"Kami mungkin tidak bisa mengatur politik itu, tapi kami bisa memastikan bahwa kami saling mendukung dan tidak membiarkan siapa pun merasa sendirian”- Tien Kusna.
Oleh: Luthfi Maulana Adhari
INDEPENDEN- Kota hujan hari itu terik, bendera partai serta spanduk calon kepala daerah mengepal tangan dengan senyum lebar berderet menyapa siapapun yang lewat, diasapi knalpot kendaraan berat dan debu yang mengirap pasir hingga aspal. Di balik jalan besar itu, berdiri perempuan berambut cepak menggunakan topi berwarna biru keunguan, menyusuri gang kecil menuju kontrakan sepetak. Di sana sudah menunggu dua sejawatnya. Kontrakan sepetak itu menjadi ruang berpumpun Suara Pelangi, kolektif yang tidak akan membiarkan individu ragam gender merasa sendirian.
Perempuan berambut cepak bertopi biru keunguan itu bernama Tien Kusna atau sesekali disapa Dona (55). Sehari-hari ia bekerja sebagai penjual nasi di kawasan PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung. Di samping pekerjaannya, Dona juga aktif di Suara Pelangi, sebuah komunitas berbasis buruh queer yang menjadi rumah kedua bagi banyak komunitas ragam gender di Bogor. Dona dan teman-temannya bertemu setiap akhir pekan untuk saling bertukar rasa, asa, dan tak jarang harapan.
"Kami saling menguatkan satu sama lain. Di sini, tidak ada yang perlu merasa takut atau malu," kata Dona.
Sementara dua kawan yang ditemui Dona adalah Putra –bukan nama sebenarnya– (28) dan Uncu (29). Putra sebelumnya merupakan buruh, hingga akhirnya ia memutuskan untuk mencari penghidupan di sektor informal setelah merasa tidak aman bekerja di pabrik.
Putra merasa lebih bebas dan tidak terlalu diawasi oleh masyarakat sekitar, lebih-lebih perusahaan yang sering kali tidak menerima keberadaan ragam gender. Baginya, kebebasan untuk bekerja dan beraktivitas tanpa harus merasa takut adalah hak asasi yang mesti dikedepankan.
"Aku jualan online sekarang, jadi lebih fleksibel dan bisa menghindari banyak mata yang selalu curiga," kata Putra.
Satu orang terakhir yang sedang menjahit di kontrakan itu adalah Uncu, seorang pekerja pabrik garmen. Uncu memiliki pengalaman kolektif yang serupa dengan Putra, pekerjaan di pabrik memberinya penghasilan tetap, tetapi tidak selalu memberikan rasa aman. Dia sering kali harus bersembunyi atau menahan diri dari ekspresi gendernya, hanya untuk bisa bertahan hidup.
"Bekerja di pabrik memang ada penghasilannya, tapi tidak ada jaminan kita aman di sini," ucap Uncu.
Meski memiliki latar belakang yang berbeda, Dona, Putra, dan Uncu disatukan oleh pengalaman hidup yang serupa: mereka terus berusaha mencari ruang aman di tengah negara yang tidak menerima mereka. Dona, Putra, dan Uncu bukan hanya berjuang untuk bertahan hidup secara ekonomi, tetapi juga secara sosial dan politik. Mereka bergandengan tangan untuk bertahan sembari melawan, mencari cara untuk tetap bisa bernapas tanpa harus terus-menerus dihantui rasa takut akan kekerasan, diskriminasi, dan persekusi.
Sementara di jantung provinsi Jawa Barat, Luvhi Pamungkas masih kokoh merangkul Srikandi Pasundan hampir 20 tahun lamanya. Srikandi Pasundan telah lama menjadi benteng perlindungan bagi komunitas transpuan di kota Bandung. Dengan fokus pada inklusi dan advokasi, mereka telah melakukan berbagai program edukasi kesehatan, termasuk pemeriksaan HIV, serta upaya untuk meningkatkan penerimaan sosial terhadap komunitas trans melalui berbagai kerjasama.
"Selama ini, kerja-kerja kita bersinggungan langsung dengan teman-teman komunitas dan masyarakat," cerita Luvhi.
Di Srikandi Pasundan, mereka menggantung dan memperjuangkan harapan. Salah satu cara yang mereka lakukan adalah dengan mengadakan berbagai program pemberdayaan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi anggota komunitas.
"Banyak dari mereka yang memiliki usaha dan kontribusi di masyarakat, dan bukan hanya bekerja di bidang yang sering kali distigmatisasi," kata Luvhi.
