Nelayan Bagan Halmahera Timur dalam Cengkeraman Tambang Nikel

Oleh: Ardian Sangaji

Independen- Lautu Simun (49 tahun) baru saja tiba di rumahnya usai menghadiri pemakaman salah satu warga di desanya. Pria 3 anak, 6 cucu itu tersenyum ramah menyapa tandaseru.com, saat disambangi di teras belakang rumahnya, Selasa 10 Oktober 2023. Rumah Lautu berada dekat di pantai Teluk Buli, Desa Soa Sangaji, Kecamatan Kota Maba, Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara.

Nelayan dan pemilik 1 unit bagan ini sehari-hari melaut di sekitar Teluk Buli dan Moronopo. Sudah kurang lebih 20-an tahun dia menggeluti profesi ini. Perairan di Teluk Buli kata Lautu, sangat melimpah hasil perikanan. Terutama jenis ikan pelagis seperti kembung, cakalang, teri, dan cumi-cumi. Namun, hasil yang melimpah itu mulai jarang didapat semenjak bercokolnya perusahaan tambang nikel di teluk yang menghadap langsung ke Samudera Pasifik ini.

Sorot mata Lautu menatap tajam ke Pulau Mabuli. Pulau itu berjarak hanya beberapa ratus meter di seberang perairan laut Desa Soa Sangaji. Sambil mengarahkan telunjuknya ke arah pulau itu, Lautu mengungkap bahwa Mabuli adalah satu dari beberapa pulau kecil yang dikeruk tanahnya oleh perusahaan tambang.

Terlihat jelas kegersangan imbas deforestasi di pulau ini. Beberapa titik di punggung bukit Mabuli telah digunduli PT Makmur Jaya Lestari (MJL).

“Kemarin itu hampir kita lapor ke media, karena dampak pencemaran limbah itu sudah melewati batas,” ujar Lautu.

Pencemaran itu kata Lautu, berasal dari lumpur mengandung nikel yang terbawa banjir hingga bermuara ke pesisir dan laut saat turun hujan. Tak sampai sehari hujan, rona air laut sekitar Pulau Mabuli langsung berubah kecokelatan.

Sekitar 2 bulan lalu, Lautu pernah mendapati karyawan kapal tongkang menyekop sisa tanah mengandung nikel (ore nikel), dari kapal dibuang ke laut sekitar Mabuli. Melihat hal yang dianggapnya sebagai pelanggaran itu, Lautu bersama istri dan anak-anaknya sampai mendatangi kantor PT MJL. Pihak MJL malah membantah bahwa persoalan itu bukanlah ulah mereka melainkan karyawan kapal tongkang.

“Saya bilang itu kami tidak tahu, mau siapa saja yang beraktivitas di tongkang itu berarti tanggung jawab bapak, karena bapak yang punya ini, harusnya bapak yang mengawasi,” cetus Lautu mengulang kecamannya kepada seorang karyawan MJL kala itu.

Temuan buangan sisa ore dari kapal tongkang ke laut juga dibenarkan Ridwan H. Syukur (41 tahun). Selain sebagai juragan bagan, Ridwan yang juga Bhabinkamtibmas Polres Halmahera Timur di Desa Soa Sangaji ini mengaku sudah berulangkali mendapat laporan tersebut dari masyarakat.

“Dorang (mereka) kedapatan yang begitu langsung lapor ke saya baru saya ke perusahaan sampaikan ke perusahaan bahwa kalau ngoni (kalian) selesai angkat itu tampung baik-baik, baru nanti bawa ulang ke daratan, jangan langsung buang ke lautan, dan itu ulang-ulang kali,” ungkap Ridwan.

Menurut Ridwan, buruknya upaya mitigasi dari perusahaan tambang mengakibatkan pesisir dan laut tercemar sedimentasi lumpur saat setiap kali turun hujan. Seperti yang terjadi di pesisir Moronopo, Kecamatan Kota Maba yang merupakan areal konsesi PT Nusa Karya Arindo (NKA).

