Kami berikan hak pakai dulu selama 10 tahun agar masyarakat tidak langsung menjual lahannya. Pengalaman saya, jika langsung diberikan sertifikat, pasti ada oknum makelar tanah yang bermain. Warga penerima reforma agraria ini kebanyakan kurang mampu secara ekonomi, sehingga rentan dimanfaatkan," ujarnya.
Adapun, subjek penerima manfaat dari skema reforma agraria di sekitar Bandara VVIP Ibu Kota IKN akan ditentukan oleh Tim GTRA yang diketuai oleh kepala daerah setempat. Dari data yang dimiliki, setidaknya terdapat 900 calon subjek penerima manfaat reforma agraria di lingkar Bandara VVIP IKN.
Dalam pelaksanaannya, Parman menjelaskan bahwa penerima manfaat akan terdiri dari warga yang telah terdaftar dan memiliki dokumen kepemilikan tanah yang telah diverifikasi oleh kelurahan dan kecamatan. Dokumen-dokumen ini kemudian akan melalui proses validasi dan penilaian oleh Tim GTRA. Mereka yang memenuhi kriteria penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan lahan (P3) akan menjadi prioritas dalam distribusi lahan.
"Bank Tanah bertanggungjawab dalam menyiapkan lahannya saja. Namun kewenangan menentukan warga yang berhak serta membagikan lahan tersebut adalah Tim GTRA," jelasnya.
Kata Parman, skema reforma agraria dipilih untuk memberikan kepastian hukum di bidang pertanahan kepada masyarakat. Selain itu untuk menata kembali susunan kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria. Ia mengklaim penerapan reforma agraria dapat mewujudkan keadilan, mengurangi ketidakmerataan, dan meningkatkan kesejahteraan sehingga tercapai benefit berupa kemakmuran dari masyarakat itu sendiri.
"Kalau swasta yang mengelola lahan nggak akan diberikan reforma agraria jika masyarakat tidak punya sertifikat tanah. Apalagi hanya berupa segel (sejenis girik) doang. Jadi, kalau diberikan (harusnya) alhamdulillah. Karena negara masih memberikan itu," urainya.
Urusan Ganti Rugi Tanaman: Di Luar Kewenangan Bank Tanah
Perihal ganti rugi tanaman di lahan terdampak, Parman menegaskan bahwa hal ini tidak menjadi kewenangan Badan Bank Tanah. Meski demikian, ia memastikan bahwa negara akan mengganti kerugian untuk semua jenis tanaman melalui skema Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan (PDSK), baik tanaman kecil maupun besar. Penilaian terhadap tanaman tersebut akan dilakukan oleh Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP).
"Untuk penentuan nilai ganti rugi tanaman, sudah ada tim khusus yang menangani," jelas Parman.
Mekanisme PDSK sendiri tidak berada di bawah naungan GTRA, melainkan dikelola oleh tim terpadu provinsi yang dipimpin oleh Gubernur. Tim ini bertugas untuk melakukan verifikasi, identifikasi, dan validasi terhadap penguasaan lahan masyarakat yang berhak mendapatkan ganti rugi.
"Syarat-syaratnya tidak bersifat otomatis. Misalnya, jika hari ini ada tim terpadu dan seseorang menanam tanaman, hal itu tidak serta-merta memenuhi syarat. Setiap mekanisme memiliki aturan tersendiri," tegas Parman.
Terkait tuduhan kurangnya sosialisasi ke warga, Parman membantah tuduhan tersebut. Ia mengklarifikasi bahwa pihaknya sudah melakukan pemberitahuan dan sosialisasi ke warga melalui kelurahan setempat. Bahkan, Parman mengklaim ada pengkondisian di lapangan yang menimbulkan kesenjangan antara pemerintah juga warga.
"Kami sering sosialisasi. Hampir setiap hari. Hanya saja belum masif," ucapnya.
