Menormalisasi Kekerasan Seksual Antar Siswa di Sekolah (Bagian 2)

Oleh Fiona Wiputri

Peringatan Pemicu: Artikel ini mengandung kisah-kisah tentang kekerasan seksual dan perundungan di lingkungan sekolah. Berbagai peristiwa mungkin dapat menimbulkan ketidaknyamanan dan memicu trauma bagi pembaca.

INDEPENDEN -- Menjalani SMA pada 2016–2019, Rani (bukan nama sebenarnya) mengaku edukasi kesehatan seksual dan reproduksi (kespro) yang diterima terbatas pada topik menstruasi saja. Ia menyayangkan pembahasan menstruasi pun tidak diimbangi antara lelaki dan perempuan. Menjadikan pembahasan soal darah dan pembalut tabu. Ia bercerita soal pelecehan seksual yang dialaminya, fungsi alat reproduksinya direndahkan kawan sebaya.

“Ada satu kejadian, waktu itu aku pakai rok putih. Aku menstruasi dan bocor ke rok aku saat menghapus papan tulis. Satu kelas, terutama cowok-cowok, bilang ‘Ih, mens! Mens! Ih, roknya merah!’ Diteriaki begitu.”

Sekolahnya kala itu juga belum dapat menangani kekerasan seksual dengan perspektif yang tepat. Rani menceritakan kejadian siswa perempuan SMP yang hamil setelah diperkosa pacarnya saat di bawah pengaruh alkohol. Alih-alih memberi solusi bagi Korban, sekolah malahan berusaha menutupi kasus itu. Tak dapat dimungkiri, cerita itu terus berulang sampai empat angkatan di bawahnya tanpa kejelasan solusi sekolah, termasuk Rani yang mendengar. Korban akhirnya keluar dari sekolah, sedangkan sang pelaku masih melenggang bebas untuk bersekolah di sana dengan tenang–bahkan membanggakan perbuatan tercelanya.

“Aku inget banget waktu itu aku SMP ke kantin. Aku melihat dia [pelaku] ketawa-ketawa. Temannya ada yang ngomong ‘Ya, jagoan, lah, dia! Ngehamilin anak orang,’” ulang Rani.

Alih-alih berasumsi negatif, Ibu Mira menilai alasan terjadi kekerasan seksual berdalih kenakalan remaja yang terjadi saat ini adalah karena para siswa tidak memahami dan minim pengetahuan tentang seksualitas. Pendekatan dengan asas praduga tak bersalah bisa jadi dapat berpengaruh positif pada anak.

Selama ini, ia terus mendorong siswa untuk tanpa takut melaporkan kekerasan yang dialaminya ke orang tua atau guru. Walau begitu, penting bagi sekolah untuk juga memperhatikan relasi kuasa atau gender yang mungkin terjadi antara pelaku dan korban, sebagaimana definisi kekerasan seksual dicatat dalam Permendikbudristek PPKSP Pasal 10 ayat (1).

“Kekerasan seksual merupakan setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau Gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan dan/atau pekerjaan dengan aman dan optimal.”

Ibu Mira sempat menceritakan salah satu kasus pelecehan yang pernah ditanganinya. Seorang siswa lelaki dengan ekspresi gender feminin merasa dijauhi oleh kawan sebayanya. Ia menasehati pelaku untuk menghargai perbedaan, tetapi juga meminta Korban untuk tidak “terpengaruh LGBT”.

“Kita [guru] harus kasih tahu jalur-jalurnya karena nilai-nilai [agama] itu. ‘Kamu laki-laki jangan sampai terpengaruh’. Kita tahu sendiri sekarang ini, kan, LGBT makin ngeri.”

Tanggung jawab “moral” untuk mengikuti konstruksi peran gender menjadi masalah lain di tengah sekelumit masalah kekerasan seksual yang jauh lebih tampak. Kekerasan verbal berdalih penyesuaian norma seperti ini dapat terjadi bahkan tanpa sepengetahuan pelaku.

Pihaknya  tidak dapat memungkiri adanya perbedaan latar belakang membuat setiap individu punya nilai yang berbeda, termasuk orang tua atau petugas kantin yang masih di dalam lingkup satuan pendidikan. Maka, penting bagi sekolah untuk menerapkan standar minimal edukasi kesehatan seksual reproduksi. Noridha menekankan bahwa proses mengubah nilai yang diyakini seseorang bisa saja membutuhkan waktu yang panjang, yang mungkin dapat menjadi tantangan bagi sekolah itu sendiri untuk menghapus kekerasan di dunia pendidikan.