Masyarakat yang resah pun sudah berulangkali menggelar aksi unjuk rasa ke PT NKA dan menuntut perusahaan tersebut bertanggung-jawab atas masalah sedimentasi.

“Kalau musim panas permukaan laut itu jernih tapi dasar laut itu lumpur,” ujar dia.

Akibat lumpur sudah mengendap di dasar laut, lanjut Ridwan, jaring bagan atau yang oleh nelayan setempat disebut kofo, jadi kotor dengan lumpur. Jaring yang diangkat pun semakin berat karena lumpur yang menempel.

“Kalau dulu jaring biar tidak cuci sampai satu bulan gelap habis itu tidak kotor, sekarang ini satu malam saja, biar kofo yang baru lagi, warnanya hitam bagus satu malam saja dorang angkat sudah cokelat,” jelas dia.

Reza Bisnu (47 tahun) nelayan bagan asal Desa Buli Karya, Kecamatan Maba, juga mengeluhkan hal serupa. Ini terjadi di hampir setiap titik areal penangkapan ikan.

“Merah semua jaring, lumpur merah melekat,” kata Reza.

Reza bilang, meski kerap dikeluhkan, sebagai nelayan kecil mereka tidak dapat berbuat banyak. Sebab, areal penangkapan ikan juga tepat berada di sekitar pulau-pulau yang kini ditambang perusahaan.

“Keadaan yang ada ini kan kiri-kanan tambang, jadi mau bagaimana lagi,” ucap Reza pasrah.

Selain masalah sedimentasi, nelayan Teluk Buli pun mengeluhkan adanya aktivitas lalu-lintas kapal pengangkut ore nikel. Setiap hari, belasan kapal berlalu-lalang maupun berlabuh di areal tangkap bagan.

Seperti yang sering dialami Adam Muzakir (39 tahun). Nelayan bagan di Desa Soagimalaha, Kecamatan Kota Maba ini mengatakan, nelayan merasa sangat terganggu dengan adanya kapal tongkang dan tug boat yang berlabuh atau melintas terlalu dekat dengan bagan.

“Areal yang dibayar ini pulau dan daratan saja, laut ini kan semua punya. Setidaknya ada pengertian dari pihak perusahaan, supaya ketika kami sudah mencari ikan atau sudah berlabuh di tempat ikan itu mereka bisa mengerti kami,” jelas Adam, Kamis (12/10).

Kapal yang berlabuh dan menyalakan lampu sorot disaat malam pun dianggap sangat mengganggu operasi bagan. Sebab, bagan adalah alat tangkap ikan yang memanfaatkan penerangan lampu listik dari generator set (genset) untuk menarik ikan-ikan kecil, dan cumi mendekati jaring bagan.

“Torang (kami) punya lampu bagan kalah terang dengan lampu sorot dari kapal. Makanya saat angkat jaring kadang tidak ada ikan,” ungkap Adam.

Sebagaimana dikutip dari laman https://momi.minerba.esdm.go.id/public/, PT MJL merupakan perusahaan pertambangan nikel di Pulau Mabuli, Kecamatan Maba, atas Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang diterbitkan Bupati Halmahera Timur melalui SK Nomor: 188.45/140-545/2009. SK itu berlaku mulai tanggal 28 Oktober 2009 dan berakhir pada 28 Oktober 2028. PT MJL sampai saat ini telah melakukan operasi produksi di atas  wilayah konsesi seluas 394.10 hektar

Sementara PT NKA adalah anak perusahaan PT Aneka Tambang Tbk (Antam) yang beroperasi di Site Moronopo, Kecamatan Kota Maba, atas IUP yang diterbitkan Menteri ESDM melalui SK Nomor: 1105/1/IUP/PMDN/2022. SK tersebut berlaku mulai 29 September 2022 dan berakhir pada 19 September 2030. PT NKA telah melakukan tahapan operasi produksi di atas wilayah konsesi seluas 20.763 hektar.