Skema PDSK di Tengah Ketidakpastian
Plang pemberitahuan yang menunjukan proyek Pembangunan Bandara VVIP IKN tengah dibangun
Beberapa temuan di lapangan menunjukan bahwa banyak warga di sekitar Bandara VVIP IKN kehilangan lahan untuk berladang setelah digusur paksa. Sayangnya, banyak dari mereka tidak dapat membuktikan legalitas lahan yang mereka klaim.
Situasi tersebut menimbulkan kekhawatiran dan akhirnya mendapat respons dari Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertahanan Nasional (ATR/BPN), Agus Harimurti Yudhoyono.
Meski irit bicara, pria yang akrab disapa AHY itu mengatakan bahwa penyelesaian masalah lahan warga di lingkar Bandara VVIP IKN akan dilakukan melalui skema PDSK. PDSK dirancang untuk memberikan kompensasi bagi masyarakat terdampak pembangunan IKN melalui ganti rugi tanaman dan relokasi rumah. Namun, AHY tidak memberikan rincian lebih lanjut mengenai implementasi skema ini.
Ia juga mengklaim bahwa semua persoalan tersebut telah ditangani oleh Kementerian Perhubungan dan Kementerian PUPR.
"Terkait penanganan dampak sosial yang ada di bandara VVIP itu memang penanganannya ada di Kementerian Perhubungan dan PUPR dan sebetulnya sudah dilakukan. Kalau terkait data rincinya semua ada di PUPR," tegasnya ketika dikonfirmasi pada (12/8/2024).
AHY juga menekankan bahwa dalam hal ini peran Kementerian ATR/BPN bertugas menyediakan data penguasaan tanah masyarakat. Ia mengakui bahwa proses pembebasan lahan memerlukan strategi hati-hati dan terus berkoordinasi dengan Kementerian PUPR serta tim terpadu yang dipimpin oleh Gubernur Kaltim.
"Mekanisme PDSK ini sedang kita cari jalan tengahnya, apa yang diharapkan masyarakat tapi juga tentu kembali, negara juga ada keterbatasan, termasuk pemerintah juga ada koridor yang harus kita jaga," tambahnya.
Aktivis Soroti Ketidakadilan
Di balik pembangunan Bandara VVIP IKN yang sedang berlangsung saat ini, menghadapi protes keras dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Timur. Pasalnya, warga Pantai Lango yang telah lama menggarap lahan perkebunan mereka kini berusaha legawa menghadapi kenyatan bahwa penyerobotan tanah telah terjadi oleh pihak-pihak yang mendukung proyek tersebut.
Fathur Roziqin Fen, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Timur, mengungkapkan keprihatinannya terhadap situasi yang dihadapi warga Pantai Lango. Walhi menilai tindakan tersebut menunjukkan bahwa pemerintah, khususnya Otorita IKN, gagal menjalankan tanggung jawabnya untuk melindungi hak asasi manusia, terutama dalam aspek ekonomi, sosial, dan budaya (Ekosob). Menurutnya, hak-hak ini telah diatur dalam berbagai instrumen hukum internasional yang seharusnya menjadi panduan dalam setiap kebijakan pembangunan.
“Ini bukan sekadar soal kompensasi. Negara seharusnya melindungi, menghormati, dan memenuhi hak asasi warga. Tapi yang kita lihat di lapangan justru sebaliknya,” ungkap Fathur.
Pembangunan Bandara VVIP di IKN, kata Fathur memang penting untuk pengembangan nasional, tetapi Walhi menekankan bahwa hak-hak dasar masyarakat yang telah lama tinggal di wilayah tersebut harus dihormati dan dilindungi.
“Negara seharusnya bertindak sebagai pelindung hak-hak warga, bukan mengabaikan mereka demi kepentingan proyek besar,” tambah Fathur.
Sejak proyek Bandara VVIP IKN dimulai, warga Pantai Lango telah menghadapi serangkaian tekanan dan intimidasi. Mereka yang menolak melepaskan lahan perkebunan mereka kerap didatangi oleh oknum aparat yang meminta agar tanah tersebut diserahkan untuk kepentingan pembangunan bandara. Puncak yang paling mencolok dalam kasus ini ialah adanya penangkapan sembilan petani kelompok Saloloang yang dianggap menghalangi pembangunan hanya karena mempertahankan lahan mereka.