“Upaya-upaya perlu dilakukan, tapi kita juga perlu meng-embrace bahwa guru itu juga manusia. At least, kita punya bare minimum, standar minimal mengenai edukasi kespro dan pendidikan seksual yang disesuaikan dengan perkembangannya,” terang Noridha.

Saat ditanya soal apa yang akan dilakukan sekolah jika terjadi kehamilan tidak diinginkan di lingkungan sekolah, Ibu Mira menjawab ada kemungkinan kedua siswa akan dikembalikan ke orang tua. Kasus-kasus yang belum dimasukkan ke dalam aturan sekolah Ibu Mira, sesuai prosedur, akan dibawa ke dalam rapat dewan.

“Mungkin akan dikembalikan ke orang tua, ya, karena juga nggak ada aturan itu. Harus dua-duanya [yang dikembalikan]. Itu lebih adil. Karena tidak mungkin hanya satu pihak jadi korban [pemulangan]. Sampai itu terjadi kehamilan dan sebagainya itu pasti sudah melibatkan dua orang.”

Ibu Mira menilai bahwa edukasi kespro untuk memahami alat reproduksi menjadi penting diterima para siswa. Ia berharap tidak terjadi “penyimpangan” karena tidak paham tubuhnya sendiri.

Edukasi kespro yang selama ini dilakukan di sekolahnya lebih dengan pendekatan pantang (abstinence-only), yaitu menjelaskan risiko berhubungan seksual saja. Keputusan ini lantaran, menurut Ibu Mira, sebagai bentuk ajaran yang berdasarkan nilai agama yang dianut sekolahnya. Walau begitu, dirinya mengakui sampai kini belum menemukan metode yang tepat untuk mengajarkan edukasi kespro kepada siswa.

Raka, Rani, dan Aulia bercerita bahwa selama ini pelajaran tentang seksualitas sebatas pada anatomi genital dan siklus menstruasi belaka. Aulia menambahkan bahwa di mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dalam Bab Berkembang Biak dan Reproduksi, ia mendapatkan pelajaran soal bentuk kekerasan verbal dan nonverbal.

Dirinya mengaku berharap ada penjelasan lebih lanjut lewat pelajaran khusus terkait kespro. Berbeda dengan Aulia, Raka menilai pemahaman soal seksualitas selebihnya dapat dipelajari dengan sendirinya atas “kewarasan” individu.

“Harusnya, sih, cukup. Kalau memang masih waras, seharusnya tahu, bisa bedain mana yang lebih baik dilakukan, mana yang nggak. [Risiko] hamil, penyakit menular, dan penyakit karena seks ‘bebas’ [hubungan seksual di luar pernikahan] yang suka ganti-ganti cewek. Kalau memang nalarnya masih jalan, seharusnya tidak dilakukan,” pungkas Raka.

Indonesia Darurat Kesehatan Reproduksi, Tapi Belum Siap dengan Edukasi Komprehensif

Awal Agustus lalu, Pemerintah baru saja menerbitkan PP No. 28/2024 tentang Kesehatan yang beberapa bagiannya menuai kontroversi. Dewan Perwakilan Rakyat, salah satunya, menilai penyediaan alat kontrasepsi bagi remaja yang tertuang pada Pasal 103 ayat (4) dapat memengaruhi remaja untuk berhubungan seksual di luar pernikahan. Istilah yang sering digunakan oleh Parlemen, bahkan sejak pengesahan RUU TPKS, adalah aturan yang melegalkan seks “bebas”.

Padahal, tanpa kedua aturan itu pun, remaja Indonesia sudah mengalami krisis kesehatan reproduksi. Menurut laporan Bank Dunia pada 2018, sebanyak 46,9% dari 1.000 remaja di Indonesia berusia 15–19 tahun pernah melahirkan. Pada 2021, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyatakan bahwa setara satu dari lima remaja berusia 14–19 tahun mengalami kehamilan tidak diinginkan. Data soal kekerasan pada anak sayangnya begitu terbatas, mengingat isu ini sensitif dan mengalami stigma jika didiskusikan.

Berkaca dari rumitnya pembahasan PP Kesehatan dan UU TPKS sendiri, kita dapat menakar bahwa Negara pun masih belum siap untuk mengimplementasi edukasi kespro dengan pendekatan yang komprehensif.