PT NKA dan satu perusahaan lainnya yakni PT Sumber Daya Arindo (SDA) merupakan dua anak perusahaan PT Antam Tbk yang memperoleh IUP di kawasan hutan Halmahera Timur setelah diterbitkannya surat Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 3 Tahun 2023 Tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor  41 Tahun 2004 Tentang Perizinan atau Perjanjian di Bidang Pertambangan yang Berada di Kawasan Hutan. Keppres ini diterbitkan dan ditandatangani Presiden Joko Widodo, pada 27 Februari 2023.

Dilansir dari Kontan.co.id, PT Antam Tbk memperkuat bisnis nikelnya dengan melakukan spin-off atau pemisahan sebagian usaha pertambangan nikelnya di Halmahera Timur untuk dua entitas anak usaha yakni PT NKA dan PT SDA.

Pemisahan sejak tahun 2022 itu merupakan salah satu langkah awal pengembangan bisnis PT Antam Tbk dan juga untuk mendukung pengunaan kendaraan listrik atau electric vehicle (EV).

Hasil Tangkap Nelayan Turun Drastis

Tangan Adam Muzakir begitu cekatan saat menata ikan teri basah di atas para-para penjemuran. Sesekali, pria bertubuh tinggi tegap itu menepuk-nepuk jaring yang menjadi alas para-para. Itu dilakukan agar saat kering, ikan teri tak melekat kuat ke jaring. Ada empat para-para ikan teri milik Adam di pantai Desa Soagimalaha. Semuanya membentang berjejer, menengadah langit.

“Hanya satu (para-para) saja yang terisi dari hasil tangkap bagan tadi malam,” ungkap Adam kepada tandaseru.com, Kamis (12/10).

Adam menghela nafas, sejenak dia terdiam, saat ditanya capaian hasil tangkap nelayan bagan kini. Sebagai salah satu pemilik bagan di Kota Maba, Adam mengaku, kurang lebih setahun terakhir hasil tangkap menurun drastis.

Tahun-tahun sebelumnya, kata dia, total hasil tangkap sebulan paling sedikit 500-600 kilogram, dan paling banyak 1-2 ton. Itu hasil ikan teri yang ditimbang setelah dijemur kering. Namun, hasil dari 1 bagan yang dioperasikan 4-5 orang nelayan kini menurun tajam karena hanya berkisar 100-350 kilogram.

Jika diuangkan penghasilan bagan dulunya bisa Rp 15-20 juta. Hasil bersih setelah dipotong ongkos operasional, dan bahan bakar minyak (BBM). Tapi sekarang, rata-rata hasil sebulan hanya Rp 7 juta. Bahkan tak jarang pula hanya bisa menutupi ongkos operasional.

Kondisi itu membuat pendapatan perorang nelayan ikut terjun bebas menjadi Rp 2 juta sebulan. Imbasnya, banyak nelayan terpaksa meninggalkan bagan dan beralih ke pekerjaan lain.

“Banyak (bagan) yang kolaps karena sudah tidak dapat karyawan, dan bagannya hanya jadi pajangan di pantai sampai rusak,” akunya.

Khusus di Kota Maba saja ungkap Adam, kini hanya tersisa 2 unit bagan yang masih melaut. Salah satu bagan itu adalah miliknya.

Dahulu, sekitar belasan tahun silam, bagan di Kota Maba berkisar hingga 30an unit. Bila semua bagan melaut, maka pemandangan malam di Teluk Buli nampak berjejer kerlap-kerlip lampu bak kota di atas laut.

Adam mengungkap, kini tidak jarang pula nelayan terpaksa menambah waktu operasi bagan dari yang normalnya 16 malam dalam sebulan menjadi 21-22 malam. Itu dilakukan demi memaksimalkan hasil tangkap.