Kurangnya negosiasi yang adil antara pemerintah dan warga pemilik lahan memperburuk kondisi, memicu pembentukan Serikat Bawai Bekerai sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan tersebut dan upaya untuk mempertahankan hak mereka atas lahan perkebunan.
Di tengah situasi yang semakin sulit, Fathur bilang, Walhi turut serta mendampingi warga Pantai Lango yang memutuskan untuk bersatu dan membentuk. Namun, langkah ini juga tidak mudah, karena mereka harus menghadapi berbagai bentuk intimidasi yang bertujuan untuk melemahkan perjuangan mereka.
"Meskipun warga memutuskan untuk berserikat, upaya intimidasi tetap ada. Itu dilakukan saat mereka (warga) tidak sedang bersama-sama dan mendatangi tiap individu. Ini bukan sekadar permasalahan hukum tanah. Ini adalah soal negara yang abai dalam menjalankan tanggung jawabnya terhadap rakyat,” tegas Fathur.
Selain penyerobotan tanah perkebunan, negara juga menggunakan alasan legalitas untuk mempersoalkan keabsahan tanah milik warga, meski mereka telah tinggal dan berladang di sana selama bertahun-tahun. Situasi ini menciptakan ketidakpastian hukum dan membuat posisi warga semakin terjepit, terutama ketika mereka berhadapan dengan dalih reforma agraria yang ternyata digunakan untuk mengusir warga tanpa kompensasi yang layak.
“Banyak dari mereka telah menggarap lahan tersebut secara turun-temurun, namun pemerintah terus-menerus mempertanyakan keabsahan kepemilikan mereka. Ketidakpastian hukum ini hanya memperburuk situasi warga,” ujar Fathur.
Pentingnya Kesadaran Publik
Melihat kondisi yang ada, Fathur menekankan pentingnya kesadaran publik terhadap isu-isu seperti ini. Sebab, menurutnya perampasan tanah dan hak-hak warga tidak hanya terjadi di satu tempat, tetapi bisa meluas jika tidak ada tindakan yang dilakukan.
"Pembangunan IKN memang penting bagi negara, tetapi tidak boleh mengorbankan hak-hak dasar masyarakat yang telah lama tinggal dan hidup di wilayah tersebut. Negara harusnya menjadi pelindung, bukan menjadi ancaman bagi rakyatnya," sebutnya.
Penyerobotan lahan perkebunan di Pantai Lango menjadi cerminan dari bagaimana pembangunan yang tidak melibatkan partisipasi publik dapat menimbulkan ketidakadilan yang nyata. Oleh sebab itu, Walhi mendesak pemerintah untuk segera mengevaluasi pendekatannya agar pembangunan IKN tidak mengorbankan hak asasi dan kehidupan warga lokal.
“Aksi-aksi protes warga bukanlah bentuk penolakan terhadap pembangunan, melainkan perlawanan terhadap ketidakadilan yang mereka alami. Mereka hanya ingin mempertahankan hak atas lahan yang telah mereka garap selama ini,” tutup Fathur.
Meskipun perlawanan warga Pantai Lango berhasil menunda beberapa upaya penggusuran, masa depan mereka masih dipenuhi ketidakpastian. Proyek besar seperti Bandara VVIP IKN terus berlanjut tanpa adanya transparansi yang memadai mengenai kompensasi atau status hukum lahan mereka. Dalam situasi ini, Kartini dan warga lainnya hanya bisa berharap agar pemerintah mendengar suara mereka dan mencari solusi yang lebih adil.
Namun, seperti halnya proyek-proyek pembangunan lainnya, nasib tanah dan kehidupan mereka mungkin akan terus terancam di bawah ambisi pembangunan nasional.
==
Liputan ini merupakan bagian dari program Fellowship “Mengawasi Proyek Strategis Nasional” yang didukung Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.