Edukasi seksualitas yang komprehensif, dalam buku Intenational Technical Guidance on Sexuality Education (ITGSE), didefinisikan sebagai proses belajar seksualitas secara holistik mencakup aspek kognitif, emosi, fisik, dan sosial. Tujuannya adalah untuk memberdayakan orang muda untuk menyadari kesehatan, kesejahteraan, dan martabat diri, serta membangun hubungan interpersonal yang penuh hormat.

Alih-alih sebatas menakuti anak akan risiko dari hubungan seksual di luar pernikahan, edukasi seksualitas yang komprehensif mengajarkan anak untuk memahami dampak dari perbuatannya dan hak mereka sebagai manusia. Pembahasan dalam pedoman teknis keluaran UNFPA ini terbagi dalam 4 kategorisasi umur, yaitu 5–8 tahun, 9–12 tahun, 12–15 tahun, dan di atas 15 tahun.

Salah satu organisasi masyarakat sipil yang menggunakan metode ITGSE adalah Yayasan Tabu Indonesia Berdaya. Sejak Februari 2018, @tabu.id via Instagram bergerak mengampanyekan dan mengedukasi kespro dengan komprehensif.

Neira Ardaneshwari Budiono, salah satu pendiri @tabu.id, menilai edukasi kespro menjadi penting karena begitu lekat dan relevan dengan aspek kehidupan sehari-hari manusia, bahkan sejak kita masih seorang anak. Sayangnya, ada miskonsepsi bahwa edukasi kespro hanya terkait dengan istilah asing atau hubungan seksual belaka.

“Relevansinya sangat banyak di kehidupan sehari-hari kita. Perempuan payudaranya mulai tumbuh, perlu memilih bra yang tepat, mulai suka sama orang, punya gebetan, mengalami hubungan romantis, melewati pubertas, perubahan emosi dan gairah seksual. Kita semua mau nggak mau mengalami, tapi nggak ada yang omongin,” jelas Neira, dalam siniar Bicara Tabu: “#1 Pendidikan Kesehatan Seksual dan Reproduksi? Ih.. Kan TABU!”.

Alvin Theodorus, pendiri @tabu.id lain, menilai bahwa ada miskonsepsi yang muncul karena penggunaan istilah pendidikan seksual. “Seksual” memiliki konotasi yang negatif: “jorok”, “kotor”, dan “tabu” untuk didiskusikan.

“Ada semacam penolakan dari diri kita atas aspek seksualitas diri. Padahal, seksualitas adalah bagian inheren dari diri kita sebagai manusia. Jika menolak, kita sama saja menolak bagian diri kita sebagai manusia. Seksualitas seharusnya juga perlu kita embrace,” tambah Alvin dalam siniar yang sama.

Pernyataan Raka sebelumnya, soal edukasi seksualitas yang cukup dipahami individu dengan “nalar” dan “kewarasan” belaka, menunjukkan bahwa masih ada jalan terjal dan panjang dalam menangani kekerasan seksual di lingkungan sekolah.

Jika ada anak perempuan yang hamil, misalnya, dirinya akan menjadi korban setidaknya dua kali: korban hamil di luar keinginannya dan korban stigmatisasi bahwa dirinya tidak bernalar serta tidak waras.

Berkaca dari kasus kawan Rani yang hamil dan keluar dari sekolah, kita dapat menemukan bahwa masih ada stigmatisasi perempuan yang berhubungan seksual, miskonsepsi tentang persetujuan seksual dalam hubungan pacaran, dan miskonsepsi tentang persetujuan seksual di bawah pengaruh alkohol. Tidak hanya di lingkungan sekolah, berbagai kasus pemerkosaan dalam pacaran atau pernikahan berujung tidak digubris aparat penegak hukum. “Kan, suka sama suka” adalah ucapan yang kerap dilontarkan polisi saat ada pelaporan.

Padahal, sebuah riset yang dilakukan UNESCO pada 2009 mengungkapkan bahwa edukasi seksualitas, baik di dalam maupun luar sekolah, tidak berdampak pada penambahan risiko infeksi penyakit menular seksual dan aktivitas atau perilaku berisiko seksual. Malahan, program yang mempromosikan edukasi seksualitas dengan pendekatan abstinence-only ditemukan tidak efektif dalam menunda inisiasi seksual, mengurangi frekuensi seks, dan mengurangi jumlah pasangan seksual.