“Kita kasih habis bulan sampai purnama itu, hanya mau cari uang saja itu,” keluh dia.

Senada dengan cerita Adam, Ridwan H. Syukur yang memiliki 2 unit bagan di Desa Soa Sangaji sejak tahun 2012, mengaku merasakan penurunan drastis hasil tangkap bagannya.

Awal merintis usaha perikanan tangkap ini, dalam 1 unit bagannya kata Ridwan, bisa menghasilkan 1 ton ikan teri kering sebulan. Hasil itu mulai menurun signifikan, dan puncaknya terjadi mulai sekitar tahun 2020 sampai sekarang seiring banyaknya perusahaan tambang yang kembali aktif beroperasi.

Hasil ikan teri dalam satu bagan sebulan kini hanya mampu mencapai 100-200 kilogram. Kalau pun ada hasil tertinggi maka mentoknya hanya sampai 500 kilogram.

“Makanya saya bilang semenjak perusahaan belum beroperasi itu ikan masih dapat, tapi 2020 naik sampai ini memang hancur, banyak nelayan mengeluh,” kesal dia.

Alhasil, keluhan nelayan di Kota Maba dan Maba ini ditepis oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Halmahera Timur.

DKP mencatat dalam 3 tahun terakhir, mulai 2020-2022, hasil tangkap ikan teri di Teluk Buli malah mengalami kenaikan signifikan kisaran 3-5 persen pertahun. Rinciannya, untuk tahun 2020 hasil tangkap ikan teri sebanyak 802 ton, tahun 2021 naik 840 ton, dan tahun 2022 mengalami sedikit penurunan yaitu 815 ton.

Sementara hasil tangkap ikan teri wilayah Kecamatan Wasile Selatan yang ada di Teluk Kao, Halmahera Timur juga mengalami peningkatan signifikan, yaitu pada tahun 2020 sebanyak 3.000 ton, tahun 2021 naik 3.150 ton, dan tahun 2022 naik lagi 3.420 ton.

Meski begitu, Kepala Bidang Perikanan Tangkap, Pengawasan, dan Pengelolaan Ruang Laut DKP Halmahera Timur, Mahuba Tuheteru, menyebutkan data hasil tangkap ikan teri ini diperoleh hanya dari perhitungan estimasi perkiraan hasil tangkap.

“Jadi itu torang hanya mengestimasi, misalnya dalam satu bulan itu dia menangkap ada berapa kali, lalu dalam satu kali trip penangkapan itu dia (nelayan) dapat berapa kilo,” kata Mahuba.

Sebab itu pula, lanjut Mahuba, jika nelayan mengklaim adanya penurunan hasil tangkap maka dimungkinkan benar adanya. Namun, DKP belum dapat memastikan penyebab dari penurunan hasil tersebut.

“Memang ada pengaruh lingkungan tapi itu torang tidak bisa klaim, karena data kajiannya tidak ada di torang. Tapi kalau dari sisi teorinya, bisa saja terjadi over fishing itu ciri-ciri salah satunya produksi menurun,” ucap dia.

Sementara untuk jumlah alat tangkap bagan di wilayah Kota Maba dan Maba yang beroperasi di Teluk Buli totalnya ada sebanyak 27 unit. Sedangkan di wilayah Wasile Selatan ada sebanyak 209 unit. Jumlah bagan ini pun, kata Mahuba, belum dapat dipastikan apakah bertambah atau malah berkurang.

“Kalau untuk bagan saya belum bisa pastikan, tapi kalau untuk secara keseluruhan ada penambahan armada bukan untuk bagan, tapi jenis armada lain misalnya perahu fiber dan lain sebagainya,” ujarnya.