Luvhi bersama Srikandi Pasundan adalah wajah-wajah yang penuh kasih impian, namun kini diliputi ketidakpastian. Rancangan Peraturan Daerah (Perda) yang diskriminatif terhadap kelompok ragam gender menjadi momok yang menghantui setiap langkah mereka. Setiap langkahnya diliputi takut, setiap jengkalnya perlawanan untuk bertahan. Terlebih di tahun politik, tangga menimpa berkali-kali pada kelompok rentan yang acap kadung dijatuhkan.
Sebelum Jadi Perda, Ancaman Sudah Nyata
"Ya, berbicara tentang perda ini, kita justru was-was dan khawatir," ucapnya Luvhi tegas, mengawali pertemuan sore itu. Seperti diketahui, Januari 2023 menandai babak baru dalam upaya diskriminasi di Bandung, dengan Kota dan Kabupaten Paris van Java sama-sama merancang peraturan daerah anti LGBT.
Sejak itu hingga saat ini, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bandung mulai menggulirkan wacana untuk menyusun rancangan peraturan daerah (ranperda) yang bertujuan mencegah dan melarang keberadaan komunitas LGBT. Wacana ini cepat mendapat angin segar dari pemerintah kota, yang memberikan dukungan penuh terhadap inisiatif tersebut.
Tidak berhenti di tingkat kota, Kabupaten Bandung juga mengambil langkah serupa. Bupati Bandung, Dadang Supriyatna, tidak hanya mendukung gagasan tersebut tetapi juga aktif mendorong agar rancangan peraturan daerah anti-LGBT segera masuk ke dalam Program Legislasi Daerah (Prolegda). Langkah ini diambil agar rancangan tersebut bisa segera dibahas oleh DPRD, menggarisbawahi betapa kuatnya dorongan untuk mempercepat penerapan regulasi yang akan memperketat ruang gerak komunitas LGBT di wilayah tersebut.
Wacana peraturan daerah (perda) anti LGBT di Bandung memunculkan ancaman nyata terhadap hak-hak dasar komunitas queer, terutama dalam akses ke layanan kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan.
Kemunduran juga bisa terjadi, khususnya bagi mereka yang rutin melakukan pemeriksaan kesehatan. Layanan kesehatan, yang dalam beberapa tahun terakhir mulai menerima komunitas queer, berpotensi kembali menjadi area yang sulit diakses. Perda ini dikhawatirkan akan menciptakan kembali ketakutan di kalangan masyarakat, merusak kemajuan yang telah dicapai dalam beberapa aspek, seperti pengurusan KTP melalui Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil).
"Jika perda ini diterapkan, maka akan ada kesulitan tambahan bagi teman-teman yang sudah terbiasa melakukan pemeriksaan, bukan hanya untuk HIV tetapi juga untuk pemeriksaan lainnya," katanya.
Pembatasan yang diusulkan melalui perda ini mengancam untuk membatasi hak-hak yang sudah diperoleh dengan susah payah oleh komunitas queer. Seperti pembatasan terhadap kegiatan berkumpul di tempat tinggal, yang sangat penting untuk keberlangsungan hidup komunitas queer. Ketika pembatasan ini diberlakukan, akses terhadap ruang yang aman menjadi semakin sulit, mengancam keberlangsungan hidup mereka di masa depan.
Sementara perjuangan untuk hak asasi manusia terus bergulir, kebijakan semacam ini menegaskan kembali bahwa hak untuk diakui sebagai manusia dan sebagai warga negara Indonesia seharusnya berlaku tanpa diskriminasi. Perda ini berisiko mencabut hak-hak yang secara fundamental dimiliki setiap individu, tidak hanya komunitas queer, tetapi juga seluruh masyarakat.
“Yang harus kita pikirkan adalah bagaimana teman-teman queer bisa bertahan. Ada hak-hak yang selama ini sudah dibatasi. Misalnya dalam hal kesehatan, dengan adanya perda ini, akan ada kesulitan tambahan. Dalam beberapa tahun terakhir, layanan kesehatan sudah mulai menerima teman-teman queer, seperti dalam pembuatan KTP dengan Dukcapil.”
“Namun, perda ini bisa membuat masyarakat kembali merasa terancam, dan hak-hak kita dirampas. Misalnya, pembatasan berkumpul di kos-kosan. Hal ini sangat penting karena menyangkut langkah-langkah teman-teman kita ke depan. Sementara itu, kita berbicara tentang hak asasi manusia; kita semua berhak sebagai manusia dan warga Indonesia,” terang Luvhi.