“Ada ironi. Jadi ketika awal tujuannya ‘Tidak boleh ada pendidikan seksual nanti dia malah seks ‘bebas’.’ Ternyata, saat hal itu diaplikasikan, dampaknya malah berlawanan dari apa yang diinginkan. Ketika tidak diberikan pendidikan seksual yang komprehensif, anak jadi lebih rentan dan riskan melakukan hubungan seksual yang berisiko,” ungkap Alvin.

Menurut Noridha, ada beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh sekolah untuk mulai mengajarkan edukasi kespro yang komprehensif ke peserta didik di tengah stigma tabu. Pertama, terbuka dengan orang tua tentang isu remaja terkini. Harapannya, orang tua juga dapat paham urgensi dari edukasi kespro yang selama ini masih terhambat oleh berbagai stigma dan miskonsepsi.

Kedua, melibatkan orang tua dalam mendidik anak bersama guru. Sebab, masih ada pandangan bahwa pengajar utama anak adalah guru. Orang tua atau wali juga memiliki peran besar untuk memenuhi kebutuhan dan memberikan wawasan kepada anak.

Ketiga, menghilangkan asumsi salah bahwa memberikan informasi terkait kespro sama saja membuat anak jadi penasaran tentang seksualitasnya. Padahal, melihat tren sekarang, ucap Noridha, banyak sekali perilaku seksual remaja yang sudah masuk dalam kategorisasi harmful.

“Tapi, di sisi lain, kalau kita ngelihat perilaku remaja sekarang, banyak sekali perilaku seksual yang sudah harmful. Orang tuanya berpikir nggak perlu [edukasi kespro], anak-anaknya [malah] sudah lebih advanced,” tambahnya.

Keempat, melakukan asesmen yang berbasis bukti. Sekolah dapat membuat penelitian tentang pengetahuan dan perilaku seksual anak di sekolahnya. Lalu, hasil asesmen ini didiskusikan bersama orang tua untuk selebihnya ditentukan standar dan kebutuhan edukasi kespro di sekolahnya.

Di Balik Ini, Ada Negara yang Menelantarkan Warganya

Dilansir dari CNN Indonesia, Presiden Joko Widodo menyayangkan peringkat pendidikan dan kesehatan Indonesia yang masih jauh tertinggal yaitu pada posisi ke-57 dan ke-58. Peringkat ini dikeluarkan oleh Institute for Management Development (IMD) World Competitiveness pada Juni 2024.

Padahal, menurut Jokowi, pendidikan dan kesehatan sangat berpengaruh dalam penciptaan sumber daya manusia yang unggul di Indonesia. Infrastruktur sebagus apa pun tidak akan baik jika tidak diimbangi dengan sumber daya manusia yang mumpuni, tambahnya.

Ironisnya, Jokowi sebenarnya punya peran besar dalam memperbaiki kondisi negara. Pernyataannya ini menunjukkan bahwa komitmen nasional yang dibuatnya selama menjabat presiden selama 10 tahun tidak berjalan dengan sukses. Berbagai programnya (RPJMN 2015–2019, RAN-PA 2015–2019, Inpres No. 5/2014 tentang GN-AKSA, dan STRANAS PKTA 2016–2020) yang menjanjikan perlindungan pada anak, termasuk dari kekerasan seksual, untuk meningkatkan sumber daya manusia, masih nihil perubahan.

Sampai kini, kita dapat menemukan kasus dispensasi nikah di mana-mana, pemerkosaan anak yang tidak berujung keadilan, pelecehan antarsiswa yang masih dinormalisasi, putus sekolah, aparat penegak hukum yang menyalahkan korban kekerasan seksual, juga hambatan akses aborsi bagi anak korban pemerkosaan.

Sebuah artikel berjudul “Child sexual abuse in Indonesia: A systematic review of literature, law and policy” yang terbit pada 2019 menjabarkan faktor masih terjadinya kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia, yaitu tabu dan stigma soal seks, kemiskinan dan kerentanan ekonomi, program proteksi anak milik Pemerintah yang belum komprehensif, serta definisi anak dalam produk hukum yang masih tumpang tindih.