Tambang Cemari Pesisir dan Laut

Hampir dua pekan di awal Oktober 2023 wilayah Maba dan Maba Kota belum juga diguyur hujan. Terik matahari terasa begitu panas ‘membakar’ terutama di siang hari. Saat cuaca seperti itu, perjalanan melintasi jalan utama yang menghubungkan dua kecamatan ini menjadi terasa sangat tak nyaman, apalagi dengan bersepeda motor. Pasalnya, di jalanan banyak dijumpai lubang menganga. Aspal yang mengelupas menjadi kubangan lumpur ketika hujan, dan berdebu saat musim panas. Lebih parah lagi jika melintasi persimpangan jalan keluar-masuk truk pengangkut ore nikel. Tumpahan ore nikel di jalan yang mengering menyebabkan debu berterbangan kemana-mana. Ada juga debu yang tertiup angin turun dari pegunungan lokasi pengerukan ore.

Pemandangan seperti ini sangat mencolok di areal beroperasinya PT NKA di Site Moronopo. Aktivitas pengerukan ore nikel PT NKA di dalam hutan sisi barat jalan utama. Sementara di sebelah timur jalan, ada dermaga atau jetty milik PT NKA yang berada antara kawasan hutan mangrove.

Memasuki kawasan mangrove yang juga bagian dari wilayah IUP PT NKA, terlihat jelas kondisi lingkungan yang sangat memprihatinkan. Mangrove tumbuh di atas sedimentasi setinggi dada orang dewasa. Lumpur berwarna cokelat keemasan itu nampak jelas berasal dari tanah bekas pengerukan ore nikel yang terkikis air permukaan saat hujan.

Tingginya debit lumpur menyebabkan pendangkalan sedimentasi menyebar ke seluruh pepohonan mangrove. Bahkan sedimentasi menjorok hingga ke laut membentuk pendangkalan yang luasnya sekitar 1 setengah lapangan bola kaki saat air laut surut.

Ketua Program Studi Magister Ilmu Kelautan Program Pascasarjana Universitas Khairun (Unkhair) Ternate, Dr. Muhammad Aris, S.Pi., M.Si mengatakan, kondisi ini adalah bentuk kerusakan yang sangat luar biasa bagi Teluk Buli. Ancaman terbesarnya bukan hanya masalah bentangan alam yang sudah berubah melainkan juga berdampak pada ekosistem perairan maupun biota laut.

Menurut Aris, bila ditinjau secara ilmiah pada saat terjadi pembongkaran di daerah lahan tambang yang berada di ketinggian yang secara serampangan, atau yang secara tidak terencana dari sisi mitigasi dampak, maka malapetakanya akan terjadi di wilayah muara sungai dan laut.

“Sungai ini daya tampungnya semakin menurun, nah jadi volume debit air yang masuk yang seharusnya normal nah ini kan sudah tidak normal lagi karena sudah mengalami pendangkalan,” ungkap Aris, Sabtu (21/10).

Pada pertengahan September 2023 lalu, Aris telah melakukan riset tentang kondisi air laut di Teluk Buli dan Moronopo yang terdampak sedimentasi tambang nikel. Hasilnya kata dia, sangat mencengangkan. Sebab kondisi baku mutu air laut dari 3 titik pengambilan sampel setelah diuji pada 2 laboratorium di Bogor dan Jakarta sudah melebihi ambang batas sebagaimana dipersyaratkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

“Dari hasil riset saya kemarin itu, dalam satu liter air itu sudah terdapat 500 mg besi atau logam-logam berat dan nikel itu sudah tinggi sekali, sangat di atas ambang batas baku mutu yang dipersyaratkan. Kadar dipersyaratkan hanya sekitar 0,05 di sana itu 494,” jelas dia.

Aris pun khawatir, jika pencemaran ini terus terjadi tanpa tertangani secara khusus maka Teluk Buli itu akan mengalami kekosongan biota.

“Jadi tidak ada lagi yang bisa hidup apalagi mau melakukan reproduksi, itu tidak ada,” kata dia.