Sebelum Bandung, Kota Bogor sudah terlebih dahulu memberlakukan Peraturan Daerah (Perda) Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual (P4S) tahun 2021. Peraturan ini secara spesifik mengatur pencegahan dan penanganan apa yang disebut sebagai “penyimpangan seksual” dan mengusulkan kemungkinan rehabilitasi bagi individu-individu yang dianggap melanggar norma-norma tersebut.
Padahal, sejak 1973 asosiasi psikiater yang tergabung dalam American Psychiatric Association (APA) sudah menghapus diagnosis orientasi seksual sebagai gangguan jiwa dari acuan diagnosis ahli kesehatan jiwa atau Diagnostic and Statistical Manual (DSM) edisi II. Di Indonesia, Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) juga tidak menganggap orientasi seksual termasuk homoseksual ke dalam kelainan atau gangguan jiwa.
Perda tersebut menambah noktah hitam ancaman bagi kelompok ragam gender yang sudah kadung gelap. Sebelum Perda disahkan, 2018 menjadi salah satu titik terendah dalam hidup Putra. Hanya karena ekspresi gendernya, ia harus menghadapi persekusi dari lingkungan sekitar.
"Saya sempat mengalami persekusi. Pada saat itu belum ada banyak spanduk, belum pernah lihat. Tapi ada satu masalah di mana ada tomboy yang bermasalah dengan orang karena berpacaran dengan istri orang. Itu menjadi kasus, dan satu desa jadi tahu," kenangnya dengan beberapa kali menghela napas.
Keputusan sepihak diambil oleh warga kampung, yang memaksa semua individu yang dituduh LGBT untuk segera meninggalkan tempat itu. Tekanan itu begitu nyata dan tidak ada ruang untuk perlawanan. Ia sudah kadung dicap sebagai pembuat masalah oleh masyarakat tanpa melakukan apa-apa.
"Anak-anak lesbian atau yang ekspresinya maskulin seperti tomboy sering distereotipkan sebagai pembuat masalah. Waktu itu, semua yang berekspresi tomboy atau maskulin diminta pindah dari kampung," lanjut Putra.
Setidaknya sepuluh orang pemuda datang ke rumahnya tiap lewat jam sepuluh malam. Mereka tidak hanya datang dengan ancaman verbal, tetapi juga merekam seluruh kejadian seolah-olah Putra lah yang menjadi sumber masalah. Puncaknya, mereka memerintahkan Putra untuk pergi dengan alasan bahwa penampilannya tidak sesuai dengan norma desa tersebut sembari memberi batas waktu hanya tiga hari bagi Putra untuk meninggalkan kampung itu.
"Mereka datang tidak hanya satu-dua orang, tapi minimal 10 orang, sambil buat konten seolah-olah yang didatangi itu yang bermasalah. Waktu itu saya disuruh pergi dengan alasan desa ini tidak menerima penampilan seperti ini dan diberi waktu tiga hari untuk pindah," ceritanya sambil menahan emosi.
Meskipun Putra sudah membuat surat domisili dan meminta bantuan dari Ketua Rukun Tetangga (RT) setempat, harapannya pupus ketika Ketua RT itu sendiri tidak mampu melindunginya. Warga muda di kampung tersebut lebih berkuasa dan tidak ada yang bisa dilakukan aparat lokal untuk melawan kekuatan mereka. Akhirnya, dengan perasaan yang jauh dari lapang, Putra harus rela meninggalkan rumah dan kampung yang telah menjadi tempat tinggal untuk istirahat dari pekerjaannya.
"Saya sudah membuat surat domisili dan meminta bantuan RT, tapi RT juga tidak bisa berbuat apa-apa karena pemuda di sana lebih berkuasa. Akhirnya, demi keselamatan, saya harus pindah dari tempat itu," tutupnya dengan getir.
Gayung bersambut, selain persekusi, tantangan administrasi menjadi kenyataan pahit yang harus dihadapi Putra. Keinginan untuk memperbaiki data administrasi sebenarnya ada, tetapi trauma dari pengalaman sebelumnya membuat Putra ragu. Dalam pengalamannya bekerja di sebuah pabrik, Putra sering kali merasakan diskriminasi secara terang-terangan.
“Sebenarnya ada keinginan untuk memperbaiki data administrasi, tetapi trauma dengan pengalaman sebelumnya dapat pengalaman nggak nyaman di bank, jadi itu membuat aku ragu,” ungkap Putra, mengingat kembali pengalamannya.
“Kebanyakan pabrik masih melihat identitas awal dan menuduh kami menggunakan identitas palsu,” sambungnya.