Dalam KUHP, perempuan dapat memberikan persetujuan seksual pada usia 15 tahun, sedangkan lelaki tidak diatur. Dalam UU Pernikahan, perempuan dan lelaki dapat menikah setelah menginjak usia 19 tahun, kecuali terjadi dispensasi nikah yang disetujui pengadilan setempat. Dalam UU Perlindungan Anak, anak didefinisikan sebagai setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun. Regulasi pemerintah yang kontradiktif ini berdampak pada definisi dari persetujuan seksual sehingga akan berdampak juga pada penanganan kasus anak.

Selain itu, melansir dari Harian Kompas  Kepala Perwakilan UNFPA Indonesia, Anjali Se, menyatakan bahwa tingginya angka kehamilan yang tidak diinginkan, baik secara nasional maupun global, menunjukkan akses yang tidak merata tentang layanan kesehatan seksual dan reproduksi.

Melansir dari Amnesty International, kekerasan pada anak, terlebih perempuan, tidak hanya berbuah rasa takut dan sakit, tetapi juga menurunkan rasa percaya diri dan kelangsungan mereka di sekolah. Dampak dari kekerasan yang dialami perempuan, di tengah balutan stigma pada korban, berpengaruh signifikan pada kesempatan bekerja dan kemandirian finansial mereka. Korban pun jauh lebih rentan ditargetkan dalam kasus perdagangan orang.

Jokowi seakan melupakan bahwa dampak kesehatan dan keamanan peserta didik di lingkungan sekolah dapat memengaruhi pendidikan. Jika memang Negara memiliki prioritas untuk meningkatkan sumber daya manusia, seharusnya ada inisiasi yang jauh lebih matang dan tanggap untuk mengatasi kekerasan pada anak.

Kurikulum yang membatasi edukasi kespro menjadi semata dengan perspektif abstinence-only, sistem sosial patriarki yang menyalahkan korban kekerasan dan menjadikan perempuan warga kelas dua, serta negara yang belum cukup berintegritas dan terintegrasi dalam menyelesaikan permasalahan menjadi lingkaran setan dalam memerangi risiko pada anak. Kekerasan seksual masih terjadi di tingkat pendidikan dasar dan menengah karena warga negara tidak dididik untuk mengerti apa itu kekerasan seksual.

Pada 2016, UNESCO menemukan bahwa edukasi seksualitas akan paling berpengaruh baik jika program dilakukan dengan pelbagai elemen komunitas, termasuk layanan kesehatan, orang tua, dan guru untuk menjangkau orang muda yang dimarginalisasi. Upaya lewat Permendikbudristek PPKSP saja tidak cukup untuk memberantas kekerasan di lingkungan sekolah jika tidak diimbangi dengan upaya kolektif Pemerintah yang menggandeng lembaga lintassektor.

Pihak sekolah perlu berkolaborasi dengan lembaga-lembaga yang fokus pada isu anak dan gender, seperti Komnas Perempuan, KemenPPPA, dan akademisi atau praktisi isu gender. Selain itu, dalam upaya mendorong peserta didik untuk berani melapor, sekolah juga perlu menciptakan lingkungan yang ramah gender salah satunya dapat dengan merekrut lebih banyak pendidik perempuan, melatih edukator sebaya untuk berpartisipasi aktif, melibatkan kawan sebaya (peer support), dan menerapkan prinsip ITGSE dalam edukasi kespro.

Tentu pihak sekolah juga perlu mendapatkan dukungan dan dorongan dari Negara dalam melaksanakan program rekomendasi di atas. Selain itu, Negara perlu memperbaiki definisi anak yang masih tumpang tindih dalam produk hukum, mengembangkan perspektif gender pada aparat penegak hukum dan tenaga kesehatan, serta meningkatkan kapasitas kepala daerah di setiap wilayah.

Mekanisme desentralisasi yang diterapkan Pemerintah menjadikan regulasi bergantung pada kepemimpinan kepala daerah masing-masing. Walau juga memiliki kekuatan sendiri, desentralisasi menjadi tantangan jika ada ketimpangan kemauan politis (political will) antarpejabat daerah.

Sudah seharusnya Negara menepati janji konstitusi untuk memberikan akses pendidikan yang layak bagi warganya, termasuk menciptakan ruang yang aman dan nyaman untuk peserta didik belajar.

---

Reportase ini adalah hasil fellowship beasiswa liputan dari Independen.id yang didukung oleh USAID, Aliansi Jurnalis Independen, dan Internews.

kali dilihat