Kekhawatirannya itu, lanjut Aris, mulai terlihat ketika dalam riset itu dia sempat mewawancarai sejumlah nelayan bagan yang mengaku hasil tangkapannya menurun drastis. Biasanya sebelum masuk perusahaan tambang, sehari nelayan bisa menangkap sampai 1 ton ikan teri. Kini, bahkan 100 kilogram saja sulit didapat. Padahal, hasil tidak memuaskan itu diperoleh saat fase penangkapan yang cukup produktif, karena bulan dalam kondisi mati atau biasa disebut bulan gelap.

“Nah ini salah satu indikator bahwa pencemaran itu sudah terjadi, dan penurunan populasi ikan di sana itu terancam punah,” timpal dia.

Apalagi kata dia, pulau-pulau kecil di Teluk Buli sebagian besarnya sudah diberi izin pertambangan nikel. Seperti Pulau Mabuli, Pulau Gee, dan Pulau Pakal. Dampak sedimentasi di sekitar pulau-pulau kecil itu sudah melebar ke laut menyebabkan areal penangkapan atau fishing ground pada saat hauling atau penarikan jaring bagan, yang didapat nelayan justru kebanyakan adalah lumpur.

“Kualitas air ini kan merupakan habitat dari ikan yang seharusnya menjadi sumber mata pencarian nelayan, dan sebagai sumber pangan protein untuk masyarakat itu kan sudah tidak lagi,” cetus dia.

Sementara itu, Kepala Dinas Pertanahan dan Lingkungan Hidup (DPLH) Kabupaten Halmahera Timur, Harjon Gafur tidak menampik adanya perubahan kondisi lingkungan di perairan Teluk Buli akibat dari pertambangan nikel.

Indikasi itu kata dia, dapat dilihat secara kasat mata di kawasan pesisir Teluk Buli, terutama pada setiap muara sungai. Rona air laut terlihat keruh kecokelatan karena tingginya sedimentasi.

“Saya juga sudah diinformasikan oleh beberapa kelompok nelayan, bahwasanya ada mereka punya alat tangkap (jaring) bagan itu bercampur sedimen,” ungkap Harjon saat ditemui di Kantor Bupati Halmahera Timur, Rabu (11/10).

Harjon mengaku selama ini pihaknya belum melakukan uji laboratorium mengenai kondisi baku mutu air di teluk ini. Itu dikarenakan DPLH tidak memiliki wewenang pengawasan lingkungan pesisir dan laut, semenjak kewenangan tersebut diambil alih pemerintah pusat.

“Ini soal batasan kewenangan, laut ini torang daerah sudah tidak ada urusan,” ungkap dia.

Meski begitu Harjon menegaskan, pihaknya tetap tidak tinggal diam ketika ada pengaduan masyarakat. Seperti saat terjadi banjir bercampur sedimentasi yang meluap hingga ke laut.

DPLH kata dia, siap menindaklanjuti pengaduan masyarakat dengan berkoordinasi kepada pihak perusahaan, dan meminta mereka untuk bertanggungjawab melakukan penanggulangan.

Seperti halnya keluhan masyarakat tentang sedimentasi parah di Moronopo. PT NKA selaku perusahaan yang beroperasi di kawasan tersebut akhirnya melakukan penanganan sedimentasi dengan metode penyedotan (geotube).

Meski begitu, metode geotube ini menurut Harjon tidak efektif. Sebab, meskipun sedimen terus disedot hingga bertahun-tahun lamanya, tetap saja akan ada lumpur yang terbawa banjir saat hujan.

“Saya lagi tegur ke dorang suruh kasih stop dorang punya penanganan menggunakan geotube itu,” cetus dia.

Harjon mengemukakan, masalah lingkungan di Teluk Buli memang harus mendapat perhatian serius pemerintah pusat dan ditangani secara khusus.

Ekosistem Mangrove Alami “Stunting”

Ekosistem mangrove di pesisir Moronopo merupakan salah satu pesisir di Teluk Buli yang paling parah terdampak sedimentasi mengandung nikel dari wilayah konsesi PT NKA.

