Nasib Muram Pemilik Bagang di Cipeundeuy Bandung Barat: Dulu Digusur PLTA, Kini Terpental PLTS

Oleh:Bambang Arifianto
 

INDEPENDEN- Di balik kehadiran Pembangkit Listrik Tenaga Surya Terapung Cirata yang digembor-gemborkan ramah lingkungan dan terbarukan, sejumlah warga lokal pencari ikan ketiban sial. 

Bagang atau bagan, tempat mencari ikan warga di danau justru tergusur proyek setrum tersebut. Ironisnya, para pencari ikan yang terpental itu merupakan keturunan warga yang juga tergusur proyek bendungan PLTA Cirata puluhan tahun lalu.

Perahu kecil bertenagakan kayuhan dayung Sarifudin mulai membelah genangan air Waduk PLTA Cirata, kawasan perbatasan Desa Margalaksana dan Desa Ciroyom, Kecamatan Cipeundeuy, Kabupaten Bandung Barat, Rabu, 29 Mei 2024. 

Dari kejauhan, sejumlah bagang atau tempat warga mencari ikan jenis pepetek dan teri sudah terlihat. Bagang merupakan semacam pangkalan berbentuk segi empat dari potongan-potongan bambu yang mengapung di atas danau. 

Di tengah bagang, terdapat lampu listrik yang berfungsi menarik ikan untuk berkumpul. Ikan-ikan itu lalu ditangkap warga menggunakan jaring. Bagang-bagang tersebut saat ini banyak yang bergeser ke tepi danau atau memilih pindah ke kawasan teluk setelah kehadiran PLTS Terapung Cirata. Di salah satu bagang warga, perahu yang dikayuh Sarifudin serta menepi.

Pria 51 tahun yang menjabat Ketua RT 25 di RW 09, Kampung Ciroyomhilir itu menunjukkan kondisi sejumlah bagang yang tersisa di area tersebut. Bagang-bagang yang masih eksis itu telah lapuk. Demikian pula dengan kondisi bagang milik Sarifudin yang sudah agak doyong. Ya, pangkalan para pencari ikan itu hanya sisa-sisa dari pembersihan yang dilakukan aparat/petugas gabungana dari unsur TNI, polisi dan PLN pada sekira 1,6 tahun lalu. Seingat Sarifudin, pembersihan berlangsung tiga kali. Para petugas itu meminta warga membongkar bagang mereka.

"Kersa teu kersa kedah ditarik ka sisi (Mau atau tak mau, tetap harus ditarik ke pinggir)," ucapnya sebelum berperahu bersama "PR" melihat bagang-bagang itu. 

Jika menolak, petugas bisa merusak pangkalan pencarian itu dengan menggergajinya. Alasan pembersihan, lanjutnya, karena kehadiran proyek PLTS Terapung Cirata. Tak cuma bagang, aktivitas pencarian ikan lain, seperti jaring ampar hingga lapak pemancingan ikut terkena larangan. 

Sebetulnya, perintah untuk tak melakukan aktivitas itu sudah dilakukan beberapa tahun sebelumnya. Pembersihan membuat warga akhirnya terpental ke tepian. Dari sekitar 30 bagang di kelompok petani ikan Syarifudin, yang tersisa kini hanya sekira 10 bagang. Mereka terpental ke tepian.

"Saleresna mah teu kenging tapi kumaha namina jalmi butuh nu penting te ngahalangan akses (Sebetulnya bertahan seperti ini juga tak boleh, tetapi karena kebutuhan akhirnya tetap bertahan, yang penting tidak menghalangi akses aktivitas PLTS)," ucapnya. 

Seingat Sarifudin, PLTS itu dibangun sekitar 2,6 tahun lalu. Para penangkap ikan juga sempat dilarang beraktivitas di lokasi itu dengan alasan zona bahaya. Namun urusan perut atau ekonomi membuat mereka tetap bertahan. Sarifudin mengaku pernah meminta PLN Cirata memberikan kompensasi atas penggusuran tersebut. Ada dua tuntutan yang disampaikan Sarifudin, yakni mengganti biaya pembuatan bagang yang digusur dan alih profesi. Opsi mengganti biaya akhirnya diluluskan. 

"Ngalungsurkeun Rp 60 juta (Biaya yang dikeluarkan Rp 60 juta)," ucapnya. 

Jumlah itu kemudian dibagikan ke kelompok-kelompok peternak/penangkap ikan di KBB dan Purwakarta. Setiap kelompok masing-masing memperoleh Rp 20 juta. Sementara jumlah anggota kelompok sendiri mencapai sekitar 30,19 hingga 15 orang. Untuk kelompok Sarifudin sendiri, jumlah anggotanya mencapai sekira 30 orang. 