Masalah serupa juga dialami oleh Uncu. Setelah kontraknya di pabrik berakhir, ia berusaha mengurus BPJS Ketenagakerjaan. Namun, proses verifikasi wajah di aplikasi BPJS terus-menerus gagal karena perubahan identitasnya, memperlihatkan betapa sulitnya birokrasi bagi kelompok ragam gender.
"Saya selalu gagal saat mau verifikasi wajah di aplikasi JMO BPJS. Itu sudah hampir dua bulan nggak bisa-bisa," katanya dengan nada putus asa, menghela napas panjang.
Butuh waktu dua bulan penuh sebelum ia akhirnya berhasil memperbarui identitasnya di sistem, namun perasaan dipersulit masih membekas dalam benaknya.
“Mereka bilang harus tes verifikasi wajah, dan katanya gagal pas dites. Lalu saya disarankan untuk mencoba lagi dengan rambut dirapikan,” ujarnya sambil menahan tawa getir.
Dona menambahkan perspektif lain tentang kondisi ini. Ia menyebutkan bahwa serikat buruh di Bogor belum mampu menjadi pelindung bagi kelompok LGBT. Praktik pungutan liar dan sistem kontrak kerja yang singkat serta tidak adil menjadi penghalang untuk membentuk serikat yang inklusif.
"Percuma ada serikat buruh tapi mereka tidak berpihak pada orang-orang yang lemah," katanya dengan tegas.
Tak hanya di dunia kerja, ketakutan untuk mengakses layanan kesehatan juga menjadi isu serius bagi komunitas LGBT. Putra mengakui bahwa ia enggan untuk datang ke puskesmas atau mengakses layanan kesehatan lainnya, karena kekhawatiran akan keamanan identitasnya.
"Kalau akses ke kesehatan pun, saya lebih merasa, 'Nggak dulu deh.' Kembali lagi ke keamanan identitas juga. Jadi, bukan kita nggak mau datang untuk cek kesehatan atau apa pun, tetapi lebih kepada identitas kita sendiri," jelasnya dengan nada prihatin.
Data Arus Pelangi pada 2018 menjadi saksi betapa diskriminasi terhadap kelompok LGBT semakin sistematis, dengan eksisnya 45 regulasi daerah yang mencerminkan ketidakadilan. Dari sekian banyak peraturan, 23 di antaranya secara terang-terangan mencantumkan kata-kata seperti lesbian, homoseksual, waria, dan transgender dalam pasal-pasal mereka.
Aturan-aturan ini tidak hanya bersifat diskriminatif tetapi juga memupuk kebencian di masyarakat. Ada pula delapan peraturan yang meski tidak secara eksplisit menyasar kelompok ragam gender, implementasi dari aturan kesusilaan yang mereka kandung secara jelas menargetkan komunitas ini. Tujuh peraturan lainnya mengandung muatan yang sama, namun masih dalam batas abu-abu yang berpotensi karet. Sisanya, sebanyak tujuh peraturan diskriminatif, tidak ditemukan dalam dokumen fisik maupun digital.
Dalam 12 tahun terakhir, Arus Pelangi mencatat dampak dari regulasi-regulasi diskriminatif ini melalui berbagai insiden yang menyebar di sembilan provinsi. Mereka berhasil mengidentifikasi 172 peristiwa yang menghasilkan 271 tindakan diskriminatif. Tindakan-tindakan ini tersebar di Jakarta, Lampung, Sulawesi Utara, Sumatra Utara, Yogyakarta, Aceh, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Setiap insiden ini menunjukkan bagaimana peraturan-peraturan yang dirancang untuk membatasi kebebasan individu dapat mengarah pada tindakan-tindakan yang lebih parah, menciptakan situasi yang semakin mencekam bagi komunitas LGBT.
Dari 271 tindakan tersebut menggambarkan bentuk-bentuk penindasan yang dialami komunitas LGBT, yang dikelompokkan dalam 17 kategori berbeda. Dari intimidasi hingga pembunuhan, dari penggerebekan hingga pembubaran paksa, tindakan-tindakan ini menunjukkan bagaimana hukum sering kali disalahgunakan untuk menjustifikasi kekerasan. Tidak hanya itu, pemecatan sepihak, pencabulan, dan penahanan tanpa bukti atau saksi pun menjadi bagian dari realitas pahit yang harus dihadapi oleh mereka yang dianggap berbeda. Regulasi yang seharusnya menjadi instrumen perlindungan, berubah menjadi alat represi.(bersambung)
*) Tulisan ini merupakan bagian dari program Fellowship Independen yang didukung USAID, Internews dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.