Tingginya sedimentasi ini menurut Dr. Aris, telah menyebabkan pohon mangrove yang telah bertahun-tahun ditanam pihak perusahaan ini tidak dapat tumbuh normal. Aris mengistilahkannya mangrove di kawasan itu mengalami stunting.

“Saya istilahkan mengalami stunting, tidak tumbuh, itu kan sudah beberapa puluh tahun tapi mangrovenya masih kecil, kerdil,” kata Aris.

Kondisi kerusakan pada ekosistem mangrove ini dianggap sebagai bukti lain bahwa pesisir dan laut di Teluk Buli telah mengalami pencemaran yang sangat parah. Sebab, mangrove yang merupakan tumbuhan sedimen trap, atau yang memiliki toleransi paling tinggi terhadap bahan-bahan organik saja pertumbuhannya bisa terhambat. Kata Aris, itu menjadi tanda bahwa bukan hanya bahan organik yang terkandung di dalam lumpur melainkan ada juga logam yang tinggi.

“Mangrove saja sebagai tanaman indikator yang sangat tahan terhadap stressing tekanan dari pada lingkungan itu juga mengalami stunting, mengalami kekerdilan,” cetus dia.

Bagi Aris, dirinya pernah melakukan riset di perairan beberapa teluk di Pulau Halmahera, seperti Teluk Weda dan Teluk Kao. Namun jika dibandingkan kondisi kerusakan lingkungan ketiga teluk ini maka yang paling parah adalah Teluk Buli.

Ikan Terakumulasi Logam

Selain riset tentang baku mutu air, Dr. Aris juga melakukan riset tentang kesehatan ikan hasil tangkap nelayan di Teluk Buli.

Aris bilang, ada indikasi yang sangat kuat bahwa ikan di Teluk Buli sudah terakumulasi logam. Ini dapat dilihat pada sel, atau jaringan ikan yang telah mengalami gangguan dan tidak normal lagi. Meski secara organoleptik penampakan tubuh ikan terlihat sehat, namun dari sisi histologi jaringan ikan sudah rusak dan mengakibatkannya tidak lagi mengalami reproduksi dengan normal.

“Saya bisa sampaikan bahwa akumulasi itu sudah sangat tinggi sekali, kenapa? karena tingginya kandungan logam berat yang berada di perairan itu dan itu sudah terakumulasi,” ujar Aris.

“Ikan-ikan sudah terakumulasi besi, makanya dibilang ikan-ikan robot,” ucap Aris.

Logam yang telah terikat pada jaringan ikan, kata dia, tidak akan hilang di dalam tubuh ikan dan sudah pasti akan terakumulasi dalam tubuh manusia jika dikonsumsi.

“Itu yang akan memicu terjadinya penyakit nanti seperti kanker, gangguan syaraf, dan kemudian bisa berakibatkan terhadap kesehatan janin,” timpal Aris.

Keluhan nelayan Teluk Buli terkait dampak sedimentasi dari pertambangan nikel PT MJL di Pulau Mabuli dibantah oleh perusahaan tersebut.

Project Manager PT MJL, Bobby Manurung mengatakan, pihaknya tidak melakukan aktivitas pertambangan yang berdampak pada pencemaran lingkungan air laut. Menurut Bobby, kalau pun ada keluhan masyarakat, maka perlu dipastikan di mana lokasi pencemarannya. Meski begitu informasi ini, lanjut dia, akan menjadi masukan positif bagi PT MJL.

“Bagi kami issue ini akan jadi bahan masukan positif untuk segera mengambil langkah antisipatif dan perbaikan ke depan, untuk menjadi perusahaan yang lebih baik dari sisi pertanggungjawaban kepada lingkungan,” tulis Bobby dalam pesan WhatsApp kepada tandaseru.com, Sabtu (4/11).