"Sedengkeun per orang teh aya nu gaduh 2, gaduh 3 (Sedangkan per orang/anggota ada yang memiliki 2 hingga 3 bagang)," ucapnya. 

Ujung-ujungnya per orang diperkirakan hanya menerima Rp 130 ribu. 

Jumlah tersebut sangat jauh dari biaya pembuatan bagang yang per unitnya mencapai Rp 3 juta. Kucuran kompensasi sebenarnya mensyaratkan pembongkaran bagang. Namun, nilainya yang sangat kecil membuat warga keberatan. Akhirnya, warga diberi kelonggaran mempertahankan bagang namun mesti bergeser ke teluk atau tepian danau. 

Upaya mempertahan bagang kendati terpental dilakukan warga Ciroyomhilir lain, Mahpudin, 50 tahun. Awalnya, pria yang akrab dipanggil Apud itu memiliki dua bagang sebelum kehadiran PLTS. Sekarang, ia hanya memiliki satu bagang dan memilih tetap mempertahankannya. 

Terpental ke tepi akibat kehadiran PLTS membuat penghasilannya melorot karena ikan tangkapannya menurun. Hari itu misalnya, Apud mengaku cuma memperoleh satu kilogram pepetek. Saat ini, ia rata-rata memperoleh 2-3 kilogram pepetek per malam. Dulu, Apud bisa memperoleh 5-10 kilogram per malam.

Sekarang, ia mengencangkan ikat pinggang. "Makana sering puasa wengi teh (Makanya saya sering berpuasa saat malam)," ucapnya. 

Yang dimaksud "berpuasa" itu adalah menghemat biaya operasional saat menangkap ikan di bagang di malam hari saat ini. Jika Sarifudin dan Apud memilih bertahan, tak demikian dengan Usep, 43 tahun. Warga Kampung Ciroyomhilir tersebut memilih menyudahi bagang miliknya. Padahal sebelum ada PLTS, ia sempat memiliki tiga bagang. 

"Tos hoream (Sudah malas melanjutkannya)," ucap Usep. Selain alasan penghasilan dari bagang yang melorot, kompensasi penggusuran bagang pun sangat kecil. Ia mengaku memperoleh kompensasi hanya Rp300 ribu dari penggusuran bagang. 

"Tilu ratus ribu mah cekap kana naon, upami sabagang eta 3 juta, jaring ampar 9 juta (Kompensasi Rp 300 ribu cukup buat apa, sementara membuat bagang biayanya 3 juta, jaring ampar Rp 9 juta)," ucapnya. 

Upaya memperoleh penghasilan lain dari menjaring ikan di tengah genangan hingga mengantar pemancing menggunakan perahu juga sudah tak bisa dilakukan setelah adanya proyek setrum surya itu. Usep pun sekarang cuma mengandalkan penghasilan dari usaha warung makannya. 

Menurunnya tangkapan ikan di bagang juga dialami Apeng, 35 tahun. Pemilik bagang asal Kampung Gunungkuda, Desa Margalaksana, Kecamatan Cipeundeuy itu mengaku bisa memperoleh ikan 70-50 kilogram per malam. Kini, ia paling banyak hanya mendapatkan 10 kilogram. Apeng menduga kehadiran PLTS menjadi penyebab melorotnya tangkapan pepetek bagang-bagang warga. 

"Di tengah tos aya penerangan (Di tengah danau sudah ada penerangan)," ucapnya saat ditemui "PR" di kediamannya, Kamis, 15 Agustus 2024. 

Sumber cahaya atau penerangan itu, tuturnya, berasal dari PLTS. Karena lampu bagang kalah terang ketimbang PLTS, pepetek pun pergi mendekati sumber cahaya yang lebih kuat. Sebagaimana Sarifudin dan Apud, Apeng juga memilih mempertahankan bagangnya meskipun bergeser ke tepi. 

"Kamana deui (Kemana lagi saya memperoleh penghasilan),"tuturnya. Dari bagang, ia memperoleh tambahan penghasilan selain dari bertani. 

Ultimatum 

Sementara itu, Iyus Muslihudin, 37 tahun, Ketua RW 09 Ciroyomhilir sekaligus Ketua Himpunan Kelompok Jaring Ikan Cirata di wilayah KBB mengungkapkan, upaya warga mempertahankan bagang di tepi dan teluk kini juga terancam. Beberapa pemilik bagang memperoleh surat peringatan dari pihak PLN/PLTS.

"Aya surat peringatan membongkar dengan sukarela (Ada surat peringatan agar warga segera membongkar bagang dengan sukarela)," ucapnya di Ciroyomhilir, Senin, 19 Agustus 2024. Padahal, sebelumnya sudah keputusan memberikan kelonggaran kepada pemilik bagang tetap bertahan asal bergeser ke tepi atau teluk. 

Dalih yang dikemukan pemberi ultimatum itu, tutur Iyus, karena perbedaan aturan. Dulu, aturan kelonggaran diberikan oleh PLTA Cirata. Sementara sekarang oleh PLTS yang tak mentolerir keberadaan bagang. 

Iyus menambahkan, jumlah anggota himpunan yang dipimpinnya mencapai 80 orang dan terbagi menjadi 4 kelompok. Kelompok itu terbagi lagi dari kelompok bagang, jaring ampar, pemancingan, pencari tutut, udang. 

Dengan kompensasi hanya Rp60 juta, ia memperkirakan masing-masing anggota kelompoknya hanya memperoleh Rp 200 ribu. Ia juga pemilik bagang yang tetap mempertahankan usahanya tersebut. Dari 2 bagang yang dimilikinya, ia saat ini hanya bisa mengoperasikan 1 bagang. 

Berulang Digusur 

Nasib para pemilik bagang yang terpental itu seperti mengulang cerita lampau. Orang-orang tua mereka tergusur proyek Pembangkit Iistrik Tenaga Air Cirata puluhan tahun lalu. Sarifudin contohnya. 

Ayah, ibu hingga mertuanya tergusur proyek bendungan itu. Kampung orang tuanya di Cirawa terendam genangan air proyek Cirata. Sementara kampung mertuanya di Parungbanteng juga bernasib serupa. Mereka mesti pindah mencari lahan baru. Orang tua Sarifudin juga pindah ke wilayah Cipeundeuy. 

Apud, Usep, Apeng dan Iyus setali tiga uang. Lahan orang tua Apud di wilayah Desa Margalaksana tergusur. Sedangkan mertuanya juga mesti merelakan sawahnya di Parungbanteng terkena proyek itu. Untuk Usep, dua generasi di atasnya, yakni orang tua dan kakek nenek tersingkir karena proyek bendungan yang pengerjaannya berlangsung pada 1980-an tersebut. 

"Aki sareng nini sadayana kagusur di handap (Kakek dan nenek semuaya tergusur di bawah)," ucapnya. 

Yang dimaksudnya di bawah adalah kampung kakek neneknya di Cibuluh, Desa Margalaksana. Rumah hingga lahan kakek neneknya tergusur. Sementara orang tuanya kehilangan sawah. Sementara Apeng, kakek nenek dari pihak ibu dan ayahnya yang berasal dari Parungbanteng juga tergusur proyek PLTA Cirata. 

"Aki nini ge ti lebak nu ayeuna kakeueum (Kakek nenek saya dari wilayah bawah/Parungbanteng yang kini sudah terendam)," ucapnya.

Iyus juga keturunan warga yang tergusur proyek PLTA Cirata. Neneknya merupakan warga Parungbanteng yang pindah karena proyek itu. 

PLN 

Pikiran Rakyat mencoba meminta konfirmasi dan klarifikasi terkait persoalan tersebut dengan menghubungi Respati Adi Katmoyo selaku humas dari Pembangkit Jawa Bali Masdar Solar Energi (PMSE). PMSE merupakan perusahaan yang menaungi PLTS Terapung Cirata pada Jumat, 31 Mei 2024. 

Dalam sambungan telefonnya, Respati meminta "PR" mengirimkan surat resmi berisi permintaan itu dan daftar pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan kepada PT PLN Nusantara Power 18 Office Park, Jalan TB Simatupang No 18, Pasar Minggu, Jakarta 12520. 

Respati juga memberikan nomor kontak bagian sekretariatan perusahaan itu. "PR" kemudian mengirimkan surat yang disertai sejumlah pertanyaan itu melalui nomor WhatsApp kontak terebut pada Kamis, 25 Juli 2024. 

Pesan WA dari nomor sekretariat itu menyebutkan akan memasukannya ke surat internal mereka. Namun tak kunjung ada jawaban dari surat tersebut. Pada Senin, 5 Agustus 2024. "PR" kembali menanyakan jawaban mengenai surat tersebut melalui pesan WhatsApp dan dijawab, masih dikoordinasikan. Hingga Rabu, 28 Agustus 2024, jawaban surat juga tak kunjung datang.

*) Tulisan ini merupakan republikasi berita yang naik di portal Pikiran Rakyat.com, 29 Agustus 2024.  Liputan ini merupakan bagian dari program Fellowship “Mengawasi Proyek Strategis Nasional” yang didukung Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.

 

kali dilihat