Dalam kegiatan penambangan, kata Bobby, PT MJL pun memperhatikan dan mengusahakan kondisi kegiatan tidak memberikan dampak buruk. Pasalnya, PT MJL juga paham bahwa banyak nelayan dengan bagannya yang mencari ikan di dekat Pulau Mabuli.

“Bersamaan dengan KTT (kepala teknik tambang) juga kami komitmen untuk senantiasa menjaga lingkungan, dan tetap membuat investasi ini tetap bisa membangun kehidupan yang lebih baik bagi seluruh karyawan dan masyarakat,” ucap Robby.

Sementara itu, manajemen PT NKA nampaknya tidak menampik fakta adanya sedimentasi pada ekosistem mangrove, pesisir, dan laut areal konsesinya.

Corporate Secretary and Legal Compliance PT NKA, Welyanson Sitomorang mengatakan, pihaknya telah melakukan kontrak penggunaan geotube untuk penyedotan sedimentasi sejak tahun 2021 sampai dengan saat ini.

“Selain itu juga kami sudah membuat sump-sump (penampungan) baru di bagian atas, untuk mengurangi sedimentasi,” ujar Welyanson, via pesan WhatsApp, Sabtu (4/11).

Menurut dia, penanganan sedimentasi dengan bantuan alat geotube selama ini sudah berjalan sesuai rencana karena adanya penurunan sedimentasi. Meski begitu, Welyanson enggan menjelaskan secara rinci capaian dari rencana tersebut.

“Saat ini informasi ini saja yang bisa saya konfirmasi ya,” tulis dia singkat.

Terpisah, pihak PT Antam Tbk saat dikonfirmasi via seluler, Sabtu (4/11), juga membantah jika aktivitas pertambangan di Pulau Pakal dan Pulau Gee mengakibatkan perairan laut di dua pulau tersebut terdampak  sedimentasi.

Perwakilan Eksternal Relation PT. Antam Tbk, Nasrudin D. Majirung mengatakan, sejauh ini tidak ada isu mengenai kerusakan lingkungan di dua pulau yang menjadi wilayah konsesi PT Antam Tbk ini.

“Saya kebetulan lahir dan besar di Soagimalaha, Kota Maba, Kabupaten Halmahera Timur. Jadi konsen juga soal lingkungan, juga untuk minimalir hal-hal yang tidak kita inginkan itu. Saya juga nelayan ditambah lagi BUMD Haltim adalah mitra kami untuk Pulau Pakal, jadi memang untuk lingkungan di Pakal teman-teman BUMD, dan kami Alhamdulillah konsen,” kata Nasrudin menerangkan.

Terkait aktivitas lalu-lintas kapal pengangkut ore nikel di Teluk Buli yang dikeluhkan nelayan, Nasrudin menjelaskan, selain Antam ada juga perusahaan lainnya. Seperti PT MJL, PT Sambaki Tambang Sentosa (PT STS), PT NKA, PT SDA, dan PT Alngit Raya, yang semuanya beroperasi dan melakukan pengapalan di wilayah yang berdekatan.

Namun, khusus untuk kapal milik pembeli ore nikel dari PT Antam Tbk, lewat bagian shipping perusahaan selalu ditertibkan posisi labuhnya agar tidak mengganggu aktivitas nelayan.

“Sejauh yang saya pantau posisi labuh, aman karena saya juga sering mancing. Jangan-jangan bukan kapal milik buyer yang beli ore dari Antam,” ujar dia.

“Kalau keluhan nelayan Maba Selatan kemarin itu soal rute kapal sudah selesai. Kalau Antam lewat KUPP Buli semua lewat jalur yang sudah diatur, lagi-lagi saya tidak copy kalau perusahaan selain Antam. Tapi untuk Antam Alhamdulillah clear,” kata mengakhiri.

*) Tulisan ini merupakan republikasi berita yang naik di portal TandaSeru.com pada 6 November 2023. Liputan ini merupakan kolaborasi bersama dengan dukungan Kurawal Foundation.

kali dilihat